TANGGAL 5 Pebruari 1999 saya dengan diantar kakak sudah sampai  ke TKP.  Sebuah desa paling barat di kecamatan Karangbinangun.  Berbatas dengan kecamatan Kalitengah. Sementara suporter (baca:  pengiring kemanten) baru berangkat besoknya. Ini sebagai antisipasi  saja. Agar ijab qobul bisa dilaksanakan sesuai rencana. Nah kalau  saya sebagai sang pengantin ikutan berangkat bareng suporter, dan  kendaraan mengalami ini atau itu di jalan yang mengakibatkan  kedatangan molor dari jadwal, wah bisa repot. Ini perhitungan mertua  saya, yang kala itu tentu baru sebagai calon.
Kalaulah sebagai bus, jarak yang kami tempuh masih tergolong sebagai  AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi)  walau tentu tak bisa pula dibilang dekat. Jember – Lamongan.  Yang jalanan kala itu belum seperti sekarang. Apalagi di kampung  Putri Lamongan yang hendak saya nikahi. Di musim hujan begitu,  jalanan bak kubangan.
|  | 
| Jas pinjaman yang kekecilan itu. | 
Akad nikah di bulan Pebruari itu tentu bertabur berkah. Hujan  mengguyur deras, yang membuat jalanan ya... begitu deh, sampai gardan  mobil sewaan rombongan suporter saya kena masalah. Untungnya sang  sopir, sahabat baik saya, dapat mengatasi problem itu sehingga mertua saya  tak perlu memberi tumpangan menginap semua rombongan plus makan tiga  kali sehari. Intinya sopir sahabat baik saya itu bisa membawa semua  pulang ke Jember dengan tidak meminta ongkos tambahan. Yang kurang  baik adalah saya yang tidak memaksanya menerima sekadar uang lelah  belepotan dalam memperbaiki gardan. Kebacut, keterlaluan memang.  Kebacut-nya bukan sembarangan, namun karena keadaan keuangan. Hihi...
Kini, hari-hari yang barusan saya dleming-kan itu telah  terjadi duapuluh tahun yang lalu. Uh, telah dua dasawarsa saya  menikah. Anak-anak sudah besar. Yang sulung sudah kuliah, dan yang nomor dua masih SD. Kelas dua. Kalaulah saya ini artis kondang yang saban hari nongol di  layar kaca kayak; itu tuh.., tentulah akan bikin reality show  tujuh hari-sepuluh malam secara live di televisi nasional.  Judulnya; Janji Suci Edi. Sayangnya (atau untungnya?) kami  adalah keluarga biasa-biasa saja. Yang ketika makan mie Ayam Jakarta  dengan penjual orang Trenggalek bersama anak-anak di emperan toko  pasti tidak diliput infotainment.
Kemarin saat pas ultah ke 20 pernikahan, semua biasa-biasa. Oh,  sorry. Tidak ding. Tadi malam itu, ditingkahi gerimis  yang kudunya berefek romantis, saya antar Ibu Negara melewati gerai  McDonald's Rungkut Asri. Lewat saja. Karena tujuannya ke dokter  spesialis THT di sebuah Poli spesialis tak jauh dari situ.
"Biasa saja", dokter berkata. "banyak orang yang sakit seperti  ibu. Gak usah takut", lalu beliau menulis resep obat yang  mesti kami tebus.
Ditambah biaya daftar pertama tadi, total jenderal uang yang mesti  kami bayar terbilang lumayan. Nyaris satu juta rupiah. Bukan jumlah  yang sedikit menurut ukuran dompet kami. Itu baru sekali berobat.  Padahal kami disarankan dokter untuk sepuluh hari sekali kontrol.  Rutin. Selama tiga bulan. Piye jal?
Sepulang berobat masih gerimis, yang kali ini saya rasakan jan makin blas gak romantis. Atau memang selalu begitu. Sesuatu yang saat  ini dirasa nelangsa, suatu waktu nanti, sekian puluh tahun kemudian,  akan baru terasa indahnya. Atau paling tidak; terasa lucunya. Seperti saat  pernikahan saya duapuluh tahun yang lalu itu. ****
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar