SEMALAM saya blusukan ke Pasar Wadungasri (ngGedongan). 
Banyaknya pengunjung, membuat area parkir motor yang tak seberapa luas 
menjadi penuh sesak. Karena tempat parkir di depan penuh, oleh petugas 
parkir, saya diarahkan untuk memarkir Supra tunggangan saya di lorong 
sisi timur pasar. Dari situ, untuk menuju para penjual pakaian di lantai
 dua, saya naik lewat tangga sempit nan kotor.
Di 
lantai dua, jalan antara stand penjual begitu sempitnya. Ditambah stok 
dagangan yang sudah menggunung, membuat tempat itu terasa sesak. Selain 
penjual aneka pakaian, alas kaki sampai kosmetik, di sela dominasi 
pajangan dagangan berbahan kain, saya juga temukan seorang penjual kopi 
disitu. Melihat kompor yang menyala di bawah meja mungil itu, membuat 
saya ngeri. Bagaimana jadinya kalau kompor itu meleduk? Tentu apinya 
akan cepat menyambar barang-barang mudah terbakar di kiri-kanannya. 
Lebih ngerinya lagi, kalau hal itu terjadi (tetapi semoga saja tidak 
akan pernah terjadi. Amin....) para pengunjung tentu akan sulit berlari 
menyelamatkan diri melewati jalan sempit, juga tangga yang tak kalah 
sempit.
Setelah sejenak singgah di stand-stand untuk 
sekadar melihat-lihat, selanjutnya saya menyempatkan diri mengobrol 
dengan salah satu penjual pakaian yang di saku belakang celananya saya 
lihat terselip sapu tangan dengan bahan seperti kain handuk yang tentu 
difungsikan sebagai pengelap keringat. Ya, dengan suasana sesesak itu, 
hanya orang yang punya kelainan yang tidak bermandi peluh.
“Sudah mulai ramai, Mas?” saya bertanya.
“Alhamdulillah, Pak,” jawab lelaki yang nada bicaranya sangat Jawa sekali itu. 
“Aslinya mana?” itu pertanyaan yang bagi saya amat sakti untuk membuka pembicaraan selanjutnya akan menjadi lebih akrab lagi.
“Saya dari dekat sini saja, kok,”
 saya duga itu jawaban guyon. Buktinya, “Saya asli Sragen, Pak,” 
lanjutnya membenarkan dugaan saya. Ah, pantesan nada bicaranya 
mengingatkan saya akan logat Kyai Ma'ruf Islamuddin yang ceramahnya 
sering saya dengar di radio El-Victor.
Sambil 
bicara-bicara dengan saya itu, tangannya cekatan sekali menata dagangan 
aneka pakainan; untuk anak-anak dan dewasa, laki-laki atau untuk busana 
perempuan. Semua ada. Dari daster sampai model yang busana ketat.
“Sudah nyetok untuk persiapan lebaran ya?” saya bertanya.
“Iya,
 Pak,” jawab pemuda yang apesnya semalam itu saya lupa bertanya siapa 
namanya. Usianya saya taksir baru sekitar tiga puluh limaan. “Seminggu 
sebelum puasa begini, alhamdulilah sudah mulai ramai. Saya sudah hapal 
siklusnya. Nanti kalau puasa dapat seminggu mulai sepi; banyak orang 
lagi giat-giatnya sholat tarawih. Baru ketika lima belas hari sebelum 
lebaran, penjualan akan makin ramai lagi. Sementara jamaah sholat 
tarawih di masjid-masjid makin berkurang, dan lebih giat berjamaah di 
pasar-pasar untuk membeli pakaian...” candanya.
Senyum saya menanggapi ucapannya barusan, adalah bentuk setuju akan statement-nya yang memang kenyataannya demikian.*****
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar