KADANG-KADANG
ulah penjaja mainan anak-anak bikin jengkel juga. Dengan
bunyi-bunyian, biasanya tit-tot,
tit-tot, ia datang
dimana anak anak-anak berkerumun di situ. Mainan yang dibawanya bisa
macam-macam; mobil-mobilan, boneka, senapan-senapanan, robot-robotan
dan sebagainya. Sementara, yang namanya anak-anak, sekali pun sudah
punya yang sejenis itu, masih juga ingin punya lagi. Dilarang beli,
tapi ia punya senjata andalan; menangis. Di situasi macam itu, si
penjaja mainan malah tak jua pergi. Petaka datang kala harga di-mark
up sedemikian rupa
karena si kecil belum juga diam dari menangisnya.
Dua
Minggu yang lalu seorang pedagang lewat di depan rumah. Walau gang di
depan rumah saya ini buntu, tetapi kala itu sedang ada banyak anak
sebaya si kecil saya. Penjaja itu tak perlu membunyikan apa pun untuk
menarik minat calon pembeli, karena dagangan yang ia bawa sudah bisa
bersuara sendiri. Kali itu bukan burung, tetapi anakan ayam yang
bulunya disumba
warna-warni. Dan sebagaimana temannya yang lain, si bungsu saya
ikutan merengek minta dibelikan.
Tak
terlalu mahal, limaribu rupiah seekor. Tetapi masalahnya adalah,
mainan itu punya nyawa. Ya, bukan harga makanan sumber problemnya.
Namun tabiatnya yang suka buang hajat di sembarang tempat itu sungguh
ter-la-lu,
kata Bang Rhoma. Sementara kandang yang berupa bekas jebakan tikus
itu sudah semakin sempit bagi tubuhnya yang beranjak besar, sehingga
terus mengandangkannya sungguhlah termasuk melanggar hak asazi ayam.
Diapakan
enaknya? Dibuang sayang, disembelih masih kekecilan.*****
Sabtu, 31 Mei 2014
Kambing Hitam Kampanye Hitam
“BEGINI,”
Kang Karib menunjukkan jari tengah dan telunjuk secara dempet ketika
Mas Bendo bertanya siapa yang menang dalam Pilpres nanti.
“Begitu piye to, Kang?” Mas Bendo ora mudheng, tidak mengerti.
“Artinya,” Kang Karib tetap mendempetkan dua jarinya, ”selisih suara, siapa pun yang menang nanti, Jokowi atau Prabowo, ya hanya seperti perbedaan tinggi jariku ini. Tipis sekali.”
“Wah, kalau begitu, apa tidak akan menimbulkan 'keributan', Kang? Paling tidak akan berbuntut tuntutan pemilihan ulang seperti saat Pilgub Jatim dulu?”
“Ya, karena terdiri dari dua pasang yang bertarung, pastilah pemenang langsung bisa ditentukan. Artinya pasti ada kan yang menang 50% plus satu. Artinya lagi, harus ada yang legawa mengakui kekalahannya.”
“Ya nggak segampang itu, Kang? Orang nyalon lurah tapi gak jadi saya habis banyak, je. Lha apalagi ini nyalon presiden, pastilah biaya untuk itu buanyak sekali. Apalagi Pak Prabowo sudah dua kali ini maju, ya sepertinya ngebet sekali ingin menang.”
“Jangan begitu, nDo” cegah Kang Karib. “Apa kamu pikir pak Jokowi itu juga gak ngebet?. Iya kan? Siapa pun yang maju, boleh saja punya ambisi, tetapi janganlah terlalu ambisius.”
“Makanya, agar menang, ada yang sampai memakai kampanye hitam ya, Kang.?”
“Iya, tetapi tentu kita tidak tahu siapa sebenarnya oknum yang menghembuskan black campaign itu. Iya, to?! Masing-masing tim sukses tidak ada yang mengaku melakukannya, dan masing-masing menyadari tidak ada gunanya berkampanye secara hitam begitu. Itu malah bisa merugikan.”
“Apa yang melakukan itu hanya simpatisannya, Kang?”
“Bisa jadi begitu,” sahut Kang Karib. “Bisa jadi juga tidak begitu.”
“Tidak begitu piye to, Kang?”
“Ya, bukan tidak mungkin kan isu yang beredar di kalangan bawah hadir by design. Ada 'orang pintar' yang sengaja membakar akar rumput.”
“Tapi bukankah masyarakat kita sudah makin cerdas dalam berdemokrasi, Kang? Buktinya, dalam Pileg kemarin. Malah para caleg yang kelihatan kurang cerdas, pakai ngasih-ngasih duit, eh, cuma diambil duitnya, pas coblosan, orang tetap milih sesuai kata hati sendiri.”
“Itu yang 'cerdas'. Tetapi ingat, nDo. Yang belum begitu cerdas kan juga ada. Sekalipun tak terlalu banyak, yang fanatik mutlak kan juga ada,” terang Kang Karib. “Nah, kelompok ini yang bahaya.”
“Sebahaya apa sih, Kang?”
“Ibarat kata, orang-orang di atas itu sedang menggosok kayu untuk membikin api seperti jaman purba dulu. Yang di atas kan cuma memutar-mutar telapak tangan, yang kebakar kan yang di bawah, yang akar rumput...”
“Dan si pembakar itu masuk dalam jajaran tim sukses di masing-masing pasangan calon, begitu?”
“Kalau tidak ketahuan ya begitu, tetapi kalau ketahuan pastilah ia dijadikan kambing hitam yang dituduh bermain solo, tanpa ada komando.”
“Kalau begitu, sepanas apapun suhu politik negara kita hari-hari ini, kepala kita harus tetap dingin ya, Kang?”
“Betul,” Kang karib mengiyakan. “menelan mentah-mentah semua kampanye hitam hanya akan membuat otak kita ikutan hitam, nDo...” *****
“Begitu piye to, Kang?” Mas Bendo ora mudheng, tidak mengerti.
“Artinya,” Kang Karib tetap mendempetkan dua jarinya, ”selisih suara, siapa pun yang menang nanti, Jokowi atau Prabowo, ya hanya seperti perbedaan tinggi jariku ini. Tipis sekali.”
“Wah, kalau begitu, apa tidak akan menimbulkan 'keributan', Kang? Paling tidak akan berbuntut tuntutan pemilihan ulang seperti saat Pilgub Jatim dulu?”
“Ya, karena terdiri dari dua pasang yang bertarung, pastilah pemenang langsung bisa ditentukan. Artinya pasti ada kan yang menang 50% plus satu. Artinya lagi, harus ada yang legawa mengakui kekalahannya.”
“Ya nggak segampang itu, Kang? Orang nyalon lurah tapi gak jadi saya habis banyak, je. Lha apalagi ini nyalon presiden, pastilah biaya untuk itu buanyak sekali. Apalagi Pak Prabowo sudah dua kali ini maju, ya sepertinya ngebet sekali ingin menang.”
“Jangan begitu, nDo” cegah Kang Karib. “Apa kamu pikir pak Jokowi itu juga gak ngebet?. Iya kan? Siapa pun yang maju, boleh saja punya ambisi, tetapi janganlah terlalu ambisius.”
“Makanya, agar menang, ada yang sampai memakai kampanye hitam ya, Kang.?”
“Iya, tetapi tentu kita tidak tahu siapa sebenarnya oknum yang menghembuskan black campaign itu. Iya, to?! Masing-masing tim sukses tidak ada yang mengaku melakukannya, dan masing-masing menyadari tidak ada gunanya berkampanye secara hitam begitu. Itu malah bisa merugikan.”
“Apa yang melakukan itu hanya simpatisannya, Kang?”
“Bisa jadi begitu,” sahut Kang Karib. “Bisa jadi juga tidak begitu.”
“Tidak begitu piye to, Kang?”
“Ya, bukan tidak mungkin kan isu yang beredar di kalangan bawah hadir by design. Ada 'orang pintar' yang sengaja membakar akar rumput.”
“Tapi bukankah masyarakat kita sudah makin cerdas dalam berdemokrasi, Kang? Buktinya, dalam Pileg kemarin. Malah para caleg yang kelihatan kurang cerdas, pakai ngasih-ngasih duit, eh, cuma diambil duitnya, pas coblosan, orang tetap milih sesuai kata hati sendiri.”
“Itu yang 'cerdas'. Tetapi ingat, nDo. Yang belum begitu cerdas kan juga ada. Sekalipun tak terlalu banyak, yang fanatik mutlak kan juga ada,” terang Kang Karib. “Nah, kelompok ini yang bahaya.”
“Sebahaya apa sih, Kang?”
“Ibarat kata, orang-orang di atas itu sedang menggosok kayu untuk membikin api seperti jaman purba dulu. Yang di atas kan cuma memutar-mutar telapak tangan, yang kebakar kan yang di bawah, yang akar rumput...”
“Dan si pembakar itu masuk dalam jajaran tim sukses di masing-masing pasangan calon, begitu?”
“Kalau tidak ketahuan ya begitu, tetapi kalau ketahuan pastilah ia dijadikan kambing hitam yang dituduh bermain solo, tanpa ada komando.”
“Kalau begitu, sepanas apapun suhu politik negara kita hari-hari ini, kepala kita harus tetap dingin ya, Kang?”
“Betul,” Kang karib mengiyakan. “menelan mentah-mentah semua kampanye hitam hanya akan membuat otak kita ikutan hitam, nDo...” *****
Minggu, 25 Mei 2014
U n d a n g a n
SEMASA
hidupnya, di kampung dulu, paman saya punya cara khas dalam
memperlakukan undangan yang telah diterimanya. Ia mencantolkan pada
paku undangan-undangan itu pada saka, kayu tiang utama rumah
tuanya. Karena tiang itu persis ada di antara ruang tamu dan ruang
tengah, orang akan dengan mudah mendapati lembar-lembar undangan itu.
Dari yang paling baru sampai yang telah lama. Untuk mencari tahu yang
lama juga bukan perkara sulit, bila warna kertasnya telah usang, ya
itulah ia. Iya, bahkan undangan yang telah lama dihadirinya pun masih
saja disimpan paman. Untuk apa? Untuk kebanggaan karena sebagai tanda
orang blater, banyak kenalan yang telah pernah mengundangnya?
Entahlah.
Perilaku itu barangkali sama dengan kebiasaan seorang teman yang menyimpan bekas bungkus rokoknya pada jendela kamar. Ditata sedemikian rupa sampai jendela itu tertutup olehnya.
Undangan untuk menghadiri hajatan, bulan-bulan ini, Rajab sampai Sya'ban nanti, datang silih berganti. Orang menganggap sekarang saat bagus untuk menggelar pernikahan atau khitanan. Yang berarti waktu bagus pula bagi bisnis persewaan alat-alat pesta, tukang sound system dan tentu saja pencetak undangan.
Sekarang makin jarang ditemui undangan dengan tulisan tangan yang dibeli orang di toko dengan kolom waktu/tanggal, nama mempelai dan hiburan dalam bentuk kosongan, sehingga calon shohibul hajjat harus mengutus orang dengan tulisan tangan yang bagus untuk mengisinya. Sekarang semua telah tercetak rapi, lengkap dengan foto pre wedding mempelai. Tentu saja harga menentukan rupa. Semakin mahal harga per helai undangan, semakin bagus pula tampilan dan bahannya.
Di kampung saya dulu, sekali pun telah diberi undangan, saat manggulan (satu hari menjelang hari H), shohibut hajjat masih pula mengirimi para calon tamunya itu dengan makanan lengkap dengan lauk dan kuenya, tradisi itu dinamakan tonjokan. Bukan hanya makanan, ada pula yang menyertakan sebungkus rokok dalam selembar undangan. Dengan itu semua, calon tamu akan merasa lebih sungkan tidak datang bila sudah ditonjok begitu. Ibarat kata, sudah menjadi fardu 'ain.
Begitulah; menghadiri undangan hajatan, tamu datang selalu tidak dengan tangan kosong. Walau dalam undangan selalu ditulis 'mengharap kehadiran untuk memberikan doa restu', para tamu sudah faham betul kalau kotak dengan hiasan renda berwarna keemasan yang diletakkan di dekat pintu masuk itu bukan wadah untuk mencemplungkan doa. *****
Perilaku itu barangkali sama dengan kebiasaan seorang teman yang menyimpan bekas bungkus rokoknya pada jendela kamar. Ditata sedemikian rupa sampai jendela itu tertutup olehnya.
Undangan untuk menghadiri hajatan, bulan-bulan ini, Rajab sampai Sya'ban nanti, datang silih berganti. Orang menganggap sekarang saat bagus untuk menggelar pernikahan atau khitanan. Yang berarti waktu bagus pula bagi bisnis persewaan alat-alat pesta, tukang sound system dan tentu saja pencetak undangan.
Sekarang makin jarang ditemui undangan dengan tulisan tangan yang dibeli orang di toko dengan kolom waktu/tanggal, nama mempelai dan hiburan dalam bentuk kosongan, sehingga calon shohibul hajjat harus mengutus orang dengan tulisan tangan yang bagus untuk mengisinya. Sekarang semua telah tercetak rapi, lengkap dengan foto pre wedding mempelai. Tentu saja harga menentukan rupa. Semakin mahal harga per helai undangan, semakin bagus pula tampilan dan bahannya.
Di kampung saya dulu, sekali pun telah diberi undangan, saat manggulan (satu hari menjelang hari H), shohibut hajjat masih pula mengirimi para calon tamunya itu dengan makanan lengkap dengan lauk dan kuenya, tradisi itu dinamakan tonjokan. Bukan hanya makanan, ada pula yang menyertakan sebungkus rokok dalam selembar undangan. Dengan itu semua, calon tamu akan merasa lebih sungkan tidak datang bila sudah ditonjok begitu. Ibarat kata, sudah menjadi fardu 'ain.
Begitulah; menghadiri undangan hajatan, tamu datang selalu tidak dengan tangan kosong. Walau dalam undangan selalu ditulis 'mengharap kehadiran untuk memberikan doa restu', para tamu sudah faham betul kalau kotak dengan hiasan renda berwarna keemasan yang diletakkan di dekat pintu masuk itu bukan wadah untuk mencemplungkan doa. *****
Sabtu, 10 Mei 2014
Kepekaan Set Top Box
![]() |
Si C dan si D milik saya. Tetapi tentu saja penilaian seperti yang saya tulis di artikel di samping ini adalah subyektif semata. Jadi, pilihan tentu terserah Anda. |
Perkara
harga, di pasaran bisa didapati set top box mulai dari 300 ribu
kurang sekian sampai dengan 400 ribu lebih sekian.
Saya
mempunyai empat set top box mulai harga terendah sampai yang lumayan
tinggi. Agar tidak menyebut merek, saya namai set top box saya itu
mulai dari A, B, C dan D. Untuk yang A, karena barang itu baru
berkelas DVB-T, tentu sekarang ia menjadi pengangguran karena siaran
televisi digital yang ada sekarang ini semua telah memakai teknologi
DVB-T2. Untuk yang B, sekalipun sudah berkelas DVB-T2, tepat setahun
saya gunakan, tuner-nya sudah mati plethes. Ia, karenanya,
lalu saya jadikan satu dengan si A agar istirahat dengan tenang di
atas lemari. (Sekalipun begitu, sebenarnya si A dan si B sesekali
masih saya pakai untuk memutar film via USB/flashdisk yang saya rekam
memakai set top box).
Artikel terkait: tracking tv satelit itu relatif tak sulit.
Artikel terkait: tracking tv satelit itu relatif tak sulit.
Nah,
yang masih aktif saya pakai sekarang ini adalah si C dan D.
Si C
adalah merek yang populer di pasaran. Dibanding keluaran terbaru yang
sudah EWS dengan bentuk bodi yang makin mini, punya saya itu masih
keluaran pertama yang belum multi view. Bagaimana dengan
kekuatan tuner-nya?
Begini
ceritanya. Dengan memakai si C itu, siaran yang bisa diterima di
Surabaya ini adalah MUX 506MHz/Ch.25 (MetroTV dkk), lalu 522MHz/Ch.27
(TransTV, Trans|7 dan KompasTV), 586MHz/Ch.35 (TVRI_NAS_
TVRI_SURABAYA, TVRI_3 DAN TVRI HD). Itu saja yang bisa dinikmati
dengan sempurna. Sementara MUX 490MHz/Ch.23 (tvOne dan antv) sudah
dua minggu ini menghilang dari udara. Sedangkan untuk MUX
538MHz/Ch.29 (SCTV NETWORK, INDOSIAR NETWORK, O CHANNEL NETWORK, Live
Feed $ dan Elshinta Radio $, sekaipun ada sinyal, tetapi gambar di
layar seperi kaset CD rusak). Lain lagi dengan MUX 634MHz/Ch.41
(RCTI, MNCTV, GlobalTV) sekalipun sinyal ke-detect, tetapi tidak bisa
di-lock.
Tadinya
saya duga MUX SCTV dkk dan MUX RCTI dkk itu secara power belum
memakai secara penuh, sehingga belum bisa ditangkap dengan sempurna.
Tetapi, “Tidak, Mas. Di daerah saya sinyalnya bagus itu. Saya pakai
set top box merek D,” komentar teman saya lewat ponsel.
Dan
benarlah adanya yang dibilang seorang teman itu. Setelah saya mencoba
memakai set top box merek D, dengan antena yang sama + pesawat
televisi yang juga sama, kedua sinyal dari MUX yang oleh set top box
merek C tidak bisa diterima dengan sempurnya, bisa ditampilkan dengan
bagus sekali. Padahal, secara harga, si D ini selisihnya lebih murah
25 ribu dibanding si merek C.
Yang
ingin saya katakan adalah, kepekaan tak selalu berbanding lurus
dengan kemahalan harga sebuah set top box. Bagaimana menurut pengalaman Anda?
*****
Baca juga:
- Pilih Beli DVB-T2 atau DVB-S2?
- Tips Membeli Set Top Box
- Selamat Tinggal TV Digital Terrestrial
Jumat, 25 April 2014
Terpaksa Ikhlas
SEDIKIT
demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Istilah ini bisa disertakan
dalam semangat menabung, juga untuk hal lain. Korupsi, misalnya. Dan
korusi itu, sepertinya, tak melulu dilakukan oleh orang besar dengan
nominal yang besar. Tetapi juga oleh orang kecil dengan besaran yang
tak seberapa. Tetapi, sekecil apapun nilai, akan membesar akhirnya
bila dilakukan secara terus-menerus dalam jangka yang lama mengacu
pada rumus 'sedikit demi sedikit' tadi.
Tak
perlu terlalu mengerutkan kening untuk mencari contoh yang beginian
ini.
Untuk
sebuah keperluan, kemarin siang saya mendapat tugas ke kantor Dinas
Lingkungan Hidup Pemkot Surabaya. Setelah itu mampir ke Pasar
Elektronik Genteng untuk lihat-lihat reciever DVB-T2 lanjut ke PMI
untuk donor darah. Di ketiga tempat itu hal yang saya catat adalah
soal parkir.
Pertama,
saat akan ke kantor Dinas LH, saya memarkir si Nenen (begitu
si bungsu menyebut SupraX 125 tunggangan saya ini) di seberang
warung sate di seberang perkantoran Pemkot tidak jauh dari Puskesmas
Ketabang. Seorang lelaki tua bertubuh bongkok berompi hijau
menghampiri dan menyerahkan selembar karcis parkir. Tertera disitu
tarifnya; limaratus rupiah.
Tetapi
setelah urusan saya di Dinas Lingkungan Hidup selesai dan saya
mengambil motor, selembar duaribuan yang saya serahkan langsung masuk
saku tanda ada kembalian. Harusnya saya minta kembalian
seribu limaratus sebagai hak saya sebelum pergi meninggalkan lelaki
tua berkulit hitam karena saban hari kepanasan itu. Tetapi demi
melihat lelaki bongkok yang masih semangat bekerja di usianya yang
tak lagi muda itu, saya memilih untuk berbaik hati; mengikhlaskannya
saja.
Kedua,
setelah melihat-lihat di lantai dua pasar Genteng, di tempat parkir
saya membayar. “Duaribu, Pak,” kata si tukang parkir, kali ini
usianya masih muda.
“Lho,
bukannya di karcis tertera seribu rupiah?” saya protes.
“Iya,
Pak. Tetapi duaribu,” katanya teguh pendirian.
Iya,
wis. Sekali lagi saya mengalah. Jaman sekarang, uang seribu dapat
buat beli apa sih?
Ketiga,
sebelum balik ke tempat kerja, saya ke PMI. Selepas donor darah, di
tempat parkir, saya menyerahkan karcis dengan tanpa saya sertai uang.
Karena di kertas parkir memang tertulis; gratis. Tetapi, seorang yang
mengambil motor sebelum saya, terlihat menyertakan uang seribu rupiah
ke tukang parkir PMI di Embong Ploso ini.
Begitulah.
Diantara betir-butir keringat tukang parkir, ada 'rezeki tambahan'
yang terus mengalir. Padahal, selembar karcis resmi, bisa dipakai
berulang-ulang kali. Lalu, kemana kelebihan pembayaran itu menuju?
Dan berapa jumlah rupiah yang harus mereka setorkan ke pihak yang
berwenang?
Kekurangan
kembalian dari yang dibayarkan, karena jumlahnya tidak seberapa,
kadang dengan terpaksa diikhlaskan. Tetapi apakah sebentuk keikhlasan
namanya bila itu dilakukan dengan terpaksa? *****
Rabu, 23 April 2014
Cak Lontong yang Sedang Kinclong
DIBANDING
teman sekantor yang lain, lelaki berpostur tinggi besar itu termasuk
yang berpenampilan paling santai. Sudah begitu, tutur katanya pun
sering mengundang tawa. Saya mengenalnya sebagai Pak Hartono (saya
tidak tahu nama depan dan atau nama belakangnya).
Setiap
pagi, kedatangannya selalu saya tunggu. Ya, karena dulu di kantor
tidak berlangganan koran, sementara Pak Hartono selalu datang membawa
koran, barang itu selalu jadi rebutan. Tetapi, “Sini, sini,”
katanya sambil mengambil kembali lembar-lembar koran yang sudah kami
pegang per segmen. Lalu, dikumpulkanlah lagi untuk kemudian
distaples, “Nah, begini supaya tidak terjadi dis-integrasi,” ujar
Pak Hartono.
Salah
seorang teman blogger (sebagaimana kebanyakan pembaca pada umumnya)
suka yang namanya cerita 'luar duga'. Dalam berbincang santai sebelum
jam kerja dimulai, si Pak Hartono ini sering juga memakai teknik itu.
Misalnya, suatu hari ia bilang, 'jangan lihat siapa yang bicara,
tetapi telaahlah apa yang dibicarakan'. Karena, “Kalau mutiara,
sekali pun keluar dari mulut anjing, ya tetap...”
“Mutiara,”
sahut saya spontan menyambar kalimat yang digantung itu.
“Tetap
anjing yang mengeluarkan,” dengan intonasi yang khas, yang terlihat
tidak ngawaki sama sekali, Pak Hartono mengoreksi jawaban
saya.
Lama
sudah saya tidak berjumpa langsung dengan Pak Hartono. Terakhir
ketemu, pas melayat meninggalnya Pak Widodo dan kami mengantarkan
jenazah sampai ke pemakamam Dinoyo, Surabaya. Tetapi, sekali pun
begitu, saya masih bisa melihat aksi Pak Hartono di layar kaca.
Mula-mula di JTV saat main bareng grup ludruk Tjap Toegoe Pahlawan.
Saat itu Pak Hartono sudah tidak bekerja lagi di tempat kerja saya
ini. Dari televisi lokal di Surabaya, lama-lama saya lihat ia bisa
menembus televisi nasional di Jakarta. Di TVRI, di tvOne, di MetroTV
di KompasTV, dan yang lagi kinclong sekarang ini adalah penampilannya
di Indonesia Lawak Klub Trans|7.
Hartono?!
Di ILK? Ah, gak ada tuh!
Sebentar, saya lanjutkan dulu ceritanya.
Sebentar, saya lanjutkan dulu ceritanya.
Ketika
bekerja di tempat ini dulu, tidak jarang ia masuk kantor hanya
bersandal. Jan santai tenan pokoknya. Kalau tidak salah,
sedannya agak butut, warnanya abu-abu, yang kalau saya intip ke jok
belakang, tidak jarang ada baju pentas di situ; hitam dengan renda
kuning keemasan. Entah itu kostum apa. Tetapi mengingat posturnya
yang tinggi begitu, kalaulah jadi Punakawan, pantesnya ia memerankan
Petruk. Pada kaca belakang sedannya, tertera identitas yang menjadi
nama artis-nya sekarang ini; Cak Lontong.
Di acara
yang jelas terlihat sebagai parodi dari Indonesia Lowyers Club-nya
tvOne itu, jelas sekali gaya pak Hartono, eh Cak Lontong ding,
berbeda sekali dengan lawak yang lain. Permainan kata yang cerdas,
pengungkapan hasil survei yang ngawur tapi menghibur, sungguh menjadi
magnet dari ILK itu sendiri. Makanya tidak heran kalau hasil survei
Cak Lontong selalu ditampilkan agak di belakang, sebagai gong dari
ILK.
Setiap
masa ada pahlawannya, sebagaimana setiap pahlawan ada masanya. Di
dunia keartisan televisi berlaku pula hukum itu. Dulu pernah saya
teliti, di jaman keemasannya Bukan Empat Mata-nya Tukul, dari sepuluh
tetangga yang saya survei, tujuh diantaranya memutar Trans|7,
sementara tiga lainnya numpang nonton disitu. (ih, niru Cak Lontong
ya?)
Tetapi
tabiat televisi selalu berulang, ketika rating sebuah acara sedang
menjulang, durasi acara ditambah dengan waktu tayang yang saban hari.
Sebuah kondisi yang bisa melahirkan kebosanan. Sebagus-bagusnya
program Golden Ways, atau Kick Andy, atau apapun itu, bila ditayang
seminggu penuh, tentu pemirsa menjadi jenuh. Hal ini yang harus
disadari tim kreatif ILK. Karena, sebagaimana lawakan di layar kaca,
sebuah materi atau celetukan humor yang menjadi tidak lagi lucu bila
dipakai di lain hari.
Untuk
Cak Lontong, selamat. Karir Anda makin kinclong. Salam lemper. *****
Kamis, 27 Maret 2014
Caleg = Calon 'Legrek'
BERTANYALAH
kepada siapa pun; presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil
gubernur, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah itu secara jabatan
tinggi siapa. Jelas tinggi presiden, gubernur, kepala sekolah
ketimbang para wakilnya. Maka tidak mengherankan bila si wakil
menginginkan pula jabatan yang di atasnya. Pak JK yang pernah nyapres
melawan SBY di Pilpres tahun lalu, atau Dede Yusuf yang memilih
'pisah' dari sang Gubernurnya demi merebut jabatan itu pada Pilgub
Jabar beberapa waktu yang lalu.
Beberapa
contoh yang saya sebut di atas secara logika sungguh bisa diterima.
Tetapi ada satu hal yang secara nalar (walau umum, tetapi) agak bisa
didebatkan, yakni; beberapa rakyat yang justru ingin 'turun pangkat'
menjadi wakil. Ya, wakil rakyat. Dan demi untuk menjabat sebagai
wakil itu, si calon (lazim disebut caleg) melakukan aneka cara yang
tentu saja semua mengandung biaya.Cetak poster, sepanduk, iklan
radio/televisi dan atau menyumbang baju seragam ibu-ibu pengajian,
memberangkatkan 'simpatisan' ke tempat-tempat ziarah keagamaan dan
sebagainya. (Yang termasuk dalam 'dan
sebagainya' itu antara lain, ongkos ke 'orang pintar'. Termasuk beli
uba rampe;
kembang tujuh rupa atau kain mori atau perjalanan ke sebuah sendang
untuk mandi kembang tengah malam.)
Tengoklah
di setiap pinggir jalan raya; wajah-wajah yang selama ini tidak
dikenal mengenalkan diri dengan cara (yang kadang) mengenaskan.
Dengan pose foto yang dipilih –menurut diri sendiri-- sebagus
mungkin, dengan slogan yang dibikin semenarik mungkin. Dan, apakah
dengan memasang baliho gambar-gambar mereka itu elektabilitas mereka
lantas menjadi menanjak? Belum tentu. Masyarakat sudah teramat cerdas
(baca: apatis) menyikapi kebaikan instan yang mereka pamerkan.
Ada
istilah; tidak ada makan siang yang gratis. Terlebih untuk menjadi
caleg. Pastilah duit besar disebar demi biaya untuk itu. Kalau lalu
benar-benar jadi anggota legislatif tentu ada kemungkinan untuk
melakukan 'balas dendam' demi baliknya modal. Tetapi bagaimana kalau
sudah keluar uang banyak tetapi tidak terpilih? Kalau semua uang itu
dari kantong sendiri sih agak tidak apa-apa, bagaimana, coba,
kalau duit itu hasil dari pinjam?
Untuk
mengantisipasi hal itu, dalam sebuah running text di televisi, ada
berita; sebuah rumah sakit mempersiapkan 333 tempat untuk merawat
caleg stress. Entah mengapa dipilih angka cantik kembar tiga begitu.
Lagi pula kenapa 333, kok tidak 666 atau 999?
Kalau
begitu, secara iseng saya artikan caleg itu selain berarti calon
legislatif, adalah juga sebagai calon legrek, remuk. Remuk
lahir, remuk batin. *****
Selasa, 25 Maret 2014
Penampakan O CHANNEL di Surabaya
![]() |
Foto-foto: oleh Edwin untuk Ayahnya. |
SAMPAI
pagi tadi saya lihat, siaran yang tertangkap ketika saya scan secara
auto, di Surabaya ini, masih tetap 13 channel. Yaitu; antv dan tvOne
(490MHz/Ch.23), TransTV, Trans|7 dan KompasTV (522MHz/Ch.27), SCTV
Netrwork, Indosiar Network, O Channel Network dan Live Feed
(538MHz/Ch.29), TVRI_3, TVRI_NAS, TVRI_SURABAYA dan TVRI HD
(586MHz/Ch.35).
Sementara,
dua MUX lagi, yaitu milik MetroTV (506MHz/Ch.25) dan milik grup MNC
(634MHz/Ch.41) sampai hari ini masih belum muncul lagi. Eh, tidak
ding. Walau tidak bisa nyangkut kala dicari secara auto,
sinyal dari channel 41 (yang dihuni oleh RCTI, MNCTV dan GlobalTV)
itu sudah muntup-muntup terlihat (lagi) kala dicari secara
manual setelah sekian lama sama sekali tak terdeksi Tetapi ketika
di-lock, ia sama sekali tidak bisa. Padahal jarak rumah saya di
Rungkut ini dengan pemancar milik MNC di Surabaya Barat sana tak
lebih dari 20km. Perkiraan saya, MNC sedang belum memakai power yang
memadai untuk siaran di kanal digital ini.
![]() |
Sekalipun
sudah bisa ditangkap kala di-scan secara auto, bukan berarti MUX
milik grup Emtek (SCTV dkk itu) sudah bisa dinikmati dengan nyaman di
layar kaca. Ya, suara dan gambar mereka masih jauh dari kata
sempurna.
Sepertinya,
pemirsa yang sudah kadung membeli set top box masih harus
menunggu (entah untuk berapa waktu lamanya) saat ketika layar kaca
dipenuhi saluran televisi yang beraneka ragam dengan kualitas gambar
dan suara yang cling. Walau, ada juga sih yang ragu apakah
program migrasi ini masih akan terus dilakukan ketika pemerintahan
kita nanti berganti. Bukankah bukan rahasia lagi ketika pejabat
berganti, berganti pula aturan dan kebijakan?
![]() |
Begitu
jugakah yang mesti dialami digitalisasi televisi? Jawabnya adalah
jelas: jangan! Banyak orang bilang kita negara besar, dengan kekayaan
yang berlimpah, SDM-nya berkualitas, tetapi, untuk perkara televisi,
kita kalah sama negara macam Thailand atau Myanmar. Masihkah kita
rela mempertahankan kekalahan itu di saat untuk hal lain kita juga
sering kalah?
Baiklah,
saya yang di Surabaya ini (setelah penampakan O Channel) menunggu
pula kehadiran BeritaSatu, MIX, SportOne, DocumentaryOne, Inspira,
dsb, dst.
Bagaimana
dengan Anda? *****
Senin, 24 Maret 2014
Hati-hati Sugesti
JUMAT
pagi 21 Pebruari itu seorang teman membawa kue ke tempat kerja. Kue
lunak berbentuk kotak dibungkus plastik mika dengan staples sebagai
pengancingnya. Saking lunaknya, tanpa peran gigi, dengan hanya
menekan lidah ke langit-langit mulut saja sudah hancur ia. Saya tak
bertanya apa nama kue berwarna hijau itu. Tetapi saya suka sekali
rasanya. Untuk itu, karena masih ada banyak di meja, saya ambil untuk
kedua kalinya. Keburu ingin menikmatinya lagi, saya ceroboh dalam
membukanya; langsung saya tarik begitu saja. Dengan ukurannya yang
mungil, gigitan ketiga adalah sudah untuk yang terakhir. Dan saat
itulah saya celaka. Pada telanan terakhir itu, saya rasa ada sesuatu
yang menyenggol tenggorokan. Pikiran saya langsung jelek; yang
menyenggol tenggorokan tadi itu adalah isi staples. Duh, apes!
Saya
lihat plastik mika yang masih saya pegang, tidak ada isi staples di
situ. Makin curigalah saya, bahwa yang ikut tertelan tadi itu adalah
isi staples.
Kecurigaan
itu tanpa saya sadari berubah wajah menjadi sugesti. Ia selalu
menari-nari dalam alam bawah sadar saya tentang isi staples itu yang
kini mungkin sedang berada di dalam lambung. Dan sugesti itu makin
menjadi manakala saya tanya ke Mbah Google tentang kemungkinan apa
yang terjadi bila isi staples yang bersarang di dalam perut saya.
Menakutkannya lagi, kata Mbah Google, benda itu akan karatan dan
membuat lambung akan sangat menderita.
Hari
berikutnya perhatian saya sebagian besar kepada isi perut. Setiap
geliat di dalamnya tak pernah luput dan pikiran membumbuinya dengan,
“Jangan-jangan. Jangan-jangan...”
Nah,
ternyata, semakin saya perhatikan (dengan kepekaan yang saya tambah
tensinya), segala apa yang menggeliat di perut selalu saya curigai
sebagai efek dari isi staples itu. Termasuk sedikit saja usus
bergerak, atau rasa celekit di dalamnya. Sebuah rasa yang barangkali
di saat normal (dan saat saya tak peduli dengan setiap geliatnya),
itu sama sekali tak terasa.
Hari
terus berjalan, dan saya mencari lagi info yang berkaitan dengan bila
isi staples masuk ke dalam lambung. Syukurlah, dalam salah satu yang
disajikan mbah Google, ada yang sedikit menentramkan. Bahwa, setajam
apa pun benda yang masuk ke dalam lambung, ia akan dipaksa keluar
oleh lambung menuju saluran pembuangan dan diikutkan keluar bersama
rombongan kotoran. Untuk menyaksikan apakah benda itu sudah keluar,
satu-satunya cara adalah dengan mengorek (maaf) 'pisang goreng'
sebelum disiram masuk ke septic tank.
Sayangnya,
ini baru saya ketahui jauh setelah isi staples itu saya curigai ikut
tertelan. Karenanya tak mungkinlah saya membongkar septic tank demi
untuk mencari sibiji kecil barang sialan itu.
Itu hal
lain. Tetapi, sisi positifnya, dengan membaca artikel itu,
pelan-pelan sugesti saya tidak terlalu negatif seperti halnya sugesti
yang pertama. Yang kedua ini, membuat saya mumupuk keyakinan bahwa
isi staples itu telah beristirahat dengan tenang di ruang bawah tanah
(baca: septic tank).
Tentu
saja agar yakin, saya bisa melakukan foto x ray demi
memastikan apakah isi staples itu masih menginap di lambung saya atau
tidak. Tetapi, saya termasuk orang yang tidak ingin biyaya'an
mencari biaya untuk itu. (Ah, jelek ya sifat saya ini.)
Karena
hal ini, saya menjadi harus makin hati-hati dengan sugesti. Apa yang
terus ada di alam bawah sadar, bisa membias di alam sadar. Dan itu,
kalau terus-terusan terjadi, bisa menjadi suatu kenyataan. Makanya
saya pernah mendengar seorang motivator berujar; segala apa yang
diyakini diri sendiri, hal itu pulalah yang akan terjadi. Bila
belum-belum saja seseorang sudah merasa tidak mampu, maka akan
betul-betul tidak mampulah seseorang itu.
Sekali
lagi, saya harus lebih berhati-hati dalam mensugesti diri sendiri.
*****
Sabtu, 22 Maret 2014
'Elshinta' itu RRI ?
DALAM
sehari, saya selalu menyempatkan diri untuk men-scan baik
secara auto atau manual sinyal televisi dgital lewat set top box merek
Get****m yang saya punya. Berharap jumlah channel bertambah, dan
tidak melulu yang di Surabaya ini telah pula dapat dinikmati di jalur
analog. Kalau siaran itu sudah ada di analog, kesannya kurang mantap.
Lagian, dari rumah saya ini, sinyal analog masih relatif bisa
diterima secara baik dan benar.
Syukurlah,
harapan itu terkabul walau belum maksimal betul. Paling tidak, meski
sinyalnya masih belum stabil (membuat gambar dan suara putus-putus)
ada O Channel yang 'digendong' MUX-nya SCTV/Indosiar Network
di kanal/frekuensi 538MHz/Ch.29. Itulah yang saya maksud. Selama ini,
di kanal analog, O Channel itu belum ada di Surabaya.
![]() |
Hasil scan via STB Getmecom. Foto oleh Edwin untuk Kedai Kang Edi. |
Nah,
ketika saya buat sebagai status di sebuah akun grup Efbi
tentang televisi digital Jogja-Jateng masih ada yang kurang ngeh
tentang keberadaan siaran radio di kanal televisi digital. Bagi saya,
hal ini juga hal baru. Karena, selama lebih kurang setahun ini, belum
pernah menemui ada sinyal digital juga disertai siaran radio. Ya,
baru di MUX-nya SCTV dkk ini ada radionya. Di layar tertera
Elshinta Radio.
Seperti
siaran SCTV, Indosiar dan O Channel yang masih
megap-megap, siaran radio 'Elshinta' ini pun suaranya juga masih
timbul-tenggelam. Malah, kalau di program biasa tidak bakalan muncul
ia. Tetapi ketika saya setting ke menu EPG di sisi radio (sisi
kanan), si radio 'Elshinta' itu baru muncul suaranya. Itu pun setelah
volume televisi saya naikkan ke angka 45.
Nah,
baru di saat itulah, saat suara radio bisa saya dengar itu, saya tahu
kalau yang namanya 'Elshinta Radio' itu di jalur televisi digital
yang keluar malah suaranya RRI Programa1 Jakarta. Nah lho!
Bagi
saya ini hal aneh. Sebagai sesama Lembaga Penyiaran Publik (LPP),
bukankah lebih masuk akal kalau RRI itu ikut MUXnya TVRI? Juga,
kenapa coba, di layar jelas-jelas tertera nama Elshinta. Kalau benar
Elsinta sih nggak apa-apa. Orang (kalau tidak salah) antena
pemancarnya untuk wilayah Surabaya ini juga gabung di towernya
Indosiar kok. *****
Sabtu, 01 Maret 2014
Politik 'Wani Piro?'
“PEMILU
kurang sebentar lagi, tetapi suasana masih adem-ayem ya, Kang,”
kata Mas Bendo yang hari ini mengenakan kaos tipis bergambar caleg
berkumis.
Kang
Karib yang sedang keenakan oleh liukan cotton bud di liang
telinga tak menyahut.
“Padahal
dulu, di jaman aku kecil, menjelang Pemilu begini hawanya sudah
gimanaa gitu,” lanjut Mas Bendo. “Hidup bertetangga menjadi
kurang akrab bila beda partai. Sampai pada tingkat satru, soker,
atau tak saling menyapa. Sekarang? Mbelgedhes apa...”
“Itu,
“kata Kang Karib sambil membuang cutton bud dan agak mencium
aroma di tangannya, “masyarakat sudah cukup dewasa dalam menyikapi
perbedaan pilihan politik, nDo.”
“Bukan
dewasa, Kang, tapi mblenek, muak,” Mas Bendo menyahut. “Pas
butuh suara saja merengek-rengek ke rakyat, pas giliran sudah jadi,
uh pret apa.”
:”Jangan
skeptis begitu, nDo,” potong Kang Karib. “Apa pun kenyataannya,
Pemilu itu pesta demokrasi, nDo.”
“Dan
tiada pesta yang gratis kan, Kang?”
“Itulah
makanya, kita harus kawal pesta itu, yang memakan biaya mahal itu,
agar tidak keliru dalam memilih orang yang tak kompeten duduk di
parlemen, yang katanya mewakili kita itu. Untuk itu, kita harus
gunakan hak pilih, jangan golput..”
“Lho,
bukannya golput itu juga pilihan, Kang?”
“Iya,
tetapi dengan golput, itu sama artinya kita memberi peluang caleg
yang tidak mutu menjadi penentu kebijakan. Apa jadinya, coba, bila
negera diurus oleh orang yang remuk isi otaknya. Kacau kan?”
“Jadi,
selama ini, kekacauan segala hal di negeri ini karena diurus oleh
orang yang Sampeyan bilang tadi?”
“Bisa
jadi.”
“Jadi,
para caleg yang ngebet ingin jadi dan untuk itu ia menggunakan aneka
cara, termasuk main uang, adalah indikasi punya otak begitu?”
Kang
Karib diam.
“Itulah,
Kang. Saya kok sangsi bila di baliho si caleg menegaskan
mengabdi sepenuh hati untuk negeri, tetapi demi duduk di kursi dewan
ia melakukan money politics atau semacamnya, bukankah di dalam
itu perlu dicurigai ada terselip kalkulasi ekonomi; modal sekian,
harus balik sekian. Jadi, wajar juga kan bila rakyat menjadi tak
terlalu fanatik kepada partai. Lagian, orang partai itu kan bisa
loncat sana loncat sini. Kali ini di partai biru, Pemilu depan di
partai oranye.”
“Itulah
pentingnya pendidikan politik, nDo. Pemilih yang cerdas bisa memilih
pemimpin berkualitas.”
“Oke,
Kang. Sambil menunggu itu terwujud, jangan salahkan rakyat punya
pakem sendiri dalam menyikapi setiap Pemilu. Tak peduli partai apa,
aliran politiknya bagaimana, tokoh-tokohnnya siapa, 'harga' yang
bicara. Yang penting; Wani piro?” *****
Selasa, 04 Februari 2014
Pelajaran dari Tepi Jalan
DUA bulan yang lalu di kawasan itu masih berjajar tukang knalpot membuka usaha. Kini, setelah di bawah tempat mereka ditanam box culvert, entah kemana para penjual knalpot itu berada. Tempat dimana dulu mereka menawarkan barang dan jasa telah rata dan bersih. Saya kira, setelahnya, seperti di tempat-tempat lain di kota ini, akan dibangun trotoar berlantai keramik tempat para pejalan kaki nanti mengayun langkah.
Ya, di kanan-kiri jalan Mayjen Sungkono sedang ditata sedemikian rupa. Selain agar makin nyaman dipandang, digunakan sesuai peruntukan, box culvert itu juga sebagai sarana mengatasi banjir yang rutin melanda jalan itu. Dan, ketika daerah lain banyak yang terendam banjir, syukurlah, kota pahlawan masih terbilang aman.
Setiap sore, sepulang kerja, di pinggir jalan Mayjen Sungkono, di tempat dimana dulu para tukang knalpot berada, senantiasa saya lihat seorang ibu dengan anak lelakinya yang tuna netra. Pada sepeda anginnya saya lihat seonggok tas besar selalu dibawa. Entah si Ibu itu berjualan apa. Yang jelas, pada jam empat sore, saya lihat Ibu-Anak itu selalu telah ada di situ.
Yang juga saya sering lihat, ada seorang perempuan berjilbab berhenti menemui mereka. Membuka bawaan makanan, dan dengan penuh kasih menyuapi si anak. Tiada rasa canggung saya dapati. Sementara, sambil mengunyah, si anak tampak tersenyum sambil memegang minum yang juga dibawakan si perempuan baik hati itu. Sebuah senyum yang lahir alami sebagai reaksi dari sebuah interaksi.
Pada titik itu, timbul iri dalam hati. Betapa di jaman yang orang serba begitu mudah pamer akan segala hal yang tak penting diketahui orang lain (lewat status, twitpic dll.), masih ada saja orang yang tak terangsang untuk latah bernarsis-ria. Peduli pada sesama tanpa peduli apakah kepedulian itu dipedulikan orang lain atau tidak.
Seperti perempuan berjilbab itu, siapa pun kita pasti mampu berbuat baik kalau mau. *****
Ya, di kanan-kiri jalan Mayjen Sungkono sedang ditata sedemikian rupa. Selain agar makin nyaman dipandang, digunakan sesuai peruntukan, box culvert itu juga sebagai sarana mengatasi banjir yang rutin melanda jalan itu. Dan, ketika daerah lain banyak yang terendam banjir, syukurlah, kota pahlawan masih terbilang aman.
Setiap sore, sepulang kerja, di pinggir jalan Mayjen Sungkono, di tempat dimana dulu para tukang knalpot berada, senantiasa saya lihat seorang ibu dengan anak lelakinya yang tuna netra. Pada sepeda anginnya saya lihat seonggok tas besar selalu dibawa. Entah si Ibu itu berjualan apa. Yang jelas, pada jam empat sore, saya lihat Ibu-Anak itu selalu telah ada di situ.
Yang juga saya sering lihat, ada seorang perempuan berjilbab berhenti menemui mereka. Membuka bawaan makanan, dan dengan penuh kasih menyuapi si anak. Tiada rasa canggung saya dapati. Sementara, sambil mengunyah, si anak tampak tersenyum sambil memegang minum yang juga dibawakan si perempuan baik hati itu. Sebuah senyum yang lahir alami sebagai reaksi dari sebuah interaksi.
Pada titik itu, timbul iri dalam hati. Betapa di jaman yang orang serba begitu mudah pamer akan segala hal yang tak penting diketahui orang lain (lewat status, twitpic dll.), masih ada saja orang yang tak terangsang untuk latah bernarsis-ria. Peduli pada sesama tanpa peduli apakah kepedulian itu dipedulikan orang lain atau tidak.
Seperti perempuan berjilbab itu, siapa pun kita pasti mampu berbuat baik kalau mau. *****
Langganan:
Postingan (Atom)