Kamis, 27 Maret 2014

Caleg = Calon 'Legrek'

BERTANYALAH kepada siapa pun; presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah itu secara jabatan tinggi siapa. Jelas tinggi presiden, gubernur, kepala sekolah ketimbang para wakilnya. Maka tidak mengherankan bila si wakil menginginkan pula jabatan yang di atasnya. Pak JK yang pernah nyapres melawan SBY di Pilpres tahun lalu, atau Dede Yusuf yang memilih 'pisah' dari sang Gubernurnya demi merebut jabatan itu pada Pilgub Jabar beberapa waktu yang lalu.


Beberapa contoh yang saya sebut di atas secara logika sungguh bisa diterima. Tetapi ada satu hal yang secara nalar (walau umum, tetapi) agak bisa didebatkan, yakni; beberapa rakyat yang justru ingin 'turun pangkat' menjadi wakil. Ya, wakil rakyat. Dan demi untuk menjabat sebagai wakil itu, si calon (lazim disebut caleg) melakukan aneka cara yang tentu saja semua mengandung biaya.Cetak poster, sepanduk, iklan radio/televisi dan atau menyumbang baju seragam ibu-ibu pengajian, memberangkatkan 'simpatisan' ke tempat-tempat ziarah keagamaan dan sebagainya. (Yang termasuk dalam 'dan sebagainya' itu antara lain, ongkos ke 'orang pintar'. Termasuk beli uba rampe; kembang tujuh rupa atau kain mori atau perjalanan ke sebuah sendang untuk mandi kembang tengah malam.)


Tengoklah di setiap pinggir jalan raya; wajah-wajah yang selama ini tidak dikenal mengenalkan diri dengan cara (yang kadang) mengenaskan. Dengan pose foto yang dipilih –menurut diri sendiri-- sebagus mungkin, dengan slogan yang dibikin semenarik mungkin. Dan, apakah dengan memasang baliho gambar-gambar mereka itu elektabilitas mereka lantas menjadi menanjak? Belum tentu. Masyarakat sudah teramat cerdas (baca: apatis) menyikapi kebaikan instan yang mereka pamerkan.


Ada istilah; tidak ada makan siang yang gratis. Terlebih untuk menjadi caleg. Pastilah duit besar disebar demi biaya untuk itu. Kalau lalu benar-benar jadi anggota legislatif tentu ada kemungkinan untuk melakukan 'balas dendam' demi baliknya modal. Tetapi bagaimana kalau sudah keluar uang banyak tetapi tidak terpilih? Kalau semua uang itu dari kantong sendiri sih agak tidak apa-apa, bagaimana, coba, kalau duit itu hasil dari pinjam?


Untuk mengantisipasi hal itu, dalam sebuah running text di televisi, ada berita; sebuah rumah sakit mempersiapkan 333 tempat untuk merawat caleg stress. Entah mengapa dipilih angka cantik kembar tiga begitu. Lagi pula kenapa 333, kok tidak 666 atau 999?


Kalau begitu, secara iseng saya artikan caleg itu selain berarti calon legislatif, adalah juga sebagai calon legrek, remuk. Remuk lahir, remuk batin. *****

1 komentar:

  1. Berarti harus pandai memilih ya pak, supaya Rakyat nggak ikutan "Legrek"..:)

    BalasHapus