“PEMILU
kurang sebentar lagi, tetapi suasana masih adem-ayem ya, Kang,”
kata Mas Bendo yang hari ini mengenakan kaos tipis bergambar caleg
berkumis.
Kang
Karib yang sedang keenakan oleh liukan cotton bud di liang
telinga tak menyahut.
“Padahal
dulu, di jaman aku kecil, menjelang Pemilu begini hawanya sudah
gimanaa gitu,” lanjut Mas Bendo. “Hidup bertetangga menjadi
kurang akrab bila beda partai. Sampai pada tingkat satru, soker,
atau tak saling menyapa. Sekarang? Mbelgedhes apa...”
“Itu,
“kata Kang Karib sambil membuang cutton bud dan agak mencium
aroma di tangannya, “masyarakat sudah cukup dewasa dalam menyikapi
perbedaan pilihan politik, nDo.”
“Bukan
dewasa, Kang, tapi mblenek, muak,” Mas Bendo menyahut. “Pas
butuh suara saja merengek-rengek ke rakyat, pas giliran sudah jadi,
uh pret apa.”
:”Jangan
skeptis begitu, nDo,” potong Kang Karib. “Apa pun kenyataannya,
Pemilu itu pesta demokrasi, nDo.”
“Dan
tiada pesta yang gratis kan, Kang?”
“Itulah
makanya, kita harus kawal pesta itu, yang memakan biaya mahal itu,
agar tidak keliru dalam memilih orang yang tak kompeten duduk di
parlemen, yang katanya mewakili kita itu. Untuk itu, kita harus
gunakan hak pilih, jangan golput..”
“Lho,
bukannya golput itu juga pilihan, Kang?”
“Iya,
tetapi dengan golput, itu sama artinya kita memberi peluang caleg
yang tidak mutu menjadi penentu kebijakan. Apa jadinya, coba, bila
negera diurus oleh orang yang remuk isi otaknya. Kacau kan?”
“Jadi,
selama ini, kekacauan segala hal di negeri ini karena diurus oleh
orang yang Sampeyan bilang tadi?”
“Bisa
jadi.”
“Jadi,
para caleg yang ngebet ingin jadi dan untuk itu ia menggunakan aneka
cara, termasuk main uang, adalah indikasi punya otak begitu?”
Kang
Karib diam.
“Itulah,
Kang. Saya kok sangsi bila di baliho si caleg menegaskan
mengabdi sepenuh hati untuk negeri, tetapi demi duduk di kursi dewan
ia melakukan money politics atau semacamnya, bukankah di dalam
itu perlu dicurigai ada terselip kalkulasi ekonomi; modal sekian,
harus balik sekian. Jadi, wajar juga kan bila rakyat menjadi tak
terlalu fanatik kepada partai. Lagian, orang partai itu kan bisa
loncat sana loncat sini. Kali ini di partai biru, Pemilu depan di
partai oranye.”
“Itulah
pentingnya pendidikan politik, nDo. Pemilih yang cerdas bisa memilih
pemimpin berkualitas.”
“Oke,
Kang. Sambil menunggu itu terwujud, jangan salahkan rakyat punya
pakem sendiri dalam menyikapi setiap Pemilu. Tak peduli partai apa,
aliran politiknya bagaimana, tokoh-tokohnnya siapa, 'harga' yang
bicara. Yang penting; Wani piro?” *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar