JUMAT
pagi 21 Pebruari itu seorang teman membawa kue ke tempat kerja. Kue
lunak berbentuk kotak dibungkus plastik mika dengan staples sebagai
pengancingnya. Saking lunaknya, tanpa peran gigi, dengan hanya
menekan lidah ke langit-langit mulut saja sudah hancur ia. Saya tak
bertanya apa nama kue berwarna hijau itu. Tetapi saya suka sekali
rasanya. Untuk itu, karena masih ada banyak di meja, saya ambil untuk
kedua kalinya. Keburu ingin menikmatinya lagi, saya ceroboh dalam
membukanya; langsung saya tarik begitu saja. Dengan ukurannya yang
mungil, gigitan ketiga adalah sudah untuk yang terakhir. Dan saat
itulah saya celaka. Pada telanan terakhir itu, saya rasa ada sesuatu
yang menyenggol tenggorokan. Pikiran saya langsung jelek; yang
menyenggol tenggorokan tadi itu adalah isi staples. Duh, apes!
Saya
lihat plastik mika yang masih saya pegang, tidak ada isi staples di
situ. Makin curigalah saya, bahwa yang ikut tertelan tadi itu adalah
isi staples.
Kecurigaan
itu tanpa saya sadari berubah wajah menjadi sugesti. Ia selalu
menari-nari dalam alam bawah sadar saya tentang isi staples itu yang
kini mungkin sedang berada di dalam lambung. Dan sugesti itu makin
menjadi manakala saya tanya ke Mbah Google tentang kemungkinan apa
yang terjadi bila isi staples yang bersarang di dalam perut saya.
Menakutkannya lagi, kata Mbah Google, benda itu akan karatan dan
membuat lambung akan sangat menderita.
Hari
berikutnya perhatian saya sebagian besar kepada isi perut. Setiap
geliat di dalamnya tak pernah luput dan pikiran membumbuinya dengan,
“Jangan-jangan. Jangan-jangan...”
Nah,
ternyata, semakin saya perhatikan (dengan kepekaan yang saya tambah
tensinya), segala apa yang menggeliat di perut selalu saya curigai
sebagai efek dari isi staples itu. Termasuk sedikit saja usus
bergerak, atau rasa celekit di dalamnya. Sebuah rasa yang barangkali
di saat normal (dan saat saya tak peduli dengan setiap geliatnya),
itu sama sekali tak terasa.
Hari
terus berjalan, dan saya mencari lagi info yang berkaitan dengan bila
isi staples masuk ke dalam lambung. Syukurlah, dalam salah satu yang
disajikan mbah Google, ada yang sedikit menentramkan. Bahwa, setajam
apa pun benda yang masuk ke dalam lambung, ia akan dipaksa keluar
oleh lambung menuju saluran pembuangan dan diikutkan keluar bersama
rombongan kotoran. Untuk menyaksikan apakah benda itu sudah keluar,
satu-satunya cara adalah dengan mengorek (maaf) 'pisang goreng'
sebelum disiram masuk ke septic tank.
Sayangnya,
ini baru saya ketahui jauh setelah isi staples itu saya curigai ikut
tertelan. Karenanya tak mungkinlah saya membongkar septic tank demi
untuk mencari sibiji kecil barang sialan itu.
Itu hal
lain. Tetapi, sisi positifnya, dengan membaca artikel itu,
pelan-pelan sugesti saya tidak terlalu negatif seperti halnya sugesti
yang pertama. Yang kedua ini, membuat saya mumupuk keyakinan bahwa
isi staples itu telah beristirahat dengan tenang di ruang bawah tanah
(baca: septic tank).
Tentu
saja agar yakin, saya bisa melakukan foto x ray demi
memastikan apakah isi staples itu masih menginap di lambung saya atau
tidak. Tetapi, saya termasuk orang yang tidak ingin biyaya'an
mencari biaya untuk itu. (Ah, jelek ya sifat saya ini.)
Karena
hal ini, saya menjadi harus makin hati-hati dengan sugesti. Apa yang
terus ada di alam bawah sadar, bisa membias di alam sadar. Dan itu,
kalau terus-terusan terjadi, bisa menjadi suatu kenyataan. Makanya
saya pernah mendengar seorang motivator berujar; segala apa yang
diyakini diri sendiri, hal itu pulalah yang akan terjadi. Bila
belum-belum saja seseorang sudah merasa tidak mampu, maka akan
betul-betul tidak mampulah seseorang itu.
Sekali
lagi, saya harus lebih berhati-hati dalam mensugesti diri sendiri.
*****
haii mas edi, salam kenal.., saya annie.makasih banyak tulisannya bisa menentramkan saya, saya kemakan plastik tapi. saya udah galau ada kali sebulan. ini mas beneran ketelen staplesnya? tp mas ga ada masalah apa2 ya seteleh ketelan isi staples itu?
BalasHapus