DIBANDING
teman sekantor yang lain, lelaki berpostur tinggi besar itu termasuk
yang berpenampilan paling santai. Sudah begitu, tutur katanya pun
sering mengundang tawa. Saya mengenalnya sebagai Pak Hartono (saya
tidak tahu nama depan dan atau nama belakangnya).
Setiap
pagi, kedatangannya selalu saya tunggu. Ya, karena dulu di kantor
tidak berlangganan koran, sementara Pak Hartono selalu datang membawa
koran, barang itu selalu jadi rebutan. Tetapi, “Sini, sini,”
katanya sambil mengambil kembali lembar-lembar koran yang sudah kami
pegang per segmen. Lalu, dikumpulkanlah lagi untuk kemudian
distaples, “Nah, begini supaya tidak terjadi dis-integrasi,” ujar
Pak Hartono.
Salah
seorang teman blogger (sebagaimana kebanyakan pembaca pada umumnya)
suka yang namanya cerita 'luar duga'. Dalam berbincang santai sebelum
jam kerja dimulai, si Pak Hartono ini sering juga memakai teknik itu.
Misalnya, suatu hari ia bilang, 'jangan lihat siapa yang bicara,
tetapi telaahlah apa yang dibicarakan'. Karena, “Kalau mutiara,
sekali pun keluar dari mulut anjing, ya tetap...”
“Mutiara,”
sahut saya spontan menyambar kalimat yang digantung itu.
“Tetap
anjing yang mengeluarkan,” dengan intonasi yang khas, yang terlihat
tidak ngawaki sama sekali, Pak Hartono mengoreksi jawaban
saya.
Lama
sudah saya tidak berjumpa langsung dengan Pak Hartono. Terakhir
ketemu, pas melayat meninggalnya Pak Widodo dan kami mengantarkan
jenazah sampai ke pemakamam Dinoyo, Surabaya. Tetapi, sekali pun
begitu, saya masih bisa melihat aksi Pak Hartono di layar kaca.
Mula-mula di JTV saat main bareng grup ludruk Tjap Toegoe Pahlawan.
Saat itu Pak Hartono sudah tidak bekerja lagi di tempat kerja saya
ini. Dari televisi lokal di Surabaya, lama-lama saya lihat ia bisa
menembus televisi nasional di Jakarta. Di TVRI, di tvOne, di MetroTV
di KompasTV, dan yang lagi kinclong sekarang ini adalah penampilannya
di Indonesia Lawak Klub Trans|7.
Hartono?!
Di ILK? Ah, gak ada tuh!
Sebentar, saya lanjutkan dulu ceritanya.
Sebentar, saya lanjutkan dulu ceritanya.
Ketika
bekerja di tempat ini dulu, tidak jarang ia masuk kantor hanya
bersandal. Jan santai tenan pokoknya. Kalau tidak salah,
sedannya agak butut, warnanya abu-abu, yang kalau saya intip ke jok
belakang, tidak jarang ada baju pentas di situ; hitam dengan renda
kuning keemasan. Entah itu kostum apa. Tetapi mengingat posturnya
yang tinggi begitu, kalaulah jadi Punakawan, pantesnya ia memerankan
Petruk. Pada kaca belakang sedannya, tertera identitas yang menjadi
nama artis-nya sekarang ini; Cak Lontong.
Di acara
yang jelas terlihat sebagai parodi dari Indonesia Lowyers Club-nya
tvOne itu, jelas sekali gaya pak Hartono, eh Cak Lontong ding,
berbeda sekali dengan lawak yang lain. Permainan kata yang cerdas,
pengungkapan hasil survei yang ngawur tapi menghibur, sungguh menjadi
magnet dari ILK itu sendiri. Makanya tidak heran kalau hasil survei
Cak Lontong selalu ditampilkan agak di belakang, sebagai gong dari
ILK.
Setiap
masa ada pahlawannya, sebagaimana setiap pahlawan ada masanya. Di
dunia keartisan televisi berlaku pula hukum itu. Dulu pernah saya
teliti, di jaman keemasannya Bukan Empat Mata-nya Tukul, dari sepuluh
tetangga yang saya survei, tujuh diantaranya memutar Trans|7,
sementara tiga lainnya numpang nonton disitu. (ih, niru Cak Lontong
ya?)
Tetapi
tabiat televisi selalu berulang, ketika rating sebuah acara sedang
menjulang, durasi acara ditambah dengan waktu tayang yang saban hari.
Sebuah kondisi yang bisa melahirkan kebosanan. Sebagus-bagusnya
program Golden Ways, atau Kick Andy, atau apapun itu, bila ditayang
seminggu penuh, tentu pemirsa menjadi jenuh. Hal ini yang harus
disadari tim kreatif ILK. Karena, sebagaimana lawakan di layar kaca,
sebuah materi atau celetukan humor yang menjadi tidak lagi lucu bila
dipakai di lain hari.
Untuk
Cak Lontong, selamat. Karir Anda makin kinclong. Salam lemper. *****
Pak, nama lengkapnya (aslinya) Cak Lontong itu Lis Hartono. Waktu di ILK diperkenalkan nama ini... Hihi..
BalasHapus