Jumat, 25 April 2014

Terpaksa Ikhlas

SEDIKIT demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Istilah ini bisa disertakan dalam semangat menabung, juga untuk hal lain. Korupsi, misalnya. Dan korusi itu, sepertinya, tak melulu dilakukan oleh orang besar dengan nominal yang besar. Tetapi juga oleh orang kecil dengan besaran yang tak seberapa. Tetapi, sekecil apapun nilai, akan membesar akhirnya bila dilakukan secara terus-menerus dalam jangka yang lama mengacu pada rumus 'sedikit demi sedikit' tadi.

Tak perlu terlalu mengerutkan kening untuk mencari contoh yang beginian ini.

Untuk sebuah keperluan, kemarin siang saya mendapat tugas ke kantor Dinas Lingkungan Hidup Pemkot Surabaya. Setelah itu mampir ke Pasar Elektronik Genteng untuk lihat-lihat reciever DVB-T2 lanjut ke PMI untuk donor darah. Di ketiga tempat itu hal yang saya catat adalah soal parkir.

Pertama, saat akan ke kantor Dinas LH, saya memarkir si Nenen (begitu si bungsu menyebut SupraX 125 tunggangan saya ini) di seberang warung sate di seberang perkantoran Pemkot tidak jauh dari Puskesmas Ketabang. Seorang lelaki tua bertubuh bongkok berompi hijau menghampiri dan menyerahkan selembar karcis parkir. Tertera disitu tarifnya; limaratus rupiah.

Tetapi setelah urusan saya di Dinas Lingkungan Hidup selesai dan saya mengambil motor, selembar duaribuan yang saya serahkan langsung masuk saku tanda ada kembalian. Harusnya saya minta kembalian seribu limaratus sebagai hak saya sebelum pergi meninggalkan lelaki tua berkulit hitam karena saban hari kepanasan itu. Tetapi demi melihat lelaki bongkok yang masih semangat bekerja di usianya yang tak lagi muda itu, saya memilih untuk berbaik hati; mengikhlaskannya saja.

Kedua, setelah melihat-lihat di lantai dua pasar Genteng, di tempat parkir saya membayar. “Duaribu, Pak,” kata si tukang parkir, kali ini usianya masih muda.

Lho, bukannya di karcis tertera seribu rupiah?” saya protes.

Iya, Pak. Tetapi duaribu,” katanya teguh pendirian.

Iya, wis. Sekali lagi saya mengalah. Jaman sekarang, uang seribu dapat buat beli apa sih?

Ketiga, sebelum balik ke tempat kerja, saya ke PMI. Selepas donor darah, di tempat parkir, saya menyerahkan karcis dengan tanpa saya sertai uang. Karena di kertas parkir memang tertulis; gratis. Tetapi, seorang yang mengambil motor sebelum saya, terlihat menyertakan uang seribu rupiah ke tukang parkir PMI di Embong Ploso ini. 
 
Begitulah. Diantara betir-butir keringat tukang parkir, ada 'rezeki tambahan' yang terus mengalir. Padahal, selembar karcis resmi, bisa dipakai berulang-ulang kali. Lalu, kemana kelebihan pembayaran itu menuju? Dan berapa jumlah rupiah yang harus mereka setorkan ke pihak yang berwenang?

Kekurangan kembalian dari yang dibayarkan, karena jumlahnya tidak seberapa, kadang dengan terpaksa diikhlaskan. Tetapi apakah sebentuk keikhlasan namanya bila itu dilakukan dengan terpaksa? *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar