Sabtu, 31 Mei 2014

Ayam Mainan

KADANG-KADANG ulah penjaja mainan anak-anak bikin jengkel juga. Dengan bunyi-bunyian, biasanya tit-tot, tit-tot, ia datang dimana anak anak-anak berkerumun di situ. Mainan yang dibawanya bisa macam-macam; mobil-mobilan, boneka, senapan-senapanan, robot-robotan dan sebagainya. Sementara, yang namanya anak-anak, sekali pun sudah punya yang sejenis itu, masih juga ingin punya lagi. Dilarang beli, tapi ia punya senjata andalan; menangis. Di situasi macam itu, si penjaja mainan malah tak jua pergi. Petaka datang kala harga di-mark up sedemikian rupa karena si kecil belum juga diam dari menangisnya.

Dua Minggu yang lalu seorang pedagang lewat di depan rumah. Walau gang di depan rumah saya ini buntu, tetapi kala itu sedang ada banyak anak sebaya si kecil saya. Penjaja itu tak perlu membunyikan apa pun untuk menarik minat calon pembeli, karena dagangan yang ia bawa sudah bisa bersuara sendiri. Kali itu bukan burung, tetapi anakan ayam yang bulunya disumba warna-warni. Dan sebagaimana temannya yang lain, si bungsu saya ikutan merengek minta dibelikan.

Tak terlalu mahal, limaribu rupiah seekor. Tetapi masalahnya adalah, mainan itu punya nyawa. Ya, bukan harga makanan sumber problemnya. Namun tabiatnya yang suka buang hajat di sembarang tempat itu sungguh ter-la-lu, kata Bang Rhoma. Sementara kandang yang berupa bekas jebakan tikus itu sudah semakin sempit bagi tubuhnya yang beranjak besar, sehingga terus mengandangkannya sungguhlah termasuk melanggar hak asazi ayam.

Diapakan enaknya? Dibuang sayang, disembelih masih kekecilan.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar