Jumat, 12 Juli 2013

Kyai Zailani



NAMANYA kyai Zailani. Saya tidak tahu pekerjaan lainnya selain saban hari mengayuh sepeda tuanya menjajakan kitab-kitab. Sepeda itu sedemikian tuanya, sampai tidak kentara lagi warna catnya selain warna asli besi yang di sana-sini telah mulai digerogoti karat. Tas lusuh, selusuh sarung, baju dan kopiah hitam yang telah menguning pinggirnya adalah trade mark-nya.

Siang yang terik, atau kadang pagi-pagi, sering beliau bertamu ke rumah saya. Bapak saya akan dengan senang hati menerimanya, dan segera menghentikan segala kegiatannya sebagai tukang kayu. Untuk kemudian meminta ibu membuatkan teh manis. Kalau sedang tidak punya teh tubruk tjap Bandulan, ibu akan memetik beberapa helai pucuk daun jeruk keprok di depan rumah untuk kemudian diduetkan dengan gula yang diseduh air panas; jadilah ia minuman rasa (daun) jeruk.

Saat itu saya mungkin baru umur sepuluh atau sebelas tahun. Dan setiap kali kyai Zailani datang, saya akan ikutan nimbrung sebagai pendengar. Beberapa bahasan ‘tingkat tinggi’ kala itu tentu tidak bisa saya pahami. Tetapi biasanya, setelah bicara tentang ilmu agama yang mendalam, beliau –mungkin tahu itu yang saya tunggu—akan bercerita tentang hal-hal lucu. Tentang Abu Nawas, misalnya. Yang selalu saya ingat adalah, di antara sambil bercerita itu, beliau selalu ikutan tertawa.

Sekalipun sudah renta dengan sepeda yang tak kalah tuanya, ada cerita yang --walau tidak masuk akal-- banyak diyakini orang. Yakni; jangan sekali-kali di jalan menyalipnya dengan rasa congkak atau menyepelekan. Karena sengebut apapun orang menyalipnya, di depan nanti, si penyalip itu akan menemui lagi kyai Zailani mengayuh sepeda dengan kayuhan tenaga tuanya.


Tidak jauh dari rumahnya yang sangat sederhana, agak ke utara sedikit, ada surau yang disitu saban hari beliau mengajar santri-santrinya. Kalau bulan puasa begini, lazimnya surau, tempat itupun dipakai untuk tarawih berjamaah. Tetapi, jamaah sholat tarawih kyai Zailani adalah orang-orang khusus. Orang-orang  yang tak menghitung jam berapa nanti sholat tarawih akan berakhir. Karena sebagaimana saat beliau naik sepeda tuanya, dalam memimpin sholat tarawih itu pun beliau sangat pelan sekali.

Beberapa orang dengan nada guyon menyebut sholat tarawih di surau kyai Zailani seperti sedang menumpang bis Kenongo. Sampeyan tahu, saat itu bis Kenongo bodinya sudah rapuh sedemikian rupa. Trayeknya jarak dekat saja; Jember-Lumajang PP. Jalannya ogah-ogahan, seperti tak memedulikan penumpang yang ingin segera tiba di tempat tujuan.

Lain halnya dengan bis Akas atau Tjipto yang kala itu merajai jalanan. Jalannya selalu ngebut, sliat-sliut, wuzzz, wuzz, wuzz... Dan tak sedikit orang suka cara yang begitu itu. Tak terkecuali dalam sholat tarawih. Imam yang biasa membaca Al-Fatihah dengan cepat dalam satu tarikan nafas, ia laksana sopir bis yang disukai penumpang. Padahal mengemudi dengan ngebut itu risikonya juga makin besar. Tak peduli Sumber Kencono berganti nama menjadi Sumber Selamat, kalau cara mengemudinya tetap ugal-ugalan ya tetap saja membahayakan.

Kyai Zailani baik dalam bersepeda maupun dalam memimpin sholat tarawih sama sekali tak terburu-buru. Yang diburu barangkali cuma satu; selamat sampai tujuan. *****

Senin, 01 Juli 2013

Blusukan ke Pasar ngGedongan

SEMALAM saya blusukan ke Pasar Wadungasri (ngGedongan). Banyaknya pengunjung, membuat area parkir motor yang tak seberapa luas menjadi penuh sesak. Karena tempat parkir di depan penuh, oleh petugas parkir, saya diarahkan untuk memarkir Supra tunggangan saya di lorong sisi timur pasar. Dari situ, untuk menuju para penjual pakaian di lantai dua, saya naik lewat tangga sempit nan kotor.

Di lantai dua, jalan antara stand penjual begitu sempitnya. Ditambah stok dagangan yang sudah menggunung, membuat tempat itu terasa sesak. Selain penjual aneka pakaian, alas kaki sampai kosmetik, di sela dominasi pajangan dagangan berbahan kain, saya juga temukan seorang penjual kopi disitu. Melihat kompor yang menyala di bawah meja mungil itu, membuat saya ngeri. Bagaimana jadinya kalau kompor itu meleduk? Tentu apinya akan cepat menyambar barang-barang mudah terbakar di kiri-kanannya. Lebih ngerinya lagi, kalau hal itu terjadi (tetapi semoga saja tidak akan pernah terjadi. Amin....) para pengunjung tentu akan sulit berlari menyelamatkan diri melewati jalan sempit, juga tangga yang tak kalah sempit.

Setelah sejenak singgah di stand-stand untuk sekadar melihat-lihat, selanjutnya saya menyempatkan diri mengobrol dengan salah satu penjual pakaian yang di saku belakang celananya saya lihat terselip sapu tangan dengan bahan seperti kain handuk yang tentu difungsikan sebagai pengelap keringat. Ya, dengan suasana sesesak itu, hanya orang yang punya kelainan yang tidak bermandi peluh.

“Sudah mulai ramai, Mas?” saya bertanya.

“Alhamdulillah, Pak,” jawab lelaki yang nada bicaranya sangat Jawa sekali itu.

“Aslinya mana?” itu pertanyaan yang bagi saya amat sakti untuk membuka pembicaraan selanjutnya akan menjadi lebih akrab lagi.

“Saya dari dekat sini saja, kok,” saya duga itu jawaban guyon. Buktinya, “Saya asli Sragen, Pak,” lanjutnya membenarkan dugaan saya. Ah, pantesan nada bicaranya mengingatkan saya akan logat Kyai Ma'ruf Islamuddin yang ceramahnya sering saya dengar di radio El-Victor.

Sambil bicara-bicara dengan saya itu, tangannya cekatan sekali menata dagangan aneka pakainan; untuk anak-anak dan dewasa, laki-laki atau untuk busana perempuan. Semua ada. Dari daster sampai model yang busana ketat.

“Sudah nyetok untuk persiapan lebaran ya?” saya bertanya.

“Iya, Pak,” jawab pemuda yang apesnya semalam itu saya lupa bertanya siapa namanya. Usianya saya taksir baru sekitar tiga puluh limaan. “Seminggu sebelum puasa begini, alhamdulilah sudah mulai ramai. Saya sudah hapal siklusnya. Nanti kalau puasa dapat seminggu mulai sepi; banyak orang lagi giat-giatnya sholat tarawih. Baru ketika lima belas hari sebelum lebaran, penjualan akan makin ramai lagi. Sementara jamaah sholat tarawih di masjid-masjid makin berkurang, dan lebih giat berjamaah di pasar-pasar untuk membeli pakaian...” candanya.

Senyum saya menanggapi ucapannya barusan, adalah bentuk setuju akan statement-nya yang memang kenyataannya demikian.*****

Minggu, 30 Juni 2013

Rasa Suka

SUKAILAH apa yang Anda kerjakan, jangan hanya mengerjakan apa yang Anda sukai.

Nuim Mahmud Khaiyath, penyiar radio ABC Australia. 




Logika Orang Gila

SETIAP kali 'pulkam' dan melintas di sekitaran SDN Mlokorejo 1, sebuah rumah megah di seberang sekolah itu selalu membuncahkan kenangan. Di situlah, tiga puluh tahun yang lalu, saya, kakak-adik dan orang tua pernah tinggal. Tentu saja jalan aspalnya tak semulus sekarang, kalau malam belum sebenderang sekarang (baca; aliran listrik belum ada), dan rumah kami tentu bukan rumah yang megah itu.

Kalau kemudian orang tua menjual sejengkal tanah yang hanya selebar lidah, itu tentu ada alasannya. Yakni, dengan menjualnya, uang hasil penjualan itu bisa dibelikan tanah dengan lebar berlipat ganda di daerah yang agak ke dalam, agak jauh dari jalan raya. Tetapi bagi saya, di bekas tanah kami itu, yang sekarang berdiri bangunan megah itu, seperti tadi saya bilang, ada memori yang tak akan hilang.

Kala itu, rumah kami hanyalah berdinding bambu, dengan jendela tanpa kaca. Ada beberapa pohon jeruk keprok di depan rumah, dan juga beberapa pohon nangka di belakang rumah. Satu lagi, ada bangunan musholla di depan agak ke barat.

Musholla itu buka 24 jam. (Ya, karena memang tidak ada pintunya.) Dengan letak rumah kami yang persis berada di dekat jalan raya, menjadikan ada saja orang yang memanfaatkan musholla itu. Untuk numpang sholat pada waktu-waktu sholat, atau tempat menginap bagi yang kemalaman di jalan.

Sebagai yang tinggal di dekat jalan raya, saya juga hapal nama-nama orang gila yang sering berjalan tak karuan tujuan. Kadang ke arah barat, sore hari sudah balik ke timur. Sekarang ini, saat saya membuat tulisan ini, lamat-lamat saya juga ingat wajah Pak Pingseng. Orang tua berkulit keriput yang saban hari melintas di jalan raya membawa jepitan agak panjang terbuat dari bambu. Orangnya lucu, adegan yang selalu diperagakan setiap kami, anak-anak, mengikuti langkahnya, adalah; ia akan memijit hidungnya dan menghisapnya sedemikian rupa, sampai kulit lubang hidungnya itu kempis.

Jumat, 21 Juni 2013

Donor Darah Demi Hadiah

SUDAH sekitar setahun ini, sejak musholla Badrussalam 'naik kelas' menjadi masjid, untuk sholat Jumat saya dan beberapa teman memilih ke situ. Dari tempat kerja saya letaknya relatif dekat dibanding masjid lain yang sebelumnya selalu kami tuju untuk berjumatan. Dengan berjalan kaki menyusuri emperan ruko Surya Inti Permata di timur tempat kerja saya, menerobos ke belakang melewati tanah kosong yang ditanami pisang, sampailah kami ke masjid yang sekompleks dengan sekolah SD dan Mts dengan nama yang sama. Mungkin memakan waktu tak sampai sepuluh menit.

Padahal bila Jumatan ke masjid lama di barat tempat kerja, akan lebih lama dari itu. Lebih-lebih kalau jalan kaki. Tetapi beberapa teman, masih ada yang tidak bisa pindah ke lain masjid. Di barat sana, pilihannya ada dua; kalau tidak ke Al Hikmah di Simpang Darmo Permai Selatan, ya ke Nurul Jannah yang sekarang letaknya nyelempit di 'ketiak' bangunan toko Hartono Elektronika Bukit Darmo Buelevard di Pradah. Kalau ke sana, ya jarang yang berjalan kaki, pada naik motor.

Dengan naik motor, padahal harus belok kiri dulu menuju U-turn di depan Hartono Elektronika, baru balik kanan grak melintasi jajaran ruko yang ditempati apotek dan beberapa bank, bisa lebih dari limabelas menit.

Sepulang Jumatan tadi, sesampai kemabli di kantor, ada seorang teman membawa bingkisan berisi nasi kotak, buku agenda, gelas cantik, snack, minuman kotak dan kapsul vitamin.

“Lumayan, pulang Jumatan, mampir donor di depan Bank BNI, dapat hadiah,” katanya sambil membuka nasi kotak bermenu nasi campur spesial.

Saya yang Jumatan di masjid Badrussalam tak melewati BNI. Kalaulah kemudian saya punya hasrat ikut donor, selain karena memang sudah lama tidak donor, tentu karena bingkisannya yang lumayan itu. Ini bila dibandingkan dengan donor di kantor PMI yang sekantong darah 'hanya' diganti sebutir telur asin atau sebungkus Biskuat. Hehe...

Menujulah saya ke kantor BNI yang di depannya terparkir mobil PMI.

Seorang petugas mendekati saya ketika saya baru memarkir motor, “Mau donor, Pak?”

Sambil melirik bingkisan berbungkus tas kertas berlogo BNI yang tertata rapi di meja, saya iyakan pertanyaan petugas itu. Dengan perut tas segemuk itu, saya telah tahu, isinya sama seperti yang dibawa tema saya tadi.

“Maaf, Pak., persediaan kantong darah yang kami bawa sudah habis, jadi dengan sangat terpaksa kami tidak menerima pendonor lagi.”

Sekali lagi saya melirik tas bingkisan yang berdiri rapi di atas meja. Saya menarik nafas sambil membujuk agar saya sadar. Bahwa donor darah adalah juga sebagai ibadah, yang tak elok dimuati keinginan mendapat hadiah. *****

Senin, 17 Juni 2013

Keserakahan

BUMI menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak untuk keserakahan setiap orang.

Gandhi

Rabu, 12 Juni 2013

Menjual Inisial

DALAM lingkupnya, Mas Bendo itu termasuk piawai memanfaatkan sesuatu. Secara ekonomi memang terbilang bawah, tetapi secara pola pikir kadang terbilang wah. Contoh kecil saja, seringkali pagi-pagi ia bertamu ke rumah Kang Karib pada saat istri Kang Karib secara rutin membuatkan kopi untuk suaminya. Nah, akan tidak elok tentu kalau si tamu (yang konon adalah raja) tidak ikut juga dibuatkan secangkir kopi. Tetapi, ya itu tadi, Mas Bendo itu kalaulah sebagai raja, adalah raja yang tipis sekali rasa malunya. Nyaris saban pagi berlagu begitu demi secangkir kopi yang gratisan.

Tidak hanya kopi, dalam bertamu di pagi-pagi itu, ia juga numpang membaca koran yang dilanggani Kang Karib. Dengan begitu, dalam sebulan ia telah berhemat ratusan ribu rupiah. (perinciannya; tiga puluh cangkir kopi seharga duaribu rupiah per cangkir, ditambah harga langganan koran). Sebagai sahabat, tentu saja Kang Karib tidak sampai menghitung sedetail itu. Lagian juga percuma. Lha wong Mas Bendo itu tipe orang yang dibakar tidak kebakar, direndam tidak basah. Jan cuek-bebek pokoknya.

“Kalau disingkat, enaknya namaku itu dijadikan apa ya, Kang,” setelah menyeruput kopi, dan masih sambil membaca koran Mas Bendo nyeletuk.

“Disingkat bagaimana karepmu?” tanya Kang Karib.

“Ya seperti Aburizal Bakrie yang menjadi ARB itu lo, Kang. Dan ARB itu dipanjangkan lagi bukan menjadi Aburizal Bakrie, tetapi Atap Rumah Bangsa. Begitu,” mas Bendo menjelaskan.

“Wah, kalau begitu, namamu bila disingkat menjadi BND,” mantap Kang Karib menjawab.

“Artinya, Kang?”

“Benalu Nebeng Doang...” seenaknya Kang Karib memanjangkan.

Dasar ndablek, sama sekali Mas Bendo tak tersinggung. Ia malah mengajak Kang Karib membahas nama-nama tokoh yang belakangan ini sering disingkat sebagai inisial saja.

“Dulu kan yang sering disebut sebagai inisial kan cuma penjahat. Teroris, misalnya. Atau tersangka koruptor. Lha sekarang semua. Artis, politikus pokoknya tak terbatas profesi tertentu.”

“Iya, ya, nDo,” Kang Karib menimpali. “Aburizal Bakrie itu dulu populer dengan panggilan Ical. Tapi begitu ia menggebu mencalonkan diri sebagai presiden, dengan sosialisasi di banyak media (medianya sendiri utamanya), ia memproklamirkan diri sebagai ARB.”

“Aku tahu sebabnya, Kang,” potong Mas Bendo. “Kalau tetap memakai Ical, itu terkesan kurang elok. Apalagi bagi orang Jawa. Apalagi kalau kelak sungguh beliau terpilih sebagai presiden kita. Akan terasa agak lucu bila ada orang bertanya siapa presiden kita dan dijawab Ical. Karena ical itu, bagi orang Jawa, artinya hilang. Mosok presiden kok sampai hilang, Paspampresnya kemana saja?'

Hust, hati-hati kalau bicara, nDo. Bisa dijewer orang kamu kalau ngelantur keterlaluan begitu.”

Mas Bendo langsung diam, jan mak cep-klakep. Tetapi diam di bibir belum tentu diam di dalam hati. Pikirannya berlarian kemana-mana, mencari nama-nama. Dalam angannya, Chaerul Tandjung itu di-inisialkan sebagai CT. Bukan tidak mungkin kalau nyapres suatu hari anti, CT itu bukan lagi sebagai Chaerul Tandjung, tapi Cerdas Tangkas, Cepat Tepat, atau Cekatan dan Terarah, atau apalah. Pokoknya yang bagus-bagus. Bukankah hal ini telah dicontohkan oleh pak Dahlan Iskan, bos Jawa Pos yang kini menjabat menteri BUMN, yang tak keberatan namanya disingkat menjadi DI. Mas Bendo ingat mobil listrik Tuxuci yang dikemudiakan Pak Dahlan dan mengalami kecelakaan fatal beberapa waktu lalu. Plat nomor mobil berwarna merah itu DI 19.

Apakah pak Dahlan baru akan nyapres di tahun 2019 dan bukan di Pemilu 2014, otak Mas Bendo belum klik sampai ke situ. Tetapi yang Mas Bendo tahu, inisial DI yang jelas-jelas sebagai Dahlan Iskan, telah diartikan secara cantik menjadi Demi Indonesia. *****

Selasa, 11 Juni 2013

Nasi Boranan Khas Lamongan



APA yang Sampeyan ingat tentang kuliner khas Lamongan?
Soto ayam? Tentu tidak keliru. Atau nasi goreng? Boleh juga. Wingko Babat? Bisa jadi. Lalu apa lagi? Kalau saya sebut nasi boranan, walau ada yang tahu, saya duga ada juga yang belum kenal. Ya, sekalipun tak sepopuler soto ayam, nasi goreng atau tahu tek, nasi boranan adalah juga makanan khas Lamongan.

Kalau wingko, soto, nasi goreng, tahu tek sudah bisa ditemui di daerah di luar Lamongan, sementara ini, seperti halnya Persela (maaf), nasi boranan baru menjadi jago kandang. Ia masih bisa ditemui sebatas wilayah kota Lamongan saja. Di sekitar pasar atau alun-alun, atau ada juga (kalau malam) digelar secara lesehan di sekujur trotoar di wilayah Dapur, tak jauh dari Lamongan Plaza.

Karena penasaran, suatu siang saat mengantar ibunya anak-anak belanja di pasar Lamongan, saya yang memang termasuk suami kurang setia dalam hal menemani belanja si istri, mencari tahu adakah yang berjualan nasi boranan di siang bolong begitu.

“Itu,” kata tukang parkir menjawab pertanyaan saya. Ia menunjuk seorang ibu setengah tua memakai kebaya yang menggelar dagangannya tak jauh dari tangga pasar di seberang jalan. Pasar besar Lamongan yang tak jauh dari alun-alun kota itu memang terbagi dua; dibatasi jalan, namun ada akses di atas jalan untuk keduanya. Nah, di sebelah tangga pasar sisi selatan itulah kemudian saya menuju.

Sepintas, tak ada yang istimewa dari nasi boranan itu. Lauknya ada daging ayam, ikan tombro, udang dan tentu saja bandeng. Semuanya saya duga dimasak bumbu bali. Satu-satunya yang khas, menurut saya, yang kemudian menjadi nama nasi boranan adalah wadah nasinya yang terbuat dari anyaman bambu dengan bentuk sedemikian rupa. Itu, menurut istilah orang Lamongan, disebut boran. Karena si nasi diletakkan disitu, jadilah disebut nasi boranan. Hanya itu? Tentu tidak. Yang spesial, lauk nasi boranan adalah ikan sili. Sayangnya saya kurang tahu secara detail tentang ikan yang sekarang konon sudah langka ini.

“Karena langkanya itu,” cerita seorang teman yang asli Lamongan,”sebungkus nasi boranan berlauk ikan sili, harganya selangit; duapuluh ribu!”

Ya, dibanding harga soto ayam atau nasi goreng kelas kaki lima yang seporsi tak sampai sepuluh ribu, sebungkus nasi boranan dengan harga segitu tentu terbilang mahal. Sangat mahal malah. Tetapi untuk yang berlauk bandeng seperti yang saya beli siang itu, harganya tak jauh dari taksiran saya; di bawah sepuluh ribu.
-oOo-
Kemarin malam, sepulang dari bezoek famili di RSUD Lamongan, maksud hati ingin makan malam nasi boranan di pinggir jalan. Namun apa daya para PKL yang menggelar dagangan di trotoar secara lesehan semuanya berada di sisi selatan. Sementara saya yang pulang ke arah Surabaya, agak malas menyeberang pakai motor tunggangan saya di antara padatnya kendaraan, bus-bus dan truk-truk besar ke arah pantura. Lagian, perut saya belum lapar-lapar amat. Lagian saya sudah pernah merasakan nasi boranan.

Tapi bagi yang belum, bila sedang melintas di kota Lamongan, tidak ada salahnya mencoba makan nasi boranan secara lesehan di pinggir jalan, sambil memandang kendaraan-kendaraan besar berseliweran. Ya, hitung-hitung menikmati menu alternatif selain soto di kota soto.*****

Sabtu, 01 Juni 2013

Memelintir Data Mutakhir



PEMILU sudah setahun lagi. Untuk itu, beberapa tahapan telah dimulai. Mulai ferivikasi parpol yang boleh berlaga, penentuan nomor urut parpol dsb.

Tidak seperti zaman Orde Baru yang parpolnya hanya tiga biji (dan itu nomor urutnya tidak pernah berganti), era sekarang, dengan parpol  yang jumlahnya lumayan banyak, nomor urutnya selalu berubah. Tidak hanya itu, ada parpol yang Pemilu lima tahun lalu ikutan sebagai kontestan, Pemilu mendatang tidak lagi. Malah, pada Pemilu yang lalu belum lahir, Pemilu nanti tampil sebagai parpol peserta Pemilu. Partai Nasdem, contohnya.

Saya bukan orang politik. Saya orang biasa seperti Sampeyan. Namun, orang-orang politik itu, para caleg itu, tentu amat membutuhkan suara orang-orang biasa seperti saya ini. Bagaimana mendapat simpati orang-orang biasa yang pada saatnya nanti mau mencoblos gambarnya di bilik suara, biasanya dilakukan banyak cara. Dari mengumbar janji, sampai membagi sembako. Taktik yang sesekali ada namun sering dibantah adalah praktik money politics.

Dari waktu ke waktu, data pemilih selalu berkembang. Ini hal yang niscaya. Jumlah penduduk yang secara usia telah memiliki hak suara terus bertambah. Demi hal itu, KPU melaksanakan program yang namanya Pemutakhiran Data Pemilih Pemilu 2014.

 Seminggu yang lalu, malam selepas Isya’, datang petugas menempel sticker di kaca jendela rumah saya. Sticker itu dilampiri secarik kertas berkop KPU dengan kode Model A.A.1-KPU. Selain tertera nama Kepala Keluarga (KK), juga ada alamat domisili lengkap nomor TPS tempat di mana nanti saya memberikan hak suara. Dan, tentu saja, nama-nama anggota keluarga saya yang telah memilki hak suara.

Di rumah ini saya tinggal bersama istri dan dua anak yang masih belum memiliki hak suara. Si sulung baru SMP, dan si kecil baru tiga setengah tahun. Namun di sticker yang ditempel di kaca jendela itu, terdapat empat nama yang memiliki hak suara. Selain nama saya dan istri, ada nama Joko Sumardi dan Istianah yang saya tidak tahu dua orang itu siapa.

Mendapati hal itu, tentu saja saya langsung bertanya kepada petugas yang memasang. Tapi apa jawabnya?

“Oh, maaf, Pak. Itu tadi saya keliru nulis. Tidak apa-apa, kok...” terang Bapak petugas dengan enteng. Bagi saya, penjelasan itu sungguh tidak jelas.

Kalau memang salah nulis, kenapa tidak dihapus saja. Dan kemudian saya dibuatkan formulir baru, sticker baru. Mendapati hal itu saya menjadi punya pikiran buruk; jangan-jangan hal itu memang disengaja, dilakukan secara sistematis. Titip nama untuk sebuah kepentingan entah apa. Yang terdekat tentu agenda Pilgub Jatim, karena data itu dipakai juga untuk Pemilukada Jatim yang tinggal sebentar lagi. Lalu, kalau iya itu disengaja, siapa yang mengambil keuntungan dari praktik itu?

Wis-lah, saya bukan orang politik, dan memikir itu membuat rambut saya makin rontok saja. Semoga data itu belum final. Semoga masih ada tahapan berikutnya yang membuat niat memelintir data mutakhir tidak bisa terjadi. Sehingga Pemilu (termasuk Pemilukada) benar-benar jujur dan adil.

Saya harap Sampeyan sependapat dengan saya.*****

Minggu, 19 Mei 2013

Anak Bidadari


SEPERTI saran seorang teman, sebisa mungkin aku menghindari untuk mengawali cerita ini dengan menyebut matahari atau langit. Tetapi karena ia, temanku itu, selalu bilang bahwa ibunya adalah seorang bidadari, mau tidak mau aku harus menyebut langit sebagai asal dari ibunya. Bidadari, seperti pernah kubaca pada buku-buku dongeng yang aku pinjam di perpustakaan saat SD dulu, bertempat tinggal di khayangan.

Salah satu kisah yang samar-samar aku ingat adalah ketika para bidadari turun ke bumi untuk mandi di sebuah sendang, ada seorang pemuda yang diam-diam mencuri selendang milik salah satu  bidadari. Dan, saat yang lain segera terbang pulang ke khayangan sehabis mandi, satu di antara bidadari itu, kalau tidak salah namanya Nawangwulan, tidak bisa terbang karena selendangnya hilang. Pencuri selendang itu, yang kemudian menjadi suami dari bidadari itu, Joko Tarub namanya. Tetapi, temanku itu bukan anak Joko Tarub.
Ayahnya bernama Gelam. Seorang tukang judi yang sekarang sudah mendiang.

Sama seperti engkau, mula-mula aku menganggap temanku itu, ohya namanya Rindang, adalah sedang mengigau ketika selalu menyebut kalau ibunya adalah bidadari. Itu adalah sebuah pernyataan yang menjengkelkan. Sama menjengkelkan ketika engkau mempunyai teman yang kemana pun ia berada selalu memasukkan jari telunjuknya ke lubang hidung; ngupil. Atau teman lain yang selalu (walau tidak sedang pilek) menarik napas sampai berbunyi ‘ngok’ di hidungnya, lalu memaksa --dengan suara yang tak kalah menjijikkan-- entah ingus entah dahak, untuk segera meloncat dari tenggorokannya. Dan, cuh!, ia meludahkannya secara cuek tidak jauh dari tempatnya berada.

“Ibuku bidadari, ayahku tukang judi,” itu yang ia ucap kala pertama kali aku bertanya tentang orangtuanya.

Sabtu, 18 Mei 2013

Habis Spacetoon, Terbitlah NET.


SEJAK melihat promo program kuis Siapa Dia di TVRI beberapa hari yang lalu, langsung saja saya menyetel alarm pengingat di ponsel. Saya tulis ‘Kuis Siapa Dia TVRI, 18 Mei jam 17.00’. Setidaknya, dengan membuat pengingat di ponsel, saya akan terhindar dari lupa. Beres. Dengan begitu, saya akan bisa bernostalgia pada acara kuis yang dulu sempat populer. Sekalipun sekarang pembawa acaraya bukan Aom Kusman, paling tidak –saya kira-- Denny Candra juga kental sekali aksen Sunda-nya, sama dengan Kang Aom Kusman.

Melihat kuis Siapa Dia, selain lagu pembukanya yang masih saya ingat, ada sesuatu yang ingin saya ikut nebak; sang Mistery Guest. O, o siapa dia?

Sebelum alarm yang saya setel berbunyi, syukurlah, saya tidak lupa kalau hari ini Sabtu, 18 Mei. Saat mana NET. (nama baru stasiun televisi yang mengakuisisi Spacetoon) mulai melakukan siaran percobaan. Hal itu saya telah tahu beberapa hari yang lalu, dan hari ini saya dipertahu (eh, apa pula istilah ini?!) ketika membuka akun twitter @netmediatama.

Hari ini saya bekerja, dan pulangnya nyampai rumah tepat jam 17.00. Pilih mana? Bernostalgia dengan kuis Siapa Dia, atau khusyu’ menonton kemunculan NET. untuk kali pertama?

Tidak bisa tidak, demi keduanya, saya memutuskan untuk ‘poligami’ saja;

Rabu, 15 Mei 2013

Kotak Obat di Jok Motor

SEKARANG ini, menurut Sampeyan, kendaraan apa yang layak disebut raja jalan raya? Truk, bus, angkot? Menurut saya kok semua yang dibilang di atas barusan itu kurang tepat. Jawaban yang saya inginkan adalah R-2. Ya, sepeda motor!

Jangan dilihat bentuknya yang ramping. Tetapi tengoklah jumlahnya. Makin hari, sepertinya, makin dikuasai saja setiap jengkal jalan olehnya. Ia, di tangan pengendara yang ugal-ugalan, bisa memakan jatah lajur kendaraan lain sekalipun, sebenarnya, ia telah disediakan lajur tersendiri; lajur kiri.

Sekalipun merajai jalanan, ia secara risiko adalah yang paling rentan. Tiada bodi atau bemper yang bisa menahannya dari benturan bila terjadi kecelakaan. Sejauh ini, tiada pula pernah saya dengar, motor mahal sekalipun, ada kantung udara otomatis (ABS) yang mengembang bila tubrukan.

Melihat kenyataan bahwa anak seusia SMP belum boleh mngendarai motor bila ke sekolah, akan menimbulkan lonjakan jumlah motor baru di jalanan memasuki tahun ajaran baru nanti. Bagi orang tua yang mampu, adalah lazim membelikan motor anaknya begitu masuk SMA. Padahal, jumlah lulusan SMA tentu ribuan jumlahnya. Belum lagi pembeli motor baru di kalangan masyarakat umum. Yang karena ongkos angkutan umum tentu akan naik saat harga BBM naik (lagi) nanti, pastilah memilih menyisihkan uang demi bisa membayar uang muka agar bisa memiliki motor baru. Dengan motor sendiri, secara kalkulasi, tentu masih terasa ringan dibanding dengan kemana-mana harus naik angkot.

Setiap berangkat kerja, dan nyaris setiap hari merasakan betapa macetnya jalanan di jam berangkat (dan pulang), seringkali saya saya mendapati ribuan helm terlihat pating penthus di pandang dari belakang. Dengan rapatnya jarak antar pengendara R-2, bila sedikit saja terlibat senggolan, bisa berbeuntut celaka. Dan celaka itu makin serius bila si pengendara menggeber tunggangannya dengan kecepatan seenak udelnya.

Pagi tadi, saat berangkat kerja, di sebelum perlintasan KA di jalan Margorejo Indah, di pinggir jalan saya lihat ada seorang lelaki duduk di pinggir jalan dengan dengkul bundas, babras dan berdarah. Di dekatnya ada seorag polisi dan dua orang laki-laki lain. Entah siapa dua lelaki itu. Teman atau lawan dalam insiden kecelakaan kecil itu, saya tidak tahu.

Sebagaimana pengendara motor lain, saya hanya menoleh dan tidak menepi. Lagian, kalau ikut menepi dan merubung si celaka, saya mau apa? Tidak ada yang bisa saya perbuat untuknya. Dan bukan tidak mungkin hal itu malah bikin lalin makin macet saja.

Itu akan berbeda, misalnya, bila di jok motor saya tersedia obat merah dan perban. Dengan dua benda itu, tentu saya bisa menetesi dengkulnya yang babras itu dengan obat merah lalu membalutnya dengan perban sedemikian rupa.

Ini, membawa perlengkapan PPPK ini, sepertinya juga penting mengingat kecelakaan bisa menimpa siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Tentu kita tak berharap ada yang celaka, tetapi kalau ada, dan itu terjadi di dekat kita, paling tidak kita bisa melakukan tindakan yang manusiawi sebagai manusia. Dan bukankah seyogyanya berbuat baik kepada orang lain itu tak perlu menunggu menjadi caleg dulu? *****