SEPERTI pernah saya bilang tempo hari, belakangan ini saya makin jarang nonton tivi. Lebih-lebih tentang berita politik. Lebih-lebih tentang talk show yang mempertemukan dua kubu paslon. Yang sama-sama punya kekuatan otot leher luar biasa kuat dalam berdebat. Memperdebatkan perdebatan. Selalu menilai calonnya yang benar. Yang unggul. Yang layak untuk menjadi pemimpin berikutnya. Hal wajar, memang. Bagi mereka. Bagi saya? Oh, belum tentu.
Perdebatan macam itu sepertinya (sepertinya lho ya...) juga menjadi konten andalan media penyiaran (televisi) di acara prime time. Di jam tayang utama begitu, konon, tarif iklannya juga muahal. Jadi? Perdebatan antar kubu di televisi itu, selain (tentu saja) bersifat politis, bisa jadi ada pula sisi bisnisnya. Sebagaimana acara gosip di televisi yang acap menjadi perbincangan di ranah publik, debat politik belakangan ini telah pula menjadi perhelatan perdebatan nasional. Nyaris semua orang. Dengan latar belakang apa pun. Lebih-lebih yang juga telah punya kecenderungan memilih jagoannya. Iya, masing memang telah punya pendukung fanatik. Yang bukan saja bisa sangat membenarkan pernyataan dan perbuatan benar calonnya, namun bisa pula membenarkan (dengan berbagai argumentasi) kesalahan calonnya.
Perdebatan antar pendukung fanatik begitu, tentu tak ada ujung. Adakah untungnya? Entahlah.
Minggu, 24 Februari 2019
Kamis, 21 Februari 2019
Kartunis
SEMASA sekolah, selain menulis, juga ada kegemaran saya yang lain. Menggambar. Bukan menggambar seperti pelukis bergaya realis. Karena, untuk urusan melukis, prestasi tertinggi saya sejak SD adalah ketika menggambar pemandangan. Yaitu, membuat gunung dua, di tengah ada matahari, lalu ada sawah, dan ada jalan yang membelah persawahan itu. Juga ada dua pohon kelapa, satu tinggi-satunya pendek, di tepi jalan. Kompak. Karena nyaris anak satu kelas menggambar yang sama.
Makanya, saya kagum sekali ketika membaca cerita bergambar di majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat karya mendiang Teguh Santosa. Gambarnya hidup. Sehingga saya bisa dengan gampang dan gamblang mencerna cerita yang digambarkan. Selain Teguh Santosa, ilustrator yang saya kagumi kepiawaiannya dalam menggambar di majalah yang sama adalah Budiono. Nama yang saya sebut belakangan tadi sampai kini karyanya masih bisa kita nikmati di Jawa Pos (Grup?)
Menurut saya, coretan tangan Budiono khas. Baik saat menggambar sosok 'manusia normal', atau saat bikin karikatur. Yang juga bikin kagum adalah saat ia membuat ilustrasi untuk rubrik Wayang Opo Maneh yang (sayangnya kini rubrik itu sudah tidak ada lagi di Jawa Pos) tokoh wayang macam Cakil, atau Arjuna, atau Sengkuni dll digambarkan dengan jenaka. Pakai sepatu kets atau pakai jam tangan. Jan mbois tenan, khas Budiono pokoknya.
Rabu, 13 Februari 2019
Gerimis
SEBELUMNYA, seperti juga siapa pun, aku mengenal gerimis sebagai air yang turun setelah bergelayutan menggantung pada sayap-sayap mendung. Ia menjadi semakin sering turun kala musimnya. Desember, atau Januari begini. Itu saja.
Sampai pada suatu senja, kala hatiku berselimut mendung, gerimis datang dalam rupa yang sebenarnya. Ia turun dengan lembut, mendarat dengan gemulai. Wajahnya putih, tetapi bukan pucat. Satu di antara dari gerimis itu, kulihat paling cantik, setelah mendarat di depan rumahku, berjalan mendekat ke teras dimana aku berdiri bersedekap di depan jendela.
“Maaf, kenalkan; namaku Gerimis. Boleh aku menemani?” ia bertanya, bibirnya merah, kontras sekali dengan kulitnya.
Kamis, 07 Februari 2019
Belajar Nge-vlog
BEBERAPA hobi saya bikinkan blog untuk menulisnya. Hobi bikin cerpen saya buatkan www.ediwinarno1.wordpress.com. Untuk hobi memperhatikan televisi tulisannya saya tampung di www.sisitelevisi.wordpress.com dan www.sisitelevisi.blogspot.com. Namun seperti isi dompet saya, ide nulis di blog-blog itu kadang ada, kadang blong tidak ada. Bolong gak nulis apa pun disitu. Perhatikan, lama sudah saya gak posting di wadah-wadah itu.
Tentang seneng mengamati televisi mungkin gara-gara dulu sering nebeng baca tabloid Monitor di rumah seorang kaya yang ke situ saban malam kami numpang nonton televisi. Nonton sambil baca ulasan pertelevisian ala tabloid Monitor dengan gaya bahasa yang Arswendo banget, mantaplah pokoknya.
Kini, saya makin jarang nonton televisi. Layar kaca lebih banyak dinikmati si kecil dengan Tayo, Ultraman, Upin-Ipin dan sejenisnya. Kenapa saya makin jarang nonton tivi, kalau mau, kapan-kapanlah saja itu saya jelaskan. Tapi begini, untuk hobi berburu siaran televisi, walau tak ekstra-ekstra banget, lumayanlah alat yang telah saya beli. Dari mulai DVB-T1 lanjut ke DVB-T2, lanjut lagi ke seperangkat antena parabola beserta uba-rampe-nya.
Mengejar siaran 'jalur langit' begitu alatnya lebih banyak, dibanding jalur terrestrial yang cukup pakai antena PF Goceng. Kalau mau nangkap yang digital terrestrial cuma cukup nambah 'set top box'. Kalau mengejar siaran tv satelit, lebih dari itu butuhnya. Dan seperti ponsel, saban waktu selalu ada type terbaru. Yang bisa buka acakan ini atau itu. Yang otomatis. Jangankan acakan biss key, powervu pun bisa dilihat. Receiver terbaru makin sakti. Rollingnya bisa berguling-guling sendiri, tak perlu tombal-tombol remote control memasukkan kode acakan yang sewaktu-waktu berganti. Namun saya hanya punya yang standard saja. Mulai satfinder analog, digital sampai yang bergambar. Untuk selalu membeli model terbaru, enggaklah. Stabilitas dompet saya rawan terganggu. Namun memang begitulah risiko punya hobi. Apapun jenis hobinya.
Tentang seneng mengamati televisi mungkin gara-gara dulu sering nebeng baca tabloid Monitor di rumah seorang kaya yang ke situ saban malam kami numpang nonton televisi. Nonton sambil baca ulasan pertelevisian ala tabloid Monitor dengan gaya bahasa yang Arswendo banget, mantaplah pokoknya.
Kini, saya makin jarang nonton televisi. Layar kaca lebih banyak dinikmati si kecil dengan Tayo, Ultraman, Upin-Ipin dan sejenisnya. Kenapa saya makin jarang nonton tivi, kalau mau, kapan-kapanlah saja itu saya jelaskan. Tapi begini, untuk hobi berburu siaran televisi, walau tak ekstra-ekstra banget, lumayanlah alat yang telah saya beli. Dari mulai DVB-T1 lanjut ke DVB-T2, lanjut lagi ke seperangkat antena parabola beserta uba-rampe-nya.
Mengejar siaran 'jalur langit' begitu alatnya lebih banyak, dibanding jalur terrestrial yang cukup pakai antena PF Goceng. Kalau mau nangkap yang digital terrestrial cuma cukup nambah 'set top box'. Kalau mengejar siaran tv satelit, lebih dari itu butuhnya. Dan seperti ponsel, saban waktu selalu ada type terbaru. Yang bisa buka acakan ini atau itu. Yang otomatis. Jangankan acakan biss key, powervu pun bisa dilihat. Receiver terbaru makin sakti. Rollingnya bisa berguling-guling sendiri, tak perlu tombal-tombol remote control memasukkan kode acakan yang sewaktu-waktu berganti. Namun saya hanya punya yang standard saja. Mulai satfinder analog, digital sampai yang bergambar. Untuk selalu membeli model terbaru, enggaklah. Stabilitas dompet saya rawan terganggu. Namun memang begitulah risiko punya hobi. Apapun jenis hobinya.
Ultah Pernikahan
TANGGAL 5 Pebruari 1999 saya dengan diantar kakak sudah sampai ke TKP. Sebuah desa paling barat di kecamatan Karangbinangun. Berbatas dengan kecamatan Kalitengah. Sementara suporter (baca: pengiring kemanten) baru berangkat besoknya. Ini sebagai antisipasi saja. Agar ijab qobul bisa dilaksanakan sesuai rencana. Nah kalau saya sebagai sang pengantin ikutan berangkat bareng suporter, dan kendaraan mengalami ini atau itu di jalan yang mengakibatkan kedatangan molor dari jadwal, wah bisa repot. Ini perhitungan mertua saya, yang kala itu tentu baru sebagai calon.
Kalaulah sebagai bus, jarak yang kami tempuh masih tergolong sebagai AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) walau tentu tak bisa pula dibilang dekat. Jember – Lamongan. Yang jalanan kala itu belum seperti sekarang. Apalagi di kampung Putri Lamongan yang hendak saya nikahi. Di musim hujan begitu, jalanan bak kubangan.
![]() |
Jas pinjaman yang kekecilan itu. |
Rabu, 06 Februari 2019
Pelet Internet
SETELAH Philipina, Brazil, Thailand dan Kolumbia, negeri kita nangkring di peringkat kelima tingkat kebetahan penduduk dalam main internet. Torehan waktunya, 8 jam 36 menit dalam sehari. Artinya lebih dari sepertiga waktu dalam sehari kita habiskan berinternet. Entah ini sebagai cermin kepintaran dan kemajuan ataukah malah sebaliknya. Karena Jepang, sebagai negara yang minat baca warganya relatif tinggi, ranking kekuatan warganya dalam berinternet gak ada seupilnya bila dibanding kita. Catat, mereka hanya betah berinternet selama 3 jam 45 menit dalam sehari. Dan ini sebagai negara nomor buncit.
Internet penting adalah iya. Namun membaca rilis yang banyak dimuat media tersebut kok ya gimana. Ataukah memang kegemaran dan kebetahan dalam berinternet tak dapat dijadikan patokan pintar-tidaknya sebuah bangsa (atau seseorang), tak pula bisa dipakai acuan yang hitam-putih.
Sebagai orang yang tidak sekali-dua blusukan ke kamar mandi dan/atau WC penghuni Jepang, saya acap mendapati ada semacam 'perpustakaan' di tempat buang hajat mereka. Itu, walau subyektif semata, paling tidak saya bisa simpulkan; orang Jepang suka membaca. Nah, lha kok bisa coba, orang suka membaca malah, menurut laporan itu, gak betah berinternet.
Kembali ke 'prestasi' daya tahan bangsa kita dalam berinternet, jangan-jangan memang demikian. Jangan-jangan itu memang perilaku saya. Yang lebih akrab dengan gadget dibanding lingkungan sekitar.
Membuat tulisan ini dan lalu mempostingnya di blog, tak terasa sudah hampir setengah jam saya 'online'. Ini baru barusan. Belum lagi pagi tadi, belum lagi siang tadi. Oh, jangan-jangan telah lebih dari 8 jam 36 menit dalam sehari ini saya ngeluyur sia-sia di dunia maya. ****
Internet penting adalah iya. Namun membaca rilis yang banyak dimuat media tersebut kok ya gimana. Ataukah memang kegemaran dan kebetahan dalam berinternet tak dapat dijadikan patokan pintar-tidaknya sebuah bangsa (atau seseorang), tak pula bisa dipakai acuan yang hitam-putih.
Sebagai orang yang tidak sekali-dua blusukan ke kamar mandi dan/atau WC penghuni Jepang, saya acap mendapati ada semacam 'perpustakaan' di tempat buang hajat mereka. Itu, walau subyektif semata, paling tidak saya bisa simpulkan; orang Jepang suka membaca. Nah, lha kok bisa coba, orang suka membaca malah, menurut laporan itu, gak betah berinternet.
Kembali ke 'prestasi' daya tahan bangsa kita dalam berinternet, jangan-jangan memang demikian. Jangan-jangan itu memang perilaku saya. Yang lebih akrab dengan gadget dibanding lingkungan sekitar.
Membuat tulisan ini dan lalu mempostingnya di blog, tak terasa sudah hampir setengah jam saya 'online'. Ini baru barusan. Belum lagi pagi tadi, belum lagi siang tadi. Oh, jangan-jangan telah lebih dari 8 jam 36 menit dalam sehari ini saya ngeluyur sia-sia di dunia maya. ****
Minggu, 06 Januari 2019
Kacamata
BUKAN, ini bukan tentang hoax lagi. Masa sudah dua kali di awal tahun ini menulis tentang hoax, mau nulis lagi tentang itu. Sudah cukup. Sekali pun di luar sana masih dan selalu akan ada hoax-hoax baru. Biar saja. Hoax menggonggong, kafilah berlalu.
Mari bercerita tentang hal lain saja. Hal-hal tak penting lainnya. Karena bukankah semua yang saya tulis di sini memang adalah hal remeh temeh belaka. Hal tak penting yang hendak saya tulis kali ini adalah tentang kacamata.
Kacamata adalah sesuatu yang sebenarnya tak penting namun meningkat derajatnya menjadi penting bagi yang membutuhkan. Saya pernah membaca analisa seseorang tentang suatu topik dari kacamata beliau sebagai pakar. Yang kadang, nalar saya tidak nutut untuk memahaminya. Yang celakanya, lalu saya tidak setuju dengan pendapat pakar itu. Kenapa? Kacamata saya dan kacamata beliau dalam menyikapi sebuah topik berbeda. Kenapa berbeda? Bisa jadi karena ada gap (bisa pendidikan, dan lainnya) antara saya dan pakar itu.
Mari bercerita tentang hal lain saja. Hal-hal tak penting lainnya. Karena bukankah semua yang saya tulis di sini memang adalah hal remeh temeh belaka. Hal tak penting yang hendak saya tulis kali ini adalah tentang kacamata.
Kacamata adalah sesuatu yang sebenarnya tak penting namun meningkat derajatnya menjadi penting bagi yang membutuhkan. Saya pernah membaca analisa seseorang tentang suatu topik dari kacamata beliau sebagai pakar. Yang kadang, nalar saya tidak nutut untuk memahaminya. Yang celakanya, lalu saya tidak setuju dengan pendapat pakar itu. Kenapa? Kacamata saya dan kacamata beliau dalam menyikapi sebuah topik berbeda. Kenapa berbeda? Bisa jadi karena ada gap (bisa pendidikan, dan lainnya) antara saya dan pakar itu.
Kacamata saya yang kemarin patah (dan alhamdulillah telah tersambung
lagi oleh kawat klip kertas ini), saya beli di jalan Melati Tabanan,
Bali. Di sebuah toko kacamata kecil, Kalista Optik namanya. Tak ada
yang istimewa dari bangunannya. Setak-istimewa banten (sesajen
kecil dengan dupa yang mengepulkan aroma wangi) yang diletakkan di
depan toko, pagi itu. Juga pagi-pagi yang lain. Lumrah saja. Di Bali
semua begitu. Yang tak lumrah adalah, dari toko yang secara
penampakan terlihat Bali banget itu, terdengar alunan lagu kasidah,
atau rekaman tartil Al Quran setiap saya lewat. Juga dua perempuan muda
berjilbab sebagai penjaganya.
Maka, ketika kacamata saya rusak dan tak bisa diperbaiki, menujulah
saya ke Kalista untuk membeli yang baru. Tentu, ada banyak toko
kacamata di Tabanan situ. Tetapi, menurut kacamata saya, ada sesuatu
yang 'lain' (menurut saya lho ya) dari Kalista. Ada aura yang menyatu
dengan saya. Ada warna yang langsung bisa menyentuh hati saya. Iya,
musik kasidah dan perempuan berhijab itu.
Mungkin, seharusnya saya tidak terlalu begitu. Bukankah dalam
jual-beli tak terlarang untuk melakukan dengan orang yang tak seiman.
Betul, dan saya tak membantah itu. Namun, bukankah saya juga tak
salah berlaku begitu, dan di kesempatan lain membeli barang lain di
tempat yang lain, di tempat orang tak seiman. Biasa saja.
Toh, musik kasidan dan alunan ayat suci itu diputar oleh penjaga toko
yang kera Ngalam, arek Malang. Yang tak malang karena tak
dilarang oleh si empunya toko yang orang Hindu (Bali) untuk memutar
sesuatu yang islami di tokonya. Ini hal sepele. Hanya suara. Tapi,
di sini, di negeri yang dulu senantiasa digaungkan sebagai negeri yang
menjunjung tinggi sopan-santun dan toleransi ini, kini tidak sedikit hal dan kasus besar
(atau dibesar-besarkan?) yang dipicu hal sepele. Tidak saja oleh yang
lain golongan, yang segolongan pun bisa beda dalam menilai dan
menyikapi sesuatu. Kenapa? Ya karena beda kacamata (dan kepentingan?) dalam melihatnya.
*****
Kamis, 03 Januari 2019
Hoax Tempo Doeloe
SEDANG ramai dibicarakan orang tentang kabar (bohong) telah ditemukannya tujuh kontainer di Tanjung Priok berisi surat suara yang sudah dicoblos untuk salah satu paslon kontestan pilpres yang digelar lima hari setelah ulang tahun saya bulan April nanti. Dan sebuah keniscayaan, bahwa sebohong apa pun kabar, kadang ada juga yang mempercayai, sebagaimana sesungguh apapun kabar benar, tak menutup kemungkinan ada pula yang tak mempercayai.
Sudahlah, saya agak kurang gairah menulis tentang hal perpolitikan. Saya harus tahu diri. Saya ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Tak ada kapital memadai untuk mengupas yang yang saya kurang pahami.
Namun hoax, saya kira, bukan belakangan ini saja terjadi. Bahwa kemudian kabar bohong ini lalu punya nama keren sebagai hoax, mungkin memang iya barusan saja saya tahu. Tetapi praktik hoax itu sendiri adalah hal yang sejak kecil sudah saya alami sendiri. Saya mengalaminya sebagai korban, dan orang tua saya pelakunya. Nah lho.
Berikut tiga hoax ortu versi saya.
Sudahlah, saya agak kurang gairah menulis tentang hal perpolitikan. Saya harus tahu diri. Saya ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Tak ada kapital memadai untuk mengupas yang yang saya kurang pahami.
Namun hoax, saya kira, bukan belakangan ini saja terjadi. Bahwa kemudian kabar bohong ini lalu punya nama keren sebagai hoax, mungkin memang iya barusan saja saya tahu. Tetapi praktik hoax itu sendiri adalah hal yang sejak kecil sudah saya alami sendiri. Saya mengalaminya sebagai korban, dan orang tua saya pelakunya. Nah lho.
Berikut tiga hoax ortu versi saya.
Rabu, 02 Januari 2019
Selamat Tahun (Hoax) Baru
SAAT mengawali tulisan ini, sudah tiga puluh delapan jam saya menghirup udara tahun baru. Tahun 2019. Tahun baru yang lama-lama akan menjadi lama juga, kehilangan kebaruannya. Seperti halnya yang lain. Yang tak terhitung. Yang tak dirayakan.
Namun, saya memang tak pernah merayakan tahun baru. Tak pernah meniup terompet sambil begadang, lalu besoknya tidur seharian. Tidak. Saya bukan kelompok kaum itu. Saya orang biasa saja. Sangat biasa.
Walau demikian, saya rasa tahun ini, gaduh sekali. Bukan tentang para anak muda yang keliling kota di malam pergantian tahun dengan knalpot brong motornya. Kegaduhan yang belum pernah ada sebelum-sebelumnya. Kegaduhan yang konyol sekali. Antara dua kubu. Yang entah darimana asalnya kemudian melekat julukan kecebong dan kampret.
Media sosial memang kejam sekali. Di dalamnya menjadikan seakan tak ada sekat sama sekali. Walau tentu tak harus begitu. Karena, dimana pun, memakai sarana komunikasi apa pun, unggah-ungguh tetaplah harus ada. Harus diberlakukan. Tak peduli kepada siapa pun. Kecuali, meminjam istilah Pak Rocky Gerung, orang dungu yang melakukannya. Dan kedunguan stadium lanjut adalah orang dungu yang tak merasa dirinya dungu. Sabar, jangan keburu tersinggung. Karena, bisa jadi orang tersebut adalah saya sendiri.
Tengok saja. Hanya di media sosial orang yang blas gak pernah sekolah ekonomi bisa menyerang kebijakan pemerintah terkait ekonomi hanya berdasar pendapat si anu yang kebetulan berseberangan dengan pemerintah. Istilahnya, si anu itu ada di kubu oposisi. Yang maklum saja, apa pun kebijakan pihak sana selalu keliru bagi kelompoknya. Pun demikian sebaliknya.
Contoh kedua, hanya di medsos ada anak yang barangkali ngajinya baru dalam tahap iqro' saja bisa mengatai seorang ulama dengan kata 'ndasmu' hanya karena si anak itu tak sependapat dengan pandangan kiai itu tentang sesuatu.
Begitulah. Telepon pintar akan sangat berbahaya bila yang memegangnya tidak pintar. Apalagi dengan kenyataan bahwa perkembangbiakan hoax sudah sangat sulit dikendalikan. Padahal, maha sesat hoax dengan segala isinya.
Walau terlambat, saya ingin mengucapkan selamat tahun baru. Semoga kita tetap termasuk kaum yang tidak mudah termakan (apalagi pencipta) hoax.*****
Namun, saya memang tak pernah merayakan tahun baru. Tak pernah meniup terompet sambil begadang, lalu besoknya tidur seharian. Tidak. Saya bukan kelompok kaum itu. Saya orang biasa saja. Sangat biasa.
Walau demikian, saya rasa tahun ini, gaduh sekali. Bukan tentang para anak muda yang keliling kota di malam pergantian tahun dengan knalpot brong motornya. Kegaduhan yang belum pernah ada sebelum-sebelumnya. Kegaduhan yang konyol sekali. Antara dua kubu. Yang entah darimana asalnya kemudian melekat julukan kecebong dan kampret.
Media sosial memang kejam sekali. Di dalamnya menjadikan seakan tak ada sekat sama sekali. Walau tentu tak harus begitu. Karena, dimana pun, memakai sarana komunikasi apa pun, unggah-ungguh tetaplah harus ada. Harus diberlakukan. Tak peduli kepada siapa pun. Kecuali, meminjam istilah Pak Rocky Gerung, orang dungu yang melakukannya. Dan kedunguan stadium lanjut adalah orang dungu yang tak merasa dirinya dungu. Sabar, jangan keburu tersinggung. Karena, bisa jadi orang tersebut adalah saya sendiri.
Tengok saja. Hanya di media sosial orang yang blas gak pernah sekolah ekonomi bisa menyerang kebijakan pemerintah terkait ekonomi hanya berdasar pendapat si anu yang kebetulan berseberangan dengan pemerintah. Istilahnya, si anu itu ada di kubu oposisi. Yang maklum saja, apa pun kebijakan pihak sana selalu keliru bagi kelompoknya. Pun demikian sebaliknya.
Contoh kedua, hanya di medsos ada anak yang barangkali ngajinya baru dalam tahap iqro' saja bisa mengatai seorang ulama dengan kata 'ndasmu' hanya karena si anak itu tak sependapat dengan pandangan kiai itu tentang sesuatu.
Begitulah. Telepon pintar akan sangat berbahaya bila yang memegangnya tidak pintar. Apalagi dengan kenyataan bahwa perkembangbiakan hoax sudah sangat sulit dikendalikan. Padahal, maha sesat hoax dengan segala isinya.
Walau terlambat, saya ingin mengucapkan selamat tahun baru. Semoga kita tetap termasuk kaum yang tidak mudah termakan (apalagi pencipta) hoax.*****
Sabtu, 24 November 2018
Gelitik Bicara Politik
PUNYA
grup whatsapp
dari beberapa almamater tentu ada senangnya. Walau kadang ada jengkelnya pula. Benar memang, teman sekolah, yang dulu
akrab sekali, setelah terpisah sekian puluh tahun, antara
mosang-masing
telah melewati berbagai pengalaman hidup. Dari hal itu tadi, tentu
tidak menutup kemungkinan, telah ada sedikit-banyak pandangan yang
berbeda. Entah itu yang remeh temeh, atau hal yang lebih mendasar.
Salah
satu yang saya langsung kurang respek, adalah ketika ada teman yang
acap kali menyelipkan posting semacam kampanye untuk tidak memilih
capres ini, dan senantiasa mengunggulkan capres itu. Okelah, saya
sepakat warga negara yang baik, salah satunya adalah yang melek
politik, tapi kalau di semua kesempatan ngomongin politik kok ya
mbleneg
juga. Di warung ngobrol politik, di tempat kerja jagongan politik, di
pos kamling bahas politik, lha kok di whatsapp nemu posting politik.
Lebih
eneg
lagi kalau obrolan politik itu serius banget. Membela pendapat para
tokoh nun jauh disana dengan membabi buta. 'Pokoknya jagonya itu
terbaik, dan sang lawannya adalah kurang dan malah tidak ada
baik-baiknya blas'.
Makanya saya sepakat dengan pendapat, untuk bersikap netral adalah
hal yang amat sulit sekali bila kita telah menentukan calon yang
nanti hendak kita pilih. Ini tentang capres lho ya. Karena kalau
tentang caleg, apa sih yang menarik untuk dibicarakan tentang mereka?
Wong kita (eh, saya ding!) sejauh ini kurang mengenal siapa saja
mereka yang mesti dipilih, yang bisa dipercaya seratus persen nanti
bakal betul-betul memperjuangkan aspirasi saya, dan bukan malah
mati-matian memperjuangkan 'aspirasi' mereka dan/atau partainya
sendiri.
Ada
acara debat (kusir) politik yang tayang rutin di layar kaca. Acara
itu ramai sekali. Lebih-lebih nara sumber yang dihadirkan adalah yang
jago omong semua. (Ya iyalah, kalau narasumbernya pendiam semua,
santun semua, gak ramai dong). Jadi, baik yang pro maupun yang
kontra, yang dihadirkan dalam debat adalah yang punya kepiawaian
mumpuni dalam adu mulut. Semakin ada yang ngomongkan suka lepas
kontrol dan emosional, semakin sering ia didatangkan. Malah, ada
narasumber yang apa pun topik debatnya, beliau selalu (di)hadir(kan).
Dan (seolah) selalu tahu secara mendalam apa pun topik bahasannya.
Luar biasa.
Dulu,
jujur saya akui, juga suka nonton acara begituan. Maka, ketika anak
bungsu merebut remote control televisi untuk menonton acara kartun
kesukaannya, tak jarang saya menjadi naik pitam. Sebuah tindakan
konyol bukan? Hanya demi mengikuti debat para politisi (yang periode
lalu sebagai anggota partai A, kini dia bicara atas nama partai B,
dan pada pemilu lima tahun yang akan datang bisa jadi loncat lagi ke partai X),
kok sampai dibela-belain rebutan remote control sama anak kecil.
Kini
saya lebih santai. Semakin jarang (tidak pernah, malah) mengikuti
acara-acara debat politik begituan. Dan asyik saja menemani si bungsu
nonton serial kartun kesukaannya. Iya, film kartun yang ditonton anak
saya memang entah sudah berapa kali ditayang ulang. Dan dia tidak
bosan. Mungkin begitu juga teman-teman saya yang belum juga ada
bosannya nonton acara (dan bicara) politik.
Setiap
orang punya kesukaannya sendiri. Maka, menurut saya, antar anggota
beberapa grup whatsapp
saya yang heterogen ini, tak usahlah ngomong politik. Agar selalu cair.
Ngomong yang ringan-ringan saja. Seringan saya, dengan suara
pas-pasan, menyanyi bareng si bungsu saat serial Tayo,
sebuah film animasi produksi Korea, mulai diputar di layar kaca; ♪♫
hai Tayo, hai Tayo, dia bis kecil ramah...♫♪
melaju, melambat, Tayo selalu senang♪♫...
****
Jumat, 09 November 2018
Gorengan
MAS BENDO
berlari kecil menuju warung Mbak Yu. Gerimis pagi yang turun di
November ini sepertinya agak terlambat. Karena biasanya Agustus sudah
mulai hujan., lha ini sudah hampir pertengahan November baru
mulai turun hujan.
Dingin-dingin, di
hujan begini tentu enak nongkrong di warung Mbak Yu. Bisa nunut
baca koran. Bisa makan pisang goreng hangat. Apesnya, Mbak Yu belum
menggoreng pisang. Kang Karib yang sudah nongkrong duluan malah sudah
kebal-kebul merokok sambil baca koran.
“Piye to
Mbak Yu, kok pisangnya belum digoreng?” protes Mas Bendo.
“Rung
sempat, nDo.” jawab Mbak Yu sambil ndeplok sambel pecel.
“Ra usah
protes,” Kang Karib bicara sambil membuka koran halaman berikutnya.
“Wong ngutang aja kok kakean tuntutan. Mbok ya yang
sudah ada saja itu dimakan”.
“Hujan-hujan
begini enaknya makan gorengan yang anget-anget, Kang.”
“Makan krupuk
sambil minum kopi hangat kan juga bisa, nDo”
“Pinginnya pisang
goreng kok malah disuruh makan krupuk ki piye to sampeyan,”
Mas Bendo ambil duduk di dekat Kang Karib. “Lha kalau
sembarang gorengan, sekarang bukan hanya pisang. Perkataan juga bisa
digoreng lho, Kang”.
“Mesti kamu
sedang membela Pak Wo kan, nDo?” Kang Karib yang memang simpatian
Pak Wi menimpali. “Orang itu lihat-lihat dong kalau bicara. Masak
calon pemimpin kok bicaranya begitu.”
“Begitu piye to,
Kang? Orang guyon kok ditanggepi serius.”
“Guyon itu itu
juga harus ada batasnya, nDo. Mosok kok merendahkan orang dengan
menyebut daerahnya itu guyonan. Itu ndak patut, nDo.”
“Ra patut piye
to, Kang?!” sanggah Mas Bendo. “Ra patut mana coba
dengan wong sudah minta maaf kok masih saja dituntut. Ini
namanya gorengannya ra uwis-uwis, nggak bubar-bubar. Bisa
habis energi kita hanya ngurusi hal sekecil upil ini. Lha
kapan majunya kita, Kang.”
“Sama, nDo,”
Mbak Yu yang masih belum selesai menumbuk sambel pecel di lumpang,
menimpali, “kapan majunya warungku ini kalau kamu setiap kesini
selalu ngutang...” *****
Minggu, 04 November 2018
Sangkal Putung atau Dokter Orthopedi (Bag.2)
TENGAH
malam, di saat si bungsu pulas tidur, saya sering terjaga. Melihat
tangannya, melihat sikunya. Ya, walaupun setiap saya tanya dia selalu
bilang sudah tidak merasakan sakit di sikunya, dengan kondisi yang
hanya bisa ditekuk sembilan puluh derajat, sungguh saya merasa
nelangsa. Saya merasa berdosa. Dititipi merawat anak yang lahir
sempurna, kok bisa jatuh dan menjadi bengkok tangannya. Saya
membayangkan ia nanti oleh kawan-kawannya dijuluki si cekot.
![]() |
Si Bungsu membaca alur pasien. |
Celakanya, sebagai
pasien baru yang belum punya kartu Rekam Medik, saya harus
mendaftarkan secara manual. Belum bisa online. Dan, Senin itu
kuota pasien Poli Orthopedi sudah penuh. Jadi, “Silakan besok pagi
Bapak datang lebih pagi agar kebagian kuota,” kata petugas
pendaftaran.
Baiklah, di RS atau
di manapun, kadang stok kesabaran memang harus tersedia relatif cukup.
Selasa saya datang
lagi, lebih pagi lagi. Sempat sholat Subuh jamaah di masjid RS. Dan,
“Sebentar, saya telpon dokter Lukas dulu ya,” petugas di meja
pendaftaran meminta ijin kepada saya.
Langganan:
Postingan (Atom)