Minggu, 24 Februari 2019

Tracking Satelit Telkom-4

SEPERTI pernah saya bilang tempo hari, belakangan ini saya makin jarang nonton tivi. Lebih-lebih tentang berita politik. Lebih-lebih tentang talk show yang mempertemukan dua kubu paslon. Yang sama-sama punya kekuatan otot leher luar biasa kuat dalam berdebat. Memperdebatkan perdebatan. Selalu menilai calonnya yang benar. Yang unggul. Yang layak untuk menjadi pemimpin berikutnya. Hal wajar, memang. Bagi mereka. Bagi saya? Oh, belum tentu.

Perdebatan macam itu sepertinya (sepertinya lho ya...) juga menjadi konten andalan media penyiaran (televisi) di acara prime time. Di jam tayang utama begitu, konon, tarif iklannya juga muahal. Jadi? Perdebatan antar kubu di televisi itu, selain (tentu saja) bersifat politis, bisa jadi ada pula sisi bisnisnya. Sebagaimana acara gosip di televisi yang acap menjadi perbincangan di ranah publik, debat politik belakangan ini telah pula menjadi perhelatan perdebatan nasional. Nyaris semua orang. Dengan latar belakang apa pun. Lebih-lebih yang juga telah punya kecenderungan memilih jagoannya. Iya, masing memang telah punya pendukung fanatik. Yang bukan saja bisa sangat membenarkan pernyataan dan perbuatan benar calonnya, namun bisa pula membenarkan (dengan berbagai argumentasi) kesalahan calonnya.

Perdebatan antar pendukung fanatik begitu, tentu tak ada ujung. Adakah untungnya? Entahlah.

Kamis, 21 Februari 2019

Kartunis

SEMASA sekolah, selain menulis, juga ada kegemaran saya yang lain. Menggambar. Bukan menggambar seperti pelukis bergaya realis. Karena, untuk urusan melukis, prestasi tertinggi saya sejak SD adalah ketika menggambar pemandangan. Yaitu, membuat gunung dua, di tengah ada matahari, lalu ada sawah, dan ada jalan yang membelah persawahan itu. Juga ada dua pohon kelapa, satu tinggi-satunya pendek, di tepi jalan. Kompak. Karena nyaris anak satu kelas menggambar yang sama.

Makanya, saya kagum sekali ketika membaca cerita bergambar di majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat karya mendiang Teguh Santosa. Gambarnya hidup. Sehingga saya bisa dengan gampang dan gamblang mencerna cerita yang digambarkan. Selain Teguh Santosa, ilustrator yang saya kagumi kepiawaiannya dalam menggambar di majalah yang sama adalah Budiono. Nama yang saya sebut belakangan tadi sampai kini karyanya masih bisa kita nikmati di Jawa Pos (Grup?)

Menurut saya, coretan tangan Budiono khas. Baik saat menggambar sosok 'manusia normal', atau saat bikin karikatur. Yang juga bikin kagum adalah saat ia membuat ilustrasi untuk rubrik Wayang Opo Maneh yang (sayangnya kini rubrik itu sudah tidak ada lagi di Jawa Pos) tokoh wayang macam Cakil, atau Arjuna, atau Sengkuni dll digambarkan dengan jenaka. Pakai sepatu kets atau pakai jam tangan. Jan mbois tenan, khas Budiono pokoknya.

Rabu, 13 Februari 2019

Gerimis


SEBELUMNYA, seperti juga siapa pun, aku mengenal gerimis sebagai air yang turun setelah bergelayutan menggantung pada sayap-sayap mendung. Ia menjadi semakin sering turun kala musimnya. Desember, atau Januari begini. Itu saja.

Sampai pada suatu senja, kala hatiku berselimut mendung, gerimis datang dalam rupa yang sebenarnya. Ia turun dengan lembut, mendarat dengan gemulai. Wajahnya putih, tetapi bukan pucat. Satu di antara dari gerimis itu, kulihat paling cantik, setelah mendarat di depan rumahku, berjalan mendekat ke teras dimana aku berdiri bersedekap di depan jendela.

“Maaf, kenalkan; namaku Gerimis. Boleh aku menemani?” ia bertanya, bibirnya merah, kontras sekali dengan kulitnya.


Kamis, 07 Februari 2019

Belajar Nge-vlog

BEBERAPA hobi saya bikinkan blog untuk menulisnya. Hobi bikin cerpen saya buatkan www.ediwinarno1.wordpress.com. Untuk hobi memperhatikan televisi tulisannya saya tampung di www.sisitelevisi.wordpress.com dan www.sisitelevisi.blogspot.com. Namun seperti isi dompet saya, ide nulis di blog-blog itu kadang ada, kadang blong tidak ada. Bolong gak nulis apa pun disitu. Perhatikan, lama sudah saya gak posting di wadah-wadah itu.

Tentang seneng mengamati televisi mungkin gara-gara dulu sering nebeng baca tabloid Monitor di rumah seorang kaya yang ke situ saban malam kami numpang nonton televisi. Nonton sambil baca ulasan pertelevisian ala tabloid Monitor dengan gaya bahasa yang Arswendo banget, mantaplah pokoknya.

Kini, saya makin jarang nonton televisi. Layar kaca lebih banyak dinikmati si kecil dengan Tayo, Ultraman, Upin-Ipin dan sejenisnya. Kenapa saya makin jarang nonton tivi, kalau mau, kapan-kapanlah saja itu saya jelaskan. Tapi begini, untuk hobi berburu siaran televisi, walau tak ekstra-ekstra banget, lumayanlah alat yang telah saya beli. Dari mulai DVB-T1 lanjut ke DVB-T2, lanjut lagi ke seperangkat antena parabola beserta uba-rampe-nya.

Mengejar siaran 'jalur langit' begitu alatnya lebih banyak, dibanding jalur terrestrial yang cukup pakai antena PF Goceng. Kalau mau nangkap yang digital terrestrial cuma cukup nambah 'set top box'. Kalau mengejar siaran tv satelit, lebih dari itu butuhnya. Dan seperti ponsel, saban waktu selalu ada type terbaru. Yang bisa buka acakan ini atau itu. Yang otomatis. Jangankan acakan biss key, powervu pun bisa dilihat. Receiver terbaru makin sakti. Rollingnya bisa berguling-guling sendiri, tak perlu tombal-tombol remote control memasukkan kode acakan yang sewaktu-waktu berganti. Namun saya hanya punya yang standard saja. Mulai satfinder analog, digital sampai yang bergambar. Untuk selalu membeli model terbaru, enggaklah. Stabilitas dompet saya rawan terganggu. Namun memang begitulah risiko punya hobi. Apapun jenis hobinya.

Ultah Pernikahan

TANGGAL 5 Pebruari 1999 saya dengan diantar kakak sudah sampai ke TKP. Sebuah desa paling barat di kecamatan Karangbinangun. Berbatas dengan kecamatan Kalitengah. Sementara suporter (baca: pengiring kemanten) baru berangkat besoknya. Ini sebagai antisipasi saja. Agar ijab qobul bisa dilaksanakan sesuai rencana. Nah kalau saya sebagai sang pengantin ikutan berangkat bareng suporter, dan kendaraan mengalami ini atau itu di jalan yang mengakibatkan kedatangan molor dari jadwal, wah bisa repot. Ini perhitungan mertua saya, yang kala itu tentu baru sebagai calon.

Kalaulah sebagai bus, jarak yang kami tempuh masih tergolong sebagai AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi)  walau tentu tak bisa pula dibilang dekat. Jember – Lamongan. Yang jalanan kala itu belum seperti sekarang. Apalagi di kampung Putri Lamongan yang hendak saya nikahi. Di musim hujan begitu, jalanan bak kubangan.

Jas pinjaman yang
kekecilan itu.
Tanggal 6 Pebruari kami menikah. Iya di desa istri saya. Karena hotel Vasa tempat Vanessa dijemput polisi itu belum dibangun, sehingga resepsi tak dilakukan di hotel itu. Kalimat barusan itu tentu saja ngawur belaka. Karena jangankan tempat yang lebih layak, jas pengantin saat ijab qobul pun dapat pinjaman secara mendadak. Kekecilan pula. Yang kalau siku tangan saya tekuk, untuk tanda tangan buku nikah misalnya, ujung lengan jas ikutan tertarik. Namanya juga dapat pinjam. Untung saja dapat. Bukan jas hujan pula.

Rabu, 06 Februari 2019

Pelet Internet

SETELAH Philipina, Brazil, Thailand dan Kolumbia, negeri kita nangkring di peringkat kelima tingkat kebetahan penduduk dalam main internet. Torehan waktunya, 8 jam 36 menit dalam sehari. Artinya lebih dari sepertiga waktu dalam sehari kita habiskan berinternet. Entah ini sebagai cermin kepintaran dan kemajuan ataukah malah sebaliknya. Karena Jepang, sebagai negara yang minat baca warganya relatif tinggi, ranking kekuatan warganya dalam berinternet gak ada seupilnya bila dibanding kita. Catat, mereka hanya betah berinternet selama 3 jam 45 menit dalam sehari. Dan ini sebagai negara nomor buncit.

Internet penting adalah iya. Namun membaca rilis yang banyak dimuat media tersebut kok ya gimana. Ataukah memang kegemaran dan kebetahan dalam berinternet tak dapat dijadikan patokan pintar-tidaknya sebuah bangsa (atau seseorang), tak pula bisa dipakai acuan yang hitam-putih.

Sebagai orang yang tidak sekali-dua blusukan ke kamar mandi dan/atau WC penghuni Jepang, saya acap mendapati ada semacam 'perpustakaan' di tempat buang hajat mereka. Itu, walau subyektif semata, paling tidak saya bisa simpulkan; orang Jepang suka membaca. Nah, lha kok bisa coba, orang suka membaca malah, menurut laporan itu, gak betah berinternet.

Kembali ke 'prestasi' daya tahan bangsa kita dalam berinternet, jangan-jangan memang demikian. Jangan-jangan itu memang perilaku saya. Yang lebih akrab dengan gadget dibanding lingkungan sekitar.

Membuat tulisan ini dan lalu mempostingnya di blog, tak terasa sudah hampir setengah jam saya 'online'. Ini baru barusan. Belum lagi pagi tadi, belum lagi siang tadi. Oh, jangan-jangan telah lebih dari 8 jam 36 menit dalam sehari ini saya ngeluyur sia-sia di dunia maya. ****

Minggu, 06 Januari 2019

Kacamata

BUKAN, ini bukan tentang hoax lagi. Masa sudah dua kali di awal tahun ini menulis tentang hoax, mau nulis lagi tentang itu. Sudah cukup. Sekali pun di luar sana masih dan selalu akan ada hoax-hoax baru. Biar saja. Hoax menggonggong, kafilah berlalu.

Mari bercerita tentang hal lain saja. Hal-hal tak penting lainnya. Karena bukankah semua yang saya tulis di sini memang adalah hal remeh temeh belaka. Hal tak penting yang hendak saya tulis kali ini adalah tentang kacamata.

Kacamata adalah sesuatu yang sebenarnya tak penting namun meningkat derajatnya menjadi penting bagi yang membutuhkan. Saya pernah membaca analisa seseorang tentang suatu topik dari kacamata beliau sebagai pakar. Yang kadang, nalar saya tidak nutut untuk memahaminya. Yang celakanya, lalu saya tidak setuju dengan pendapat pakar itu. Kenapa? Kacamata saya dan kacamata beliau dalam menyikapi sebuah topik berbeda. Kenapa berbeda? Bisa jadi karena ada gap (bisa pendidikan, dan lainnya) antara saya dan pakar itu.

Kacamata saya yang kemarin patah (dan alhamdulillah telah tersambung lagi oleh kawat klip kertas ini), saya beli di jalan Melati Tabanan, Bali. Di sebuah toko kacamata kecil, Kalista Optik namanya. Tak ada yang istimewa dari bangunannya. Setak-istimewa banten (sesajen kecil dengan dupa yang mengepulkan aroma wangi) yang diletakkan di depan toko, pagi itu. Juga pagi-pagi yang lain. Lumrah saja. Di Bali semua begitu. Yang tak lumrah adalah, dari toko yang secara penampakan terlihat Bali banget itu, terdengar alunan lagu kasidah, atau rekaman tartil Al Quran setiap saya lewat. Juga dua perempuan muda berjilbab sebagai penjaganya.

Maka, ketika kacamata saya rusak dan tak bisa diperbaiki, menujulah saya ke Kalista untuk membeli yang baru. Tentu, ada banyak toko kacamata di Tabanan situ. Tetapi, menurut kacamata saya, ada sesuatu yang 'lain' (menurut saya lho ya) dari Kalista. Ada aura yang menyatu dengan saya. Ada warna yang langsung bisa menyentuh hati saya. Iya, musik kasidah dan perempuan berhijab itu.

Mungkin, seharusnya saya tidak terlalu begitu. Bukankah dalam jual-beli tak terlarang untuk melakukan dengan orang yang tak seiman. Betul, dan saya tak membantah itu. Namun, bukankah saya juga tak salah berlaku begitu, dan di kesempatan lain membeli barang lain di tempat yang lain, di tempat orang tak seiman. Biasa saja.

Toh, musik kasidan dan alunan ayat suci itu diputar oleh penjaga toko yang kera Ngalam, arek Malang. Yang tak malang karena tak dilarang oleh si empunya toko yang orang Hindu (Bali) untuk memutar sesuatu yang islami di tokonya. Ini hal sepele. Hanya suara. Tapi, di sini, di negeri yang dulu senantiasa digaungkan sebagai negeri yang menjunjung tinggi sopan-santun dan toleransi ini, kini tidak sedikit hal dan kasus besar (atau dibesar-besarkan?) yang dipicu hal sepele. Tidak saja oleh yang lain golongan, yang segolongan pun bisa beda dalam menilai dan menyikapi sesuatu. Kenapa? Ya karena beda kacamata (dan kepentingan?) dalam melihatnya. *****


Kamis, 03 Januari 2019

Hoax Tempo Doeloe

SEDANG ramai dibicarakan orang tentang kabar (bohong) telah ditemukannya tujuh kontainer di Tanjung Priok berisi surat suara yang sudah dicoblos untuk salah satu paslon kontestan pilpres yang digelar lima hari setelah ulang tahun saya bulan April nanti.  Dan sebuah keniscayaan, bahwa sebohong apa pun kabar, kadang ada juga yang mempercayai, sebagaimana sesungguh apapun kabar benar, tak menutup kemungkinan ada pula yang tak mempercayai.

Sudahlah, saya agak kurang gairah menulis tentang hal perpolitikan. Saya harus tahu diri. Saya ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Tak ada kapital memadai untuk mengupas yang yang saya kurang pahami.

Namun hoax, saya kira, bukan belakangan ini saja terjadi. Bahwa kemudian kabar bohong ini lalu punya nama keren sebagai hoax, mungkin memang iya barusan saja saya tahu. Tetapi praktik hoax itu sendiri adalah hal yang sejak kecil sudah saya alami sendiri. Saya mengalaminya sebagai korban, dan orang tua saya pelakunya. Nah lho.

Berikut tiga hoax ortu versi saya.

Rabu, 02 Januari 2019

Selamat Tahun (Hoax) Baru

SAAT mengawali tulisan ini, sudah tiga puluh delapan jam saya menghirup udara tahun baru. Tahun 2019. Tahun baru yang lama-lama akan menjadi lama juga, kehilangan kebaruannya. Seperti halnya yang lain. Yang tak terhitung. Yang tak dirayakan.

Namun, saya memang tak pernah merayakan tahun baru. Tak pernah meniup terompet sambil begadang, lalu besoknya tidur seharian. Tidak. Saya bukan kelompok kaum itu. Saya orang biasa saja. Sangat biasa.

Walau demikian, saya rasa tahun ini, gaduh sekali. Bukan tentang para anak muda yang keliling kota di malam pergantian tahun dengan knalpot brong motornya. Kegaduhan yang belum pernah ada sebelum-sebelumnya. Kegaduhan yang konyol sekali. Antara dua kubu. Yang entah darimana asalnya kemudian melekat julukan kecebong dan kampret.

Media sosial memang kejam sekali. Di dalamnya menjadikan seakan tak ada sekat sama sekali. Walau tentu tak harus begitu. Karena, dimana pun, memakai sarana komunikasi apa pun, unggah-ungguh tetaplah harus ada. Harus diberlakukan. Tak peduli kepada siapa pun. Kecuali, meminjam istilah Pak Rocky Gerung, orang dungu yang melakukannya. Dan kedunguan stadium lanjut adalah orang dungu yang tak merasa dirinya dungu. Sabar, jangan keburu tersinggung. Karena, bisa jadi orang tersebut adalah saya sendiri.

Tengok saja. Hanya di media sosial orang yang blas gak pernah sekolah ekonomi bisa menyerang kebijakan pemerintah terkait ekonomi hanya berdasar pendapat si anu yang kebetulan berseberangan dengan pemerintah. Istilahnya, si anu itu ada di kubu oposisi. Yang maklum saja, apa pun kebijakan pihak sana selalu keliru bagi kelompoknya. Pun demikian sebaliknya.

Contoh kedua, hanya di medsos ada anak yang barangkali ngajinya baru dalam tahap iqro' saja bisa mengatai seorang ulama dengan kata 'ndasmu' hanya karena si anak itu tak sependapat dengan pandangan kiai itu tentang sesuatu.

Begitulah. Telepon pintar akan sangat berbahaya bila yang memegangnya tidak pintar. Apalagi dengan kenyataan bahwa perkembangbiakan hoax sudah sangat sulit dikendalikan. Padahal, maha sesat hoax dengan segala isinya.

Walau terlambat, saya ingin mengucapkan selamat tahun baru. Semoga kita tetap termasuk kaum yang tidak mudah termakan (apalagi pencipta) hoax.*****

Sabtu, 24 November 2018

Gelitik Bicara Politik

PUNYA grup whatsapp dari beberapa almamater tentu ada senangnya. Walau kadang ada jengkelnya pula. Benar memang, teman sekolah, yang dulu akrab sekali, setelah terpisah sekian puluh tahun, antara mosang-masing telah melewati berbagai pengalaman hidup. Dari hal itu tadi, tentu tidak menutup kemungkinan, telah ada sedikit-banyak pandangan yang berbeda. Entah itu yang remeh temeh, atau hal yang lebih mendasar.

Salah satu yang saya langsung kurang respek, adalah ketika ada teman yang acap kali menyelipkan posting semacam kampanye untuk tidak memilih capres ini, dan senantiasa mengunggulkan capres itu. Okelah, saya sepakat warga negara yang baik, salah satunya adalah yang melek politik, tapi kalau di semua kesempatan ngomongin politik kok ya mbleneg juga. Di warung ngobrol politik, di tempat kerja jagongan politik, di pos kamling bahas politik, lha kok di whatsapp nemu posting politik.

Lebih eneg lagi kalau obrolan politik itu serius banget. Membela pendapat para tokoh nun jauh disana dengan membabi buta. 'Pokoknya jagonya itu terbaik, dan sang lawannya adalah kurang dan malah tidak ada baik-baiknya blas'. Makanya saya sepakat dengan pendapat, untuk bersikap netral adalah hal yang amat sulit sekali bila kita telah menentukan calon yang nanti hendak kita pilih. Ini tentang capres lho ya. Karena kalau tentang caleg, apa sih yang menarik untuk dibicarakan tentang mereka? Wong kita (eh, saya ding!) sejauh ini kurang mengenal siapa saja mereka yang mesti dipilih, yang bisa dipercaya seratus persen nanti bakal betul-betul memperjuangkan aspirasi saya, dan bukan malah mati-matian memperjuangkan 'aspirasi' mereka dan/atau partainya sendiri.

Ada acara debat (kusir) politik yang tayang rutin di layar kaca. Acara itu ramai sekali. Lebih-lebih nara sumber yang dihadirkan adalah yang jago omong semua. (Ya iyalah, kalau narasumbernya pendiam semua, santun semua, gak ramai dong). Jadi, baik yang pro maupun yang kontra, yang dihadirkan dalam debat adalah yang punya kepiawaian mumpuni dalam adu mulut. Semakin ada yang ngomongkan suka lepas kontrol dan emosional, semakin sering ia didatangkan. Malah, ada narasumber yang apa pun topik debatnya, beliau selalu (di)hadir(kan). Dan (seolah) selalu tahu secara mendalam apa pun topik bahasannya. Luar biasa.

Dulu, jujur saya akui, juga suka nonton acara begituan. Maka, ketika anak bungsu merebut remote control televisi untuk menonton acara kartun kesukaannya, tak jarang saya menjadi naik pitam. Sebuah tindakan konyol bukan? Hanya demi mengikuti debat para politisi (yang periode lalu sebagai anggota partai A, kini dia bicara atas nama partai B, dan pada pemilu lima tahun yang akan datang bisa jadi loncat lagi ke partai X), kok sampai dibela-belain rebutan remote control sama anak kecil.

Kini saya lebih santai. Semakin jarang (tidak pernah, malah) mengikuti acara-acara debat politik begituan. Dan asyik saja menemani si bungsu nonton serial kartun kesukaannya. Iya, film kartun yang ditonton anak saya memang entah sudah berapa kali ditayang ulang. Dan dia tidak bosan. Mungkin begitu juga teman-teman saya yang belum juga ada bosannya nonton acara (dan bicara) politik.

Setiap orang punya kesukaannya sendiri. Maka, menurut saya, antar anggota beberapa grup whatsapp saya yang heterogen ini, tak usahlah ngomong politik. Agar selalu cair. Ngomong yang ringan-ringan saja. Seringan saya, dengan suara pas-pasan, menyanyi bareng si bungsu saat serial Tayo, sebuah film animasi produksi Korea, mulai diputar di layar kaca; ♪♫ hai Tayo, hai Tayo, dia bis kecil ramah...♫♪ melaju, melambat, Tayo selalu senang♪♫... ****




Jumat, 09 November 2018

Gorengan

MAS BENDO berlari kecil menuju warung Mbak Yu. Gerimis pagi yang turun di November ini sepertinya agak terlambat. Karena biasanya Agustus sudah mulai hujan., lha ini sudah hampir pertengahan November baru mulai turun hujan.

Dingin-dingin, di hujan begini tentu enak nongkrong di warung Mbak Yu. Bisa nunut baca koran. Bisa makan pisang goreng hangat. Apesnya, Mbak Yu belum menggoreng pisang. Kang Karib yang sudah nongkrong duluan malah sudah kebal-kebul merokok sambil baca koran.

Piye to Mbak Yu, kok pisangnya belum digoreng?” protes Mas Bendo.

Rung sempat, nDo.” jawab Mbak Yu sambil ndeplok sambel pecel.

Ra usah protes,” Kang Karib bicara sambil membuka koran halaman berikutnya. “Wong ngutang aja kok kakean tuntutan. Mbok ya yang sudah ada saja itu dimakan”.

“Hujan-hujan begini enaknya makan gorengan yang anget-anget, Kang.”

“Makan krupuk sambil minum kopi hangat kan juga bisa, nDo”

“Pinginnya pisang goreng kok malah disuruh makan krupuk ki piye to sampeyan,” Mas Bendo ambil duduk di dekat Kang Karib. “Lha kalau sembarang gorengan, sekarang bukan hanya pisang. Perkataan juga bisa digoreng lho, Kang”.

“Mesti kamu sedang membela Pak Wo kan, nDo?” Kang Karib yang memang simpatian Pak Wi menimpali. “Orang itu lihat-lihat dong kalau bicara. Masak calon pemimpin kok bicaranya begitu.”

“Begitu piye to, Kang? Orang guyon kok ditanggepi serius.”

“Guyon itu itu juga harus ada batasnya, nDo. Mosok kok merendahkan orang dengan menyebut daerahnya itu guyonan. Itu ndak patut, nDo.”

Ra patut piye to, Kang?!” sanggah Mas Bendo. “Ra patut mana coba dengan wong sudah minta maaf kok masih saja dituntut. Ini namanya gorengannya ra uwis-uwis, nggak bubar-bubar. Bisa habis energi kita hanya ngurusi hal sekecil upil ini. Lha kapan majunya kita, Kang.”

“Sama, nDo,” Mbak Yu yang masih belum selesai menumbuk sambel pecel di lumpang, menimpali, “kapan majunya warungku ini kalau kamu setiap kesini selalu ngutang...” *****


Minggu, 04 November 2018

Sangkal Putung atau Dokter Orthopedi (Bag.2)

TENGAH malam, di saat si bungsu pulas tidur, saya sering terjaga. Melihat tangannya, melihat sikunya. Ya, walaupun setiap saya tanya dia selalu bilang sudah tidak merasakan sakit di sikunya, dengan kondisi yang hanya bisa ditekuk sembilan puluh derajat, sungguh saya merasa nelangsa. Saya merasa berdosa. Dititipi merawat anak yang lahir sempurna, kok bisa jatuh dan menjadi bengkok tangannya. Saya membayangkan ia nanti oleh kawan-kawannya dijuluki si cekot.

Si Bungsu membaca alur pasien.
Setelah pada hari Jumat saya mendapat surat rujukan dari faskes tingkat 1 di klinik BPJS tempat kami sekeluarga terdaftar, Senin pagi-pagi sekali saya mendaftar untuk ke Poli Orthopedi di sebuah rumah sakit yang saya pilih tidak terlalu jauh dari rumah saya. Memilih RS itu bukan melulu karena jarak, namun juga karena di RS itu dulu si sulung pernah dirawat saat DB, juga saat istri saya harus dioperasi. Pendek kata, saya merasa sreg saja kami berobat kesitu. Walau dulu, saat saya operasi, saya tidak memilih di RS ini, namun di RS milik sebuah institusi di jalan A. Yani.

Celakanya, sebagai pasien baru yang belum punya kartu Rekam Medik, saya harus mendaftarkan secara manual. Belum bisa online. Dan, Senin itu kuota pasien Poli Orthopedi sudah penuh. Jadi, “Silakan besok pagi Bapak datang lebih pagi agar kebagian kuota,” kata petugas pendaftaran.

Baiklah, di RS atau di manapun, kadang stok kesabaran memang harus tersedia relatif cukup.

Selasa saya datang lagi, lebih pagi lagi. Sempat sholat Subuh jamaah di masjid RS. Dan, “Sebentar, saya telpon dokter Lukas dulu ya,” petugas di meja pendaftaran meminta ijin kepada saya.