Sabtu, 24 November 2018

Gelitik Bicara Politik

PUNYA grup whatsapp dari beberapa almamater tentu ada senangnya. Walau kadang ada jengkelnya pula. Benar memang, teman sekolah, yang dulu akrab sekali, setelah terpisah sekian puluh tahun, antara mosang-masing telah melewati berbagai pengalaman hidup. Dari hal itu tadi, tentu tidak menutup kemungkinan, telah ada sedikit-banyak pandangan yang berbeda. Entah itu yang remeh temeh, atau hal yang lebih mendasar.

Salah satu yang saya langsung kurang respek, adalah ketika ada teman yang acap kali menyelipkan posting semacam kampanye untuk tidak memilih capres ini, dan senantiasa mengunggulkan capres itu. Okelah, saya sepakat warga negara yang baik, salah satunya adalah yang melek politik, tapi kalau di semua kesempatan ngomongin politik kok ya mbleneg juga. Di warung ngobrol politik, di tempat kerja jagongan politik, di pos kamling bahas politik, lha kok di whatsapp nemu posting politik.

Lebih eneg lagi kalau obrolan politik itu serius banget. Membela pendapat para tokoh nun jauh disana dengan membabi buta. 'Pokoknya jagonya itu terbaik, dan sang lawannya adalah kurang dan malah tidak ada baik-baiknya blas'. Makanya saya sepakat dengan pendapat, untuk bersikap netral adalah hal yang amat sulit sekali bila kita telah menentukan calon yang nanti hendak kita pilih. Ini tentang capres lho ya. Karena kalau tentang caleg, apa sih yang menarik untuk dibicarakan tentang mereka? Wong kita (eh, saya ding!) sejauh ini kurang mengenal siapa saja mereka yang mesti dipilih, yang bisa dipercaya seratus persen nanti bakal betul-betul memperjuangkan aspirasi saya, dan bukan malah mati-matian memperjuangkan 'aspirasi' mereka dan/atau partainya sendiri.

Ada acara debat (kusir) politik yang tayang rutin di layar kaca. Acara itu ramai sekali. Lebih-lebih nara sumber yang dihadirkan adalah yang jago omong semua. (Ya iyalah, kalau narasumbernya pendiam semua, santun semua, gak ramai dong). Jadi, baik yang pro maupun yang kontra, yang dihadirkan dalam debat adalah yang punya kepiawaian mumpuni dalam adu mulut. Semakin ada yang ngomongkan suka lepas kontrol dan emosional, semakin sering ia didatangkan. Malah, ada narasumber yang apa pun topik debatnya, beliau selalu (di)hadir(kan). Dan (seolah) selalu tahu secara mendalam apa pun topik bahasannya. Luar biasa.

Dulu, jujur saya akui, juga suka nonton acara begituan. Maka, ketika anak bungsu merebut remote control televisi untuk menonton acara kartun kesukaannya, tak jarang saya menjadi naik pitam. Sebuah tindakan konyol bukan? Hanya demi mengikuti debat para politisi (yang periode lalu sebagai anggota partai A, kini dia bicara atas nama partai B, dan pada pemilu lima tahun yang akan datang bisa jadi loncat lagi ke partai X), kok sampai dibela-belain rebutan remote control sama anak kecil.

Kini saya lebih santai. Semakin jarang (tidak pernah, malah) mengikuti acara-acara debat politik begituan. Dan asyik saja menemani si bungsu nonton serial kartun kesukaannya. Iya, film kartun yang ditonton anak saya memang entah sudah berapa kali ditayang ulang. Dan dia tidak bosan. Mungkin begitu juga teman-teman saya yang belum juga ada bosannya nonton acara (dan bicara) politik.

Setiap orang punya kesukaannya sendiri. Maka, menurut saya, antar anggota beberapa grup whatsapp saya yang heterogen ini, tak usahlah ngomong politik. Agar selalu cair. Ngomong yang ringan-ringan saja. Seringan saya, dengan suara pas-pasan, menyanyi bareng si bungsu saat serial Tayo, sebuah film animasi produksi Korea, mulai diputar di layar kaca; ♪♫ hai Tayo, hai Tayo, dia bis kecil ramah...♫♪ melaju, melambat, Tayo selalu senang♪♫... ****




Tidak ada komentar:

Posting Komentar