Minggu, 04 November 2018

Sangkal Putung atau Dokter Orthopedi (Bag.2)

TENGAH malam, di saat si bungsu pulas tidur, saya sering terjaga. Melihat tangannya, melihat sikunya. Ya, walaupun setiap saya tanya dia selalu bilang sudah tidak merasakan sakit di sikunya, dengan kondisi yang hanya bisa ditekuk sembilan puluh derajat, sungguh saya merasa nelangsa. Saya merasa berdosa. Dititipi merawat anak yang lahir sempurna, kok bisa jatuh dan menjadi bengkok tangannya. Saya membayangkan ia nanti oleh kawan-kawannya dijuluki si cekot.

Si Bungsu membaca alur pasien.
Setelah pada hari Jumat saya mendapat surat rujukan dari faskes tingkat 1 di klinik BPJS tempat kami sekeluarga terdaftar, Senin pagi-pagi sekali saya mendaftar untuk ke Poli Orthopedi di sebuah rumah sakit yang saya pilih tidak terlalu jauh dari rumah saya. Memilih RS itu bukan melulu karena jarak, namun juga karena di RS itu dulu si sulung pernah dirawat saat DB, juga saat istri saya harus dioperasi. Pendek kata, saya merasa sreg saja kami berobat kesitu. Walau dulu, saat saya operasi, saya tidak memilih di RS ini, namun di RS milik sebuah institusi di jalan A. Yani.

Celakanya, sebagai pasien baru yang belum punya kartu Rekam Medik, saya harus mendaftarkan secara manual. Belum bisa online. Dan, Senin itu kuota pasien Poli Orthopedi sudah penuh. Jadi, “Silakan besok pagi Bapak datang lebih pagi agar kebagian kuota,” kata petugas pendaftaran.

Baiklah, di RS atau di manapun, kadang stok kesabaran memang harus tersedia relatif cukup.

Selasa saya datang lagi, lebih pagi lagi. Sempat sholat Subuh jamaah di masjid RS. Dan, “Sebentar, saya telpon dokter Lukas dulu ya,” petugas di meja pendaftaran meminta ijin kepada saya.


Karena, dari pembicaraan telepon yang saya dengar, pasien yang sudah mendaftar untuk ke Poli Orthopedi untuk jadwal sore hari itu telah ada 30 pasien. Alhamdulillah, dokter Lukas masih mau nambah menjadi 40 pasien. Jadilah anak saya mendapat nomor antri 31. Lega saya.

Walau agak takut juga. Karena pernah saya membaca, dokter akan marah-marah menerima pasien yang telah pernah ditangani oleh tukang pijat. Konon, sebagaimana saya baca, dokter orthopedi lebih suka menerima pasien yang belum tersentuh tangan tukang pijat.

Sorenya, dengan persiapan mental yang lumayan, saya menunggu di depan ruang poli orthopedi. Sambil antre, saya berdoa semoga dokternya baik dan gak hobbi marah-marah. :) Tertera di samping pintu poli, nama dokter Lukas yang akan menangangi anak saya. Sesuai penelusuran saya lewat google, dokter Lukas adalah dokter ahli orthopedi lulusan PTN ternama di Surabaya, sempat pula memperdalam ilmunya di Korsel dan Jepang. Secara keahlian, tentu tak ada alasan bagi saya untuk meragukannya. Namun, saya lihat anak saya berwajah sedih, ketakutan. “Aku takut dioperasi,” bisiknya, memelas.

Tentu saya menenangkannya. Agar ia tidak takut.

Panggilan untuk masuk ruang dokter datang juga. Membuka pintu, saya uluk salam. Masuk ke dalam, ternyata kami masih harus menunggu lagi. Masih ada pasien yang sedang diperiksa dokter Lukas. Beliau menulis dengan tangan kiri itu. Beliau ganteng, berkacamata, dan suka bercanda.

Selesai memeriksa pasien tadi, dokter Lukas mengambil berkas anak saya dan mengeja namanya, “Wah, namanya berat ini,” canda dokter.

“Iya dok, saking beratnya sampai jatuh dari sepeda,” timpal saya.

“Lho, kenapa tangannya ini?” dokter Lukas berdiri lalu memegang tangan anak saya.

Kemudian berceritalah saya tentang kronologinya. Dokter Lukas mendengarkan dengan seksama. “Oh, gak apa-apa kok. Ini bisa diperbaiki. Kasihan, kalau sampai tangannya cekot,” beliau duduk lagi. Menulis sesuatu di kertas.

“Ini pengantar untuk ke ruang radiologi. Harus rongent dulu.”

Tentu saya tidak bercerita kalau di tukang pijat sudah pernah difoto rongent. Malah, karena tidak ditanya, saya juga tidak cerita kalau sudah pernah ditangani tukang sangkal putung.

Berbekal pengantar dari dokter Lukas, kami membawa si bungsu ke ruang radiologi untuk foto rongent. Ternyata harus foto dua kali. Posisi siku tangan lurus, dan satunya lagi ditekuk sembilan puluh derajat. Ternyata (lagi) proses pemotretannya tidak sekaligus di saat itu. Harus dua hari kemudian. Ya, memang harus sabar melewati sesuatu yang mungkin memang sudah prosedur.

Hari untuk ketemu dokter Lukas datang lagi. Berbekal dua lembar foto rongent kami menghadap lagi. Di luar, sambil menunggu antrean, saya sempat membuka keterangan yang disertakan dalam map besar berisi hasil foto rongent. Intinya, dalam keterangan, semua normal.

Nah, ternyata yang praktik di ruang poli orthopedi saat itu bukan dokter Lukas. Mungkin dokter Lukas sedang berhalangan, sehingga digantikan oleh dokter Brian Vicky. Saya nilai dokter Brian lebih muda, dan lebih ganteng. (Maaf, lho dokter Lukas... hehe).

Saya tidak menyangka, dokter Brian adalah penebak yang ulung, “Ini pernah dibawa ke sangkal putung ya?”, katanya santai sambil tersenyum.

Senyum yang membuyarkan ketakutan saya bahwa kalau sudah pernah ditangani sangkal putung, dokter orthopedi akan marah-marah walau tetap saja akan ditangani. Buktinya dokter Brian tidak marah. Dokter Lukas gak pernah bertanya malah.

Setelah memeriksa hasil rongent dan mendapati kondisi tulang anak saya normal belaka (walau belum bisa ditekuk lebih dari sembilan puluh derajat), dokter Brian memutuskan tidak perlu operasi. Kami diberi surat pengantar ke Poli Rehabitasi Medik. Nah, karena pasien BPJS tidak diperkenankan mengunjungi dua poli dalam satu hari, maka kami harus menunggu besoknya untuk ke poli dimaksud. Ya, sekali lagi, sebagai pasien dan/atau keluarganya, memang dituntut untuk mempunyai kesabaran berlebih saat begini ini.

Demi agar si bungsu segera mendapat penanganan rehab medik, hari Senin itu saya ijin tidak masuk kerja. Kalau biasanya ke dokter ortopedi saya ambil jadwal dokter yang praktik malam, ke rehab medik saya ambil pagi. Dalam jadwal, tertera pagi itu yang buka praktik dokter Fatchur, SpKFR. (SpKFR = Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi).

Instalasi Rehabilitasi Medik RSI.
Akhirnya, setelah menunggu lumayan lama, kami dipanggil masuk ke ruang dokter Fatchur. Saya lihat orangnya sudah agak berumur. Penilaian subyektif saya, semakin berumur seorang dokter, semakin ahli pulalah beliau. Apalagi ini spesialis. Maka makin spesial saja. Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak yakin. Keyakinan itu saya buktikan dengan melihat cara dokter Fatchur memeriksa tangan anak saya.

“Belum memegang tangan anak Bapak saja saya sudah tahu apa masalahnya,” kata dokter Fatchur. “Karena saya sudah baca di sini,” kata beliau sambil tersenyum dan menunjuk layar monitor komputer di mejanya. Oh, ternyata dokter Fatchur suka guyon juga.

Saya tahu, sebagai rumah sakit yang menerapkan sisten cyber hospital, tentulah rekam medik pasien telah tertata sekaligus terdata dengan baik. Sehingga antar poli dan antar bagian bisa memanfaatkan teknologi yang telah diterapkan untuk operasional rumah sakit secara keseluruhan.

Untuk daftar, jadwal praktik dokter, melihat nomor urut antrean obat, di RSI Jemursari Surabaya ini memang telah bisa dilakukan secara online menggunakan smartphone. Dan setelah pendaftaran manual pertama dulu itu, besoknya saya sudah dapat menggunakan kartu Rekam Medik untuk anak saya. Sehingga sudah bisa melakukan pendaftaran dan lain-lain secara online dari rumah.

Dokter Fatchur memberi lembar pengantar, dan menulis disitu agar si bungsu saya ini diterapi sebanyak delapan kali. “Kalau sekolahnya full day, bisa ambil therapy yang malam saja, Pak. Yang penting rutin. Insya Allah anak bapak segera pulih,” kata dokter Fatchur.

Saya ambil jadwal Senin dan Kamis. Seminggu dua kali. Karena (lagi-lagi) peraturan dari BPJS memang begitu. Kalau mau lebih sering dari jadwal yang diperbolehkan oleh BPJS, ya... harus bayar sendiri.

Para terapis di Poli Rehab Medik itu masih muda-muda. Juga, sabar-sabar. Walau pada saat terapi pertama, belum diapa-apakan saja anak saya sudah menangis. Mungkin ia trauna saat dipaksa menekuk oleh Umik tukang sangkal putung dulu. Padahal, di poli rehab medik ini semua dilakukan secara prosedural. Otot/tulang siku tangan kanan anak saya dipanaskan memakai alat dalam suhu tertentu selama sekian belas menit dulu, baru di-streching. Tidak ujug-ujug ditekuk.

Streching itu harus pelan-pelan, pak,” kata mbak terapis berhijab yang menangani anak saya. “Tidak boleh dipaksakan. Harus sabar, harus telaten. Termasuk di rumah, bapak juga harus melatih agar tangannya aktif bergerak.” pesannya.

Dipanasi dulu sebelum streching.
Ada beberapa terapis yang menangani anak saya. Setiap kali berkunjung, kadang beda lagi yang menangani. Tetapi saya yakin, mereka adalah para terapis terlatih. Pastilah ada ilmunya menangani masalah tulang anak saya yang sudah sekian bulan tak bisa ditekuk sempurna ini, “ini bukan tulangnya, Pak,” Mas Fajrin, salah satu terapis yang disukai anak saya, menjelaskan. “Ini adalah karena otot anak bapak terlalu lama tidak digerakkan, sehingga memendek. Akibatnya, sikunya menjadi sakit kalau ditekuk, tidak sebagaimana siku tangan kirinya yang normal.”

Setelah tiga kali diterapi, alhamdulillah, siku tangan anak saya mulai membaik. Terapi berikutnya, oleh Mas Fajrin yang memang suka bercanda (itu salah satu hal yang disukai anak saya, sehingga ia lebih sreg bila ditangani Mas Fajrin), anak saya diminta untuk push-up. Tentu di atas dipan berkasur. Dengan senang hati, sambil tertawa, anak saya melakukannya. Itu mungkin untuk memperkuat otot tangannya, sekaligus melenturkannya kembali.

Pada kunjungan-kunjuan berikutnya, anak saya sudah tidak sedih lagi saat harus terapi. Ya itu tadi, saya nilai –tidak hanya kepada anak saya saja-- kepada setiap pasien, semua terapis bersikap ramah dan telaten. Suasana yang nyaman, pelayanan yang menyenangkan, saya kira, punya andil pula dalam proses pemulihan macam ini.

Dan pada kunjungan ke delapan, setelah saya menanda-tangini berkas yang disodorkan, “Silakan anak bapak nanti dibawa lagi ke dokter Orthopedi. Apakah sudah cukup, ataukah perlu diteruskan terapi disini”, petugas di loket Rehabilitasi Medik menerangkan.

Hari di saat saya bawa si bungsu ke Poli Orthopedi, dokternya pas dokter Lukas. Setelah membaca hasil perkembangan setelah delapan kali melakukan terapi di anak buahnya dokter Fatchur, dan memeriksa langsung kondisi siku tangan anak saya (termasuk meminta mempaktikkan gerakan-gerakan), “Wah, sudah sembuh ini. Selamat ya, Faiz. Sudah sembuh dan menurut saya tidak perlu lagi ke Rehab Medik.”

Plong sudah hati saya. Lebih plog lagi, sebagai hadiah, sepulang dari Rumah Sakit malam itu, si bungsu saya hanya minta mampir ke Indomaret. Beli Pocari Sweat dan Sari Roti.

Kemudian, berdasar pengalaman tersebut, bila ada yang bertanya; kalau mengalami cedera tulang, pilih dibawa ke sangkal putung atau dokter orthopedi? Tentu saya menjawab: lebih baik tidak cedera! Hehe....*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar