Rabu, 03 Oktober 2018

Sangkal Putung atau Dokter Orthopedi?

PALANG pintu perlintasan KA tertutup, kendaraan di perempatan Jagir sore itu menyemut. Seperti juga pengendara yang lain, saya berhenti. Iseng merogoh ponsel di saku celana. Oh, ada tiga panggilan dari Ibu Negara tak terjawab. Dan beberapa WA. Tak saya baca, karena kereta barusan lewat. Palang pintu kembali dibuka. Seperti yang lain, saya juga mencari celah untuk melaju lagi. Tapi untuk menepi. Di setelah rel kereta api. Saya berhenti di sebelum Mangga Dua. Kembali merogoh saku. Mengambil ponsel. Membaca yang tertera.

Tak biasa istri saya menelepon atau kirim pesan via WA di jam segitu, karena pasti tahu saya sedang dalam perjalanan pulang. Dan Surabaya di jam pulang kerja sering berkondisi tiada jalan yang tak macet. Benar saja, “Adik jatuh, tangannya bengkak”, itu kalimat yang saya baca dari WA-nya.

Tiada alasan untuk tidak berusaha segera sampai di rumah. Begitu memarkir kendaraan di halaman rumah, ada beberapa tetangga yang sedang ada di ruang depan. Merubung si bungsu. Dan, oh benar. Saya lihat siku tangannya bengkak. “Jatuh dari sepeda,” kata ibunya.

Beberapa tetangga berbaik hati menenangkan saya. Dan bilang bahwa cedera si bungsu harus segera ditangani. Harus dibawa ke tukang sangkal putung.

“Kalau dilihat bengkaknya, sepertinya tidak parah,” kata seorang tetangga. “Paling disana cuma dipijat sebentar, langsung sembuh”.

Saya dan istri yang sedang panik, agak reda mendengar kalimat itu. Lebih-lebih si tetangga bilang dia pernah mengantar saudaranya yang cedera tulangnya lebih parah, bahkan sampai tidak bisa berjalan, begitu dipijat Umik (begitu dia menyebut tukang pijat itu) pulang langsung bisa jalan.

Jadilah sore itu juga si bungsu kami bawa ke tukang sangkal putung. Di mobil, di sepanjang perjalanan, si bungsu selalu menangis kesakitan.

Tangan kanan si Bungsu diperban
dan diberi semacam papan tipis.
Setelah menempuh waktu sekitar satu jam (tentu akan lebih cepat bila jalalan tidak macet) tibalah kami di sebuah kampung yang banyak sekali disitu tempat tukang sangkal putung. Kalaulah saya tidak ada yang mengantarkan, tentu akan bingung memilih tempat yang mana yang akan dituju. Yang layanan dan track record-nya bagus, maksud saya. Yang gampang 'jodoh' saat menangani pasien. Bukankah juga begitu saat kita ke dokter?


Tidak seperti yang saya duga, ternyata Umik tidak langsung umik-umik baca mantra lalu menangani tangan anak saya saat kami tiba. Tetapi meminta tangan anak saya di-rontgen dulu. Wah, boleh juga tukang pijat ini, pakai rontgen segala.

Tempat rontgen tidak disitu, tetapi kami mesti ke sebuah klinik kesehatan yang sepertinya sudah sering bekerjasama dengan si Umik. Dari klinik tersebut, sambil membawa hasil foto rontgen, kami kembali ke tempat praktik Umik.

Si bungsu dibaringkan de dipan. Sementara Umik mengamati hasil rontgen. “Oh, ini tidak patah tulang. Hanya tulang sendinya bergeser karena jatuh,” kata Umik.

Umik memanggil saya dan istri. Saya sempat berpikir beliau hendak kasih tahu uba-rampe yang mesti kami siapkan untuk penanganan anak saya. Ya, namanya juga 'dukun'. Benar sih uba-rampe, tapi ternyata bentuknya bukan daun sirih, asam jawa atau madu tawon lanceng. Begini kata Umik kemudian,” Cedera tangan anak Bapak ini tidak seberapa. Saya kira dalam dua bulan akan sembuh. Tapi biayanya mahal. Kalau sampeyan setuju akan kami tangani, kalau tidak ya terserah...”

Saya agak kaget juga. Satu hal yang tadi dikatakan tetangga saya terbantah sudah. Bahwa tangan anak saya bukan sekali pijat langsung sembuh. Tapi; dua bulan sodara-sodara! Dua bulan. Juga mahal.

Namun sering uang menjadi pertimbangan kesekian di saat darurat. Yang penting segera ditangani. Lagian, masak iya si bungsu kami bawa pulang lagi tanpa diapa-apakan setelah menempuh perjalanan sejauh ini. Sedangkan dia selalu merintih kesakitan sambil memegang siku tangannya. Maka kami setujui saja syarat yang diajukan Umik, walau nominal yang beliau bilang bisa jadi setara ponsel Samsung J Series yang sedang saya pegang. “Harga tersebut sampai sembuh. Tidak ada biaya tambahan kecuali obat atau perban,” ada keterangan begitu pada lembar kwitansi pembayaran yang saya terima.

Setelah kami setujui itu, Umik dengan dibantu dua asistennya langsung menangani anak saya. Satu orang asistennya memegang tubuh anak saya, satunya lagi menarik lengannya lalu menekuknya sikunya beberapa kali. Tentu disertai tangisan anak yang yang keras sekali. Tentu karena begitu sakitnya. Namun sebagai yang sudah pengalaman, mereka bertiga tak peduli tangisan kesakitan anak saya. Umik melumuri lengan anak saya entah dengan minyak apa.

Tak sampai satu jam ditangani kami pulang dengan hasil tangan kanan anak saya diperban dengan diberi semacam papan pas disiku tangannya. Pikir saya, mungkin itu agar siku anak saya tidak bergeser lagi setelah ditangani tadi. “Seminggu lagi bawa kesini, kontrol”, begitu pesan Umik sebelum kami pulang tadi. Ohya, saya juga diberi obat yang mesti diminum sesuai anjuran Umik. Sungguh seperti bukan tukang pijat saja ya? Selain pakai foto rontgen, kasih obat pula.

Seminggu kami bawa si bungsu kepada Umik lagi untuk kontrol. Kalau tempo hari kami datang malam, kali ini siang. Karenanya saya lebih tahu kalau tempat tinggal Umik ini sudah laksana 'rumah sakit' khusus tulang saja. Ada banyak kamar untuk pasien rawat inap, dengan aneka jenis cedera.

Sambil menunggu giliran anak saya dikontrol, saya sempat bicara dengan ibu-ibu penjual cilok keliling. Ibu ini setiap hari keliling dari tukang pijat satau ke tukang pijat yang lain. Ya, memang disini banyak sekali tempat tukang sangkal putung kok. Mungkin bisa disebut sebagai kampung sangkal putung ya.

Dari ibu penjual cilok itu saya dapak sedikit cerita tentang kampung ini. Tentang beberapa tukang sangkal putung yang masih ada garis keturunan dengan kakek-neneknya yang memang punya keahlian itu, ada juga orang baru yang dapat dibilang sebagai pendatang baru. Dari yang cuma bertarif suka rela, sampai yang bertarif gila. Pendek kata, simpulan kasar saya, telah ada sisi bisnis yang dimainkan beberapa tukang sangkal putung disini. Kalau yang menangani anak saya ini, yang bicara tarif di depan, itu masuk kategori mana?

Saya menuju ruang tunggu tempat kontrol yang telah banyak pasien yang antre. Aneka cedera saya lihat. Tangan, punggung, pingal, kaki dan sebagainya. Seorang lelaki bercelana pendek berwajah Tionghoa saya lihat dua pergelangan kakinya diperban. “Jatuh dari ketinggian,” katanya. Secara iseng kami bicara-bicara. Pembicaraan sampai juga kepada biaya. Dan angkanya membuat rupiah yang telah saya bayarkan kepada Umik menjadi terasa makin tidak ada apa-apanya. Nominalnya berlipat ganda. Mungkin memang karena cedera tulang kakinya lebih parah, ataukah secara penampilah si lelaki itu terlihat lebih berada.

Namun, dengan penampilan yang begitu, dan tentu sepertinya bukan orang yang tidak terpelajar; mengapa memilih sangkal putung dibanding dokter orthopedi?

Giliran anak saya diperiksa Umik tiba. Saya pikir perbannya akan dilepas dan pijat sedemikian rupa. Ternyata tidak. Ternyata hanya dibuka perbannya, diolesi entah minyak apa, lalu diperban lagi. “Kontrol dua minggu lagi”, pesan Umik pendek. Lalu memanggil pasien berikutnya.

Dua minggu kemudian saya datang lagi. Setali tiga uang. Perban dibuka, kayu dibuka, siku tangan anak saya diolesi minyak, lalu dibungkus lagi seperti semula, legkap dengan kayunya. Lalu Umik bilang; kami mesti kontrol dua minggu lagi.

Hari pertama masuk sekolah
bersalaman dengan guru pakai
tangan kiri.
Dua minggu kemudian kami datang lagi dan perlakuannya tetap seperti dua minggu sebelumnya. Dan tetap ditutup dengan kalimat sakti dari Umik; dua minggu kontrol lagi.

Saya masih ingat tetangga yang pertama mengantar dulu bilang hanya dipijat sebentar lalu besok langsung sembuh. Saya berusaha melupakannya. Tapi selalu gagal. Yang saya paham tentu betapa lengan anak saya sedemikian kakunya sudah sekian minggu tak digerakkan.

Dua minggu kemudian, tujuh minggu totalnya, saat kontrol, barulah kayu dan perban yang membungkus tangan anak saya dilepas. Diiringi jerit tangis anak saya yang sedemikian kesakitannya. “Mulai sekarang sudah waktunya latihan ditekuk”, begitu kata Umik sambil menekuk tangan anak saya. “maka, tiap hari selama dua minggu harus dibawa kesini. Ingat; ben-di-no”, Umik memberi penegasan kami harus membawa si bungsu utk latihan nekuk siku ke sini ti-ap ha-ri! Dengan kesakitan yang sedemikian rupa? Yang tanpa stretching dulu. Jawab saya dalam hati: ti-dak!

Ya, saya tak tega mendengar jerit tangis kesakitan anak saya saat ditekuk. Mesti pakai cara lain. Dan pasti ada cara lain. Pilihan saya medis, ke dokter orthopedi. Walau mungkin saja awalnya kami akan dimarahi karena kenapa dari awal tidak dibawa ke dokter dan malah langsung ke sangkal putung, baru setelah sebulan lebih dibawa ke dokter.

Mungkin saya memang terlambat. Tetapi apa boleh buat. Walau nanti di RS bisa saja penanganannya memakai cara operasi. Ha, operasi? (Bersambung) ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar