Kamis, 03 Januari 2019

Hoax Tempo Doeloe

SEDANG ramai dibicarakan orang tentang kabar (bohong) telah ditemukannya tujuh kontainer di Tanjung Priok berisi surat suara yang sudah dicoblos untuk salah satu paslon kontestan pilpres yang digelar lima hari setelah ulang tahun saya bulan April nanti.  Dan sebuah keniscayaan, bahwa sebohong apa pun kabar, kadang ada juga yang mempercayai, sebagaimana sesungguh apapun kabar benar, tak menutup kemungkinan ada pula yang tak mempercayai.

Sudahlah, saya agak kurang gairah menulis tentang hal perpolitikan. Saya harus tahu diri. Saya ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Tak ada kapital memadai untuk mengupas yang yang saya kurang pahami.

Namun hoax, saya kira, bukan belakangan ini saja terjadi. Bahwa kemudian kabar bohong ini lalu punya nama keren sebagai hoax, mungkin memang iya barusan saja saya tahu. Tetapi praktik hoax itu sendiri adalah hal yang sejak kecil sudah saya alami sendiri. Saya mengalaminya sebagai korban, dan orang tua saya pelakunya. Nah lho.

Berikut tiga hoax ortu versi saya.


1- Pek-pekan.

Adalah hal lumrah sebagai anak desa, tiap pulang sekolah kami main sesukanya. Ke sawah ngasak (memungut sisa panen) kedelai atau padi. Atau main ketapel yang mencari batu sebagai pelurunya kami punya gudang kerikil yang banyak sekali. Di sepanjang rel kereta api.

Rel kereta api di kampung kami itu adalah peninggalan Belanda yang sudah tidak digunakan lagi. Membuat kami tak takut mengambil kerikil di situ. Kecuali satu; bila ketahuan Ibu.

Ibu akan murka begitu tahu saya bersama teman-teman main di rel kereta api di saat siang bolong. Maka, meluncurlah serentetan hal menakutkan dari mulut beliau. "Dibawa pek-pekan baru tahu rasa kalian!"

Pek-pekan itu, kata Ibu, adalah lelaki yang di siang hari berjalan menyusuri rel membawa sabit dan karung. Ia mencari anak-anak yang main di rel kereta api saat siang-siang. Bila tertangkap pek-pekan, (maaf) mata si anak akan dicongkel sebagai bahan dawet untuk dipakai sebagai sesajen saat buka giling pabrik gula.

Sebagai anak kecil, tentu kami takut sekali. Dan tak berani lagi main di rel kereta api saat siang bolong. Padahal tentu saja itu hanya hoax yang dikarang saja. Agar saya tidak keluyuran berpanas-panas di siang bolong begitu. Lagian, mana ada dawet terbuat dari bola mata?!

2- Sumbing apabila meludahi sumur.

Entah siapa pencipta hoax turun-temurun ini, yang jelas kami menjadi takut sekali melakukannya. Ya kalau sekarang kan jarang sumur terbuka. Apalagi di kota, yang untuk keperluan air bersih semua dialirkan pakai pipa. Tentu kurang mantap bikin hoax 'akan sumbing bibir seseorang bila meludahi pipa'. Ditinjau dari sisi manapun jan tidak masuk blas. Tidak ada korelasinya sama sekali. Kacuali satu; sebagai warning yang dibungkus dengan halus. Bahwa sungguh tidak elok meludahi sumber air yang dari situ dimanfaatkan untuk memasak, minum dan sebangsanya. Itu.

3- Bantal dan bisul.

'Jangan menduduki bantal, nanti pantatmu bisulan' saya kelompokkan juga sebagai hoax. Pasalnya, sebagaimana meludahi sumur tadi, menduduki bantal adalah sebuah tindakan yang kurang pada tempatnya. Bantal tempat kepala kok diduduki. Itu melanggar unggah-ungguh saja. Bukan kok lalu begitu menduduki bantal, kemudian mak-plentus pantat langsung bisulan.

Masih ada beberapa hoax tempo doeloe yang belum saya tuliskan, macam-macam bentuk dan narasi yang menyertainya. Dan satu hal sebagai efeknya; menebar ketakutan. Namun karena saya sudah mengantuk, dan sepertinya tulisan (tak penting) ini sudah kepanjangan, baiknya saya sudahi saja. Bukankah lebih baik begitu, Kisanak? *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar