Senin, 09 November 2015

Baju Pahlawan

Sumber ilustrasi foto: Google Images.
NIH lihat, Kang,” Mas Bendo menyodorkan ponselnya yang di layarnya sedang terpampang foto seorang anak berseragam doreng tentara, ”dedeg-piyadeg-nya jan pas tenan. Gagah tur nggantheng seperti aku, bapaknya.”

Weladhalah, itu foto anakmu to, nDo?”

Memangnya kenapa, Kang? Kok ada nada ngenyek pada pertanyaan Sampeyan? Apa gak boleh aku yang kerempeng nyengangik begini punya anak mbois?

Halah, jadi orang itu mbokya jangan sugetan to, nDo, nDo. Jangan gampang tersinggung begitu,” dasar Kang Karib, bisa saja ia membela diri. “Lagian, anakmu itu mau karnaval kemana to kok pakai baju tentara begitu?”

Sampeyan ini piye to, Kang? Besok kan Hari Pahlawan, dan dua hari ini anak-anak sekolah dianjurkan pakai pakaian pahlawan.”

Tetapi, nDo, apa semua pahlawan adalah tentara?” sanggah Kang Karib. “Atau, apakah jasad yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan semua adalah benar-benar pahlawan?”

Wikk, matek Mas Bendo mendapat pertanyaan itu dari Kang Karib. Daripada melakukan serangan balasan dengan jurus ngawur, ia ngowoh saja menunggu lanjutan kalimat Kang Karib. “Ya, namanya juga anak-anak. Bisa jadi mereka memakai seragam doreng di hari pahlawan sekadar ikut-ikutan teman. Nah, tugas guru-guru di sekolah yang harus bisa meluruskan. Bahwa, ya itu tadi; dulu para pejuang yang ikhlas mengangkat senjata untuk berjihad melawan penjajah bisa jadi hanya memakai baju seadanya. Cuma pakai kaus lusuh dan bercelana pendeklah, yang sarunganlah, dan sebangsanya. Kalau dalam film-film perjuangan, yang pakai baju doreng malah si Kompeni Belanda itu...”

Mas Bendo baru mingkem ketika seekor lalat hendak menclok di giginya, “Jadi apa salah anak-anak memakai baju doreng tentara di hari pahlawan ini, Kang?”

Ya enggaklah,” Kang Karib menjawab. “Cuma begini, nDo. Yang lebih utama itu bukan bajunya. Tetapi ruh-nya, semangatnya. Lha kalau cuma baju itu kan bungkusnya saja, ibarat ponsel, cuma casing-nya saja. Nah, selain guru, kita-kita sebagai orang tua yang magak ini (bagaimana gak magak? Lha wong ikut perang gak pernah, lahir procot sudah melihat Indonesia Raya yang begini ini) yang harus bisa menanamkan sifat patriotisme dan heroisme. Agar anak-anak kita mampu menang melawan penjajahan dan agresi model baru. Yang bukan memakai bedil sebagai senjatanya, tetapi isme-isme halus yang sedikit demi sedikit mampu membelokkan arah dan menjauhkan generasi negeri ini dari akar budayanya, dari akar kebangsaannya, dari kearifan lokalnya”


Wik, masak sampai segitunya, Kang?”

Dikandhani kok malah wik,” ujug-ujug Mbak Yu ikut nimbrung.

Kalau anak Sampeyan, tadi ke sekolah pakai baju doreng juga, Mbak Yu,” tanya Mas Bendo.

Aku setuju dengan pendapat Kang Karib yang tadi kukuping; bahwa, tidak semua pahlawan berbaju doreng.”

Lalu, anak Sampeyan pakai baju apa?”

Tadi ia pakai bajuku yang dulu sehari-hari kupakai saat aku bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. Bukankah Sampeyan sering mendengar, para pejabat menyebut kaumku itu, kaum TKW itu juga sebagai pahlawah; pahlawan devisa.” *****



Kamis, 05 November 2015

Trotoar

SEORANG sahabat asal Trenggalek yang sudah sekian tahun tidak ke Surabaya menelepon dan bilang. “Pangling aku,” katanya. “jalan A Yani sekarang beranak; satu di timur, satunya lagi di barat.”

Ia berkata sedang di depan Giant Margorejo ketika menelepon itu. Baru tiba sorenya dari tanah leluhurnya di Mlinjon kecamatan Karangan sana, untuk bekerja di daerah Medokan Ayu, Surabaya.

Sebagaimana siapapun yang senang bisa bertemu lagi dengan sahabat lama, saya juga demikian adanya. Lebih senang lagi ketika ia bilang akan dolan ke rumah saya. Baiklah, janji telah dibuat dan ia datang sesuai janjinya itu dengan wajah yang masih sangat saya kenali; tubuh tinggi dengan rambut yang makin tidak kerasan tinggal di kepalanya.

Tekor aku,” katanya begitu duduk di ruang tamu rumah saya yang saking berkonsep minimalisnya sedari awal belum terisi kursi hingga sekarang, “belum-belum tadi sudah harus nyangoni polisi.”

Berceritalah ia tentang kronologinya; meluncur dari timur (arah UPN) langsung belok kanan di pertelon Rungkut. Seperti kutuk marani gepuk karena di sudut depan ada Pos Polisi. Seharusnya ia belok kiri dulu ke arah Rungkut Tengah baru balik kanan grak dan putar lagi ke kiri ke arah Rungkut Industri baru mlipir-mlipir putar balaik di depan Rungkut Jaya.

Nasi sudah menjadi bubur; tak ada surat tilang dan ia malah mempraktikan jurus Iwan Fals (♫♪...tawar menawar harga pas tancap gas ♪♫..). Ada getir dalam tawanya saat si sahabat itu bercerita. Tetapi saya mendapati kenyataan bahwa; sekalipun ia miskin rambut namun kaya tawa. Padahal, ia baru saja merogoh dompet demi melakukan ritual salam tempel kepada oknum polisi sejumlah uang setengah dari upahnya sebagai tukang batu yang ia dapat hari itu.

Orang susah yang gampang tertawa bisa jadi adalah orang yang relatif gampang bahagia. Jangankan punya tabungan berjuta-juta, punya beras dua kilogram untuk ditanak besok pagi saja sudah sedemikian senangnya.

Yang akhir-akhir ini membuat saya kurang senang adalah, jalanan Surabaya yang makin hari makin macet saja. Jalanan memang dulu terasa lebar, tetapi dengan jumlah kendaraan yang terus tumbuh dan serasa kurang dibarengi dengan makin memadainya insfrastruktur, membuat dimana-mana jalan terasa sempit. Dengan – seperti petikan syair lagu Bis Kota-nya Franky Sahilatua-- Surabaya yang panas, saya makin takut akan hilangnya senyum apalagi tawa orang-orang di jalan. Yang ada adalah wajah-wajah cemberut. Bisa dipahami, makin macet kondisi jalanan, makin berpeluang membuat ruwet isi pikiran yang pada akhirnya mengakibatkan matinya benih senyuman. Kalau senyuman sudah mati sebelum berkembang menjadi tawa, olala.. untuk bahagia makin rumit syarat dan ketentuan yang berlaku.

Jalan memang lebarnya masih segitu, tetapi tengoklah, di kota ini jalur pedestrian diperbaiki dan diperlebar. Setelah di bawahnya ditanami box culvert, di atasnya terhampar trotoar berkeramik dan lampu-lampu yang meneranginya di malam hari. Apa yang kurang dari Surabaya coba? Taman dengan aneka bunga di mana-mana, jalur bagi pajalan kaki dipercantik pula.

Ohya, Anda betul.
Yang kurang adalah para pejalan kaki yang memanfaatkan jalur pejalan kaki itu. Kenyataan yang sering didapati adalah, karena jalan untuk kendaraan macet, jadilah jalur pejalan kaki itu dimanfaatkan pula untuk lewat kendaraan.

Tempo hari saya temui sebuah angkot lyn DA (jurusan Darmo Permai-Pasat Atom) berjenis Suzuki Carry lewat trotoar dengan santainya karena jalan HR Muhammad sedang macet parah. Si Carry itu diikuti puluhan puluhan motor sebagai buntutnya dan si angkot dan para pemotor itu baru turun kembali ke jalan yang benar di sebelum pompa bensin seberang apartemen Taman Baverly.

Trotoar memang untuk jalur pejalan kaki, tetapi di Surabaya ini, si pejalan kaki itu kemana-mana selalu naik mobil atau motor dan menganggap motor atau mobil itu adalah kakinya. *****


Rabu, 04 November 2015

Suami yang Sholehah

JAM dinding di atas pintu, di sisi kiri meja kerja Mbak Yu, sudah menunjuk angka 8.13 dan Mas Bendo baru saja masuk dengan tergopoh-gopoh. Ini keterlambatan ke tiga dalam empat hari ini. Padahal, dalam perjalanan ke tempat kerja tadi, ia sudah memacu motornya dengan kecepatan 100 kilometer per dua jam. Lha iya to? Mana benar, coba, memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi di dalam kota begitu. Pertama karena aturan, kedua karena; mana bisa ngebut di tengah kepadatan kendaraan yang makin hari makin menumpuk di jalan raya.

Kejebak macet lagi, nDo?” sambil melintas di dekat Mas Bendo saat hendak menuju mesin fotokopi, Kang Karib bertanya.

Iya, Kang. Mana panas lagi,” Mas Bendo menjawab sambil menyalakan komputer.

Lagian, kalau sudah tahu jalanan makin hari makin macet,” Mbak Yu ikut menyahut, “ lebih dipagikan lagi dong berangkatnya.”

Namanya juga punya balita, Mbak,” elak Mas Bendo, “memandikan, nyuapin sarapan, ngantar ke rumah yang momong. Hitung coba, berapa waktu yang mesti dibutuhkan?”

Itu kan tugas ibunya?”

Nah, ini, begini ini kalau Sampeyan belum punya baby plus harus pula sebagai wanita pekerja. Ngomongnya gampang, ngelakoninya itu yang tak mudah. Dengerin ya, Mbak, istri saya itu tempat kerjanya juauh, dan jam setengah enam sudah harus di pinggir jalan karena mobil penjemputnya lewatnya jam segitu. Telat dikit bisa ditinggal.”

Enak wanita zaman dulu ya kalau begitu,” Mbak Yu kembali menyulut alasan, “cakupan tugasnya lebih sempit; dapur, kasur, sumur”.

Wah, bisa dimarahin Ibu Kartini kalau kamu punya prinsip begitu, Yu,” Kang Karib menimpali.

Marah bagaimana, Kang? Apa aku salah?”

“Nggak
sih, Mbak Yu,” Mas Bendo yang nyahut. “Cuma kurang komplet, kurang konkret; kalau punya prinsip itu ya harus sesuai antara perkataan dan perbuatan.”

Maksud Sampeyan piye, Mas?”

Hambok sana, kalau keukeuh wanita itu cuma ngurusi dapur, kasur dan sumur, ya ndak usah kerja disini. Lak beres to?”

Halah, Mas, Mas. Gitu aja nesu, purik.”

Ya ndak purik, Mbak Yu. Cuma mendudukkan perkara pada takarannya. Bahwa kalau aku sudah kaya raya, sugih bandha sugih donya, ya ndak mungkinlah aku mengijinkan istriku ikut kethayalan mencari nafkah. Bagaimanapun tugas menafkahi keluarga adalah ada di pundak suami. Tetapi karena suatu keadaan istri ikut membantu, apa itu tidak boleh? Juga, kalau karena istri sibuk kerja, pada saat-saat tertentu apa juga dilarang suami yang memasak, cuci piring, nyeterika dan atau momong anak?”

Wih, lincip sekali bicaramu, nDo?” Kang Karib berusaha mencairkan obrolan pagi yang terasa terlalu hangat itu. “Sudahlah, ayo kita sekarang kerja. Jangan khawatir; sebelepotan apapun sesekali suami mengerjakan tugas dan pekerjaan istri, nggak mungkinlah ia berjuluk suami yang sholehah. Ia tetaplah suami sholeh bagi istrinya yang moga-moga sholehah.” *****


Senin, 02 November 2015

Tersumbat Cutton Bud

Alat 'kili-kili'
Foto: ewe
KALAU sudah kecanduan, walau tahu yang dicandui itu adalah hal yang kurang baik, lumayan susah untuk menghilangkannya. Pernah sih saya mendengar ungkapan yang bilang, “Bila sulit menghilangkan kebiasaan buruk, buat dan lakukanlah kebiasaan-kebiasaan  baru yang baik.”

Dalam banyak hal, bicara jauh lebih gampang daripada mempraktikkannya. Dengan kata lain; tak semudah membalik telapak tangan. Ini bukan permainan ontong-ontong bolong, adu merak adu sapi yang berakhir diuyahi-diasemi wolak-walik grembyang.

Oho, jangan terlalu serius. Saya hanya ingin bercerita tentang kebiasaan buruk saya; kili-kili, membersihkan lubang telinga memakai bulu ayam atau cutton bud. Kalau dirunut ke belakang, kurang ingat saya sejak kapan melakukannnya. Yang jelas sudah luama sekali, dan sudah dalam taraf kecanduan. Sehari saja tak melakukannya, serasa gak betah. Kuping terasa gatal. Padahal, mungkin saja, gatal itu muncul karena dorongan keinginan sendiri. Yang, kalaulah tidak dituruti untuk dikili, pun sepertinya tidak apa-apa. Jujur, dalam membersihkan telinga, bukan melulu membuang kotoran semata, tetapi ada kenikmatan sebagai bonusnya. Ada rasa geli-geli sedap yang menggoda.

Padahal, dalam banyak artikel saya dapatkan keterangan, kotoran telinga tak perlu dikili juga akan bisa keluar sendiri. Gerakan rahang dalam berbicara atau mengunyah makanan adalah motode alami untuk mendorong kotoran telinga keluar dari liangnya. Sehingga, tak dianjurkan memasukkan bulu ayam atau cutton bud terlalu dalam. Batas yang dianjurkan adalah, bila bagian ujung cutton bud sudah menyentuh kulit telinga dan terasa nyaman, segera cabut. (Ih, tanggung ya? Lagi enak kok dicabut?)


Jumat, 30 Oktober 2015

Kurikulum Babak Belur

TINGGAL di pemukiman padat, tidak jauh dari kawasan industri, di puncak musim kemarau begini, fuih.. jangan tanya panasnya. Makanya, kami –bapak-bapak-- tiap malam memaksakan diri tampil bertelanjang dada walau sebagian di antara kami perutnya sungguh jauh dari kesan six pack, demi ngisis, cari angin yang belakangan agak pelit berembus. Menghindari sumuk di dalam rumah, lalu umuk, bicara ngalor-ngidul tak tentu arah.

Heran saya,” kata seorang tetangga,”sekolah kok sampai jam segini belum pulang,” nada khawatir mengalir dari suaranya.

Kalimat lanjutannya malah berlumur keluh-kesah. “Dulu pas pertemuan wali murid, katanya selain SPP tidak akan ada pungutan lainnya. Nyatanya, hampir tiap hari ada saja tarikan. Yang duapuluh ribulah, yang limapuluh ribulah...”

Sebagaimana seorang pembicara di acara apa pun, tetangga saya itu sangat perlu pendengar. Saya sungguh amat tidak menghargainya kalau tidak menjadi pendengar yang baik untuknya. Karena, seperti kata sebuah ungkapan, semakin orang menjadi tua, ia laksana menjadi anak-anak lagi. Kalau balita sering merengek minta ini-itu, orang tua akan sering merintih karena ini-itu.

Itu hal wajar.
Anak gadisnya yang bersekolah di SMA swasta ternama itu dalam bersekolah bawa motor matic baru, dan menjelang jam sembilan malam belum pulang. Iya memang, sekolahnya masuk siang. Namun dengan ancaman kejahatan yang tak kenal musim kemarau atau penghujan, tiada orang tua yang tak menimbun kekhawatiran; jangan-jangan ada apa-apa dengannya di jalan.

Syukurlah anak saya diterima di SMA yang tak terlalu jauh dari rumah, yang sedari awal ia inginkan dan tiap hari masuk pagi, sehingga menjelang maghrib sudah tiba di rumah. Yang agak kurang saya syukuri adalah; ia berangkat jam enam pagi dan baru pulang jam segitu dengan wajah payah. Selepas makan dan jamaah sholat maghrib di musholla sebelah, setumpuk pekerjaan rumah menunggu untuk dikerjakan. Itu, kalau saya perhatikan, saban hari begitu. Belum lagi setiap Selasa dan Kamis malam ia harus les tambahan. Entah karena kecapekan atau apa, kemarin petang ia saya dapati --belum jam delapan malam-- sudah ketiduran dengan buku PR dan tas sekolah yang terbuka di sebelahnya.

Siapa pun orang tua selalu ingin anak-anaknya sukses melebihi apa pun profesi dan prestasinya. Paling tidak menyamailah; orang tua dokter, anak menjadi dokter. Orang tua tentara, anak menjadi tentara. Tetapi saya tak ingin anak saya kelak hanya sebagai pekerja bangunan seperti bapaknya begini.

Selasa, 27 Oktober 2015

Jula-juli Suroboyo: Pilkada Serentak

6 Desember Pilkada serentak
rek ayo rek podho sing kompak
pilihen calon sing track record-te tepak
ojok kepincut janji sing cumak asal njeplak

nang Suroboyo kene calone loro
onok Bu Risma lan paklik Rasiyo
endi sing dipilih terserah peno
aman tentremu kutho ayo dijogo

nang panggon liyo Pilkada onok sing dadi ontran-ontran
calon sing kalah ora gelem nrimo keputusan
ujung-ujunge ngerahno simpatisan
nglutuk kantor KPU ngamuk koyok wong kesetanan

ngamuk-ngamuk ngono kuwi untunge yo opo
malah nama baike calon sing diusung dadi cidro
kalah nang pesta demokrasi pancen kudu legowo
pilihan mayoritas pemilih iku sing nentokno

Suroboyo iki kutho Pahlawan
ayo podo dijogo supoyo tetep tentrem lan aman
bedo pilihan calon iku pancen keniscayaan
sing penting tetep rukun gak perlu gontok-gontokan*****

Variasi Olahan Kembang Turi

Selain katuk, saya juga menanam kembang turi
di depan rumah.

KEMBANG turi sebagai sayur dalam urap-urap atau pecel sudahlah lazim. Selain sebagai itu, olahan apa lagi yang bisa dibuat berbahan bunga turi? 

Dimasak menjadi sayur asem juga seger,” kata tetangga sebelah. 

Oh, boleh dicoba itu. Tetapi lain kali saja. Karena pagi ini istri saya mengolah kembang turi sebagai eseng-eseng spesial sebagai lauk sarapan. Spesialnya nasi goreng biasanya pakai telur ceplok, nah spesialnya eseng-eseng kembang turi buatan istri saya ini pakai ikan asin. Dasar lidah saya ini lidah ndeso (walau sudah belasan tahun tinggal di kota) menikmati menu sederhana itu cuma dengan nasi hangat saja, sudah sanggup membuat saya makan secara lahap. Abai akan kabar kalau kembang yang memiliki nama latin sesbania grandiflora ini juga bisa sebagai obat sakit kepala, sariawan dan sakit tenggorakan, tahu-tahu selesai sarapan perut saya kenyang.

Sebagaimana eseng-eseng berbahan sayuran lainnya, eseng-eseng kembang turi ini pun tergolong sederhana sekali membuatnya.

Bumbu dan bahannya adalah:



  • Dua siung bawang merah
  • Dua siung bawah putih
  • Sebutir tomat
  • Cabe sesuai selera
  • Lengkuas secukupnya
  • Garam secukupnya
  • Dua ekor ikan asin
  • Sebakul kembang turi



Cara membuatnya:



  • Iris tipis bawang merah dan bawang putih
  • Potong kecil-kecil cabe
  • Potong tomat menjadi empat iris atau sesuai selera
  • Potong kecil-kecil ikan asin dan buang duri/kepalanya
  • Cuci bersih kembang turi yang telah dibuang ujung batang bagian dalamnya.

    Setelah semua bahan siap:



  • Panaskan wajan, tuang minyak goreng secukupnya.
  • Goreng potongan ikan asin sampai matang (dengan minyak yang tak terlalu banyak) gunakan sisa minyak itu untuk menumis bawang merah-bawah putih, irisan tomat dan cabe.
  • Setelah matang, tuang air sedikit saja. Tunggu sampai mendidih.
  • Masukkan lengkuas.
  • Kemudian masukkan kembang turi yang telah dicuci bersih.
  • Incipi dulu (ikan asin membuat rebusan kembang turi ketularan asin), kalau kurang asin, silakan tambahkan garam.
  • Kembang turi gampang matang. dalam merebus jangan terlalu lama.
  • Eseng-eseng kembang turi plus ikan asin siap dihidangkan. *****


Minggu, 18 Oktober 2015

Cerita Elita

UMURKU dua puluh tahun ketika mulai tinggal di apartemen ini, tepatnya tujuh hari sebelum peresmiannya, delapan belas tahun yang lalu. Tentu, gedung apartemen yang dibangun di atas tanah yang sebagian di antaranya adalah bekas kuburan ini belum seperti sekarang, yang semua fasilitas lebih lengkap. Waktu itu, seingatku, jalan raya di depan itu, yang ada patung buayanya itu, juga masih sepi. Motor belum seperti digelontorkan dari pabriknya seperti sekarang, sehingga angkot masih menjadi andalan orang-orang yang kurang berduit. Yang juga kuiingat, tengah malam sebelum esoknya Pak Walikota meresmikannya, ada empat-lima orang menggali tanah di sisi depan-kanan bangunan untuk menanam kepala kerbau hitam.

Penghuni lama yang betah tinggal sampai sekarang masih bisa kuhitung dengan jelas. Pertama, tentu Bapak Tua yang saban hari sejak dulu suka berbaju hitam yang tinggal di lantai empat belas. Walau aku yakin ia tidak tuna wicara, belum pernah sekali pun aku mendengar ia bicara. Beberapa kali kami ketemu di dalam lift, (biasanya malam-malam, ketika aku dari cari angin di depan lobby; duduk menyendiri di bibir kolam kecil dengan pohan kamboja di kanan-kirinya, dan bunyi gemericik air di kolam itu sungguh bikin hati tenteram) dia menombol angka empat belas dan aku melakukan hal sama untuk tujuanku; lantai tiga puluh empat.

Seperti kami yang jarang tahu apa pekerjaan tiap-tiap penghuni, begitu juga aku tak tahu apa profesi Bapak Tua itu yang ketika sesekali aku melintas di depan pintu apartemennya, selalu bisa dengan jelas kuhirup wangi bunga kamboja, aroma yang juga amat aku suka.

Begitulah, apartemen ini, yang kalau dibandingkan dengan gedung serupa di sekujur kota yang lahir belakangan, tetap belum kalah. Ya desainnya yang elegan dan cenderung klasik, atau bentangan taman nan luas dengan aneka tanaman hias terawat sempurna, juga lobby berinterior artistik dengan piano tua di sudutnya yang malam-malam sering aku diam-diam memainkannya . Tetapi seperti juga pernah engkau dengar, ada kalimat yang mengatakan 'orang bisa membeli tempat tinggal dengan kasur empuk dan semua ruang berpenyejuk, namun tiada orang sanggup membeli mimpi'. Semakin orang mengingini privacy berlebih, seperti para penghuni gedung apartemen ini, niscaya mereka semua adalah pula pengidap paranoid berlebih.

Lidah Korea dan Soto

AWALNYA saya duga usianya baru akan menginjak kepala lima. Ya, kulitnya masih terawat, seterawat bibirnya yang murah senyum. "Saya di Indonesia ini, kalau dihitung, sudah empat puluh tahun," katanya dengan bahasa Indonesia yang terasa ada terselip aksen Koreanya.

Mrs Lee, begitu saya mengenal namanya. Kami bicara sambil disuguhinya minuman dingin yang saya rasakan sebagai, "Ini jus asam ya?" tanya saya setelah seteguk masuk ke kerongkongan dan saya mengenalinya sebagai berasa asam Jawa.

Si Nyonya Rumah tersenyum ramah kemudian mengambil botol dari lemari esnya, "Ini anggur," katanya. "kami di Korea memang tak suka pakai gula."

Cukup ada alasan untuk saya merasa malu atas kekeliruan itu seandainya saya tidak menyengajainya sebagai 'modus' supaya kami bisa bicara lebih akrab lagi. Dan saya mendapati, entah karena trik itu atau memang si Nyonya isi aslinya memang grapyak semanak, kami kemudian bisa lebih santai lagi bicara-bicara.

"Mula-mula saya ke Indonesia ini di Sumatera Utara," ia bercerita. "Tepatnya di Sibolga."

"Lalu?" ibarat memancing ikan, saya sedang menggunakan umpan sederhana saja.

"Tujuh tahun kemudian pindah ke Kalimantan, tepatnya di Tarakan. Dan baru mulai tahun 1990 kami menetap di Surabaya ini, sampai sekarang."

Saya melirik rak di bawah meja. Selain buku-buku berbahasa/berhuruf Korea, saya dapati pula koran harian berbahasa Indonesia. Hampir setengah abad tinggal di Indonesia, mafhum saja kalau lidahnya fasih sekali berbahasa Indonesia. Bagaimana dengan makanan?

"Kalau kimchi sih pasti ya," ungkapnya. "Itu sejenis menu pecel atau lodeh bagi orang Jawa. Sudah tak terpisahkan."

"Maksud saya, maaf, apa lidah Anda sudah bisa makan makanan Indonesia?" tanya saya.

"Oh, soto. Saya suka sekali soto," katanya dengan ekpresi kemecer, kemudian tertawa. "Lalu masakan Padang saya juga suka."

"Suka sambal terasi?"

"Suka, karena di Korea tidak ada. Disana adanya lombok merah yang besar itu." terangnya. "Nah, lombok merah itu dikeringkan, lalu dibuat bubuk. Kalau lombok Indonesia, yang kecil-kecil itu, pedas sekali. Tetapi saya suka."

"Selain Nyonya, keluarga yang lain juga suka makanan Indonesia?"

"Anak saya kan besar disini. Belum lama ia menikah dan sekarang tinggal di Korea,"  Mrs Lee bercerita, "kalau sedang kangen soto sedangkan di Korea menu itu tidak ada, anak saya itu minta dikirimi bumbu soto dari sini. Lucu ya? Saya sendiri juga begitu; sebulan saja kembali ke Korea, sudah rindu sekali dengan soto," lanjutnya sambil tertawa. *****



Sabtu, 10 Oktober 2015

Smartphone

UPDATE status atau ngetwit itu jangan terlalu sering biar disangka sibuk, begitu bunyi kalimat yang ditulis seseorang yang saya ikuti di twitter. Dan kalau dicerminkan kepada kenyataan di sekitar, hal itu adalah kebalikannya. Lihatlah, betapa orang makin susah terpisahkan dengan layar ponselnya. Sebagai yang sangat ketinggalan zaman dan kemana-mana hanya bawa ponsel jadul berkelas Nokia N1200 dan paling mewah cuma punya Nokia C3, saya kadang kurang mengerti; apa saja ya diketikkan pada layar smartphone sehingga selalu saja orang begitu senang menarikan jempol tangannya menombol-nombol huruf tak peduli waktu dan tempat. Malah, seorang teman begitu saya kagumi atas kecepatannya menulis kata-kata di layar ponsel dengan hanya memakai dua ujung jempolnya jauh melebihi rekor kecepatan saya menulis menggunakan empat jari (dua jari kanan, dua jari kiri) pada keyboard komputer.

Nah, apa orang yang selalu tak bisa jauh dari smartphone-nya itu tidak sedang sibuk? Oh, mereka selalu sibuk. Namun, sebagaimana slogan sebuah warung kopi di gang dekat rumah saya yang memajang kalimat ojok sampek kerjomo nganggu ngopimu (jangan sampai aktifitas kerjamu mengganggu kegiatan ngopimu), para orang yang yang tidak bisa lepas dari aktifitas (bermedia) sosial itu pun layak punya tagline; bekerjalah hanya di sela nyosmedmu.

Jujur, kadang saya tergoda juga untuk agak ikut arus; ganti 'senjata' berjenis smartphone. Bahkan bidikan saya sudah masuk ke merek dan tipe-nya segala. Celakanya, seperti hendak memilih istri, saya tak langsung tubruk saja. Ada beberapa hal yang saya timbang-timbang. Sudah seharusnyakah saya punya? Untuk kebutuhan apa? Sekadar supaya eksis di socmed? Atau sudah kudu punya demi menunjang aktifitas kerja? Oh, namun tolong kasih tahu saya; apa pekerjaan dengan gergaji, cetok, palu, tang, obeng dan sebangsanya adalah senjata andalan, harus sudah ikut madzhab yang mewajibkan punya smartphone adalah fardlu 'ain? (Imbas dari terlalu mempertimbangkannya ini, sampai sekarang saya masih setia setiap saat bersama N1200 dan untuk aktifitas nyosmed selalu memakai si C3. Ini sekaligus sebagai jawaban dari beberapa email yang masuk menanyakan WA dan Pin BB, bahwa: saya tidak punya)

Iya, sih. Tidak semua orang tak bisa lepas dari gadget-nya sampai-sampai mengorbankan quality time bersama anak-istrinya. Mereka orang hebat yang sangat taat waktu. Sehingga hanya saatnya saja lengket dengan gadget, dan saat lainnya untuk pekerjaan atau keluarga.

Gadget dengan segala fiturnya bisa jadi amat mengasyikkan. Namun,”Ia sekarang berubah. Nggak seramai dulu. Sekarang ia saban waktu lebih asyik dengan ponselnya,” kata seorang teman tentang teman kami yang lain.

Orang bisa asyik dan ramai sendiri dengan banyak teman dari banyak tempat di dunia secara maya, tetapi bisa jadi ia menjadi pribadi baru yang makin hari makin kehilangan kehangatan bagi teman satu ruangan yang sebelumnya selalu ramai dan akrab secara nyata. Bukan hanya para dewasa, sekarang anak-anak pun kemana-mana bawa smartphone dan mengakrabinya melebihi teman sebangku di sekolahnya atau bahkan dibanding ibu-bapaknya. Ini sebagai bukti bahwa smartphone bisa menjadi sarana mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat. Dengan kenyataan demikian, nanti, makin terasa biasa saja orang tidak saling 'kenal' dengan tetangga yang tinggal di depan hidungnya. *****


Minggu, 04 Oktober 2015

Tempat Pulang

KEMANA tujuan pulang adalah tempat dimana banyak orang memikirkanmu.

-Naruto Uzumaki, dalam sebuah dialog.*****