Minggu, 08 Januari 2012

Puisi untuk Bidadari






























saat-saat kutulis bagian tengah buku ini











diujung kakinya
saat-saat tidak bisa menyelesaikan buku ini...
karena ia memberiku tidur panjang yang cantik
mati indah...
tapi meninggalkan ngilu dalam dan panjang
sehingga buku ini tidak pernah selesai



     BEGITU sebaris puisi yang tertera di back drop kecil di bawah tenda kerucut mungil di sudut kanan depan rumah dr Ananto Sidohutomo. Back drop  itu kental dengan warna merah. Dengan tulisan besar yang lebih menonjol sebagai tajuk dari gelaran gawe ini; Puisi untuk Bidadari.
     Saya duduk manis di deretan kursi kedua di antara sekian banyak sahabat Lan Fang –begitu mereka menyebut diri—yang tidak satu pun mengenal saya. Tak apalah. Toh saya telah ‘kenal’ mereka. Pertama tentu saja shohibul bait, yang sore tadi juga menyampaikan semacam prakata panitia. Juga, tentu saja, mbak Wina Bojonegoro, yang tampil kenes sebagai MC.

     Ya, saya bukanlah siapa-siapa. Tetapi, paling tidak, saya hadir ke sini karena sebuah nama; Lan Fang. Kenalkah saya dengan perempuan hebat kelahiran Banjarmasin 3 Maret 1970 itu? Tidak. Dan, ternyata, yang senasib dengan saya tidak sedikit. Tetapi, walau tidak  mengenal secara fisik orangnya, bukan berarti saya –atau kami--  tidak mengenal karyanya, tulisan-tulisannya, buku-bukunya.

(Foto hasil jepretan salah seorang Sahabat Lan Fang)
     POTRET perempuan cantik berbusana adat Thionghoa itu melirik dengan tatapan mata indah. Sepertinya lirikan itu tepat ke arah duduk saya. Saya GR sejenak. Sejenak saja. Karena jenak berikutnya saya tahu mata indah dalam potret Lan Fang itu -- yang entah difoto kapan --  sedang menatap siapa saja. Misalnya ibu Konjen Amerika Serikat, Kristen F. Bauer, yang duduk di teras depan rumah markas Bidadari  ini.  Atau pak Dukut Imam Widodo dan pak Akhudiat yang ada di belakang ibu Konjen.
     Sementara di depan panggung, sederet dengan saya, ada perwakilan dari penerbit Gramedia Pustaka Utama di kanan saya. Dan di kiri, sekitar enam kursi dari saya, ada begawan sastra; bapak Suparto Brata.
     Belum genap dua Minggu cece Lan Fang berpulang. Ada sudah membuncah kerinduan akan sosok yang meninggal tepat saat hari Natal ini.








rindu kami padamu, Lan Fang





rindu pohon randu




dihinggapi burung  perindu





     Begitu Akhuiat mengungkapkan lewat puisi.

     Sementara, “Lan Fang ini aneh. Dia hapal betul semua tokoh dalam novel-novel saya. Padahal saya sendiri saja sudah lupa,” demikian kata Dukut Imam Widodo (penulis buku-buku tentang Suroboyo. Diantaranya berjudul Surabaya Tempo Doeloe dan Monggo Dipun Badog!).
     Seharian ini, cuaca Surabaya sangat mesra. Panas tidak, mendung gelap pun tidak. Membuat makin sore, makin gayeng  saja acara mengalir. Semengalir orang-orang yang hadir. Sampai-sampai, untuk tempat duduk para sahabat Lan Fang yang terus datang, persis  pada jam 16.19 WIB, digelar tikar dan karpet hijau tepat semeter dari panggung. Sungguh, ini acara sederhana dengan ruh yang tidak sederhana. Sehingga hidangan mi pangsit kelas jalanan pun menjadi menu yang terasa luar biasa mak nyus-nya.
Lan Fang gayeng di Komunitas Pecinta Sastra (Kopi Sareng) pondok pesantren Tebuireng, Jombang. (Foto: akun FB Lan Fang)
     Saya amati satu per satu wajah yang hadir. Dan, sepertinya, saya gagal mendapati sebiji saja yang berbalut sedih. Semua senang. Semua gembira. Ini dia; mengenang seorang sahabat yang berpulang tetapi tidak berduka blas.
     Tentu saja saya keliru. Karena, bisa jadi, kesedihan itu telah berlalu. Kini yang terjadi adalah, sekalipun di sana Lan Fang tidak menjadi bidadari, ia telah berteman para bidadari. Dalam titik ini, sebuah akhir hayat telah menjadi sebentuk  'kematian yang melahirkan'. Kebersamaan, rasa saling empati, dan cinta kasih.
     Dengan begitu, apakah Lan Fang yang keturunan Thionghoa, Budha, mengajar (sastra) di pesantren, dan juga berteman dengan siapa saja ( dari tukang tambal ban, biksu, ulama, pendeta, sampai politikus, dll) sedang dalam perjalanan menuju sorga?
     Bukan tidak mungkin. Dalam baris terakhir puisinya yang berjudul  Janji Puisi, Lan Fang bilang;
    







ternyata,
sorga itu dekat dan sederhana


     Salam.****


Dari kiri, Lan Fang, Yahya Cholil Staquf dan KH Mustofa Bisri. (Foto saya ambil dari akun FB mendiang Lan Fang)
Mendiang Lan Fang bersama sahabatnya, M. Faizi, pengasuh pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep yang juga 'merangkap jabatan' sebagai sastrawan. (Gambar diabadikan oleh Ovie A. Win.)



5 komentar:

  1. Catatan yang menyentuh dan membuat saya berkaca2 (lagi)

    BalasHapus
  2. Oh, kalau begitu saya minta maaf, mbak Wina.

    BalasHapus
  3. terimakasih catatanya om, saya juga fans berat sama beliau (alm. Lan Fang).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Rizky (10) sudah mampir ke kedai Om yang sederhana ini.

      Hapus