Minggu, 06 Januari 2019

Kacamata

BUKAN, ini bukan tentang hoax lagi. Masa sudah dua kali di awal tahun ini menulis tentang hoax, mau nulis lagi tentang itu. Sudah cukup. Sekali pun di luar sana masih dan selalu akan ada hoax-hoax baru. Biar saja. Hoax menggonggong, kafilah berlalu.

Mari bercerita tentang hal lain saja. Hal-hal tak penting lainnya. Karena bukankah semua yang saya tulis di sini memang adalah hal remeh temeh belaka. Hal tak penting yang hendak saya tulis kali ini adalah tentang kacamata.

Kacamata adalah sesuatu yang sebenarnya tak penting namun meningkat derajatnya menjadi penting bagi yang membutuhkan. Saya pernah membaca analisa seseorang tentang suatu topik dari kacamata beliau sebagai pakar. Yang kadang, nalar saya tidak nutut untuk memahaminya. Yang celakanya, lalu saya tidak setuju dengan pendapat pakar itu. Kenapa? Kacamata saya dan kacamata beliau dalam menyikapi sebuah topik berbeda. Kenapa berbeda? Bisa jadi karena ada gap (bisa pendidikan, dan lainnya) antara saya dan pakar itu.

Kacamata saya yang kemarin patah (dan alhamdulillah telah tersambung lagi oleh kawat klip kertas ini), saya beli di jalan Melati Tabanan, Bali. Di sebuah toko kacamata kecil, Kalista Optik namanya. Tak ada yang istimewa dari bangunannya. Setak-istimewa banten (sesajen kecil dengan dupa yang mengepulkan aroma wangi) yang diletakkan di depan toko, pagi itu. Juga pagi-pagi yang lain. Lumrah saja. Di Bali semua begitu. Yang tak lumrah adalah, dari toko yang secara penampakan terlihat Bali banget itu, terdengar alunan lagu kasidah, atau rekaman tartil Al Quran setiap saya lewat. Juga dua perempuan muda berjilbab sebagai penjaganya.

Maka, ketika kacamata saya rusak dan tak bisa diperbaiki, menujulah saya ke Kalista untuk membeli yang baru. Tentu, ada banyak toko kacamata di Tabanan situ. Tetapi, menurut kacamata saya, ada sesuatu yang 'lain' (menurut saya lho ya) dari Kalista. Ada aura yang menyatu dengan saya. Ada warna yang langsung bisa menyentuh hati saya. Iya, musik kasidah dan perempuan berhijab itu.

Mungkin, seharusnya saya tidak terlalu begitu. Bukankah dalam jual-beli tak terlarang untuk melakukan dengan orang yang tak seiman. Betul, dan saya tak membantah itu. Namun, bukankah saya juga tak salah berlaku begitu, dan di kesempatan lain membeli barang lain di tempat yang lain, di tempat orang tak seiman. Biasa saja.

Toh, musik kasidan dan alunan ayat suci itu diputar oleh penjaga toko yang kera Ngalam, arek Malang. Yang tak malang karena tak dilarang oleh si empunya toko yang orang Hindu (Bali) untuk memutar sesuatu yang islami di tokonya. Ini hal sepele. Hanya suara. Tapi, di sini, di negeri yang dulu senantiasa digaungkan sebagai negeri yang menjunjung tinggi sopan-santun dan toleransi ini, kini tidak sedikit hal dan kasus besar (atau dibesar-besarkan?) yang dipicu hal sepele. Tidak saja oleh yang lain golongan, yang segolongan pun bisa beda dalam menilai dan menyikapi sesuatu. Kenapa? Ya karena beda kacamata (dan kepentingan?) dalam melihatnya. *****


Kamis, 03 Januari 2019

Hoax Tempo Doeloe

SEDANG ramai dibicarakan orang tentang kabar (bohong) telah ditemukannya tujuh kontainer di Tanjung Priok berisi surat suara yang sudah dicoblos untuk salah satu paslon kontestan pilpres yang digelar lima hari setelah ulang tahun saya bulan April nanti.  Dan sebuah keniscayaan, bahwa sebohong apa pun kabar, kadang ada juga yang mempercayai, sebagaimana sesungguh apapun kabar benar, tak menutup kemungkinan ada pula yang tak mempercayai.

Sudahlah, saya agak kurang gairah menulis tentang hal perpolitikan. Saya harus tahu diri. Saya ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Tak ada kapital memadai untuk mengupas yang yang saya kurang pahami.

Namun hoax, saya kira, bukan belakangan ini saja terjadi. Bahwa kemudian kabar bohong ini lalu punya nama keren sebagai hoax, mungkin memang iya barusan saja saya tahu. Tetapi praktik hoax itu sendiri adalah hal yang sejak kecil sudah saya alami sendiri. Saya mengalaminya sebagai korban, dan orang tua saya pelakunya. Nah lho.

Berikut tiga hoax ortu versi saya.

Rabu, 02 Januari 2019

Selamat Tahun (Hoax) Baru

SAAT mengawali tulisan ini, sudah tiga puluh delapan jam saya menghirup udara tahun baru. Tahun 2019. Tahun baru yang lama-lama akan menjadi lama juga, kehilangan kebaruannya. Seperti halnya yang lain. Yang tak terhitung. Yang tak dirayakan.

Namun, saya memang tak pernah merayakan tahun baru. Tak pernah meniup terompet sambil begadang, lalu besoknya tidur seharian. Tidak. Saya bukan kelompok kaum itu. Saya orang biasa saja. Sangat biasa.

Walau demikian, saya rasa tahun ini, gaduh sekali. Bukan tentang para anak muda yang keliling kota di malam pergantian tahun dengan knalpot brong motornya. Kegaduhan yang belum pernah ada sebelum-sebelumnya. Kegaduhan yang konyol sekali. Antara dua kubu. Yang entah darimana asalnya kemudian melekat julukan kecebong dan kampret.

Media sosial memang kejam sekali. Di dalamnya menjadikan seakan tak ada sekat sama sekali. Walau tentu tak harus begitu. Karena, dimana pun, memakai sarana komunikasi apa pun, unggah-ungguh tetaplah harus ada. Harus diberlakukan. Tak peduli kepada siapa pun. Kecuali, meminjam istilah Pak Rocky Gerung, orang dungu yang melakukannya. Dan kedunguan stadium lanjut adalah orang dungu yang tak merasa dirinya dungu. Sabar, jangan keburu tersinggung. Karena, bisa jadi orang tersebut adalah saya sendiri.

Tengok saja. Hanya di media sosial orang yang blas gak pernah sekolah ekonomi bisa menyerang kebijakan pemerintah terkait ekonomi hanya berdasar pendapat si anu yang kebetulan berseberangan dengan pemerintah. Istilahnya, si anu itu ada di kubu oposisi. Yang maklum saja, apa pun kebijakan pihak sana selalu keliru bagi kelompoknya. Pun demikian sebaliknya.

Contoh kedua, hanya di medsos ada anak yang barangkali ngajinya baru dalam tahap iqro' saja bisa mengatai seorang ulama dengan kata 'ndasmu' hanya karena si anak itu tak sependapat dengan pandangan kiai itu tentang sesuatu.

Begitulah. Telepon pintar akan sangat berbahaya bila yang memegangnya tidak pintar. Apalagi dengan kenyataan bahwa perkembangbiakan hoax sudah sangat sulit dikendalikan. Padahal, maha sesat hoax dengan segala isinya.

Walau terlambat, saya ingin mengucapkan selamat tahun baru. Semoga kita tetap termasuk kaum yang tidak mudah termakan (apalagi pencipta) hoax.*****

Sabtu, 24 November 2018

Gelitik Bicara Politik

PUNYA grup whatsapp dari beberapa almamater tentu ada senangnya. Walau kadang ada jengkelnya pula. Benar memang, teman sekolah, yang dulu akrab sekali, setelah terpisah sekian puluh tahun, antara mosang-masing telah melewati berbagai pengalaman hidup. Dari hal itu tadi, tentu tidak menutup kemungkinan, telah ada sedikit-banyak pandangan yang berbeda. Entah itu yang remeh temeh, atau hal yang lebih mendasar.

Salah satu yang saya langsung kurang respek, adalah ketika ada teman yang acap kali menyelipkan posting semacam kampanye untuk tidak memilih capres ini, dan senantiasa mengunggulkan capres itu. Okelah, saya sepakat warga negara yang baik, salah satunya adalah yang melek politik, tapi kalau di semua kesempatan ngomongin politik kok ya mbleneg juga. Di warung ngobrol politik, di tempat kerja jagongan politik, di pos kamling bahas politik, lha kok di whatsapp nemu posting politik.

Lebih eneg lagi kalau obrolan politik itu serius banget. Membela pendapat para tokoh nun jauh disana dengan membabi buta. 'Pokoknya jagonya itu terbaik, dan sang lawannya adalah kurang dan malah tidak ada baik-baiknya blas'. Makanya saya sepakat dengan pendapat, untuk bersikap netral adalah hal yang amat sulit sekali bila kita telah menentukan calon yang nanti hendak kita pilih. Ini tentang capres lho ya. Karena kalau tentang caleg, apa sih yang menarik untuk dibicarakan tentang mereka? Wong kita (eh, saya ding!) sejauh ini kurang mengenal siapa saja mereka yang mesti dipilih, yang bisa dipercaya seratus persen nanti bakal betul-betul memperjuangkan aspirasi saya, dan bukan malah mati-matian memperjuangkan 'aspirasi' mereka dan/atau partainya sendiri.

Ada acara debat (kusir) politik yang tayang rutin di layar kaca. Acara itu ramai sekali. Lebih-lebih nara sumber yang dihadirkan adalah yang jago omong semua. (Ya iyalah, kalau narasumbernya pendiam semua, santun semua, gak ramai dong). Jadi, baik yang pro maupun yang kontra, yang dihadirkan dalam debat adalah yang punya kepiawaian mumpuni dalam adu mulut. Semakin ada yang ngomongkan suka lepas kontrol dan emosional, semakin sering ia didatangkan. Malah, ada narasumber yang apa pun topik debatnya, beliau selalu (di)hadir(kan). Dan (seolah) selalu tahu secara mendalam apa pun topik bahasannya. Luar biasa.

Dulu, jujur saya akui, juga suka nonton acara begituan. Maka, ketika anak bungsu merebut remote control televisi untuk menonton acara kartun kesukaannya, tak jarang saya menjadi naik pitam. Sebuah tindakan konyol bukan? Hanya demi mengikuti debat para politisi (yang periode lalu sebagai anggota partai A, kini dia bicara atas nama partai B, dan pada pemilu lima tahun yang akan datang bisa jadi loncat lagi ke partai X), kok sampai dibela-belain rebutan remote control sama anak kecil.

Kini saya lebih santai. Semakin jarang (tidak pernah, malah) mengikuti acara-acara debat politik begituan. Dan asyik saja menemani si bungsu nonton serial kartun kesukaannya. Iya, film kartun yang ditonton anak saya memang entah sudah berapa kali ditayang ulang. Dan dia tidak bosan. Mungkin begitu juga teman-teman saya yang belum juga ada bosannya nonton acara (dan bicara) politik.

Setiap orang punya kesukaannya sendiri. Maka, menurut saya, antar anggota beberapa grup whatsapp saya yang heterogen ini, tak usahlah ngomong politik. Agar selalu cair. Ngomong yang ringan-ringan saja. Seringan saya, dengan suara pas-pasan, menyanyi bareng si bungsu saat serial Tayo, sebuah film animasi produksi Korea, mulai diputar di layar kaca; ♪♫ hai Tayo, hai Tayo, dia bis kecil ramah...♫♪ melaju, melambat, Tayo selalu senang♪♫... ****




Jumat, 09 November 2018

Gorengan

MAS BENDO berlari kecil menuju warung Mbak Yu. Gerimis pagi yang turun di November ini sepertinya agak terlambat. Karena biasanya Agustus sudah mulai hujan., lha ini sudah hampir pertengahan November baru mulai turun hujan.

Dingin-dingin, di hujan begini tentu enak nongkrong di warung Mbak Yu. Bisa nunut baca koran. Bisa makan pisang goreng hangat. Apesnya, Mbak Yu belum menggoreng pisang. Kang Karib yang sudah nongkrong duluan malah sudah kebal-kebul merokok sambil baca koran.

Piye to Mbak Yu, kok pisangnya belum digoreng?” protes Mas Bendo.

Rung sempat, nDo.” jawab Mbak Yu sambil ndeplok sambel pecel.

Ra usah protes,” Kang Karib bicara sambil membuka koran halaman berikutnya. “Wong ngutang aja kok kakean tuntutan. Mbok ya yang sudah ada saja itu dimakan”.

“Hujan-hujan begini enaknya makan gorengan yang anget-anget, Kang.”

“Makan krupuk sambil minum kopi hangat kan juga bisa, nDo”

“Pinginnya pisang goreng kok malah disuruh makan krupuk ki piye to sampeyan,” Mas Bendo ambil duduk di dekat Kang Karib. “Lha kalau sembarang gorengan, sekarang bukan hanya pisang. Perkataan juga bisa digoreng lho, Kang”.

“Mesti kamu sedang membela Pak Wo kan, nDo?” Kang Karib yang memang simpatian Pak Wi menimpali. “Orang itu lihat-lihat dong kalau bicara. Masak calon pemimpin kok bicaranya begitu.”

“Begitu piye to, Kang? Orang guyon kok ditanggepi serius.”

“Guyon itu itu juga harus ada batasnya, nDo. Mosok kok merendahkan orang dengan menyebut daerahnya itu guyonan. Itu ndak patut, nDo.”

Ra patut piye to, Kang?!” sanggah Mas Bendo. “Ra patut mana coba dengan wong sudah minta maaf kok masih saja dituntut. Ini namanya gorengannya ra uwis-uwis, nggak bubar-bubar. Bisa habis energi kita hanya ngurusi hal sekecil upil ini. Lha kapan majunya kita, Kang.”

“Sama, nDo,” Mbak Yu yang masih belum selesai menumbuk sambel pecel di lumpang, menimpali, “kapan majunya warungku ini kalau kamu setiap kesini selalu ngutang...” *****


Minggu, 04 November 2018

Sangkal Putung atau Dokter Orthopedi (Bag.2)

TENGAH malam, di saat si bungsu pulas tidur, saya sering terjaga. Melihat tangannya, melihat sikunya. Ya, walaupun setiap saya tanya dia selalu bilang sudah tidak merasakan sakit di sikunya, dengan kondisi yang hanya bisa ditekuk sembilan puluh derajat, sungguh saya merasa nelangsa. Saya merasa berdosa. Dititipi merawat anak yang lahir sempurna, kok bisa jatuh dan menjadi bengkok tangannya. Saya membayangkan ia nanti oleh kawan-kawannya dijuluki si cekot.

Si Bungsu membaca alur pasien.
Setelah pada hari Jumat saya mendapat surat rujukan dari faskes tingkat 1 di klinik BPJS tempat kami sekeluarga terdaftar, Senin pagi-pagi sekali saya mendaftar untuk ke Poli Orthopedi di sebuah rumah sakit yang saya pilih tidak terlalu jauh dari rumah saya. Memilih RS itu bukan melulu karena jarak, namun juga karena di RS itu dulu si sulung pernah dirawat saat DB, juga saat istri saya harus dioperasi. Pendek kata, saya merasa sreg saja kami berobat kesitu. Walau dulu, saat saya operasi, saya tidak memilih di RS ini, namun di RS milik sebuah institusi di jalan A. Yani.

Celakanya, sebagai pasien baru yang belum punya kartu Rekam Medik, saya harus mendaftarkan secara manual. Belum bisa online. Dan, Senin itu kuota pasien Poli Orthopedi sudah penuh. Jadi, “Silakan besok pagi Bapak datang lebih pagi agar kebagian kuota,” kata petugas pendaftaran.

Baiklah, di RS atau di manapun, kadang stok kesabaran memang harus tersedia relatif cukup.

Selasa saya datang lagi, lebih pagi lagi. Sempat sholat Subuh jamaah di masjid RS. Dan, “Sebentar, saya telpon dokter Lukas dulu ya,” petugas di meja pendaftaran meminta ijin kepada saya.

Rabu, 03 Oktober 2018

Sangkal Putung atau Dokter Orthopedi?

PALANG pintu perlintasan KA tertutup, kendaraan di perempatan Jagir sore itu menyemut. Seperti juga pengendara yang lain, saya berhenti. Iseng merogoh ponsel di saku celana. Oh, ada tiga panggilan dari Ibu Negara tak terjawab. Dan beberapa WA. Tak saya baca, karena kereta barusan lewat. Palang pintu kembali dibuka. Seperti yang lain, saya juga mencari celah untuk melaju lagi. Tapi untuk menepi. Di setelah rel kereta api. Saya berhenti di sebelum Mangga Dua. Kembali merogoh saku. Mengambil ponsel. Membaca yang tertera.

Tak biasa istri saya menelepon atau kirim pesan via WA di jam segitu, karena pasti tahu saya sedang dalam perjalanan pulang. Dan Surabaya di jam pulang kerja sering berkondisi tiada jalan yang tak macet. Benar saja, “Adik jatuh, tangannya bengkak”, itu kalimat yang saya baca dari WA-nya.

Tiada alasan untuk tidak berusaha segera sampai di rumah. Begitu memarkir kendaraan di halaman rumah, ada beberapa tetangga yang sedang ada di ruang depan. Merubung si bungsu. Dan, oh benar. Saya lihat siku tangannya bengkak. “Jatuh dari sepeda,” kata ibunya.

Beberapa tetangga berbaik hati menenangkan saya. Dan bilang bahwa cedera si bungsu harus segera ditangani. Harus dibawa ke tukang sangkal putung.

“Kalau dilihat bengkaknya, sepertinya tidak parah,” kata seorang tetangga. “Paling disana cuma dipijat sebentar, langsung sembuh”.

Saya dan istri yang sedang panik, agak reda mendengar kalimat itu. Lebih-lebih si tetangga bilang dia pernah mengantar saudaranya yang cedera tulangnya lebih parah, bahkan sampai tidak bisa berjalan, begitu dipijat Umik (begitu dia menyebut tukang pijat itu) pulang langsung bisa jalan.

Jadilah sore itu juga si bungsu kami bawa ke tukang sangkal putung. Di mobil, di sepanjang perjalanan, si bungsu selalu menangis kesakitan.

Tangan kanan si Bungsu diperban
dan diberi semacam papan tipis.
Setelah menempuh waktu sekitar satu jam (tentu akan lebih cepat bila jalalan tidak macet) tibalah kami di sebuah kampung yang banyak sekali disitu tempat tukang sangkal putung. Kalaulah saya tidak ada yang mengantarkan, tentu akan bingung memilih tempat yang mana yang akan dituju. Yang layanan dan track record-nya bagus, maksud saya. Yang gampang 'jodoh' saat menangani pasien. Bukankah juga begitu saat kita ke dokter?

Minggu, 23 September 2018

Alon-alon Waton Klepon

TERLETAK di sudut jalan Ngurah Rai Tabanan, Bali, ada satu tempat yang menjual penganan khas Gempol; klepon. Yang membedakan, bila di sepanjang jalan sekitar bundaran Gempol papan nama setiap kedai klepon selalu Wahyu, di Tabanan itu si penjual menuliskan 'Klepon Sidoarjo' sebagai namanya.

"Sidoarjonya mana, Mas?" tanya saya kepada lelaki kekar berambut gondrong yang merekrut dua pekerja asli Bali dalam usaha perkleponannya.

"Saya asli Krembung," jawabnya sambil tangannya cekatan membuat bulatan dari adonan tepung ketan yang selalu diwarna hijau itu. Tak lupa, sebelum dimasukkan ke dalam air mendidih, dimasukkan cairan gula merah ke dalam kleponnya. Cairan gula merah itu yang memuncratkan rasa manis di lidah saat klepon diceplus.

Ketika saya cerita tentang Klepon Sidoarjo yang dibuat lelaki asal Krembung itu kepada salah satu penjual klepon di Gempol, "Iya, Pak Wahyu, pelopor penjual klepon disini, juga asal Krembung," papar lelaki bersarung dan berkopyah putih itu.

Selain klepon, biasanya pedagang di Gempol  juga menjual krupuk upil. (Foto: ewe)
Nah, kebetulan ini. Mumpung Abah penjual klepon di Gempol ini menyebut nama Wahyu, saya iseng bertanya kenapa semua penjual klepon disini memakai nama Wahyu di spanduk di depan kiosnya. Walau saat dibeli, tertera nama lain pada kotak bungkus kleponnya. Mahkota, misalnya. Namun nama Wahyu sudah menjadi nama generik untuk klepon. Di Gempol, klepon adalah Wahyu. Titik.

"Dulu yang pertama jualan klepon disini ya Pak Wahyu itu", Abah menerangkan. "Kami belum bisa bikin. Nah, dari Pak Wahyu pula kami belajar bikin klepon."

"Tapi," saya bertanya lagi,"Kenapa semua pedagang klepon disini kok sampai sekarang memakai nama Wahyu?"

"Karena kalau pakai nama lain, orang kurang tertarik untuk membeli," jawab Abah. "Lagipula, Pak Wahyu gak apa-apa kok namanya kita pakai. Malah beliau juga masih jualan klepon hingga sekarang."

"Lalu apakah penjual klepon disini pada membayar kepada Pak Wahyu karena menggunakan nama beliau?"

"Tidak".

Nah, kalau dilihat menggunakan logika bisnis kekinian, tentu Pak Wahyu dapat royalti dari punggunaan namanya sebagai merk. Dan beliau bisa ongkang-ongkang momong cucu tanpa perlu jualan klepon lagi. Cukup jual nama saja.

Ingin saya bertemu Pak Wahyu yang baik hati itu untuk ngobrol ringan tentang klepon, semoga suatu hari nanti keturutan. Pelan-pelan saja. Alon-alon, waton klepon.****


Sabtu, 22 September 2018

Sahabat Pena

DULU, selain kontak jodoh, ada rubrik sahabat pena di majalah mingguan atau koran terbitan Minggu. Selain dicantumkan nama, hobby, cita-cita dan tentu saja alamat surat. Iya dong, kalau tidak, kemana mesti berkirim surat. Tentang foto, sama deh dengan akun sosmed kita (eh, saya ding). Yang tidak tertutup kemungkinan foto yang dipajang adalah hasil 'polesan'. Agar apa kalau bukan untuk menarik perhatian. Kalau tidak gitu, malah agar wajah sejati gak ketahuan.

Karena, kalau saya sih, sasaran tembak pihak yang akan saya sahabat penai (?!), tentu yang fotonya syantik. Walau bisa jadi si syantik yang ngakunya bernama Rida itu sejatinya adalah Rudi. 

Saya ikutan teman yang lebih dulu punya hobby surat-menyurat. Dari yang semula heran buat apa beli perangko dan kertas Harvest (yang aroma wanginya gak bisa ditiru oleh media daring sekarang), lalu girang bukan kepalang saat Pak Pos datang mengantar surat balasan, eh saya malah ketularan.

Dan waktu itu, sahabat pena itu sedemikian  digandrungi. Sampai ada lagunya segala. Boy Sandi atau Mukhlas yang nyanyi, lupa saya. 

Dari sekian sahabat pena saya, ada 'kera Ngalam' yang kemudian relatif lebih akrab dibanding yang lain. Tulisannya bagus, kalimatnya sering puitis. Jan, pokok'e 👍.

Terbilang lama kami secara intens saling berkirim surat. Dan secara khusus dia manggil saya dengan E'ed. Ah, saya langsung ingat Eeng Saptahadi yang main jadi menantunya Bu Broto dalam serial Losmen di TVRI.

Kenapa kami bisa lama bersahabat pena? Ya karena kami tidak saling tahu foto kami. Oh iya, dia saya kirimi surat duluan gara-gara saya pernah baca surat untuk teman saya. Iya, saya iseng baca, dan kok nama dan juga tulisan tangannya 'masuk'. Jadi bukan dari hasil lihat di koran Minggu. Entah darimana pertama kali teman saya tahu alamat arek Malang itu.

Sampai kemudian dia maksa pingin tahu foto saya. Walau waktu itu saya yakin ganteng, sebagai balasan malah saya sertakan guntingan gambar kucing yang saya ambil dari majalah. Sambil sewot, di balasan surat berikutnya ia mengirim foto diri duluan. Dan benarlah kecurigaan yang diam-diam saya pendam, bahwa ia ternyata adalah....****


Selasa, 11 September 2018

Sambal Bongkot

DI desa Senganan, Banjar Soko, Penebel, Tabanan-Bali, saya punya warung makan langganan. Nama pemiliknya Bu Rahma. Tertulis di papan namanya sebagai Warung Muslim. Lokasinya tak seberapa jauh dari masjid Al Hamzah, menjadikan saya tak repot paling tidak dalam dua hal; makan dan sholat.

Secara rupiah, harga menu di warung Bu Rahma terbilang sangat ramah kantong. Godoh (pisang goreng) hanya limaratusan, seporsi makan hanya sepuluh ribu rupiah. Menunya dijamin halal, tapi tak terlalu banyak pilihan. Ya namanya juga warung di kampung. Lebih sering nasinya pakai beras merah, sering juga menunya berkisar antara plecing kangkung, eseng-eseng pare atau lodeh terong. Untuk lauk, walau kadang ada pindang, yang selalu ada adalah daging ayam suwir dengan dua varian; biasa dan pedas.

(Foto Dok. Pribadi)
Secara rasa, lidah saya ini tak terlalu rewel kok. Lebih-lebih kalau perut sudah lapar. Lebih-lebih kalau menunya terong. Tapi satu hal, untuk sambal bongkot di warung Bu Rahma, juga di Warung Muslim lain di Bali yang pernah saya kunjungi, kok masih gimanaaa gitu. Waktu itu sih... Iya, karena penasaran, di warung kadang saya minta dikasih sambal bongkot, “Dikit aja”, pesan saya, dengan maksud eman-eman kalau dikasih banyak takutnya nanti gak kemakan semua. Namanya juga masih taraf pengenalan. Dan, pih, kok si lidah saya yang gak rewel ini mendadak berontak kala merasakan si bongkot. Sekali lagi, waktu itu sih....

Kini, setelah sekian bulan saya balik ke Surabaya, kok jadi rindu sambal bongkot. Celakanya, kalau di Senganan di setiap tegalan ada tanaman bongkot, di Surabaya ini tak tahu kemana saya mesti mencari. Untungnya tempo hari saya dapat kiriman bongkot dari Tabanan. (Terima kasih Pak Firman yang sudah berbaik hati naik pesawat sambil nyangking bongkot. Terima kasih Pak dan Bu Kresni kiriman bongkotnya).

Di dapur Bu Kresni di desa Senganan, dulu saya pernah melihat cara beliau memasak sambal bongkot, dari sejak awal sampai siap hidang. Dan kemarin, saat bikin sambal bongkot itu, saya juga bertelepon kepada beliau memastikan resep dan tahapan cara bikin sambal khas ini tak melenceng jauh. Hasilnya lumayan. Indikasinya; kalau dulu istri saya sempat gebres-gebres saat incip sambal bongkot, kemarin itu, dengan hanya berlauk sambal bongkot, dia makan sampai nambah nasi lagi.

Ini bahan saat saya bikin sambal bongkot kemarin:
  • Kupas dua tunas muda bongkot (kecombrang), iris tipis lalu cuci sambil diremas-remas, bilas, tiriskan.
  • Iris tipis tiga siung bawang merah.
  • Iris tipis dua siung bawang putih.
  • Iris tipis cabe (jumlah sesuai selera)
  • Cuci ikan teri (jumlah sesuai selera) lalu tiriskan.
  • Garam (secukupnya)
  • Gula (secukupnya)

Cara masak:
  • Panaskan minyak (secukupnya) pada wajan.
  • Tumis irisan bawang merah, bawang putih dan cabe sampai layu.
  • Masukkan dan campurkan irisan bongkot.
  • Masukkan teri.
  • Taburkan garam dan gula secukupnya, aduk sampai rata.
  • Incip sampai didapat rasa yang pas.
  • Selesai, dan sambal bongkot siap dihidangkan.

Nah, mudah bukan?****



Minggu, 09 September 2018

Karcis Parkir

MAKIN banyak saja tempat parkir yang memakai sistem terkini. Bukan lagi saat masuk nopol dicatat tukang parkir lalu kita diberi selembar karcis. Celakanya, tidak jarang karcis itu sudah lecek. Sudah sekian kali digunakan. Dari sini, ada kecurigaan yang masuk akal; bila selembar karcis parkir digunakan berkali-kali sedangkan secara resmi ia hanya boleh digunakan sekali, kemana dong uang parkir selebihnya?

Dengan sistem yang sekarang, yang saat masuk kita secara swalayan bisa nutul tombol di pintu masuk tempat parkir, dan sejurus kemudian kita mendapat print out 'karcis parkir', semua serba simpel. Juga canggih. Karena saat berhenti ketika nutul tombol tadi, wajah kita juga sedang dipotret; sehingga saat keluar, sambil melihat layar monitor petugas bisa tahu, sama nggak penunggang kendaraan anu dengan nopol sekian antara saat masuk dan keluar. Tentu ini bisa meminimalisir pencurian kendaraan dari tempat parkir.

Belum lama ini suatu pagi, saya pergi ke sebuah ATM bank yang terletak di sebuah pertokoan. Seperti biasa, saat masuk saya nutul tombol untuk kemudian mendapat karcis pakir. Karcis itu langsung saya masukkan saku celana. Di dalam ruang ATM juga serupa; setelah transaksi, selembar print out menjulur. Saya tarik, masuk saku juga.

Masalah baru muncul saat saya hendak keluar dan oleh petugas dibilang karcis saya keliru.

"Keliru bagaimana?" sembur saya yang entah mengapa pagi-pagi sudah esmosi. "Saat masuk tadi dapat itu kok keluar dibilang keliru, yang bener aja..."

"Maaf, Pak. Ini bukan karcis parkir, tapi struk transaksi ATM," kalimat yang diucapkan petugas pintu keluar tempat parkir itu membuat wajah saya langsung putih walau tanpa luluran *****

Kamis, 12 Juli 2018

Dekat Pintu Darurat

tahu Sumedang dijual keliling
membeli mangga ke Belanda untuk dibuat gulali
selamat datang di pesawat Citilink
kami bangga membawa Anda terbang ke Bali

SUARA merdu awak Citilink menyambut penumpang dengan berpantun. Dan seperti saya tulis di beberapa posting sebelumnya, beberapa bulan yang lalu saya memang mendapat tugas kerja ke Bali. Untuk transportasi berangkat dan balik saya difasilitasi moda angkutan udara. Lumayanlah, dari yang sebelumnya hanya biasa naik bis, kini berkesempatan bolak-balik naik pesawat. Tanpa bayar pula. Ke Bali lagi. Kalaulah mau diplesetkan, halan-halan ke mBali, gratis, malah digaji pula. Duhai, nikmat Tuhan manakah lagi yang layak saya dustakan?

Beberapa kali saya terbang memang hanya pakai tiket promo. Saya yang awam ini punya ancar-ancar, kalau dapat tempat duduk dekat pintu darurat, oh sepertinya saya sedang dibelikan tiket yang harganya lebih murah. Namanya juga tiket promo. Ohya, saya terbang ke atau dari Ngurah Rai, kalau gak pakai Lion, ya pakai Citilink.

Duduk di dekat pintu darurat sih lebih lega, karena saya bisa selonjor. Itu didesain begitu memang kalau terjadi emergency agar orang mudah untuk meuju pintu darurat. Sedangkan kalau tempat duduk biasa, jarak antara dengkul dan kursi di depan lebih sempit.
Duduk di dekat pintu darurat. (Foto: ewe)

“Karena bapak duduk di dekat pintu darurat, bersediakah Bapak melakukan tindakan yang dperlukan bila terjadi keadaan darurat?” biasanya pramugari akan bertanya begitu beberapa saat sebelum pesawat take off.

Dan saat saya mengangguk tanda bersedia, si pramugari akan berkata secara cepat hal-hal apa saja yang mesti dilakukan. Hebat betul dia. Karena mungkin itu sering dia lakukan, menjadikannya hapal di luar kepala.

Tidak selalu dibelikan tiket kelas pintu darurat sih, suatu kali saya dapat tempat duduk biasa. Berjarak dua kursi di belakang pintu darurat. Pramugari telah selesai menghitung jumlah penumpang, sudah selesai pula memperagakan apa saja yang mesti dilakukan bila dalam kondisi tertentu. Termasuk menunjukkan letak pelampung dan masker oksigen serta cara menggunakannya bila diperlukan.

Salah satu dari pramugari itu, yang tadi memperagakan di dekat pintu darurat sisi tengah (kalau tidak salah, pintu darurat pesawat ada tiga titik; depan, tengah dan belakang), memandang saya, lalu melangkah ke dekat tempat duduk saya. Oh, jangan-jangan dia pernah baca blog saya ini dan sedang ingin berkelanan. Preettt... GR ya saya?

Pramugari dengan kulit kuning dan wajah bening itu makin clink dengan senyum tersungging, “Maaf, bisa saya minta tolong agar bapak pindah tempat duduk?” ia menunjuk kursi dekat pintu darurat, yang telah duduk disitu seorang ibu berdampingan dengan putranya yang masih seusia anak SD. “Untuk membuka pintu darurat dibutuhkan tenaga, dan tentu Ibu dan anaknya itu tidak mampu melakukannya. ” begitu lanjutnya.

Saya tak punya alasan untuk menolaknya. Toh, belum tentu dalam penerbangan nanti mengalami kondisi emergency. Dan sepertinya, saya memang berjodoh untuk duduk di dekat pintu darurat. *****