SELAIN grup tentang persatelitan, salah satu grup yang saya ikuti di jejaring sosial adalah sebuah grup yang mengkhususkan diri mengungkap hal-ihwal yang terjadi di era 80-90an. Lagu-lagunya, filmnya, artisnya, mainannya, julukan masa kecil sampai jajanan yang dibeli saat sekolah di jaman behuela itu. Sering, sebuah cerita tentang mainan yang digemari seorang anak di pelosok Blitar, misalnya, kala itu ngetren pula di ujung Banyuwangi. Tetapi, jangan membayangkan mainan jaman itu seperti yang digemari anak sekarang yang lebih banyak buatan pabrik.
Mainan jaman dulu, ibarat kata, dari apapun jadi. Kulit jeruk bisa dibuat mobil-mobilan, daun nangka bisa dirangkai menjadi penutup kepala sebagai mahkota raja, atau biji buah asam yang dilekatkan pada keramik dibawa kemana-mana lalu diadu kekuatan lekatnya. Oh, jangan dikira pakai lem untuk proses pelekatan, tetapi hanya (maaf) pakai air liur, atau cairan bekicot atau putih telur. Setelah biji asam (tentu yang dipilih yang sudah tua) digosok pada ubin semen hampir separuh, dan disaat masih panas akibat gesekan, dilekatkan pada sebilah keramik bekas atau kaca yang sudah ditetesi air liur. Ih, nggilani ya?
Pendeknya, anak-anak jaman dulu bisa dengan mudahnya mendapatkan kesenangan bersama. Bukan seperti anak-anak sekarang yang menjadi manja dan kurang bersosialisasi justru oleh 'mainan'. Gadget, tentu ada sisi baiknya. Tetapi kalau dilihat, karenanya, anak-anak menjadi lebih senang sendiri, asyik dengan dirinya sendiri. Pada saat dimana gadget sudah menjadi (seakan) kebutuhan, bukan melulu bagi anak-anak, banyak orang tua yang justru lebih banyak menghabiskan waktu bersama 'anak kandung teknologi' ini ketimbang anak kandung sendiri.
Mainan jaman dulu banyak yang dilakukan secara bersama sehingga karenanya secara otomatis mengajari anak untuk lebih memiliki sifat kebersamaan. Main kelereng, dakon adalah dua misal diantara banyak mainan anak yang kini di desa pun sudah makin jarang anak-anak memainkan, sebagaimana mungkin sudah tidak ada lagi anak yang membuat mahkota dari rangkaian daun nangka. Plastik adalah bahan yang mendoninasi bahan mainan (dan saat tulisan ini saya buat, malah beras pun ada yang berbahan plastik).
Masa kecil saya habiskan di Bagorejo dan Mlokorejo. Desa yang tak terlampau pelosok karena terdapat disitu jalan raya Jember-Surabaya via Kencong. Walau saat itu tentu tak seramai sekarang, paling tidak, mobil dan bis bisa kami temui saban hari. Yang juga saya ingat, saban malam Jumat sekira jam dua dini hari, selalu terdengar lenguh suara sapi yang berbaris dituntun orang suruhan blantik (pedagang sapi) untuk menuju pasar Menampu. Entah mengapa para penjual sapi jaman itu senang mengajak dagangannya gerak jalan berpuluh kilometer menuju pasar dan bukan mengangkut sapi-sapi itu menggunakan truk seperti saat ini.
Saat sore hari sehabis mandi sebelum berangkat mengaji, kami duduk di tepi jalan raya mencari kesenangan. Kami membagi teman menjadi dua kelompok. Ya, kami menjadi lawan main dalam menghitung mobil. Untuk menentukan kelompok mana memilih arah mana, kami melakukan suit dulu. Nah, jadilah.
Bayangkan, saking tak sebanyak sekarang, bahkan mobil pun bisa dijadikan 'mainan'. Bukan hanya banyak-banyakkan mobil dari arah timur (Ambulu/Jember), atau dari arah barat (Surabaya/Lumajang), kadang kami bersepakat menjadikan rodanya sebagai bahan permainan. Semakin banyak jumlah roda mobil/truk yang terhitung sampai menjelang maghrib, menanglah yang memiliki jumlah itu. Jadi, kalau ada truk gandeng dari arah 'milik kita' terlihat dari timur, misalnya, sudah sangat giranglah hati karena rodanya banyak. Lebih-lebih kalau truk gandeng itu mengangkut ban mobil, wah, menang KO-lah kita.*****
Sabtu, 23 Mei 2015
Minggu, 17 Mei 2015
Menambah LNB Parabola
KEGEMBIRAAN akan diterapkannya siaran televisi digital terrestrial di Indonesia ternyata tak berlangsung lama. Disaat masyarakat antusias menyambutnya, dikala pabrikan set top box mulai menggenjot produksi, ketika pemenang lelang MUX mulai membangun insfrastruktur dan juga bersiaran, eh program siaran televisi digital malah terganjal. Iya sih, masih ada satu-dua yang mengudara (dengan power pemancar yang tak seberapa), tetapi secara jumlah tak jua bertambah, justru berkurang malah.
Kalau demikian kenyataannya, apakah masih menggantung harapan besar kepada terwujudnya program itu? Ada yang bilang, apa sih kita ini yang tidak ketinggalan? Negara lain sudah melangkah jauh dan tak sudi lagi menggunakan kanal analog untuk televisi, kita masih saja tak bisa ke 'lain hati'. Padahal (katanya) teknologi digital adalah hal yang niscaya, sementara dengan kemajuan teknologi (data) yang maju pesat, membutuhkan bandwicht yang berlipat. (sementara si analog boros sekali karena satu frekuensi hanya bisa diisi satu. Sedang pada kanal digital: satu frekuensi bisa muat belasan!) Kalau tak mau 'ketinggalan kereta' dengan jarak yang teramat jauh, televisi digitallah solusinya.
Sudahlah, bicara tentang televisi digital free to air (FTA), kalau dipikir-pikir, orang kota kalah dengan orang pedalaman yang tak terjangkau pemancar televisi analog terrestrial. Orang pasang jamur (baca: antena parabola) di kampung sudah menjamur. Siaran televisi bebas kepyur alias tak bersemut adalah hal lumrah. Sementara orang kota dengan pesawat televisi sudah HD, siaran yang ditangkap masih berteknologi analog. Ada sih siaran dengan konten HD, tetapi itu milik pay tv. Dan kita tidak sedang membicarakan itu.
Dengan siaran televisi digital terrestrial yang memang sudah tak pernah nambah kontennya, kita (sebagai pemirsa) sudah tak punya cara lain untuk menambahi sendiri. Berbeda sama sekali dengan siaran digital yang diterima dari satelit. Siaran di satelit Palapa-D saja sudah hampir seratus channel, dan kalau ingin nambah siaran kita tinggal menambah LNB. Masih kurang juga? Tambah LNB lagi.
Sejak memasang parabola sendiri, sekarang yang terpasang pada 'jamur' saya ada tiga LNB (Palapa-D, Telkom-1 dan Asiasat7). Berapa channel yang tertangkap? Bagi pengguna antena parabola tentu sudah tahu: ratusanlah jumlahnya.
Kalaulah saya hari ini iseng-iseng mengawinkan dua scalar ring LNB twin (satu milik Matrix, satunya lagi bawaan Venus) agar menjadi satu scalar ring untuk 4 LNB, tentu supaya saya bisa menangkap channel yang terpancar dari satelit Asiasat-5, yang ujung-ujungnya tentu total channel makin bejibun. (Ada yang bilang nanti bakal repot masangnya pada dish saya yang cuma berukuran 6 feet dengan hanya tiga tiang fokus, sementara dengan scalar ring modifikasi ini, mau tak mau harus menggunakan empat tiang fokus. Kesulitan, lalu gagal, lalu mencoba lagi, gagal lagi sampai menemukan cara yang lain untuk berhasil; itulah tantangannya. Haha, ngeyel ya ?)
Mengapa saya melakukan itu, adakah channel favorit yang menjadi tayangan wajib tonton? Olahragakah, filmkah, musikkah? Jujur: tidak. Saya hanya senang tracking dan kurang senang nonton. Kalaulah nonton, paling-paling cuma tombal-tombol remote control, pindah-pindah channel, tahu-tahu mengantuk dan, tidur.
Paling-paling anak-anak ditemani ibunya yang kalau sore nonton Sopo Jarwo atau Naruto. Dengan gambar yang bening bin cling begitu, tentu mononton televisi menjadi nyaman. Saya sih jadwal nontonnya kebagian malam. Tetapi ya itu tadi; nontonnya tidak khusyuk. Paling-paling malah tangan gatal lalu blind scan koleksi satelit, siapa tahu ada transponder baru yang nyangkut.
Satu lagi keinginan, sebagaimana lazimnya tracker anyaran, masih merasa belum lulus sebelum bisa lock menembus satelit Optus. Hehe... *****
Kalau demikian kenyataannya, apakah masih menggantung harapan besar kepada terwujudnya program itu? Ada yang bilang, apa sih kita ini yang tidak ketinggalan? Negara lain sudah melangkah jauh dan tak sudi lagi menggunakan kanal analog untuk televisi, kita masih saja tak bisa ke 'lain hati'. Padahal (katanya) teknologi digital adalah hal yang niscaya, sementara dengan kemajuan teknologi (data) yang maju pesat, membutuhkan bandwicht yang berlipat. (sementara si analog boros sekali karena satu frekuensi hanya bisa diisi satu. Sedang pada kanal digital: satu frekuensi bisa muat belasan!) Kalau tak mau 'ketinggalan kereta' dengan jarak yang teramat jauh, televisi digitallah solusinya.
![]() |
Before. |
Sudahlah, bicara tentang televisi digital free to air (FTA), kalau dipikir-pikir, orang kota kalah dengan orang pedalaman yang tak terjangkau pemancar televisi analog terrestrial. Orang pasang jamur (baca: antena parabola) di kampung sudah menjamur. Siaran televisi bebas kepyur alias tak bersemut adalah hal lumrah. Sementara orang kota dengan pesawat televisi sudah HD, siaran yang ditangkap masih berteknologi analog. Ada sih siaran dengan konten HD, tetapi itu milik pay tv. Dan kita tidak sedang membicarakan itu.
Dengan siaran televisi digital terrestrial yang memang sudah tak pernah nambah kontennya, kita (sebagai pemirsa) sudah tak punya cara lain untuk menambahi sendiri. Berbeda sama sekali dengan siaran digital yang diterima dari satelit. Siaran di satelit Palapa-D saja sudah hampir seratus channel, dan kalau ingin nambah siaran kita tinggal menambah LNB. Masih kurang juga? Tambah LNB lagi.
![]() |
After. |
Sejak memasang parabola sendiri, sekarang yang terpasang pada 'jamur' saya ada tiga LNB (Palapa-D, Telkom-1 dan Asiasat7). Berapa channel yang tertangkap? Bagi pengguna antena parabola tentu sudah tahu: ratusanlah jumlahnya.
Kalaulah saya hari ini iseng-iseng mengawinkan dua scalar ring LNB twin (satu milik Matrix, satunya lagi bawaan Venus) agar menjadi satu scalar ring untuk 4 LNB, tentu supaya saya bisa menangkap channel yang terpancar dari satelit Asiasat-5, yang ujung-ujungnya tentu total channel makin bejibun. (Ada yang bilang nanti bakal repot masangnya pada dish saya yang cuma berukuran 6 feet dengan hanya tiga tiang fokus, sementara dengan scalar ring modifikasi ini, mau tak mau harus menggunakan empat tiang fokus. Kesulitan, lalu gagal, lalu mencoba lagi, gagal lagi sampai menemukan cara yang lain untuk berhasil; itulah tantangannya. Haha, ngeyel ya ?)
![]() |
Selanjutnya; sepertinya saya mesti menambah tiang fokus nih... |
Mengapa saya melakukan itu, adakah channel favorit yang menjadi tayangan wajib tonton? Olahragakah, filmkah, musikkah? Jujur: tidak. Saya hanya senang tracking dan kurang senang nonton. Kalaulah nonton, paling-paling cuma tombal-tombol remote control, pindah-pindah channel, tahu-tahu mengantuk dan, tidur.
Paling-paling anak-anak ditemani ibunya yang kalau sore nonton Sopo Jarwo atau Naruto. Dengan gambar yang bening bin cling begitu, tentu mononton televisi menjadi nyaman. Saya sih jadwal nontonnya kebagian malam. Tetapi ya itu tadi; nontonnya tidak khusyuk. Paling-paling malah tangan gatal lalu blind scan koleksi satelit, siapa tahu ada transponder baru yang nyangkut.
Satu lagi keinginan, sebagaimana lazimnya tracker anyaran, masih merasa belum lulus sebelum bisa lock menembus satelit Optus. Hehe... *****
Kamis, 14 Mei 2015
Surga Bagiku Gak Penting !
KALIMAT yang saya jadikan judul tulisan ini saya dapati dari punggung seorang pemuda yang menyalip motor saya saat pulang kerja tadi sore. Tulisan itu berwarna hitam dengan warna dasar kaos merah. Ya, dengan ukuran huruf yang besar, kalimat itu bisa dibaca oleh orang rabun sekalipun.
Mungkin kalimat itu hanya olok-olok sebagaimana sering kita jumpai pada kaos Jogger, atau Dagadu atau yang lainnya. Kalau tulisan Tahanan Nusakambangan sih sudah sering saya dapati dikenakan oleh orang yang saya yakin tak sekecilpun punya keinginan menghuni lapas itu. Namun, apakah 'Surga Bagiku Gak Penting' itu juga begitu?
Saya tak mengejar si penyalip itu untuk menanyakan alasannya mengenakan kaos bertuliskan begitu. Bisa jadi ia adalah berandalan yang tak pernah makan sudut surau atau sama sekali tak pernah mengendus kitab suci. Begitukah? Atau ia malah sedang mengajari saya untuk tidak manja melakukan apa-apa hanya demi pahala yang dalam kepala saya hal itu saya anggap sebagai tiket masuk surga. Bahwa, ia mengajari saya untuk melakukan apapun tanpa dasar apa-apa (dalam arti kata) : ikhlas.
Artinya, dengan demikian, surga menjadi 'tidak penting'. Nah, tentu saja jangan tantang saya untuk ndalil yang ndakik-ndakik. Pengetahuan saya ini hanya gratul-gratul karena otak yang yang relatif tumpul. Atau begini saja, kapan-kapan, kalau ketemu orang yang mengenakan kaos bertuliskan yang demikian itu, sebaiknya saya berhentikan dan saya tanyai apa alasannya kemana-mana mengenakan kaos itu. Kalau ada waktu, Sampeyan boleh menemani saya menginterogasinya. *****
NB: artikel ini saya posting menggunakan ponsel jadul Nokia C3.
Mungkin kalimat itu hanya olok-olok sebagaimana sering kita jumpai pada kaos Jogger, atau Dagadu atau yang lainnya. Kalau tulisan Tahanan Nusakambangan sih sudah sering saya dapati dikenakan oleh orang yang saya yakin tak sekecilpun punya keinginan menghuni lapas itu. Namun, apakah 'Surga Bagiku Gak Penting' itu juga begitu?
Saya tak mengejar si penyalip itu untuk menanyakan alasannya mengenakan kaos bertuliskan begitu. Bisa jadi ia adalah berandalan yang tak pernah makan sudut surau atau sama sekali tak pernah mengendus kitab suci. Begitukah? Atau ia malah sedang mengajari saya untuk tidak manja melakukan apa-apa hanya demi pahala yang dalam kepala saya hal itu saya anggap sebagai tiket masuk surga. Bahwa, ia mengajari saya untuk melakukan apapun tanpa dasar apa-apa (dalam arti kata) : ikhlas.
Artinya, dengan demikian, surga menjadi 'tidak penting'. Nah, tentu saja jangan tantang saya untuk ndalil yang ndakik-ndakik. Pengetahuan saya ini hanya gratul-gratul karena otak yang yang relatif tumpul. Atau begini saja, kapan-kapan, kalau ketemu orang yang mengenakan kaos bertuliskan yang demikian itu, sebaiknya saya berhentikan dan saya tanyai apa alasannya kemana-mana mengenakan kaos itu. Kalau ada waktu, Sampeyan boleh menemani saya menginterogasinya. *****
NB: artikel ini saya posting menggunakan ponsel jadul Nokia C3.
Njajal Ngeblog Pakai Nokia C3
INI, untuk pertama kali saya mencoba posting tulisan pakai ponsel jadul Nokia C3. Dengan tombol huruf yang relatif kecil (dibanding jempol saya yang montok) membuat saya agak gratul-gratul dalam menulis. Itu pertama. Yang kedua, sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana cara membuat paragraf. Bagi yang sudah lihai posting tulisan di blog pakai HP, kasih tahu dong saya.... :D
Oh, syukurlah, akhirnya bisa juga bikin paragraf baru. Yakni dengan menekan tombol shift + enter di keypad sisi kanan. Hahaha, gaptek ya saya. *****
Oh, syukurlah, akhirnya bisa juga bikin paragraf baru. Yakni dengan menekan tombol shift + enter di keypad sisi kanan. Hahaha, gaptek ya saya. *****
Kamis, 07 Mei 2015
Dua Jam + Enam Bulan di Samsat Manyar
![]() |
Silakan KLIK disini: Samsat Surabaya Timur di Manyar Kertoarjo (Foto: Dok. Pribadi) |
UNTUK
membayar pajak kendaraan bermotor, sekarang ini, mudah sekali. Cukup
datang ke Samsat
Corner
di mal-mal, jadilah. Atau membayar lewat Samsat Drive Thru dengan
tanpa turun dari kendaraan. Cepat sekali. Dan kalau masih ada orang
yang menggunakan jasa calo untuk hal yang sangat mudah sekali itu,
sungguh patut dipertanyakan alasannya.
Tetapi,
untuk membayar pajak kendaraan lima tahuhan (ganti plat nomor) yang
harus datang langsung ke kantor Samsat apakah semudah dan secepat
membayar pajak tahunan di Samsat Corner di mal?
![]() | |
Loket Cek Fisik.(Foto: Dok. Pribadi) |
Berbekal
bayangan masih ribetnya birokrasi di kantor Samsat, banyak sekali
orang langsung menyerahkan urusan itu melalui tangan calo. Nah,
sebenarnya seberapa sulitkah mengurus sendiri pajak lima tahunan itu
di Samsat dan butuh waktu berapa lama?
Kemarin
(5 Mei 2015) saya meneguhkan diri mengurus sendiri hal itu di kantor
Samsat. Karena domisili saya di Surabaya Timur, saya termasuk daerah
kerja Samsat Manyar. (Kendaraan saya ini masih atas nama tetangga,
karena ketika beli dulu saya belum masuk sebagai 'warga negara' Surabaya. Nah untuk itu
saya menyiapkan Surat Kuasa yang saya ketik sendiri lengkap dengan
materai senilai 6000 rupiah).
Lewat
jalan Ir. Soekarno (MERR) dari rumah sampai ke kantor Samsat di jalan
Manyar Kertoarjo hanya memakan waktu seperempat jam. Saya lihat jam
dinding di ruang petugas administrasi Cek Fisik masih menunjuk angka
8.12 WIB. Dan pelayanan Samsat sudah mulai ramai.
![]() |
Esek-esek nomor mesin dan nomor rangka kendaraan. (Foto: Dok. Pribadi) |
Dari
pintu gerbang, saya langsung membawa kendaraan ke area cek fisik.
Bertanya kepada petugas berseragam krem/kekuningan, saya diarahkan ke
loket 1 untuk mengambil formulir cek fisik dulu. Selembar kertas itu
telah ada semacam kertas sticker untuk menggesek nomor rangka dan
nomor mesin kendaraan. Petugas cek fisik menggesek dengan cekatan.
Benar, pada kaca loket tertulis 'cek fisik gratis', tetapi saya lihat
nyaris semua orang memberi tip lima atau sepuluh ribu rupiah ke
petugas cek fisik. Kalau dikalikan, dengan sebegitu banyak kendaraan
yang cek fisk saban hari, tentu sangatlah besar uang tip yang
diterima petugas berseragam biru itu. (Saya tak tertarik untuk mereka-reka;
uang itu 'dimakan' sendiri atau dibagi rata ke petugas/bagian lain
demi sama rasa-sama rata...)
Setelah
cek fisik, kendaraan dianjurkan dipindah ke tempat parkir di seberang
jalan. Dan di dekat kantin tak jauh dari tempat parkir itu, kita bisa
memfoto kopi berkas yang kita pegang, termasuk BPKB dan STNK lama.
Tak usah bilang ini-itu, petugas foto kopi sudah paham betul berapa
lembar kopi yang dibutuhkan untuk tujuan yang dimaksud. Plus-nya
lagi, petugas foto kopi tanpa diminta akan menata dan menstaples
berkas-berkas itu pada map. Biayanya? Lima ribu rupiah saja.
![]() |
Ruang tunggu lapang dan dingin. (Foto: Dok. Pribadi) |
Dari
situ saya kembali ke loket cek fisik untuk mendapatkan stempel
legalisir petugas cek fisik. Lalu diarahkan ke loket 1 untuk
diperiksa. Setelah itu, disilakan masuk ke ruang dalam menuju loket
6; berkas yang sudah ditata tukang foto kopi dirapikan lagi.
Berikutnya disarankan menuju loket nomor 23. Antri sebentar,
dipanggil petugas loket 25; membayar pajak kendaraan. Duduk lagi di
ruang tunggu yang luas dan berpendingin. Tak lama kemudian petugas
loket 27 memanggil untuk membayar biaya STNK dan plat nomor baru;
nilainya delapan puluh ribu rupiah. Oleh petugas loket 27 saya
diarahkan untuk antri di depan loket 28.
Pada
tanda loket 28 ini tertulis sebagai loket penyerahan STNK dan plat
nomor polisi baru. Ini loket terakhir sebelum urusan di Samsat ini
beres, pikir saya. Sambil menunggu, saya mengedarkan pandang.
Penilaian saya, fasilitas di Samsat Manyar ini termasuk bagus. Ada
ruang tunggu dan loket khusus lansia, ada pula ruang khusus ibu
menyusui. Karena saya merasa belum lanjut usia maka saya menunggu di
ruang dengan kursi yang tak empuk dibanding sofa di ruang tunggu
lansia itu. Termasuk saya tidak duduk di ruang ibu menyusui karena
saya bukan ibu-ibu. Hehe....
![]() |
Ruang tunggu Lansia. (Foto: Dok. Pribadi) |
Sepuluh
menit menunggu di depan loket 28, baru nama saya dipanggil. “Ini
tanda terimanya,” kata petugas.
“Plat
nomor dan STNK-nya?” tanya saya.
“Ambil kesini enam bulan lagi,” jawab petugas laki-laki dengan nada ketus
tidak, ramah juga tidak. Sampai-sampai ia tidak mengucap maaf untuk
hal yang rentang waktunya sangat lama itu. Mungkin ia berlaku begitu
karena telah ada kalimat permintaan maaf pada banner di sudut depan
meja loket 28 tentang pemberitahuan dimaksud.
Saya
pulang dari kantor Samsat dengan hanya mengantongi bukti pembayaran
pajak kendaraan dan tanda terima pembayaran STNK plat nomor yang
jadinya masih setelah lebarah haji nanti itu.
Nah,
kalau dihitung, dari sejak saya datang tadi, sampai selesai ini,
memakan waktu tak lebih dari dua jam dengan perincian semua tahapan
saya urus sendiri sesuai prosedur yang terbilang lancar jaya.
![]() |
Untuk membayar pajak tahunan, lebih enak disini saja. (Foto: Dok. Pribadi) |
Walau
saya sudah bilang telah selesai mengurus sendiri, masih saja ia
memberi nomor ponselnya agar, “Kalau lain kali mengurus, atau ada
tetangga Bapak yang butuh, bisa langsung menghubungi saya, Pak. Saya
tiap hari disini kok,” ujarnya.
Oh,
ternyata ini salah satu calonya. Biaya jasanya duapuluh ribu saja
(dengan janji) satu jam selesai. Atau, kita memilih menangani sendiri
urusan di Samsat ini dengan memakan waktu dua jam selesai? *****
Klik disini: pengalaman mengambil STNK, plat nomor dan BPKB ke Samsat Manyar.
Klik disini: pengalaman mengambil STNK, plat nomor dan BPKB ke Samsat Manyar.
Jumat, 10 April 2015
D o n a s i
SEBUAH
minimarket yang sekarang memiliki jaringat luas, membuat satu
ketentuan 'kalau pelayan lupa memberi salam saat pelanggan masuk, si
pelanggan berhak atas sekaleng soft drink, gratis'. Itu saya dapati
beberapa tahun yang lalu, saat awal-awal minimarket itu membuka gerai
tidak jauh dari rumah saya. Apakah hal tersebut, (kala itu) juga
dilakukan di tempat lain saat pembukaan gerai anyar? Saya tidak tahu.
Kini,
yang saya tahu, ia tumbuh laksana biskuit di masa Lebaran; banyak
sekali, di seantero negeri. Yang mendominasi ya cuma mereka berdua,
yang secara warna tidak jauh berbeda. Apalagi secara tempat. Ibarat
judul lagi jadul; Dimana Ada Kamu Disitu Ada Aku. Bahkan, untuk
menggambarkan pertarungan dengan kompetitornya, mereka melakukan head
to head
secara nyata. Berhadapan hanya berbatas jalan, atau berdampingan
berbatas tembok belaka. Anda lebih sering berbelanja ke yang itu atau
ke yang sana?
“Dibanding
di toko biasa, harga barang disitu lebih mahal,” kata istri saya
yang –seperti istri siapa pun-- sungguh sangat mempertimbangkan
harga.
Tetapi
dengan kehadirannya nyaris di depan hidung siapapun, ia menjadi
'pembunuh bertangan dingin' toko kelontong tradisional. Ya, harga
memang agak lebih mahal, tetapi dengan tata letak barang yang rapi,
dengan pembeli bisa sesuka hati memilih sendiri, bisa bayar aneka
tagihan bulanan sampai tiket kereta api, berpendingin udara, ada ATM,
buka 24 jam, oh lengkap sudah kekalahan si toko kelontong.
Walau
sudah begitu, sungguh saya tidak habis pikir saat si kasir dengan
enteng bertanya kepada pembeli saat uang kembalian ada pecahan
recehnya, “Yang empat ratus boleh didonasikan?”
Dengan
pembeli lain sudah antre di belakang kita, kalau hendak bilang
'tidak' saat ditodong begitu, sungguh sebuah dilema; tidak
mendonasikan dikira pelit, mendonasikan tidak tahu itu untuk apa dan siapa.
Iya sih, cuma setarus atau empat ratus rupiah. Namun kalau dikalikan
jumlah orang yang 'terpaksa' menyumbang, lalu dikalikan lagi jumlah
jaringan minimarket itu di seluruh Indonesia, ho ho ho... sungguh
sangat besar sekali nilainya.
Iya
juga sih, dalam menyumbang sungguh tidak baik sampai menelusuri
sumbangan itu akan digunakan untuk apa oleh siapa. Yang penting ikhlas. Urusan
tanggung jawab, bisa diserahkan kepada Yang Maha Kuasa. Masalahnya,
sekarang ini, tidak sedikit orang yang sudah kehilangan rasa takut,
bahkan juga kepada Tuhan.
Bagaimana,
“Yang tiga ratus boleh dinonasikan?” *****
Selasa, 07 April 2015
Basa Jawa Bakal Ilang?
WIS
suwe banget rasane aku ora ngisi tulisan nang blog iki. Yen
digolek-golekne, mesthi ana wae sing iso didadekne alasan. Sing
sibuklah, sing ora sempatlah, lan liya-liyane. Nanging, intine, yo
lagi males wae. Titik.
Nah,
saiki, kanthi trantanan (kaya bayi belajar mlaku) aku niat ingsun
nulis nganggo basa Jawa. Basa sing kudune luwih gampang dak tulis,
ananging buktine, nulis nganggo basa Jawa luwih angel tinimbang nulis
baha Indonesia. Padhahal, yen dak rasa-rasa, maca geguritan utawa
cerkak basa Jawa, nang ati iki krasa luwih kena, luwih mirasa.
Aku
dadi iling ing nalika taun 80an. Nalika iku Kangmasku dadi agen
majalah minggon Panjebar Semangat lan uga Jayabaya. Krana saka kuwi,
aku isa ajeg maca sadurunge majalah-majalah iku diterke menyang para
pelanggan. Sing isih dak ilingi nganthi saiki, yaiku Roman Sacuwil
tulisane Cahyarini T. Budiarti utawa gambar kartun asil coretane
Suhadi TC (Tukang Cukur). Komike Teguh Santosa ing samak mburi, tulisan-tulisane
Suparto Brata, Bonari Nabonenar lan liya-liyane. Siji maneh,
ilustrator Panjebar Semangat sing gambare apik tenan, jenenge
Budiono, saiki dadi ilustraor andalan Jawa Pos.
Cekak
carita, masa-masa SMP nganti SMA aku ora tau ninggalke wacan basa
Jawa. Saiki, aku ora ngerti kepriye kabare minggon basa Jawa kuwi.
Kangen rasane maca geguritan, cerkak lan rubrik-rubrik khas liyane.
Saiki, sing tak ngerteni, saya akeh bocah cilik ora bisa --aja ta
maca-nulis aksara Jawa-- ngomong basa Jawa rada alus uga ora godak,
isane mung ngoko. Malah, ora peduli bapa-biyunge asli Ngawi utawa
Trenggalek, umpamane, akeh tangga-teparoku sing sabendina nggunakake
basa Indonesia. Lha yen kaya mangkene kasunyatane, apa ora mengko
bakal ilang basa Jawa iki?
Yen
dudu kita, njur sapa sing njaga lan nglestare'ake basa Jawa? Apa
mengko, putra-wayah kita kudu adoh menyang negara Walanda utawa
Suriname kanggo sinau taling-tarung lan sapiturute? *****
Rabu, 04 Februari 2015
Rabu, 14 Januari 2015
Siaran Televisi Digital di Jember
MINGGU
kemarin saya ada acara ke Jember. Waktu yang tak lama itu saya
manfaatkan juga untuk menjajal lagi (karena dulu saya juga telah
pernah melakukannya) set
top box,
demi mencari tahu sudah seberapa perkembangan siaran televisi digital
terrestrial di Jember. Dulu, seingat saya, MetroTV telah bersiaran
secara digital di Jember. Sendiri saja, tanpa kawan. Sekarang, apakah
ia sudah ada teman MUX lainnya?
Kemarin
itu, mula-mula saya duga frekuensi 610 Mhz (Ch. 38) milik Metro masih
ada. Ternyata; malah yang tertangkap ketika saya scan
adalah MUX milik MNC pada channel 42 (642 Mhz) dan channel 45 (666
Mhz) yang dihuni MUX TransCorp, sementara MetroTV sama sekali tidak
ke-detect.
Seperti
biasa, MUX grup MNC berisi RCTI,
MNCTV
dan GlobalTV,
sedangkan TransCorp
yang biasanya (di kota lain) selain ditempati TransTV,
Trans|7
dan KompasTV,
di Jember ini KompasTV
tidak ikut serta. Bisa jadi, saya duga, KompasTV
memang belum memiliki ijin siaran di Jember.
Satu
lagi, bila di Surabaya (yang saya tahu) channel digital semua ada di
angka ganjil, untuk Jember kok
kombinasi ganjil-genap ya?! (MetroTV channel 38, MNC channel 42 dan
MUX TransCorp channel 45.)
Jarak
dari tempat saya melakukan scan
sekitar 30 km dari pemancar (bila pemancar digital itu dari daerah
Bangsalsari). Dengan jarak segitu, saya rasakan, sinyal tertangkap
dengan stabil. Entah kalau melakukan scan
dari daerah yang jaraknya lebih jauh dari itu. Juga, ada yang
bertanya lewat email saya; dengan jarak antara rumah dan pemancar 100km
apakah sinyal digital masih bisa diterima?
Jujur,
secara teknis saya tidak tahu. Tetapi, asumsi saya, penerimaan sinyal
sejalan dengan kekuatan daya yang dipakai oleh sebuah pemancar plus
pancaran itu tidak membentur penghalang. Betulkah begitu? Silakan,
sebagai expert,
Anda menambahkan informasi bila berkenan. Saya tunggu selalu.
Catatan:
'altem' (alat tempur) yang saya pakai scan
di Jember tempo hari adalah: Antena: Titis TS-1000 dengan ketinggian
tiang 7 meter, Kabel: Belden RG-6, set
top box:
PF-209. *****
Kamis, 08 Januari 2015
Jangan Remehkan Langkah Kecil
Senin, 05 Januari 2015
Bursa Buku Lungsuran di Pasar Blauran
rek ayo, rek
mlaku-mlaku nang mBlauran
rek ayo rek
ayo tuku buku lungsuran....
SELAIN di kawasan Kampung Ilmu yang terletak di jalan Semarang, di Surabaya ini juga terdapat tempat lain yang menyediakan buku bekas atau lungsuran. Tempatnya di Pasar Blauran, namanya Bursa Buku Bekas.
Untuk menuju ke tempat ini sangatlah tidak sulit. Terletak di segi empat emas Praban-Bubutan-Kranggan-Blauran, ia secara gampang dijangkau angkutan kota. Kalau Anda dari arah terminal Bungurasih, Anda bisa naik bis kota jurusan Tanjung Perak yang via Tunjungan Plaza/Embong Malang dan Anda bisa turun persis di kawasan Blauran.
Betul, di sepanjang Blauran memang banyak sekali berjejer toko-toko emas. Berjalanlah terus ke arah stopan/lampu merah. Beloklah ke kiri; disitu ada gerbang depan Pasar Blauran. Letaknya persis berhadapan dengan pusat perbelajaan BG Junction.
Begitu masuk langsung disambut berderet pedagang jajanan tradisonal. Ada lemper dan aneka kue basah lainnya. Begitulah memang, selain di Pasar Kembang, disinilah dengan gampang kita mendapatkan aneka kue tradisonal.
Baiklah, Anda ingin menuju ke Bursa Buku Bekas, gampang, saya tunjukkan arahnya. Lewatilah saja para pedagang kue-kue itu. Nanti, setelah Anda mendapatkan buku-buku yang Anda cari, bolehlah melepas penat sambil menikmati aneka kuliner di situ. Berjalanlah lurus, lalu belok kiri sedikit. Nah, disitulah lapak-lapak penjual buku bekas berada.
Anda mau mencari buku apa? Buku pelajaran SD? Ada. SMP dan SMA? Juga ada. Buku anak kuliahan, pengetahuan umum, tema agama, novel dewasa, teenleet sampai majalah sastra Horison? Dijamin ada. Dan lazimnya sebuah pasar, bandrol harga secara pasti tidak ada. Yang terjadi adalah hukum tawar-menawar; semakin Anda pintar menawar, semakin murahlah harga buku yang Anda dapatkan. Dan bersiaplah untuk membayar sedikit mahal bila Anda kurang piawai menawar.
Sekalipun bernama Bursa Buku Bekas, bukan berarti tidak tersedia buku-buku baru. Namun, kalau boleh saya menyarankan, untuk membeli buku baru, belilah saja di toko-toko buku. Kenapa? Saya duga, yang dinamakan buku baru disini adalah buku-buku bajakan. Dan bukankah kalau kita membeli buku bajakan itu sama saja dengan kita tidak menghargai jerih payah para penulis dan penerbit resmi. Buku bajakan itu, yang isinya jan mak-plek sama dengan buku asli itu, sama sekali tidak mengalirkan royalty kepada sang penulis. Padahal, para penulis itu (lewat buku-bukunya) juga butuh profit (rupiah) disamping benefit (faedah).
"Liburan kemarin lumayan ramai, Mas?" saya bertanya kepada Mus (35) salah seorang pedagang buku yang baru saya kenal.
"Sepi, Mas," jawab ayah dua anak asal Talun, Blitar, yang beristrikan perempuan asal Tanggul, Jember ini.
Perkiraan saya, karena anak-anak sekolah pada libur dua minggu kemarin, mereka pada mencari buku untuk menemani libur mereka. Ternyata, "Mereka kan pada tamasya, Mas, jadinya penjualan sepi sekali. Malah pernah sehari kita cuma dapat tujuhpuluh ribu." papar Mus yang saban hari bertiga dengan Ari (25) asal Wonogiri dan Eko (26) asal Solo.
Mendapati omzet penjualan yang cuma segitu, aku Mus, sering kurang enak sama majikan. Ya, mereka bertiga memang hanya sebagai penunggu, dagangan itu milik majikan orang Sidoarjo yang juga memiliki stan di Kampung Ilmu jalan Semarang. Masa ramai penjualan buku, papar Mus, adalah saat akan masuk tahun ajaran baru. "Dalam sehari kita bisa mendapatkan tujuhratus ribu atau lebih," imbuh Mus yang sudah sepuluh tahun menjadi penunggu stan dan mengaku dibayar limapuluh ribu rupiah sehari.
Saya mengedarkan padang dan berjalan mengelilingi stan satu dan lainnya. Betul kata Mus, lumayan sepi memang. Ada sih satu-dua (saya kira mahasiswa) yang mencari buku yang diperlukan. Atau seorang ibu yang datang ke stan Mus saat saya kembali asyik jagongan, "Saya cari buku terjemahan kitab Riyadush Sholihin," kata perempuan berjilbab berusia sekitar 45-an. "Untuk nambah pengetahuan," katanya ketika saya tanya.
Eko, teman Mus dengan ramah bilang, "Oh, ada. Tunggu sebentar," lalu priyantun Solo itu bergegas menuju ke stan lain untuk mencarikan buku yang dimaksud si Ibu. Begitulah, sudah lazim terjadi pedagang menjualkan dagangan pedagang-pedagang lain. Dengan begitu, jarang mereka bilang 'tidak punya' kala ada orang mencari buku tertentu.
Tawar menawar harga pas tancap gas, kata Iwan Fals. Di Bursa Buku Bekas Blauran ini pun begitu; tawar menawar harga pas masuk tas.
Oke, beli buku sudah. Sekarang saatnya menikmati aneka kuliner di situ. Saran saya, cobalah rujak cingur. Atau soto, atau rawon atau lontong balap. Minumnya? Ada dawet dan aneka minuman lainnya. Terserah selera, pokoknya. Tetapi jangan lupa, karena saya telah menjadi guide Anda dalam jalan-jalan ke Blauran kali ini, untuk yang saya makan ini (sepiring rujak cingur dan semangkok es campur), saya minta Anda yang bayar. Bagaimana, deal?...*****
mlaku-mlaku nang mBlauran
rek ayo rek
ayo tuku buku lungsuran....
SELAIN di kawasan Kampung Ilmu yang terletak di jalan Semarang, di Surabaya ini juga terdapat tempat lain yang menyediakan buku bekas atau lungsuran. Tempatnya di Pasar Blauran, namanya Bursa Buku Bekas.
Untuk menuju ke tempat ini sangatlah tidak sulit. Terletak di segi empat emas Praban-Bubutan-Kranggan-Blauran, ia secara gampang dijangkau angkutan kota. Kalau Anda dari arah terminal Bungurasih, Anda bisa naik bis kota jurusan Tanjung Perak yang via Tunjungan Plaza/Embong Malang dan Anda bisa turun persis di kawasan Blauran.
Betul, di sepanjang Blauran memang banyak sekali berjejer toko-toko emas. Berjalanlah terus ke arah stopan/lampu merah. Beloklah ke kiri; disitu ada gerbang depan Pasar Blauran. Letaknya persis berhadapan dengan pusat perbelajaan BG Junction.
Begitu masuk langsung disambut berderet pedagang jajanan tradisonal. Ada lemper dan aneka kue basah lainnya. Begitulah memang, selain di Pasar Kembang, disinilah dengan gampang kita mendapatkan aneka kue tradisonal.
Baiklah, Anda ingin menuju ke Bursa Buku Bekas, gampang, saya tunjukkan arahnya. Lewatilah saja para pedagang kue-kue itu. Nanti, setelah Anda mendapatkan buku-buku yang Anda cari, bolehlah melepas penat sambil menikmati aneka kuliner di situ. Berjalanlah lurus, lalu belok kiri sedikit. Nah, disitulah lapak-lapak penjual buku bekas berada.
Anda mau mencari buku apa? Buku pelajaran SD? Ada. SMP dan SMA? Juga ada. Buku anak kuliahan, pengetahuan umum, tema agama, novel dewasa, teenleet sampai majalah sastra Horison? Dijamin ada. Dan lazimnya sebuah pasar, bandrol harga secara pasti tidak ada. Yang terjadi adalah hukum tawar-menawar; semakin Anda pintar menawar, semakin murahlah harga buku yang Anda dapatkan. Dan bersiaplah untuk membayar sedikit mahal bila Anda kurang piawai menawar.
Sekalipun bernama Bursa Buku Bekas, bukan berarti tidak tersedia buku-buku baru. Namun, kalau boleh saya menyarankan, untuk membeli buku baru, belilah saja di toko-toko buku. Kenapa? Saya duga, yang dinamakan buku baru disini adalah buku-buku bajakan. Dan bukankah kalau kita membeli buku bajakan itu sama saja dengan kita tidak menghargai jerih payah para penulis dan penerbit resmi. Buku bajakan itu, yang isinya jan mak-plek sama dengan buku asli itu, sama sekali tidak mengalirkan royalty kepada sang penulis. Padahal, para penulis itu (lewat buku-bukunya) juga butuh profit (rupiah) disamping benefit (faedah).
"Liburan kemarin lumayan ramai, Mas?" saya bertanya kepada Mus (35) salah seorang pedagang buku yang baru saya kenal.
"Sepi, Mas," jawab ayah dua anak asal Talun, Blitar, yang beristrikan perempuan asal Tanggul, Jember ini.
Perkiraan saya, karena anak-anak sekolah pada libur dua minggu kemarin, mereka pada mencari buku untuk menemani libur mereka. Ternyata, "Mereka kan pada tamasya, Mas, jadinya penjualan sepi sekali. Malah pernah sehari kita cuma dapat tujuhpuluh ribu." papar Mus yang saban hari bertiga dengan Ari (25) asal Wonogiri dan Eko (26) asal Solo.
Mendapati omzet penjualan yang cuma segitu, aku Mus, sering kurang enak sama majikan. Ya, mereka bertiga memang hanya sebagai penunggu, dagangan itu milik majikan orang Sidoarjo yang juga memiliki stan di Kampung Ilmu jalan Semarang. Masa ramai penjualan buku, papar Mus, adalah saat akan masuk tahun ajaran baru. "Dalam sehari kita bisa mendapatkan tujuhratus ribu atau lebih," imbuh Mus yang sudah sepuluh tahun menjadi penunggu stan dan mengaku dibayar limapuluh ribu rupiah sehari.
Saya mengedarkan padang dan berjalan mengelilingi stan satu dan lainnya. Betul kata Mus, lumayan sepi memang. Ada sih satu-dua (saya kira mahasiswa) yang mencari buku yang diperlukan. Atau seorang ibu yang datang ke stan Mus saat saya kembali asyik jagongan, "Saya cari buku terjemahan kitab Riyadush Sholihin," kata perempuan berjilbab berusia sekitar 45-an. "Untuk nambah pengetahuan," katanya ketika saya tanya.
Eko, teman Mus dengan ramah bilang, "Oh, ada. Tunggu sebentar," lalu priyantun Solo itu bergegas menuju ke stan lain untuk mencarikan buku yang dimaksud si Ibu. Begitulah, sudah lazim terjadi pedagang menjualkan dagangan pedagang-pedagang lain. Dengan begitu, jarang mereka bilang 'tidak punya' kala ada orang mencari buku tertentu.
Tawar menawar harga pas tancap gas, kata Iwan Fals. Di Bursa Buku Bekas Blauran ini pun begitu; tawar menawar harga pas masuk tas.
Oke, beli buku sudah. Sekarang saatnya menikmati aneka kuliner di situ. Saran saya, cobalah rujak cingur. Atau soto, atau rawon atau lontong balap. Minumnya? Ada dawet dan aneka minuman lainnya. Terserah selera, pokoknya. Tetapi jangan lupa, karena saya telah menjadi guide Anda dalam jalan-jalan ke Blauran kali ini, untuk yang saya makan ini (sepiring rujak cingur dan semangkok es campur), saya minta Anda yang bayar. Bagaimana, deal?...*****
Kamis, 25 Desember 2014
Toleransi Hati
SETIAP
Idul Fitri saya banyak sekali menerima ucapan Selamat Hari Raya
dari teman. Dan di era gadget sekarang ini, mengirim ucapan selamat
macam itu sama sekali tak ribet dan relatif tak mahal. Asal mau saja.
Padahal dulu, saat jaman kartu ucapan, duh betapa makan waktu dan
biaya; memilih jenis dan warna kartu yang pas, misalnya warna apa
untuk siapa. Belum lagi menuliskan kata-kata di lembaran itu.
Menempeli prangko kemudian membawanya ke kotak pos. (Belum lagi kalau
kita merasa tulisan tangan kita jelek dan untuk itu kita memakai jasa
orang lain untuk menuliskannya. Dengan imbalan, tentu saja.) Kartu ucapan
itu memakan sekian waktu untuk sampai ke orang yang dituju.
Sekarang,
detik ini dikirim, detik ini pula sampai. Nyaris sama sekali tak ada
jeda.
Kembali
ke ucapan Selamat Idul Fitri yang saya terima; ia datang tak sekadar
dari teman sesama muslim, tetapi tak sedikit pula dari yang
non-muslim. Kartu ucapan lewat SMS itu memang sekadar ucapan, tetapi
secara makna tentu ia lebih dari itu. Ungkapan 'minal aidin wal
faizin' sampai yang hanya 'skor kita sekarang 0-0, ya?'
adalah bentuk pendek dan sederhana dari ungkapan hati yang
sesungguhnya. Dan urusan hati, Anda tahu, hanya si punya hati itu dan
Tuhan saja yang tahu. Tapi penjelasannya tentu bisa panjang.
Misalnya, orang yang hatinya sungguh baik, tidak akan mungkin
melakukan hal yang tidak baik.
Pendek
kata, walau tak selalu, perkara toleransi (beragama) lebih kepada
urusan hati, bukan sekadar casing semata. Setiap akhir
Desember, ramai bertebaran 'fatwa' haram bagi muslim mengucapkan
selamat Natal kepada teman-teman Nasrani. Benar, urusan akidah adalah
hal yang sangat prinsip. Bahwa kemudian ada pihak/tokoh muslim yang
dengan ringan bilang mengucapkan selamat Natal itu tidak apa-apa,
inilah yang malah bikin saya --yang dangkal ilmu
agamanya ini-- menjadi bertanya dalam hati; ikut pendapat yang mana?
Dalam
berhubungan, kita memang tak melulu secara vertikal antara makhluk
dan Sang Khalik. Yang secara horizontal, dengan teman dan relasi
dari berbagai agama, adalah sebuah hubungan yang niscaya. Dan dalam
hubungan sosial itu diperlukan komunikasi yang semestinya; yang
saling menghargai, saling mengerti.
Antara
saya dan Tuhan tak perlulah ditawar apa yang mesti saya lakukan
sebagai makhluk dan Pencipta, tetapi kepada sesama itu, yang selama
ini berhubungan sangat baik walau beda agama itu, kadang yang bikin
hati ini tidak nyaman. Tidak mengucapkan Selamat Natal tidak enak,
mengucapkan Selamat Natal tidak boleh. Hmm...
Tetapi,
sekali lagi, urusan toleransi itu perkara hati. Tentang 'larangan'
yang harus saya patuhi itu sepertinya semua teman saya yang Kristiani sudah mengerti. Dan mengerti adalah inti dari toleransi. Maka,
ketika antar hati sudah saling mengerti, adakah ucapan yang perlu
mewakili? *****
Langganan:
Postingan (Atom)