Jumat, 08 Maret 2013

Apa Arti si Buah Bendo



ADA makna di balik nama. Ada doa diselipkan dalam sebuah nama. Sering begitu. Makanya, ketika si jabang bayi lahir, kedua orang tuanya akan sibuk mencarikan nama yang pas untuk anaknya. Kalau merasa tidak mampu, seringkali si ortu meminta nama ke seorang yang dituakan untuk buah hatinya.

Dengan kemajuan ilmu kedokteran, yang dengan alat tertentu bisa diketahui jenis kelamin janin jauh hari sebelum ia lahir ke dunia, menjadikan orang tua si bayi lebih dini lagi menyiapkan nama.

Masih tentang nama. Nama yang sering saya pakai sebagi tokoh dalam status Facebook saya; Bendo. Siapa dia? Ini tidak penting sebenarnya. Sekaligus ini sebuah rahasia, sebenarnya. Tetapi sudahlah.

Adalah Pak Gudel. Orang tinggi besar yang kalaulah ia brewok akan semakin terlihat sangar. Salah satu kesenangannya adalah memberi nama wadanan (julukan) untuk siapa pun. Mungkin ini semacam balas dendam atas yang dialaminya sendiri. Tak tahu saya darimana asalnya dan siapa oknum yang berbuat tega memberinya julukan Gudel padahal nama sebenarnya pemberian orang tuanya adalah  Sudirman.

Sudirman adalah nama orang besar. Itu, saya kira, disematkan kedua orang tuanya agar si Gudel, eh si Sudirman kecil, akan menjadi tokoh sebesar Jenderal Sudirman kalau sudah besar. Tetapi, nama, sebagaimana doa, tak selalu terkabulkan. Sudirman tetangga saya itu tidak pernah menjadi jenderal (dalam ludruk sekalipun), dan malah sukses sebagai pengusaha pembuat tahu. Dan Sudirman teman kerja saya malah sukanya memancing di laut, sekalipun ada temannya yang memanggil dengan sebutan Jenderal.

Lain pak Gudel, lain pula pak Celeng. Demi melanggengkan nama, ia menyematkan nama Genjik kepada anak lelakinya. Sebuah silsilah yang ‘parah’. Ini menjadikan saya ingat pelajaran bahasa Jawa ketika SD dulu: Anak celeng arane genjik. (Anak babi hutan namanya genjik)

Sekarang tentang Bendo. Betul, Sampeyan betul. Bendo adalah nama pohon sekaligus nama buahnya. Tubuh pohon bendo biasanya digosipkan sebagai tempat tinggal genderuwo, kuntilanak, wewegombel dan sebangsanya. Dengan bentuk akar yang menonjol pipih keluar, dengan pohon kekar tinggi menjulang, berdiam di bawahnya, apalagi sendiri, akan seperti ada yang meniup bulu kuduk.  Itu lebih karena termakan omongan tentangnya yang selalu berbau angker. (Angker, bukan Anker!)

Sekalipun angker, kami –saat itu saya masih anak-anak—sering ke bawah pohon bendo untuk luru buahnya yang berceceran sisa dimakan codot. Codot itu mungkin hanya nglamuti daging buahnya. Sementara buahnya, sebesar butiran kelereng, ditinggalkan begitu saja. Kalau sudah disangrai, Sampeyan tahu, rasa buah bendo itu akan mengalahkan gurihnya kacang. Tetapi bagi yang tidak tahan, memakannya akan menimbulkan rasa nggliyeng, semacam rasa fly.

Luru buah bendo di pagi hari, seringkali hasilnya tak seberapa. Ya karena yang bareng-bareng mencari banyak. Lain halnya kalau malam-malam. Buah bendo yang sudah masak (masak pohon), jatuh dengan bentuk buah yang masih utuh. Bulat sebesar keluwih atau sukun. Dengan seutuh itu, kita tinggal mengambilnya, tanpa luru satu per satu yang berserakan di tanah, di antara daun-daun bambu yang kering.

Mencari bendo malam-malam begitu, tidak semua orang berani. Ya, namanya sudah kadung kondang sebagai rumah hantu. Tetapi itu tidak berlaku bagi saya dan beberapa teman yang setiap malam tidur di musholla. Ini lebih sebagai tindakan yang lebih terpuji, tentunya. Ini bila dibandingkan dengan tindakan ‘kriminal’ dengan mencuri buah nangka, rambutan atau sebangsanya. Bendo itu, sekalipun pohonnya ada yang punya, mengambil buahnya tidak bisa dijerat dalam pasal pencurian. Hehe...

Saya tidak pernah apes ditemui si hantu dalam pencarian bendo di tengah malam begitu. Apes saya hanya satu, sekalipun saya mencari bendo itu secara bersama-sama teman yang menginap di musholla depan rumah saya, tetapi yang oleh Pak Gudel diberi gelar bendo cuma saya!*****

Minggu, 03 Maret 2013

Kegilaan

KEGILAAN adalah kau melakukannya begitu-begitu saja, dengan cara yang itu-itu saja, dan mengharapkan hasil yang berbeda.

-Albert Einstein

Kamis, 28 Februari 2013

Kopdar dengan Tamu tak Diundang



SAYA mempunyai beberapa ratus teman dunia maya. Sebagian di antaranya adalah teman dunia nyata yang, karena kemajuan zaman plus kemajuan jejaring sosial, melanjutkan hubungan ke dunia maya. Kategori kedua itu sepertinya sebagai sesuatu yang tak teramat istimewa. Biasa saja. Namanya juga sudah saling kenal. Akan lain halnya ketika pertemanan di dunia maya berlanjut ke dalam jenjang dunia nyata. Pertemanan yang tulus, membuat sebuah pertemuan (kopi darat sebutannya) pertama akan menjadi ‘biasa’. Sebiasa kita bertemu dengan teman-teman akrab di dunia nyata.

Jam delapan seperempat suasana di dekat patung Suro dan Boyo di depan Kebun Binatang Surabaya sudah begitu teriknya. Menunggu di dekat situ akan membuat kulit saya yang sudah hitam akan menjadi makin gosong. Saya terus ke utara di jalan Diponegoro. Membeli koran pada penjual yang mangkal di trotoar tak jauh dari hotel Oval, lalu langsung belok kiri masuk jalan Ciliwung, dan belok kiri lagi ke jalan Setail. Melajukan motor secara pelan, sambil mencari tempat teduh untuk membaca koran, sekaligus tempat yang bisa langsung melihat ke jembatan penyeberangan di dekat Bonbin.

Membaca Manufacturing Hope Dahlan Iskan di halaman pertama, dilanjut membaca berita-berita lainnya, jam 09.09.51 WIB (Waktu Indonesia bagian Bonbin) saya kirim pesan singkat, “Sudah sampai mana, Ra?”

M. Faizi (yang selalu saya panggil Ra Faizi) membalas mengabarkan sudah naik bis kota Damri kelas ekonomi, sekaligus membuat prediksi akan sampai Bonbin empat puluh menit kemudian.

Empat puluh menit dari jam 09.09 tentu akan menjadi jam sepuluh kurang sebelas menit. Padahal, acara di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dimulai jam 9.30. Itu tidak seberapa. Dibanding ketika saya mendapat pesan singkat kalau ia hadir ke acara presentasi buku itu juga tidak mendapat undangan. “Saya datang karena Pak Berthold (Damshauser) kirim tautan (di FB-nya). Itu saja.” balasnya dalam pesan singkat.

Wadduh, berarti saya ke Unesa ini dalam rangka mengantar tamu tak diundang! Yang ketika saya tanya ‘apa dengan tidak diundang begitu, nanti boleh masuk ke arena acara atau tidak’ juga tak tahu. Semprul  ini. Dan kesemprul-an itu, akan bisa melahirkan kejutan. Ditolak masuk, misalnya.

Senin, 25 Februari 2013

Obat Cap Ultraman

ANAK bungsu saya, usianya hari ini sudah tiga tahun kurang enam hari, kemarin agak kurang sehat badannya. Segeralah istri saya melihat kartu berobatnya. Tertera di situ, terakhir kali si kecil dibawa ke dokter pada tanggal cantik; 12-11-12. Oh, itu sudah lebih tiga bulan yang lalu.

Rentang waktu yang lumayan lama untuk sebuah kunjungan rutin ke dokter. Karena, biasanya, usia batita begitu, bisa sebulan sekali berobat ke dokter. Ada saja penyakit yang menyambanginya. Pileklah, batuklah, 'kringet buntet'-lah dsb. Nah, pada tanggal 12-11-12 itu, menurut catatan yang tertera di selembar kertas kuning ini, si kecil saya terserang penyakit gatal-gatal.

Dan, tadi malam itu, saya bawa lagi anak saya ke dokter langganan yang biasanya anak saya cocok berobat di situ. Saking cocoknya, sering kali anak saya sudah tampak sehat sebelum diperiksa dokter. Baru nyampai depan ruang praktik dokter saja ia sudah sehat wal afiat lagi.

Tarifnya sih, karena itu balai pengobatan milik yayasan, hanya paling mahal 20 ribu. Itu sudah lengkap dengan obatnya. Namun tadi malam, untuk mengobati adem-panas plus batuk-pilek anak saya, kami hanya dikenakan biaya 15 ribu rupiah saja.

"Kalau tiga hari panasnya tidak turun, datang lagi ke sini untuk periksa darah," bu dokter berambut pendek yang berkacamata itu berkata tanpa berhias senyum di bibirnya.

Saya mafhum. Bertugas menangani pasien begitu banyaknya, mungkin ia bertugas sedari pagi, membuat stok senyumnya habis saat sudah malam begini. Tentang saya harus datang lagi tiga hari lagi kalau panas anak saya tidak turun, ah, saya santai saja. Tidak perlu menunggu tiga hari, lha wong sekarang saja panasnya sudah turun kok.


Belum minum obat kok sudah tidak panas?

Lihat anak saya. Setelah diperiksa, sambil menunggu pembagian obat, ia sudah tampak berlari kesana- kemari di ruang tunggu sambil membawa boneka Ultraman yang baru dibelikan ibunya di depan balai pengobatan ini.

Begitulah selalu. Setiap berobat ke sini, selalu ia minta beli  mainan ke stan yang terdapat di depan balai pengobatan. Harganya? Jangan tanya. Membeli mainan sambil mengajak si kecil yang sudah ngebet ingin memilikinya, adalah sebuah kesempatan bagi si penjual. Pilihannya hanya dua, dibelikan tetapi harganya tidak wajar, tidak dibelikan si kecil akan menangis sekeras-kerasnya.

Istri saya memilih pilihan pertama. Saya paham akan maknanya. Karena, seringkali saya alami, mainan itu adalah juga obat bagi si kecil atas sakitnya. Tak apalah, sekalipun itu lebih mahal dibanding harga obat yang sebenarnya.*****

Minggu, 03 Februari 2013

Balada Air Kelapa Muda


SELESAI mengerjakan tugas lalu mendapat tip, itu hampir menjadi semacam kelaziman. Walau, misalnya, di mobil petugas PLN itu ada tulisan besar ‘Layanan Tanpa Suap’, dengan memberikan sekadar uang rokok, bagi sebagian orang bukanlah pelanggaran. Saya garis bawahi; sebagian orang. Karena, tentu saja, sesuai peraturan, hal itu pun tidak dibenarkan.

Di lingkup pekerjaan saya pun berlaku hukum demikian. Tetapi yang akan saya ceritakan ini, tampaknya, adalah perkecualian. Ia lebih terkesan sebagai akibat dari hubungan pertemanan; Saya di bagian building maintenance, sementara teman saya itu di departemen food and baverage. Suatu bagian yang tidak pernah kering dari makanan dan minuman.

Singkat cerita, setelah membetulkan pintu menuju kitchen yang bermasalah, saya bersama seorang teman, tidak boleh pergi dulu. Mochdar, tetapi lebih kondang dipanggil Modar, menahan kami berdua agar mau menunggu minuman segar yang akan ditampilkan beberapa menit  lagi. Di kitchen sebelah utara, di dekat kitchen zink, ia terlihat sedang membelah kelapa muda. Prakiraan saya, ia adalah teman yang baik hatinya. Tahu betul kalau siang-siang begitu minum es kelapa muda betapa nikmatnya.

“Bikinlah sendiri,” katanya sambil memindah kelapa muda yang sudah terbelah. Ia hanya membawa sebagian air kelapanya, sebagiannya lagi ia tinggal di dalam wadah.

Kami mendekati baskom satainless berisi air kelapa muda. Okelah, kami harus tahu diri. Daging kelapa muda itu untuk dijual ke pelanggan. Dengan hanya disisai airnya saja tidaklah perlu merasa iri. Lebih-lebih kemudian Modar datang lagi membawa gula pasir dan es batu. Sekalipun tak terlalu lengkap, paduan air kelapa muda, gula pasir dan es, membuat minuman itu tentu sudah mujarab untuk mengusir roh haus. (Bukan roh halus. Hehe...)

Gula pasir dituang, es batu dibenamkan. Setelahnya, kami aduk cairan yang masih telihat satu-dua potongan kecil serabut kelapa mudanya. Setelah dirasa semua bahan sudah tercamur sempurna, kami menuangkan ke gelas. Subelum minum, seperti biasa, secara otomatis –sekalipun tanpa remote control-- lidah sudah bersiap merasakan sensasinya.

Dan, oh kok aneh. Kalau minuman itu terasa manis dan dingin sudah demikianlah niscayanya. Namanya juga dikasih gula dan es batu. Tetapi, sebagai air kepala muda, sungguh tidak ditemukan jejaknya. Untuk meyakinkan, kami ulangi lagi ritual meminumnya. Sama. Tiada rasa khas air kelapa.

Kami saling pandang. Dan Modar memandangi kami dengan hiasan tawa lebar di bibirnya. “Kenapa? Aneh ya?” tanyanya.

“Ini air kelapa, kan?” saya mengangkat gelas ke arahnya.

“Tidak salah,” mantap Modar menjawab. “Tetapi lebih tepatnya lagi; itu air dari kran bekas membersihkan kelapa muda...” *****

Minggu, 27 Januari 2013

Dapat Gelar Tanpa Bayar


SEKIRA tiga bulan yang lalu, siang itu saya lagi libur dari rutinitas kerja dan sepagian hanya menulis di komputer. Datanglah dua perempuan bertamu ke rumah saya. Mereka naik semotor berdua. Keringat nampak berhasil menggusur sapuan bedak di wajah keduanya. Sepertinya mereka datang dari jauh, atau paling tidak, seharian ini mereka menghabiskan banyak waktu di jalan.

Sekalipun membawa tas dan map, di mata saya, itu sama sekali tidak membuat mereka terlihat sebagai sedang mencari sumbangan.

Sebagai tamu tentu saja saya menghormatinya. Tetapi ketika mereka menolak untuk pinarak di ruang tamu dan malah memilih duduk di teras rumah, saya pikir, itu juga pilihan yang bijaksana. Karena, di ruang tamu maupun di teras, rumah saya ini belum ada kursinya. Dengan bicara-bicara di teras secara lesehan begitu, kami malah bisa mendapatkan bonus semilir angin.

Dua perempuan itu mengenalkan diri sebagai petugas survei dari sebuah lembaga survei terkenal berkelas internasional. Sebagai muqaddimah, mereka mengajak saya bicara tentang energi. Khususnya bahan bakar minyak. Dan karena saya suka membaca apa saja, termasuk analisis yang ditulis pengamat perminyakan Kurtubi, sedikit banyak saya bisa mengikuti arah pembicaraan mereka siang itu.

Berikutnya mereka menunjukkan kepada saya beberapa foto logo perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan dan energi. Ada Shell, Petronas juga Total, termasuk Pertamina tentu saja. Namun pokok arah yang hendak dibidik, menurut saya, adalah yang selain Pertamina. Ada beberapa produk dari ketiga perusahaan asing itu yang juga ditunjukkan kepada saya. Mulai produk berjenis minyak pelumas, sampai foto SPBU.

Ketika ditanya apakah saya mengetahui itu, dan saya jawab ‘tahu’, saya diuber oleh pertanyaan berikutnya, “Bapak tahu dari mana?”
“Saya tahu dari iklan di koran atau televisi,” jawab saya.

Sudah?
Belum. Pendek kata, saya siang itu seperti sedang diuji pengetahuan tentang produk dan layanan Shell, Petronas, atau Total. Jujur, sekalipun di Surabaya ini telah ada SPBU Shell, saya tetap menggunakan produk dari yang punya tagline  iklan ‘Kita Untung Bangsa Untung’. Tetapi, kalau boleh GR, saya rasa pengetahuan saya tentang topik energi yang mereka tanyakan tidaklah jelek-jelek amat. Saya pikir, itu tidak lepas dari manfaat membaca.

Sebelum mereka memberikan semacam cindera mata atas semua itu, salah satu dari mereka mengeluarkan satu lagi formulir yang harus diisi. “Maaf, hampir lupa,” kata salah satu dari mereka sambil bersiap mengisi kolom-kolom dalam formulir itu. “Kami ingin tahu data pribadi Bapak. Boleh kan?”

Melihat tanda pengenal resmi yang mereka kenakan, termasuk tadi saya sempat melihat-lihat semacam surat tugasnya, menjadikan saya tak ragu untuk menyampaikan data pribadi saya. Mulai nama lengkap, tempat tanggal lahir, nomor telepon sampai pendidikan terakhir. Semua saya berikan apa adanya tanpa rekayasa. Termasuk pendidikan terakhir saya yang cuma Madrasah Aliyah.

TIGA hari berselang, suatu siang saya mendapatkan telepon dari nomor yang tidak saya kenal. Mendapat telepon dengan cara begitu lebih mungkin saya angkat ketimbang penelepon yang menyembunyikan identitasnya menjadi ‘nomor pribadi’. Bila ponsel saya berdering sementara yang tampak di layar adalah tulisan ‘nomor pribadi’, tindakan yang akan saya lakukan adalah menekan tombol merah di HP.

“Maaf, Pak,” suara perempuan menggetarkan gendang telinga ketika sebelumnya saya sapa ‘Halo’. “Saya petugas survei yang kemarin lusa ke rumah Bapak. Begini, Pak, pada formulir data pribadi, pendidikan terakhir Bapak kan Madrasah Aliyah. Saya ganti tidak apa-apa kan, Pak? Hasil wawancara itu akan segera saya kirim ke kantor pusat di Jakarta. Jadi nanti kalau ada orang kantor di Jakarta menelepon Bapak untuk kroscek data, bilang saja pendidikan terakhir Bapak S-1 ya?”

Saya diam. Saya sedang dilanda telmi (baca: telat mikir) oleh kalimat yang sama sekali tidak saya duga sebelumnya. Sementara perempuan surveyor itu, adalah penganut paham ‘diam berarti iya’.

“Terima kasih, Pak,” katanya lalu memutus hubungan telepon.*****



Jumat, 11 Januari 2013

Menonton Keajaiban Sinetron

DUA sore kemarin, Rabu dan Kamis, tidak seperti biasa, saya pulang kerja saat si kecil saya bersama ibunya, sedang menonton sinetron. Biasanya, jam segitu itu, si kecil saya sedang khuyuk memelototi film animasi yang baginya tetap saja sip; Shaun the Sheep. Benar, selain fim itu tayang di MNCTV, ia juga diputar (juga berulang-ulang) di B-Channel, sebuah saluran yang kalau sore begitu menayangkan beberapa acara animasi. Gazoon, Timy Time dilanjut sinetron Jari Sakti Somad.

Saya bukan hendak menceritakan jalan cerita Jari Sakti Somad, sebuah sinetron yang juga dibintangi Unang Bagito. Ini tentang sinetron yang sedang ditonton si kecil saya bersama ibunya. Oleh karena pada layar bagian bawah ada tulisan A+BO, saya tidak punya alasan untuk menyalahkan istri saya yang tertangkap basah menonton sinetron (Hal yang sudah agak lama tidak saya perkenankan). Karena ia ikut nonton dalam rangka menjalankan tugas sesuai kode BO itu.

Kalau pada Rabu sore kemarin, MNCTV sedang mengangkat kisah 'dandang' (periuk) ajaib, sehingga apa pun yang di letakkan di dalamnya akan masak dengan aneka olahan yang mak-nyus, Kamis kemarin kisah yang dilayarkacakan adalah tentang tangan ajaib. Saya melirik kisah itu sesekali saja, sambil akan berangkat mandi. Dan karena kamar mandi saya hanya berbatas tembok dengan ruang tengah tempat pesawat TV menyala, semua dialog sungguh bisa saya ikuti.

Tersebutlah gadis kecil bernama Lala yang di telapak tangannya terdapat tanda hitam. Karena tidak mengikuti dari awal, saya tidak tahu bagaimana asal muasal tangannya bertanda begitu. Yang jelas, Lala (mempunyai ayah yang membuka usaha bengkel motor) juga secara tidak segaja mengetahui kesaktian tangannya. Tanpa sengaja, ketika ayahnya kesulitan men-service motor yang tak juga mau menyala kala di-starter, tangan kanan Lala memegang gagang gas. Dan, brreemmm... mesin mengaum. Lala heran, tak terkecuali ayahnya. Maka, ayahnya meminta anak gadisnya itu memegang gagang gas motor lainnya. Sama, langsung greng begitu disentuh tangan anaknya. Olala...

Tersiarlah kabar itu dari mulit ke mulut. Maka, pompa air ngadat, jam tangan rusak, HP soak semua bisa langsung 'hidup' bila disentuh tangan Lala.

Genre sinetron itu adalah anak-anak. Dan saya khawatir keajaiban itu diterima mentah-mentah oleh otak anak-anak. Sehingga mereka berkeinginan mempunyai telapak tangan ajaib seperti milik Lala. Kalau sudah begitu, meraka tidak perlu bersekolah SMK, misalnya, untuk agar bisa memperbaiki motor yang mogok. Keajaiban tangan Lala, bagi saya, sungguh tidak masuk akal. Padahal, sefiksi-fiksinya fiksi, tetap harus bisa masuk akal.

Tentang tayangan sinema elektronik yang tidak mencerdaskan ini, teman FB saya, seorang penulis ia, pernah menegur seorang sutradara sinetron.. “Mbokya kalau bikin sinetron itu yang bermutu, yang tidak asal-asalan begitu...”

“Buat apa, Bang,” jawab si satradara. “mau bikin sinteron bermutu, paling-paling yang nonton cuma para pembantu...”

Sungguh, itu jawaban yang melecehkan dua pihak sekaligus. Pertama ia merendahkan penonton sinetron secara keseluruhan, kedua; ia meremehkan kecerdasan para pembantu!

Tentu tidak semua sutradara sinteron ber-pakem begitu. Sebagaimana tidak semua sinetron itu jelek secara mutu. Ada (walau sangat jarang) sinetron yang digarap secara sungguh-sungguh, dan tidak melulu sekadar jual tampang para pemerannya plus selalu mengangkat cerita para orang kaya dengan kisah yang tidak membumi.

Pendek kata, belum ada fatwa dari pihak mana pun tentang sinetron sebagaimana telah menimpa infotainment. Semua materi yang ditayangkan stasiun televisi (konon) telah disaring oleh lembaga sensor. Tetapi tentang ini, tentang tayangan apa saja yang bisa 'menyehatkan' pikiran atau tidak, tetap saja lembaga sensor terampuh bagi anak-anak adalah para orang tua.*****

Minggu, 06 Januari 2013

Mengandung Humor, Menanggung Tumor dan Pengalaman Bareng Pak Paiman

CATATAN ini saya tulis Jumat pagi, 14 Desember, di depan Poli Jantung RS Bhayangkara Surabaya. Sebuah SMS yang masuk ke ponsel tua saya membuat saya tahu saat ini jam menunjuk angka 06.27 WIB. Artinya, waktu ini tiga menit lebih awal dari waktu yang ditentukan perawat Poli Jantung kemarin, yang menegaskan saya harus datang sebelum jam 6.30.

     Datang jam segitu, ternyata saya sudah kalah start. Ada banyak  pasien telah antre di depan ruang Poli Jantung. Sebagian besar telah lanjut usia, sebagian besar perempuan.

     Kenapa saya harus memeriksakan jantung saya?

     Inilah awal mulanya:
Senin 10 Desember kemarin saya pulang kerja jam 17.05. Mendung gelap menggantung di seluruh langit Surabaya. Saya memacu motor lebih cepat dari biasa. Saya tidak ingin kehujanan di jalan. Hujan selalu membuat jalanan macet, dan itu adalah sebuah siksaan.

     Tetapi sore itu saya harus melalui rute Jagir-Panjangjiwo-Rungkut. Sebuah trayek yang kalau tidak sedang hari libur sudah lama sekali tidak saya lewati. Ancaman macet di perempatan Jagir sebelum perlintasan KA, dan kepadatan yang lumayan panjang di sebelum perempatan Panjangjiwo adalah hal yang sebisa mungkin saya hindari.

     Benar saja.
Sekalipun di perempatan Jagir saya lagi beruntung tidak terjebak kemacetan, di sebelum perempatan Panjangjiwo, tepatnya mulai  depan kantor Dikbud –sekitar dua ratus meter dari perempatan Panjangjiwo--, laju motor saya dan sekian banyak kendaraan lain bagai siput. Sesekali saya mendongak, mendung makin hitam. Saya berdoa untuk entah yang keberapa kalinya mengharap agar hujan jangan turun dulu. Saya harus mampir ke Balai Pengobatan Widya Mandiri untuk memeriksakan  penyakit saya, selepas itu saya harus segera sampai rumah sebelum waktu shalat maghrib (meminjam istilah sahabat maya saya, M. Faizi) berakhir ‘masa aktifnya’.
     Sore itu Poli yang bekerjasama dengan Jamsostek itu sepi-sepi saja. Hanya ada seorang ibu yang sedang diperiksa di ruang dokter, setelah itu giliran saya. Tidak sampai sepuluh menit setelah memeriksa penyakit saya, dokter langsung membuat surat rujukan untuk saya. Atas permintaan saya, saya dirujuk ke RS Bhayangkara Surabaya.
     Sekian tahun yang lalu (waktu pastinya saya lupa, juga di Poli Widya Mandiri ini, tetapi kala itu tempatnya praktiknya masih di jalan Kalirungkut depan pabrik Kedawung, belum di kompleks Ruko  belakang kantor kecamatan Rungkut ini) setelah meraba benjolan di kepala saya, dokter bilang, “Tidak apa-apa. Asal jangan dipijat-pijat.”
     Sungguh, selama sekian tahun ini, saya tidak pernah memijat-mijatnya. Tetapi akhir-akhir ini, setiap kali saya menunduk atau menoleh, bagian belakang kepala saya terasa tidak nyaman. Selalu terasa tegang di sekitar benjolan yang tak seberapa besar itu.
     Tiga hari setelah saya mendapat surat rujukan itu, saya ke RS Bhayangkara. Memilih dirujuk ke RS milik Polri ini, tentulah tidak begitu saja. Saya tanya ke beberapa teman (sekalipun dalam bertanya itu saya tidak berterus terang dalam rangka apa) RS mana yang pelayanannya bagus untuk peserta Jamsostek. Dan walau dokter di Widya Mandiri menyebut RS lain, saya mantap memilih RS yang terletak tidak jauh dari markas Polda Jatim ini.

Senin, 10 Desember 2012

Nama Bunga

TANAMAN hias berbatang menjalar berbunga merah itu saya mengenalnya bernama 9-3. Nama ini disematkan kepadanya karena bunga-bunganya itu merekah saat jam pagi dan akan mengatup lagi saat jam 3 sore. Tetapi, “Bunga buka kantor,” begitu nama yang dikenal oleh istri saya.

Saya tak mempermasalahkannya. Seperti saya yang tetap mengenal bunga desember sekalipun di depan rumah tetangga saya bunga itu telah merekah saat bulan masih awal Nopember. Sementara, sebagai bunga, ada yang dinikmati adalah daunnya aja. Misalnya, bunga 'kuping gajah'. Tanaman hias berdaun lebar-lebar ini sama sekali bunganya tidak indah, tetapi ayah saya sejak dulu gemar sekali memeliharanya. Karena daunnya yang lebar-lebar itu lantas kami mengenalnya sebagai kuping gajah (telinga gajah). Sebuah penamaan yang masuk akal. Semasuk akal nama 'beras kutah' untuk jenis tanaman hias yang sekujur daunnya dipenuhi bercak-bercak putih laksana beras tumpah.

Tetapi tentu saja nama bunga tak melulu disesuaikan dengan penampilannya. Daunnya yang bergelombang itu, tentu pantasnya hanya dinamakan bunga daun gelombang. Tetapi sepertinya itu kurang keren. Maka, di akta kelahirannya, ia dinamakan bunga gelombang cinta. Biarlah, karena bukankah itu makin terdengar indah. Indah dan bombastis! Walau kini nasibnya tragis.

Ada lagi yang namanya bunga sepatu. Sumpah, belum pernah saya menemui model sepatu seperti bentuk bunga itu. Mungkin, si dewa pemberi nama bunga kala itu sedang kehabisan ide ketika menamakannya. Atau si dewa sedang ada masalah dengan keluarganya. Mungkin ia sedang jengkel disindiri oleh mertuanya karena saban hari lebih sibuk menamai setiap bunga sampai lupa mencari uang untuk membeli beras demi anak-istrinya.

Maka ketika di depan rumah ada sejenis tanaman hias berdaun panjang kaku dan lancip-lancip, dengan mantap si dewa menamakannya; bunga lidah mertua!*****