DUA bulan yang lalu di kawasan itu masih berjajar tukang knalpot membuka usaha. Kini, setelah di bawah tempat mereka ditanam box culvert, entah kemana para penjual knalpot itu berada. Tempat dimana dulu mereka menawarkan barang dan jasa telah rata dan bersih. Saya kira, setelahnya, seperti di tempat-tempat lain di kota ini, akan dibangun trotoar berlantai keramik tempat para pejalan kaki nanti mengayun langkah.
Ya, di kanan-kiri jalan Mayjen Sungkono sedang ditata sedemikian rupa. Selain agar makin nyaman dipandang, digunakan sesuai peruntukan, box culvert itu juga sebagai sarana mengatasi banjir yang rutin melanda jalan itu. Dan, ketika daerah lain banyak yang terendam banjir, syukurlah, kota pahlawan masih terbilang aman.
Setiap sore, sepulang kerja, di pinggir jalan Mayjen Sungkono, di tempat dimana dulu para tukang knalpot berada, senantiasa saya lihat seorang ibu dengan anak lelakinya yang tuna netra. Pada sepeda anginnya saya lihat seonggok tas besar selalu dibawa. Entah si Ibu itu berjualan apa. Yang jelas, pada jam empat sore, saya lihat Ibu-Anak itu selalu telah ada di situ.
Yang juga saya sering lihat, ada seorang perempuan berjilbab berhenti menemui mereka. Membuka bawaan makanan, dan dengan penuh kasih menyuapi si anak. Tiada rasa canggung saya dapati. Sementara, sambil mengunyah, si anak tampak tersenyum sambil memegang minum yang juga dibawakan si perempuan baik hati itu. Sebuah senyum yang lahir alami sebagai reaksi dari sebuah interaksi.
Pada titik itu, timbul iri dalam hati. Betapa di jaman yang orang serba begitu mudah pamer akan segala hal yang tak penting diketahui orang lain (lewat status, twitpic dll.), masih ada saja orang yang tak terangsang untuk latah bernarsis-ria. Peduli pada sesama tanpa peduli apakah kepedulian itu dipedulikan orang lain atau tidak.
Seperti perempuan berjilbab itu, siapa pun kita pasti mampu berbuat baik kalau mau. *****
Selasa, 04 Februari 2014
Senin, 20 Januari 2014
TVRI Pusing
(Dalam
memposting tulisan di blog sisitelevisi, seringkali saya gagal melakukannya
dalam sekali klik. Termasuk malam ini. Tentang masalah ini, saya tidak tahu
apakah memang memasang tulisan di wordpress agak lebih sulit ketimbang di
blogspot? Padahal tulisan sudah saya buat, padahal saya ingin mempublish di
wordpress. Saya, yang termasuk makhluk tidak sabaran untuk segera menyiarkan
tulisan begitu kelar diketik, ambil keputusan cepat; pampang saja di sini, di
Kedai Kang Edi.)
KALAULAH ada yang iseng bertanya kepada saya
tentang logo televisi apakah yang menurut saya paling oke di jagad raya ini,
tentu tanpa ragu saya akan menjawab: CNN.
Sedang untuk channel yang mengudara dari jazirah Arab, logo yang ajib versi saya adalah milik stasiun
yang bermarkas di Dhoha, Qatar: Aljazeera.
Ini masalah selera, dan tak masalah Anda tidak sependapat dengan saya.
Sementara NHK (Jepang), DW (Jerman), CCTV (China)
atau Arirang (Korea) itu sebagian
dari nama stasiun televisi yang memiliki logo biasa-biasa saja. Bagaimana
dengan CNBC? Ah, itu lumayanlah.
Baiklah, tak
usah jauh-jauh menilai lgo-logo televisi asing, di Indonesia saja, yang sekarang
jumlah stasiun televisinya bejibun, sebejibun itu pulalah model dan bentuk
logonya. Lalu mana yang terbaik?
Walau saya
jarang sekali menengok acaranya, RCTI
menurut saya logonya terbilang oke. MetroTV
juga. BeritaSatu? Ya, bolehlah. Termasuk
yang lumayan ada antv, tvOne juga NET. Sementara, sekali pun RCTI paling oke, adaik-adiknya cuma dapat
nilai ‘biasa banget’. Itu tuh, GlobalTV,
MNCTV atau juga SindoTV.
Pada jajaran
TV lokal, logo JTV sekarang lebih
bagus daripada yang dulu. Dengan latar belakang peta propinsi Jawa Timur, ia menandakan
sebagai televisi berkelas regional. Yang juga terbilang bagus adalah BaliTV, yang dengan melihat tampilan
logonya saja, ia sudah menampakkan aura pulau dewata. Sayangnya, grup BaliTV yang mengudara di Surabaya, SurabayaTV logonya jelek sekali. Hanya tulisan
SurabayaTV berhias gambar
merah-putih. Ini mengingatkan saya akan logo awal TPI (cikal bakal MNCTV)
yang kaku sekali.
Bagaimana dengan
TVRI?
Ya, stasiun televisi tertua di negeri ini memang pernah beberapa kali ganti logo. Dari yang kotak dengan hiasan pelangi, lalu tulisan TVRI dibingkai kotak bersegilima (tahulah kita apa arti lima sudut itu) sampai yang sekarang kita lihat; TVRI tanpa garis tepi tetapi dengan sinar merah --entah apa artinya-- yang melingkar di bagian atasnya.
Ya, stasiun televisi tertua di negeri ini memang pernah beberapa kali ganti logo. Dari yang kotak dengan hiasan pelangi, lalu tulisan TVRI dibingkai kotak bersegilima (tahulah kita apa arti lima sudut itu) sampai yang sekarang kita lihat; TVRI tanpa garis tepi tetapi dengan sinar merah --entah apa artinya-- yang melingkar di bagian atasnya.
Secara sembarangan
saya tafsirkan, logo TVRI tanpa garis
tepi itu sebagai penanda ia bebas tak terikat satu kelompok atau golongan. Ya,
sebagai lembaga penyiaran publik kepentingannya hanya satu, demi publik di
republik ini. Kalaulah tagline-nya
berubah dari ‘menjalin persatuan dan kesatuan’ menjadi ‘saluran pemersatu
bangsa’ menurut saya itu tak jauh-jauh banget maknanya.
Lalu bagaimana
dengan sinar merah di bagian atas tulisan TVRI?
Sebelum menjawabnya, saya kok jadi ingat film kartun yang sering menggambarkan, misalnya, kalau Tom sedang dipukul Jerry di bagian kepala, atau Spongbob ketiban benda yang dijatuhkan si gendut Patrick, di atas kepala mereka digambarkan ada bintang yang berputar-putar. Hal itu tentu demi menggambarkan betapa kepala mereka pusing dan sakit.
Sebelum menjawabnya, saya kok jadi ingat film kartun yang sering menggambarkan, misalnya, kalau Tom sedang dipukul Jerry di bagian kepala, atau Spongbob ketiban benda yang dijatuhkan si gendut Patrick, di atas kepala mereka digambarkan ada bintang yang berputar-putar. Hal itu tentu demi menggambarkan betapa kepala mereka pusing dan sakit.
Sabtu, 11 Januari 2014
(Jula-juli) KBS = Kuburan Binatang Suroboyo
SUROBOYO, dulur, pancene kutho kondhang
ugo termasuk dhaerah terpandang
tempat rekreasine sak pirang-pirang
salah sijine yoiku Kebun Binatang
ugo termasuk dhaerah terpandang
tempat rekreasine sak pirang-pirang
salah sijine yoiku Kebun Binatang
Nang Bonbin
iku koleksine akeh tenan
ora mung kewan tapi ugo wit-witan
tempat sing nyaman kanggo liburan
panggonan favorit masyarakat kebanyakan
ora mung kewan tapi ugo wit-witan
tempat sing nyaman kanggo liburan
panggonan favorit masyarakat kebanyakan
Selain panggon
hiburan ugo sarana konservasi
tapi saiki KBS akeh sing ngrasani
polae nang kono bola-bali kewan mati
sing terbaru wingi onok singo dijiret tali
tapi saiki KBS akeh sing ngrasani
polae nang kono bola-bali kewan mati
sing terbaru wingi onok singo dijiret tali
Onok sing
ngarani kedadeyan iku disengaja
tapi sopo sing ndhalangi sampek saiki durung terbaca
akeh masyarakat atine bertanya-tanya
lan nyurigai iku sebagai akibat rebutan kuasa
tapi sopo sing ndhalangi sampek saiki durung terbaca
akeh masyarakat atine bertanya-tanya
lan nyurigai iku sebagai akibat rebutan kuasa
Pemasukan KBS
pancene gedhe tenan
ora cuma jutaan tapi sampek milyaran
senajan ngono kesejahteraan kewan memprihatinkan
kewane kuru-kuru tandhane kurang mangan
ora cuma jutaan tapi sampek milyaran
senajan ngono kesejahteraan kewan memprihatinkan
kewane kuru-kuru tandhane kurang mangan
Mbiyen tau
onok unto sing matek
mbasan diselidiki nang wetenge kebek tas kresek
opo kurang bukti nang KBS onok oknum resek
najan rupo menungso tapi kelakuane ngalah-ngalahi bedhes belek
mbasan diselidiki nang wetenge kebek tas kresek
opo kurang bukti nang KBS onok oknum resek
najan rupo menungso tapi kelakuane ngalah-ngalahi bedhes belek
Saiki KBS
dikelola pemerintah kota
krono iku sajake onok sing ora rela
mergo lahan korupsine bakal tiada
mangkane KBS digawe penuh problema
krono iku sajake onok sing ora rela
mergo lahan korupsine bakal tiada
mangkane KBS digawe penuh problema
Harapane awake
dhewe kari nang pihak polisi
polisi saiki pinter-pinter lan ugo disegani
nangkap teroris ae iso mosok mengungkap aktor dibalik KBS ora wani
lek iku terjadi termasuk hal sing ngisin-ngisini *****
polisi saiki pinter-pinter lan ugo disegani
nangkap teroris ae iso mosok mengungkap aktor dibalik KBS ora wani
lek iku terjadi termasuk hal sing ngisin-ngisini *****
Jumat, 10 Januari 2014
G e r i m i s
SEBELUMNYA, seperti juga siapa pun, aku mengenal gerimis sebagai air yang turun setelah bergelayutan meggantung pada sayap-sayap mendung. Ia menjadi semakin sering turun kala musimnya. Desember, atau Januari begini. Itu saja.
Sampai pada suatu senja, kala hatiku berselimut mendung, gerimis datang dalam rupa yang sebenarnya. Ia turun dengan lembut, mendarat dengan gemulai. Wajahnya putih, tetapi bukan pucat. Satu di antara dari gerimis itu, kulihat paling cantik, setelah mendarat di depan rumahku, berjalan mendekat ke teras dimana aku berdiri bersedekap di depan jendela.
“Maaf, kenalkan; namaku Gerimis. Boleh aku menemani?” ia bertanya, bibirnya merah, kontras sekali dengan kulitnya.
Jumat, 03 Januari 2014
Surabaya Berpantun
MALAM
pergantian tahun tiga hari yang lalu, untuk pertama kalinya Surabaya
menggelar Car Free Night. Dalam acara (yang mungkin meniru
Jakarta Night Festival) itu ada beberapa ruas jalan yang
ditutup untuk kendaraan bermotor sehingga untuk mencapai ke
lokasi-lokasi yang disediakan hiburan gratis di situ pengunjung harus
berjalan kaki atau bersepeda. Sejauh yang saya dengar (karena saya
termasuk orang yang kuno, yang kurang suka menghabiskan malam
pergantian tahun dengan melekan begadang di jalanan sambil
meniup terompet) acara itu terbilang sukses.
Detik-detik
pergantian tahun yang secara cuaca sangat bersahabat ini (karena
biasanya hujan semalaman), tiada kemacetan terjadi seperti
tahun-tahun yang silam. Dengan ditutupnya jalan-jalan tertentu, dan
disediakannya kantong-kantong parkir yang representatif, saya kira
keberhasilan acara tahun ini akan semakin memantapkan pihak Pemkot
untuk menggelarnya lagi pada tahun-tahun mendatang.
Sayangnya,
dari beberapa konsep acara di setiap zona yang berbeda, kok
saya tidak mendengar ada pementasan ludruk di salah satunya. Kalau
benar demikian, mungkin kesenian khas Surabaya ini sudah mati di
daerah asalnya. Semoga belum, semoga jangan.
Bicara
tentang ludruk, ketika kecil sepulang mengaji, nyaris setiap malam
saya menyusup ke gedung kesenian di desa saya. Saya ingat, acara
dimulai setelah beberapa kali petasan dibunyikan. Layar dikerek ke
atas dan di tengah pentas berdiri penari remo, tarian pembuka.
Disusul kemudian sederetan 'perempuan' berkebaya melantunkan
gending-gending Jawa. (saya beri tanda kutip karena perempuan itu
adalah wandu, laki-laki yang berdandan sebagai perempuan). Dan
begitulah, sejauh yang saya tahu, ludruk senantiasa identik dengan
hal demikian.
Sebelum
lakon inti dimainkan, lebih dulu muncullah dagelan. Berpenutup kepala
khas ludruk atau sering pula berkopiah, seorang dagelan muncul dengan
jula-juli dan juga parik'an. Kalau jula-juli rangkaian kata yang
dilagukan kait-mengait secara makna, dalam parikan sebelum isi
(maksud) lebih dulu ada sampirannya. Ya, Sampeyan benar,
semacam pantun.
Pantun
terkenal pada masa penjajahan Jepang yang lahir dari seniman ludruk
Surabaya adalah yang diucapkan Cak Durasim; pagupon omahe doro,
melok Nippon tambah soro.
Bila
Surabaya identik dengan ludruk, maka ludruk pun identik dengan
parik'an. Ludruk mungkin sulit ditemui manggung di kota ini, tetapi
parik'an dapat dengan mudah ditemui di jalan-jalan. Parik'an itu
dipasang secara resmi oleh pihak kepolisian sebagai ajakan untuk
tertib berlalu lintas.
Di
dinding sudut KBS yang bisa terbaca dari seberang terminal Joyoboyo
begini bunyinya, “Tuku susu dino Jumat, ojo kesusu supoyo
salamat.”
Di
bundaran Satelit tadi pagi masih saya temui poster-poster yang
dipasang menjelang tahun baru kemarin. “Jangan terong diincaki
kucing, knalpot brong mbrebeki kuping,” demikian isinya.
Di
tempat lain, bisa jadi ada parik'an lain dengan ajakan yang lain
pula. Karena dengan pantun itu, selain secara pesan bisa lebih
mengena, si penerima pesan pun bisa tersenyum karena kata-katanya
yang kadang sedikit jenaka..
Semasa
senang bersurat-suratan ketika remaja dulu, 'pantun kebangsaan' di
setiap akhir surat adalah empat kali empat enambelas, sempat tidak
sempat mohon dibalas. Sekarang, demi mengakhiri tulisan ini, akan
saya tutup pula dengan pantun; bungkus ketupat dari daun lontar,
kalau sempat kasih dong komentar. Hehe... *****
Minggu, 29 Desember 2013
YKS = Yuk Kita Stop
DATANG-DATANG
Kang Karib berjoget ala Soimah kala menyanyikan lagu Oplosan;
salah satu tangan diletakkan di kening, lalu tubuh
di-lenggut-lenggut-kan.
♪♫...
tutupen tipimu
stop nonton YKS
eman utekmu
ojo mbok terus-teruske
mergane ora ono gunane.....♫♪...
stop nonton YKS
eman utekmu
ojo mbok terus-teruske
mergane ora ono gunane.....♫♪...
“Ketempelan
setan darimana Sampeyan itu, kok datang-datang langsung joget
begitu?” Mas Bendo agak menepi, memberi ruang agar Kang Karib bisa
ikutan duduk lesehan di Pos Kamling itu.
“Geregetan
aku, nDo,” kata Kang Karib.
“Geregetan
sama siapa? Sama Soimah?”
“Sama
semua acara tivi yang gak mutu blas. Yang bikin orang
bodo jadi makin bodo.”
“Ya,
biar saja to, Kang. Lha wong mereka itu kan cari uang.
Bukan cari-cari yang lain. Kalau mau, menurut istilah Sampeyan,
pinter, ya bukan dengan nonton tipi, tapi dengan bersekolah. Tapi
ingat juga, Kang, bersekolah pun sekarang ini bukan jaminan lulus
bakal jadi langsung pintar...”
“Tapi
acara YKS itu jan keterlaluan tenan, nDo,” rupanya
Kang Karib masih ingin membahas acara yang sekarang menjadi unggulan
di TransTV itu. “Dulu sih ada acara dagelan di
TransTV yang juga ratingnya bagus. Tetapi jam tayangnya masih bisa
dibilang wajar. Itu lho, kamu kan masih ingat, Extravaganza.
Bandingkan, coba, dengan YKS sekarang. Dari selepas isya' sampai
hampir tengah malam. Apa tidak edan itu?”
'Tapi
kan memang sedang disukai orang, Kang?”
“Aku
ambil contoh begini, nDo; anakmu sedang suka sekali makan permen. Apa
lalu ia kamu ujo dengan terus membelikannya agar ia selalu
memakannya sampai giginya rusak dan sakit? Kan tidak begitu, nDo.
Suka itu ada batasnya. Sesuatu yang kelebihan dosis selalu ada tidak
baiknya...”
“Hidup
kita ini sudah susah, Kang. Apa salah kita nonton tipi sebagai sarana
hiburan yang murah? Lagian kalau tidak suka nonton YKS, kan bisa
Sampeyan tekan remote control; ganti nonton saluran
lain.”
“Ya
nggak sesimpel itu, nDo. Frekuensi yang dipakai tipi itu katanya kan
milik publik. Yang harus digunakan untuk kebaikan publik. Lho,
kalau publik dijejali acara-acara dagelan secara terus-menerus,
dengan pemain-pemain ya itu-itu juga (lepas dari Pesbuker atau
Campur-campur antv kemudian pindah main di YKS-nya TransTV),
dengan guyonan-guyonan yang asal-asalan, dengan ngajak main adik
sampai orang tua, apa itu bukan sudah kebablasan dan tindakan
pembodohan publik yang nyata?”
“Wah,
kalau begitu, dibanding Sampeyan, masih untung aku, Kang,”
enteng Mas Bendo berucap.
“Untung
kamu bagaimana. Ndo?” timpal Kang Karib. “Wong kamu itu
tipi saja nggak punya kok merasa untung?”
“Lha
jelas untung aku to, Kang. Daripada punya tipi tapi setiap
hari dijejali acara-acara sampah, kan mending nggak punya tipi
sekalian....” *****
NB: tulisan-tulisan bertema televisi seperti ini, sudah saya kumpulkan di sebuah blog yang secara khusus mengangkat hal ihwal dunia pertelevisian dalam perspektif saya yang sebisanya. Anda bisa berkunjung ke www.sisitelevisi.wordpress.com
NB: tulisan-tulisan bertema televisi seperti ini, sudah saya kumpulkan di sebuah blog yang secara khusus mengangkat hal ihwal dunia pertelevisian dalam perspektif saya yang sebisanya. Anda bisa berkunjung ke www.sisitelevisi.wordpress.com
Rabu, 25 Desember 2013
Puisi untuk Bidadari
saat-saat kutulis bagian tenmgah buku ini
di ujung kakinya
saat-saat tidak bisa menyelesaikan buku ini...
karena ia memberiku tidur panjang yang cantik
mati indah...
tapi meninggalkan ngilu dalam dan panjang
sehingga buku ini tidak pernah selesai
di ujung kakinya
saat-saat tidak bisa menyelesaikan buku ini...
karena ia memberiku tidur panjang yang cantik
mati indah...
tapi meninggalkan ngilu dalam dan panjang
sehingga buku ini tidak pernah selesai
BEGITU sebaris puisi yang tertera
di back drop kecil di bawah tenda kerucut mungil di sudut
kanan depan rumah dr Ananto Sidohutomo. Back drop itu
kental dengan warna merah. Dengan tulisan besar yang lebih menonjol sebagai
tajuk dari gelaran gawe ini; Puisi untuk Bidadari.
![]() |
Yahya Cholil Staquf, Lan Fang dan Gus Mus dalam sebuah acara Kopdar Terong Gosong di Rembang. |
Ya, saya bukanlah siapa-siapa. Tetapi, paling tidak, saya hadir ke sini
karena sebuah nama; Lan Fang. Kenalkah saya dengan perempuan hebat
kelahiran Banjarmasin 3 Maret 1970 itu? Tidak. Dan, ternyata, yang senasib
dengan saya tidak sedikit. Tetapi, walau tidak mengenal secara fisik
orangnya, bukan berarti saya –atau kami-- tidak mengenal karyanya,
tulisan-tulisannya, buku-bukunya.
![]() |
Foto: Koleksi Sahabat Lan Fang |
Sementara di depan panggung, sederet dengan saya, ada perwakilan dari
penerbit Gramedia Pustaka Utama di kanan saya. Dan
di kiri, sekitar enam kursi dari saya, ada begawan sastra; bapak Suparto Brata.
Belum genap dua
Minggu cece Lan Fang berpulang. Ada sudah membuncah kerinduan
akan sosok yang meninggal tepat saat hari Natal ini.
rindu kami padamu , Lan Fang
rindu pohon randu
dihinggapi burung perindu
Begitu Akhuiat mengungkapkan lewat puisi.
rindu kami padamu , Lan Fang
rindu pohon randu
dihinggapi burung perindu
Begitu Akhuiat mengungkapkan lewat puisi.
Sementara, “Lan Fang ini aneh. Dia hapal betul semua tokoh dalam
novel-novel saya. Padahal saya sendiri saja sudah lupa,” demikian kata Dukut
Imam Widodo (penulis buku-buku tentang Suroboyo. Diantaranya berjudul Surabaya
Tempo Doeloe dan Monggo Dipun Badog!).
![]() |
Lan Fang bersama Komunitas Pecinta Sastra Pesantren Tebu Ireng (Kopi Sareng) Jombang. Foto: diambil dari akun FB mendiang Lan Fang. |
![]() |
Lan Fang bersama sahabatnya, pemilik Titos Dupolo yang 'merangkap jabatan' sebagai sastrawan, M. Faizi. Foto diabadikan oleh Ovie A. Win. |
Tentu saja saya keliru. Karena, bisa jadi, kesedihan itu telah berlalu.
Kini yang terjadi adalah, sekalipun di sana Lan Fang tidak menjadi bidadari, ia
telah berteman para bidadari. Dalam titik ini, sebuah akhir hayat telah menjadi
sebentuk 'kematian yang melahirkan'. Kebersamaan, rasa saling empati, dan
cinta kasih.
Dengan begitu, apakah Lan Fang yang keturunan Thionghoa, Budha, mengajar
(sastra) di pesantren, dan juga berteman dengan siapa saja ( dari tukang tambal
ban, biksu, ulama, pendeta, sampai politikus, dll) sedang dalam perjalanan
menuju sorga?
Bukan tidak mungkin. Dalam baris terakhir puisinya yang berjudul Janji Puisi, Lan Fang bilang;
dan sederhana... *****
NB: tulisan ini sudah pernah saya posting pada dua minggu setelah Lan Fang berpulang. Saya muat lagi sekarang, sebagai kenangan dua tahun Bidadari itu pergi meninggalkan kita.
Selasa, 24 Desember 2013
S p i o n
DIBANDING kalau berangkat dari rumah jam 7 pagi (karena masuk kerja jam 8), nasib saya kadang lebih baik ketika berangkat jam 8 (karena giliran masuk jam 9). Sebab sebagian besar karyawan masuk kantor jam 8, menjadikan setiap punggung jalan di Surabaya ini pada jam-jam itu sungguh berat memikul beban kepadatan. Apalagi jalan A. Yani sebagai jalur utama orang Sidoarjo masuk ke Surabaya.
Harga rumah yang relatif mahal di kota ini membuat mereka lebih memilih minggir ke selatan walau bekerjanya tetap di Surabaya. Itulah yang menyebabkan pada jam berangkat dan pulang kantor, jalan A Yani makin hari terasa makin sesak saja. Lebih-lebih saat akhir pekan, dan terlebih lagi menjelang liburan, pada saat jam pulang. Untuk mengatasi itu dibuatlah fronttage road di sisi timur (dan sekarang sedang mulai digarap pula yang sisi barat) jalan A. Yani.
Biasanya, kalau berangkat, saya menusuk masuk A. Yani dari pinggangnya di selatan Maspion Square di sudut jalan Margorejo Indah. Biasanya di situ juga padat sekali lalin-nya. Lebih-lebih kalau jam setengah delapan. Lebih-lebih, saat padat-padatnya begitu, palang pintu perlintasan KA turun disertai ting-tung ting-tung bunyi sirine. Antrean kendaraan yang sudah panjang makin mengular bahkan sampai di depan bengkel Ahass.
Karenanya, kadang saya lebih suka masuk kerja jam 9 demi terhindar dari segala godaan kemacetan yang terkutuk. Dan pagi ini, doa saya terkabul; sepanjang berangkat jalanan lumayan lancar. Kalaulah di perlintasan KA di depan RSI agak tersendat karena akan ada kereta yang lewat, antreannya tak kelewat panjang. Lagian jalanan sudah mulai tak sepadat biasanya. Mungkin sebagian orang telah mengambil libur lebih awal untuk menyambut Natal.
Sambil menunggu kereta lewat, saya perhatikan sekitar. Nyaris 100% persen kepala pengendara motor telah berhelm. Tidak seratus persen karena masih saja ada orang tua yang membawa anaknya berangkat sekolah dengan mengabaikan isi kepala si anak dengan tanpa melindunginya dengan helm. Yang juga tidak seratus persen adalah pengendara R2 yang --entah sengaja atau lupa-- menyalakan lampu utama. Tentang menyalakan lampu depan kala siang, secara nalar saya juga kurang sreg; benarkah karenanya lakalantas lantas menjadi berkurang?. Lalu spion. Nah, kalau benda yang ini sungguh tak bisa dianggap tidak penting.
Dengan spion, pengendara bisa tahu di belakang ada apa, mau disalip motor atau mobil apa, tanpa harus menoleh. Cukup melirik saja, semua yang ada di belakang bisa terbaca di kaca. Simpel sekali. Dengan demikian, penemu kaca spion sungguh adalah orang yang jenius.
Tetapi, tak jarang ditemui orang memasang spion tak lebih dari sekadar aksesori semata. Sehingga yang ori bawaan dari motor dilepas, dan diganti dengan yang secara fungsi kurang mengena. Sudah kecil, dihadapkannya pun tak seharusnya; namun malah ke wajah sendiri. Ini sedikit 'kelebihan' dari pengendara R2 di sekitar kita. Bukan hanya mampu ber-SMS-ria sambil berkendara, tetapi juga sambil mengaca.
Kereta belum lewat, masih ada waktu untuk melempar pandangan ke hal lain. Oh, ada dua polisi dengan dua motor yang berhenti di dekat seorang pemuda berkacamata. Saya duga, ia diberhentikan karena tadi melanggar sesuatu di belakang sana. Entah marka, entah lampu merah.
Karena relatif jauh, saya tidak tahu apa yang dikatakan pak polisi itu padanya. Beberapa saat berbincang, pemuda pengendara Honda Blade itu ( sepintas saya tahu, kondisi motor itu masih baru) mencabut kunci kontak untuk kemudian dipakai membuka jok. Saya duga ia akan mengeluarkan surat-surat kendaraan dari sana, tetapi ternyata dugaan saya keliru. Ia mengeluarkan sepasang spion.
Ya, ternyata ia diberhentikan petugas karena tidak memasang kaca spion pada motornya. Dengan argumentrasi apa pun, tindakan pemuda itu tentu saja tetap keliru. Dan, pak polisi yang memberhentikannya itu sungguhlah polisi yang baik hati –dalam arti mau membantu ikut memutar memasang kaca spion pada motor si pemuda.
Kereta telah lewat dan lampu TL telah menyala hijau, sehingga saya tak tahu yang terjadi kemudian, karena saya harus menjalankan kendaraan. Saya berdoa semoga pemuda itu ditilang –sebagai pelajaran/hukuman--. Saya yakin kedua polisi tadi tentu bisa menindak sebagaimana mestinya. Sebagaimana beliau-beliau selalu mengenakan masker untuk melindungi diri dari bahaya polusi, tanpa sedikit pun diembel-embeli niat untuk agak menyembunyikan jati diri. *****
Langganan:
Postingan (Atom)