Minggu, 02 September 2012

Abang Odong-odong Jangan Begitu Dong...

JEMPUT bola. Itu metode yang banyak dipakai berbagai pihak untuk meningkatkan pelayanan. Sebutlah misalnya pelayanan SIM Keliling, Samsat Keliling, Pos Keliling atau E-Buz-nya bank BRI. Dengan mendatangi begitu, tentu terasa ada nilai plusnya. Customer menjadi lebih punya waktu ketimbang harus mendatangi kantor-kantor dimaksud.

Dan layanan jemput bola itu kemudian merambah ke bidang yang bukan layanan publik dari sebuah instansi. Ia bisa kita dapati berupa mobil yang dimodifikasi sedemikian rupa menjadi toko keliling. Atau para ibu tidak perlu lagi belanja ke pasar untuk keperluan pengadaan sayur-mayur yang akan dimasak hari itu. Sudah banyak kita temui para abang penjaja sayur bermotor yang pagi-pagi sudah sliwar-sliwer di sekitar rumah  kita. Untuk perkara jahit-menjahit, pun sudah ada tukang permak keliling.

Dulu, dikampung saya, para orang tua mengajak anak untuk bisa naik komidi putar atau dremolen tentu harus mendatangi pasar malam dulu. Dan pasar malam itu, sampeyan tahu, tidak saban waktu ada. Ia pindah dari desa satu kedesa yang lain dalam kurun tertentu. Kalau tidak ada pasar malam, jangan harap kita menemukan kereta kelinci, misalnya. Sekarang jangan tanya. Pagi siang malam ada saja kereta kelinci, komidi putar, atau perahu-perahuan yang datang menjajakan jasa dengan sistem jemput bola.

Benar, sekarang ia lebih populer disebut odong-odong. Segala mainan ala pasar malam tetapi dimodifikasi dengan bentuk mini itu, datang tiap waktu menggoda iman anak-anak kecil. Makanya, bagi orang tua seperti saya, selain uang jajan, paling tidak harus dianggarkan pula uang odong-odong.

Si kecil saya (Faiz, 2,5 tahun), mana tahu kalau saya lagi harus mengetatkan ikat pinggang. Ia akan langsung minta naik odong-odong begitu mendengar suara sirine yang meraung-raung dari becak odong-odong itu. Padahal, tarifnya minimal seribu rupiah untuk durasi tiga lagu anak-anak yang diputar. Ya sekitar lima belas menitlah. Itu yang odong-odong manual, dipancal layaknya becak. Kalau yang pakai mesin, misalnya kereta kelinci atau yang sejenisnya, ongkosnya lebih mahal. Tiga ribu rupiah bareng si ibunya. (Karena, tentu mengkhawatirkan melepas si kecil naik sendiri kereta hasil sulapan motor roda tiga dengan empat gerbong kecil yang digandengnya). Padahal, dalam sehari, ada sekian banyak odong-odong yang beroperasi. Padahalnya lagi, yang namanya anak-anak, mana pernah bosan merasakan sensasi naik odong-odong.

Sambil menunggui si kecil yang asyik naik odong-odong model perahu yang bergerak maju-mundur, saya bertanya kepada abang odong-odong tentang pendapatannya dalam sehari operasi.

“Setelah saya pakai ngopi, beli rokok dan makan, dalam sehari saya rata-rata bawa pulang uang seratus ribu,” kata lelaki (berumur sekitar 50 tahunan) asal Kediri yang sebelumnya bekerja sebagai buruh pabrik di PT Unilever itu. Lebih lanjut ia bercerita, odong-odongnya ini ia beli empat tahun lalu seharga 7,5 juta. “Sekarang, saya pesen lagi sudah naik menjadi sepuluh juta.”

Ingin menambah armada odong-odongnya, dari yang sekarang punya dua (satu unit dioperasikan orang lain dengan sistem setoran per hari 30 ribu), tentu hal ini bisa dijadikan indikasi betapa menjanjikannya bisnis odong-odong ini. Dan saya perhatikan, pelayanan si tukang odong-odong ini termasuk memuaskan. Artinya, ketika si anak belum mau turun padahal sudah seharusnya turun, dengan sabar ia masih mau mengayuh odong-odongnya untuk satu lagu lagi tanpa biaya tambahan.

Tentu tidak semua begitu. Ada pula yang sedikit menjengkelkan. Tadi malam, misalnya. Ketika jam delapan seperempat, dan si kecil saya sudah ‘mapan’ tidur, di mulut gang yang berjarak duapuluh meter dari rumah, ada odong-odong yang datang. Ia pakai mesin. Berbentuk kereta kecil empat gerbong dengan rel yang disangga sedemikian rupa. Untuk memindahkan dari lokasi satu kelain tempat, si abang odong-odong menariknya menggunakan motor Honda GL.

Seperti biasa, untuk menggoda para Balita, suara sirine adalah alat pemanggil yang ampuh. Masalahnya adalah, si kecil saya yang sudah liyer-liyer mau tidur, akhirnya merengek dan kemudian menangis minta naik. Dan hari itu, entah sudah untuk keberapa kalinya ia naik odong-odong. Menurut saya, cari duit ya cari duit, tetapi jangan sampai begitu dong. Jam yang sudah masuk waktunya si kecil tidur, mbokya jangan diganggu.

Bagi saya, aneka jajanan snack sungguh tidak baik dikonsumsi anak-anak karena kandungan bahannya (MSG-nya, atau pewarnanya, atau pemanis buatannya, dan sebagainya), dan untuk si odong-odong, efek sampingnya adalah; sedikit-banyak ia ikutan memengaruhi stabilitas isi kantong. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar