Sabtu, 18 Agustus 2012

Adik Tak Jadi Mudik

HARI Sabtu pagi (4 Agustus 2012), setelah membayar rekening PDAM di kawasan Rngkut Asri, saya langsung meluncur ke kawasan Rungkut Industri.  Tepatnya ke kantor Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER). Dengan satu tujuan, mendaftar ikut program mudik bareng yang digelar Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Surabaya. Saya lihat, ada beberapa orang, semua laki-laki, bermotor masuk ke kawasan itu. Sebagian besar bercelana pendek dan bersepatu olah raga.

Insting saya meragui mereka itu sedang mendaftar mudik bareng. Dan benarlah adanya. Saya perhatikan, mereka terus menuju ke sisi belakang gedung. Itu lokasi bermain futsal.

Di pintu gerbang sedang tidak saya dapati seorang petugas sekuriti. Tetapi tulisan yang membentang di pagar itu cukuplah memberi keterangangan. Bahwa; loket pendaftaran mudik bareng hanya buka hari Senin sampai Jumat dengan batas waktu hingga kuota tempat duduk bis terpenuhi. Jelas. Cukup jelas. Pengumuman itu membuat saya harus balik kanan grak.

Datang lagi hari Senin? Harusnya begitu. Tetapi hari Senin saya harus kerja. Tetapi, ternyata, untuk mendaftar tidak harus datang sendiri. Boleh diwakilkan. Ini kabar baiknya. Tetapi kabar buruk saya terima pada Senin sorenya. Bahwa; tiket mudik bareng sudah habis!

Ya, sudah.
Artinya saya sekeluarga harus naik bis reguler dari Bungurasih saat mudik nanti. Tetapi, selalu ada harapan bagi yang tiada berhenti berharap dan berusaha. Selasa pagi, adik ipar saya datang ke rumah. Mengabari kalau temannya tidak jadi mudik bareng, dan ingin ‘menjual’ ulang tiga tiket yang sudah dikantongi. Tiga tiket itu, sejumlah yang saya butuhkan. Karena, si bungsu saya masih harus dipangku ibunya kalau naik bis nanti. Maka, setuju saja saya membeli tiket itu. Toh, sekalipun tiket itu pakai nama, nantinya tidak bakal ditanyakan kalau sudah naik bis. Asalkan jurusannya sama; Jember.

Pagi itu juga saya kasih adik ipar saya uang tiga puluh ribu sebagai uang pembelian tiket. (Memang, sekali pun judulnya mudik gratis, tetapi para pemudik dikenakan uang 10 ribu per tiket sebagai penganti snack).
Tidak menunggu lama, Selasa pagi itu juga tiket telah saya terima. Tetapi, (lagi-lagi) di luar rencana, hanya ada dua lembar. Karena yang selembar telah keduluan dibeli oleh orang lain. 

Tidak apa-apa. Dua tiket itu cukup untuk si sulung dan isteri saya. Saya sendiri, rencananya, mudik dari Surabaya ke Jember akan pakai motor.


Tetapi, kabar kakek isteri saya sedang sakit, ditambah dua famili di Lamongan baru saja melahirkan, membuat skenario harus ditata ulang. Dan inilah skenario baru itu; mudik tahun ini, kembali seperti ketika mertua saya masih belum meningal dulu. Yaitu, ke Lamongan dulu, baru nanti, selepas sholat Id  balik ke Surabaya lagi untuk melanjutkan etape berikutnya ke Jember. Bukan apa-apa, di kampung isteri saya itu, malam takbiran semua orang sudah pada unjung-unjung ke sanak famili. Jadinya, seturun dari sholat Id, ya sudah ‘selesai’ lebarannya.

Jadwalnya telah saya susun sedemikian rupa. Sabtu tanggal 18 Agustus, dengan terpaksa, si sulung saya titipkan ikut mudik bareng bibinya. Toh, dengan dua tiket, ia bisa mendapat dua tempat duduk. Nanti, setelah bis berangkat, saya berkemas bareng isteri dan si bungku mudik ke Lamongan pakai motor.
Itu rencananya. Tetapi ‘susunan acara’ itu masih harus direvisi lagi ke tika tadi malam, si kecil muntah-muntah disusul badannya yang mendemam. Maka;

Mengingat: mudik pada saat Lebaran sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di masyarakat kita,

Menimbang: si bungsu tiba-tiba sakit,

Memutuskan: si sulung tetap mudik bareng bibi dan pamannya beserta dua anaknya. Saya, isteri saya dan si kecil harus tinggal di rumah sambil menunggu kondisinya membaik. Karena, membawa si kecil pergi jarak jauh, apalagi kondisinya belum sehat betul, apalagi pakai motor --khusus etape pertama Surabaya-Lamongan PP-- ditambah Surabaya-Jember berjubel dalam bis, tentu bukan perkara bijak.

Pagi tadi, setelah mengantar si sulung, dan rombongan bis (sekitar 20 armada, sebagian besar Akas) berangkat jam 7.30 ke aneka tujuan (antara lain ke Jember, Madiun, Nganjuk, Tulungagung, Bojonegoro, Trenggalek, Kediri, Tuban), saya langsung juga mengantar si kecil ke dokter.

TERTIB. Sebelum berangkat, para peserta mudik bareng diberi bingkisan (snack) oleh panitia.
Foto: Dokumen Pribadi.
Dan saat ini, ketika saya membuat tulisan ini, saya sentuh badan si adik masih saja ‘sumer’ (sungguh, istilah dalam bahasa Jawa ini  jan mak-plek (baca: sama) artinya dengan bahasa Inggris. Cuma kalau Inggris ditulis pakai dua huruf M; summer), maka tanpa menunggu penampakan hilal, 99% sepertinya saya tidak mudik dan akan mengikuti takbir dan bersholat Id di Surabaya. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar