HARI Sabtu pagi (4 Agustus 2012), setelah membayar rekening PDAM
di kawasan Rngkut Asri, saya langsung meluncur ke kawasan Rungkut Industri. Tepatnya ke kantor Surabaya Industrial Estate
Rungkut (SIER). Dengan satu tujuan, mendaftar ikut program mudik bareng yang
digelar Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Surabaya. Saya lihat, ada beberapa
orang, semua laki-laki, bermotor masuk ke kawasan itu. Sebagian besar bercelana
pendek dan bersepatu olah raga.
Insting saya meragui mereka itu sedang mendaftar mudik
bareng. Dan benarlah adanya. Saya perhatikan, mereka terus menuju ke sisi
belakang gedung. Itu lokasi bermain futsal.
Di pintu gerbang sedang tidak saya dapati seorang petugas
sekuriti. Tetapi tulisan yang membentang di pagar itu cukuplah memberi
keterangangan. Bahwa; loket pendaftaran mudik bareng hanya buka hari Senin sampai
Jumat dengan batas waktu hingga kuota tempat duduk bis terpenuhi. Jelas. Cukup
jelas. Pengumuman itu membuat saya harus balik kanan grak.
Datang lagi hari Senin? Harusnya begitu. Tetapi hari Senin
saya harus kerja. Tetapi, ternyata, untuk mendaftar tidak harus datang sendiri.
Boleh diwakilkan. Ini kabar baiknya. Tetapi kabar buruk saya terima pada Senin
sorenya. Bahwa; tiket mudik bareng sudah habis!
Ya, sudah.
Artinya saya sekeluarga harus naik bis reguler dari Bungurasih saat mudik nanti. Tetapi, selalu ada harapan bagi yang tiada berhenti berharap dan berusaha. Selasa pagi, adik ipar saya datang ke rumah. Mengabari kalau temannya tidak jadi mudik bareng, dan ingin ‘menjual’ ulang tiga tiket yang sudah dikantongi. Tiga tiket itu, sejumlah yang saya butuhkan. Karena, si bungsu saya masih harus dipangku ibunya kalau naik bis nanti. Maka, setuju saja saya membeli tiket itu. Toh, sekalipun tiket itu pakai nama, nantinya tidak bakal ditanyakan kalau sudah naik bis. Asalkan jurusannya sama; Jember.
Artinya saya sekeluarga harus naik bis reguler dari Bungurasih saat mudik nanti. Tetapi, selalu ada harapan bagi yang tiada berhenti berharap dan berusaha. Selasa pagi, adik ipar saya datang ke rumah. Mengabari kalau temannya tidak jadi mudik bareng, dan ingin ‘menjual’ ulang tiga tiket yang sudah dikantongi. Tiga tiket itu, sejumlah yang saya butuhkan. Karena, si bungsu saya masih harus dipangku ibunya kalau naik bis nanti. Maka, setuju saja saya membeli tiket itu. Toh, sekalipun tiket itu pakai nama, nantinya tidak bakal ditanyakan kalau sudah naik bis. Asalkan jurusannya sama; Jember.
Pagi itu juga saya kasih adik ipar saya uang tiga puluh ribu
sebagai uang pembelian tiket. (Memang, sekali pun judulnya mudik gratis, tetapi
para pemudik dikenakan uang 10 ribu per tiket sebagai penganti snack).
Tidak menunggu lama, Selasa pagi itu juga tiket telah saya
terima. Tetapi, (lagi-lagi) di luar rencana, hanya ada dua lembar. Karena yang
selembar telah keduluan dibeli oleh orang lain.
Tidak apa-apa. Dua tiket itu cukup untuk si sulung dan
isteri saya. Saya sendiri, rencananya, mudik dari Surabaya ke Jember akan pakai
motor.
Tetapi, kabar kakek isteri saya sedang sakit, ditambah dua famili
di Lamongan baru saja melahirkan, membuat skenario harus ditata ulang. Dan inilah
skenario baru itu; mudik tahun ini, kembali seperti ketika mertua saya masih
belum meningal dulu. Yaitu, ke Lamongan dulu, baru nanti, selepas sholat Id balik ke Surabaya lagi untuk melanjutkan etape
berikutnya ke Jember. Bukan apa-apa, di kampung isteri saya itu, malam takbiran
semua orang sudah pada unjung-unjung ke sanak famili. Jadinya, seturun dari
sholat Id, ya sudah ‘selesai’ lebarannya.
Jadwalnya telah saya susun sedemikian rupa. Sabtu tanggal 18
Agustus, dengan terpaksa, si sulung saya titipkan ikut mudik bareng bibinya. Toh,
dengan dua tiket, ia bisa mendapat dua tempat duduk. Nanti, setelah bis
berangkat, saya berkemas bareng isteri dan si bungku mudik ke Lamongan pakai
motor.
Itu rencananya. Tetapi ‘susunan acara’ itu masih harus direvisi
lagi ke tika tadi malam, si kecil muntah-muntah disusul badannya yang mendemam.
Maka;
Mengingat: mudik pada saat Lebaran sudah menjadi tradisi
yang mendarah daging di masyarakat kita,
Menimbang: si bungsu tiba-tiba sakit,
Memutuskan: si sulung tetap mudik bareng bibi dan pamannya
beserta dua anaknya. Saya, isteri saya dan si kecil harus tinggal di rumah sambil
menunggu kondisinya membaik. Karena, membawa si kecil pergi jarak jauh, apalagi
kondisinya belum sehat betul, apalagi pakai motor --khusus etape pertama
Surabaya-Lamongan PP-- ditambah Surabaya-Jember berjubel dalam bis, tentu bukan
perkara bijak.
Pagi tadi, setelah mengantar si sulung, dan rombongan bis
(sekitar 20 armada, sebagian besar Akas) berangkat jam 7.30 ke aneka tujuan (antara
lain ke Jember, Madiun, Nganjuk, Tulungagung, Bojonegoro, Trenggalek, Kediri,
Tuban), saya langsung juga mengantar si kecil ke dokter.
TERTIB. Sebelum berangkat, para peserta mudik bareng diberi bingkisan (snack) oleh panitia. Foto: Dokumen Pribadi. |
Dan saat ini, ketika saya membuat tulisan ini, saya sentuh badan
si adik masih saja ‘sumer’ (sungguh, istilah dalam bahasa Jawa ini jan
mak-plek (baca: sama) artinya dengan bahasa Inggris. Cuma kalau Inggris ditulis
pakai dua huruf M; summer), maka tanpa menunggu penampakan hilal, 99% sepertinya
saya tidak mudik dan akan mengikuti takbir dan bersholat Id di Surabaya. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar