Kamis, 30 Maret 2017
Mirasantika Putra Raja
Rabu, 29 Maret 2017
Ketakutan dan Impian
Baca juga: Mengandung Humor, Menanggung Tumor
Kamis, 12 Januari 2017
Ajal Siaran TV Digital Terrestrial?
![]() |
'Mendiang' penampakan sinyal Viva grup. |
Senin, 09 Januari 2017
Memahat Sebongkah Batu
LELAKI itu adalah pemahat yang ahli. Batu apapun, bila ditanganinya akan menjadi patung yang indah. Kemasyhurannya menyebar ke seantero negeri. Dan, ketika ada yang bertanya, apa rahasianya sehingga selalu mampu membuat patung yang apik, dengan datar ia mengatakan, "Sebetulnya patung-patung indah itu telah ada pada bongkahan batu. Saya hanya membuang bagian-bagian yang tak perlu saja, yang membuatnya belum kelihatan bentuk aslinya".
Itu kalimat yang bisa jadi telah Anda temukan entah di bacaan mana, tetapi saya juga menemukannya pada salah satu dialog pada film Rambo II, dengan Sylvester Stallone sebagai sang jagoannya.
Saya membayangkan kita, atau saya secara lebih sempit, sedang menjadi sang pemahat. Dan karena kesibukan lain yang tidak bisa ditinggal, untuk memahat sebongkah batu milik saya itu, saya serahkan kepada pemahat lain, yang saya nilai lebih expert ketimbang saya. Tujuannya jelas, hasil pahatannya harus bagus, sebagus keinginan saya. Dengan menyerahkannya secara bongkokan, inginnya saya tahu beres saja, walau untuk itu tentu tentu harus ada biaya yang saya tanggung.
Tetapi, di negeri ini, apakah semua pemahat bagus? Yang selalu memperlakukan pahatannya dengan lemah lembut, dan hanya menyingkirkan bagian-bagian yang tak perlu saja. Bukan saking semangatnya malah sebagian besar pemahat itu memberlakukan si batu sedemikian rupa, dari pagi sampai sore sekali. Walau sistem yang nyaris full day itu belum menampakkan hasil pahatan yang berkualitas tinggi.
Si bungsu saya masih duduk di bangku TK, dan sejak seminggu lalu harus melalui waktu yang lebih panjang di bangku sekolah, dari pagi sampai jamg duabelas siang. TK sama dengan sekolah, apakah memang demikian? Ataukah TK adalah hanya taman kanak-kanak, dimana hanya tempat 'bermain' bagi kanak-kanak? Yang tidak menjejali si kanak-kanak dengan jam belajar yang panjang, yang membebani mereka PR bertumbuk saban harinya, yang harus membuat mereka pandai calistung?
Saya bukah ahli pendidikan, dan hanya mendengar konon sistem pendidikan kita masih kalah tertinggal. Masih konon lagi, negara Finlandia, yang sistem pendidikanya terbilang bagus di kelas dunia, jam pelajarannya tak sebanyak kita. Saya membayangkan, siswa di sana punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Jam sekolah pendek, dan gurunya tak kemalan kasih PR saban hari. Satu lagi, sepertinya disana tidak ada TPA kayak disini.
"Ooii..., kita, kalau begitu, lebih unggul, Cung! Disini kita tidak menjejali sedari dini otak anak-anak dengan Iptek semata, tetapi juga Imtaq".
Tentu saya tak hendak menyangkal pendapat diatas. Yang saya khawatirkan adalah, dengan sistem yang menganut pakem 'ganti menteri ganti kebijakan' ini, jangan-jangan 'sang pemahat' malah bukan hanya membuang bagian tak penting dari sebongkah batu demi mendapati hasil yang indah, namun bagian-bagian yang penting yang sebenarnya terbilang pelengkap keindahannya pun, ikutan terbuang pula. *****
Rabu, 21 Desember 2016
Resolusi dan Bumi Datar
Apalagi grup di sosmed. Tak perlu menjadi ahli di satu bidang untuk membuat grup yang laku diserbu ribuan member. Dengan iseng saja, tanpa dasar ilmu satelit yang mumpuni, saat saya buat grup satelit di facebook, eh tahu-tahu sekarang anggotanya sudah belasan ribu. Dengan sambil leyeh-leyeh, saya biarkan para anggota berdiskusi saling adu ide dan argumentasi. Sesekali, kalau ada member yang posting sesuatu yang out of the topic dan kurang saya sukai, gampang; tinggal di-kick saja. Dengan kata lain, kalau seandainya suatu hari nanti saya bikin grup yang mengangkat topik gula itu pahit, bisa jadi ada saja orang yang akan memasukinya. *****
Jumat, 02 Desember 2016
Bonek Melawan
Senin, 28 November 2016
Selasa, 22 November 2016
Jenang Sapar
Sabtu, 19 November 2016
Perempuan Penjajah
Rabu, 16 November 2016
Pengemis Pemalu
Minggu, 02 Oktober 2016
Taat Pribadi, Sebuah Berita Selingan
Minggu, 25 September 2016
Nama Kekinian Buah Hati
"Nama?", tanya dokter.
"Edi Winarno."
"Wartawan ya?"
"Bukan, Dok. Karyawan biasa."
"Tapi anggota PWI, kan? Persatuan Winarno Indonesia..."
Sontoloyo tenan. Suka bercanda juga si dokter ini.
Iya, kalau tidak salah, percakapan itu sudah pernah saya posting di blog ini. Tetapi ini tentang hal lain. Tentang orang harus bangga (paling tidak harus sreg) dengan namanya sendiri. Tetapi dewasa ini, terutama buah hati keluarga muda, sepertinya makin tidak kelihatan kesukuannya, atau bahkan keiindonesiaannya. Iya, seperti halnya nama Joko atau Hartono, sudah pasti dengan membaca nama belakang saya orang tidak akan mengira saya ini orang Batak. Lha sekarang, nama para balita kekinian yang dengan genit dinamai mama-papanya (yang punya 'anggota tubuh lain' bernama gadget, yang kemanapun serasa tak lengkap tanpa benda itu) dengan berderet nama yang berbahasa Persialah, Rusialah atau bahasa alien yang tentu saja bakalan sulit dieeja lidah kakek-neneknya.
Apa itu hal salah?
Oh, no. Tidak, saya tak punya secuil kuasa pun untuk menyalahkan siapapun yang menamai buah hatinya dengan bahasa apapun. Lha, memangnya saya ini apa dan siapa? Tetapi begini, mungkin lho ya (tolong dikoreksi kalau saya keliru); orang menamai anaknya dengan istilah atau bahasa yang rumit (walau konon kalau diterjemahkan ke bahasa kita artinya bagus) adalah agar ekskulsif. Padahal, di zaman gugel ini, apa sih yang tidak segera diketahui orang lain untuk kemudian ditirunya. Juga nama balita yang dengan susah payah Anda pakai itu. Maka, adalah hal lumrah manakala sekarang bayi-bayi mungil itu menyandang nama yang sama, paling tidak satu atau dua kata. Yang Salsabila-lah, yang Aurendra-lah, Azzahra-lah atau yang lainnya. Dan, tentu saja, Anda tak bisa menuntut orang tua bayi lain yang memakai nama yang juga Anda pakai untuk buah hati Anda. Kecuali, Anda mematenkan nama baby Anda.
Makanya saya biasa-biasa saja ada orang lain punya nama Edi (walau ejaan hurufnya bisa Edy, Eddy atau Edhie, toh bunyi ketika dibaca sama). Yang sekarang perlu agak diluruskan adalah tentang Kiswinar. Silakan Anda berpendapat sendiri tentangnya. Mau pro dia atau pro Pak Mario silakan saja. Cuma yang saya pikir, kenapa ya kok penggalan namanya tanggung amat. Tidak ditambah NO sekalian. Biar menjadi Kiswinarno. Atau ditulis menjadi Kiss Winarno. Hmm..., keren kan? Supaya, seperti candaan Pak Dokter kepada saya itu, ia dijadikan anggota 'PWI'. Walau kami, sesama 'marga' Winarno ini, tak perlu melakukan tes DNA demi meyakinkan khalayak bahwa kami sama sekali tak ada pertalian darah.*****