Rabu, 24 Oktober 2012

Kaleidoskop Markesot


Judul buku: New Markesot Bertutur
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Pengantar/Editor: Kuskridho Ambardi
Penerbit: Mizan
Cetakan: I September 2012
Tebal: 471 halaman


SEKARANG zaman ‘bebas’. Anda boleh bicara apa saja tentang pemerintah di mana saja. Di warung-warung kopi, di gardu sambil bersiskamling, atau sambil main kartu gaple saat jagong bayi. Atau, bagi  yang punya kemampuan menulis, Anda bisa mengeluarkan keluh kesah Anda dalam bentuk tulisan dan dikirimkan ke surat kabar. Tidak dimuat karena Anda bukan pengamat politik ‘betulan’, sekarang tidak kurang wadah untuk memuntahkan mual-mual di otak Anda. Ada situs-situs jejaring sosial, atau blog-blog  gratisan. Dan Anda akan aman-aman saja. Sekencang apa pun Anda berteriak, kalau tidak sedang sangat apes, telinga Anda tidak akan ada yang menjewernya.

Ini beda dengan zaman Orde Baru dulu. Jangankan berteriak, berbisik ngrasani  pemerintah pun, hidup Anda bisa terancam! Tetapi selalu ada pemberani diantara para penakut. Dalam hal ini, walau hanya sebagai orang mbambung, Markesot termasuk yang tidak punya rasa takut. Ia saban hari Minggu selama tiga tahun (dari tanggal 26 Pebruari hingga 1 Januari 1992) selalu bertutur dalam alur yang kadang terkesan ngelantur. Sok pinter, sok alim. Kadang dibumbui dalil-dalil dalam bahasa Arab, tetapi kadang-kadang 'misuh' juga.

Tokoh rekaan dalam sebuah tulisan, seringkali ucapan-ucapan dalam dialog-dialognya, tidak bisa dimungkiri itu adalah juga ucapan-ucapan hati si penulisnya yang sedang meminjam mulut tokoh rekaannya. Dan, tidaklah terlalu salah menganggap si Markesot itu adalah wujud lain dari si Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun. Yang egaliter, sedikit kosro, tetapi tidak tipis dalam pemahaman dan penguasaan medan. 

 Markesot Bertutur pertama kali dibukukan adalah setahun setelah kolom Cak Nun itu berhenti muncul dari edisi Minggu sebuah koran sore terbitan Surabaya. Dua tahun berikutnya muncul lagi buku Markesot Bertutur Lagi. Dan, September 2012 ini, Mizan menerbitkan lagi New Markesot Bertutur.

Dalam terbitan terbaru ini, para pembaca (pengagum tulisan Cak Nun utamanya) seolah diajak kembali ke masa lalu. Masa-masa awal tahun 90-an. Melihat lagi kaleidoskop sejarah di bawah kendali Orde Baru. Tentang Porkas, tentang penggusuran untuk proyek waduk Kedungombo, tentang gelaran Piala Dunia saat Maradona membuat gol tangan Tuhan, tentang robohnya tembok Berlin sampai perang teluk, tentang China yang masih dipimpim PM Li Peng. Pendek kata, Cak Nun menyuguhi kita gado-gado dalam kemasan dan olahan yang mak-nyus. Dengan gaya bahasa yang lincah (kadang genit), ia mengajak kita mentertawai (negeri) diri sendiri.

Tentang NU dan Muhammadiyah, meminjam salah satu tokoh teman Markesot yang digambarkan sedang sakit dan tengah dijenguk seorang tokoh Nahdlatul Ulama, ia menulis begini, “Saya ini tidak NU tidak Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah itu konco perjuangan. Mbok ojo gelut ae se..” (hal. 101).

Buku ini adalah kumpulan kolom. Dan kolom-kolom itu, tadinya, memang tidak diniatkan untuk dijadikan buku. Kolom mingguan itu ditulis dengan memungut tema apa saja yang sedang hangat dalam Minggu itu. Dan terbukti, Cak Nun yang saat-saat itu sedang sebagai sungai yang tiada kehabisan ‘air’, punya napas kuat untuk selalu menuangkan renungannya dalam gaya penulisan yang, menurut budayawan Mohamad Sobary, mengajak orang harus telaten untuk mencari ‘mutiara’ yang dia sampaikan dengan aneka bungkus.

Seperti kata Kang Sobary di atas, memang banyak sekali mutiara yang ditebar Cak Nun dengan bahasa yang enteng dan tidak njlimet. Misalnya tentang kehidupan, begini dia melukiskan, “Urip itu urap. Mengaduk. Mencampur. Mempergaulkan. Menyentuhkan satu unsur dengan unsur lain. Makanya, makanan ini disebut urapan. Kalau di Jawa Tengah disebut gudangan. Maksudnya, urapan itu seperti halnya banyak barang di gudang. Campur. Itulah urip. Itulah kehidupan...” (hal. 366)

Begitulah. Kolom yang kala itu memang dibuat khusus untuk sebuah koran sore yang saat itu sedang kuat-kuatnya secara tiras di Surabaya, bahasa yang dipakai seringkali memang bahasa Suroboyoan. Yang egaliter, dan sesekali berhias pisuhan juga. Tetapi, dengan gayanya yang khas, pisuhan ala Suroboyo yang sekarang juga sering dikumandangkan Sudjiwo Tejo itu, oleh Cak Nun dijlentrehkan dengan gambaran yang enteng. Bahwa pisuhan made in Suroboyo itu akan tidak berarti pisuhan bila dalam rasa bahagia bertemu sahabat kental dan dengan lantang (sambil tertawa) memekikkan kata-kaka itu. ‘Pisuhan’ itu menjadi sekadar idiom budaya. Maknanya menjadi relatif, tergantung konteks komunikasinya. Kita tidak dapat menghakimi ekspresi seseorang hanya dengan melihat bunyi kata-katanya, melainkan kita harus perhatikan nadanya, nuansanya, letak masalahnya. Kata ahli ilmu fiqih: yaduru ‘ala ‘illatihi. (hal. 38)

Sebagai buku kumpulan kolom, lebih-lebih kolom-kolom itu diterbitankan nyaris duapuluh tahun yang lalu, menjadikan para pembaca buku ini yang usianya di bawah 30 tahun, saya khawatir mereka ini akan sulit menemukan ‘sesuatu’ yang melatar belakangi sebuah bahasan. Ini dikarenakan, setiap judul itu tidak dicantumkan terbit tanggal dan tahun berapa.

Itu soal lain.
Sebagai penulis, Cak Nun memang mempunyai gaya yang khas. Sekaligus tulisan yang dibuat bertahun-tahun lalu itu tetap terasa relevan mengambarkan keadaan kita saat ini.  Ia bisa dengan cerdas, lewat mulut Markesot, menerjemahkan hal-hal ruwet dengan cara sepele, lewat cara pandang para orang mbambung. Ia bisa dengan enteng bilang, “Tidak ada yang lebih siluman dibanding dengan kenyataan-kenyataan di negeri ini.” Sementara pada bab lain dia berkata, “... zaman ini sudah sedemikian semrawut: siapa Ibrahim siapa Fir’aun, sudah samar. Struktur persoalan sudah sedemikian kompleks. Terkadang kita adalah Ibrahim, terkadang kita Fir’aun, terkadang kita adalah kayu bakar, terkadang kita adalah api yang menyala-nyala.” (hal. 53)

Buku bagus ini memang tidak seratus persen suci dari ‘hadats kecil’ macam kesalahan tulis yang lolos dari pelototan editor. Misalnya di halaman 125. Dalam judul Tukar –menukar Kunci Distribusi Suami-Istri, pada paragraf akhir Cak Nun yang memang juga penyair ini sedang membuat tokoh utama buku ini berada dalam situasi hati yang galau. Markesot jadinya makin nglangut di biliknya. Bercinta dengan sunyi. “Sunyi itu kudus,” katanya berpuasa. Menurut saya, kalimat itu harusnya ; “Sunyi itu kudus,” katanya berpuisi.

Sekalipun sering mengkritik Orde Baru dengan gayanya yang kadang ‘nylekit’ dan mengagetkan, toh di saat-saat terakhir kekuasaan presiden Soeharto, Cak Nun  termasuk salah satu tokoh yang diajak bicara oleh pak Harto untuk menentukan sikap atas desakan massa yang menginginkan ia mundur dari jabatan presiden yang telah digenggamnya selama 32 tahun. Dengan gayanya yang mbeling, Cak Nun termasuk salah seorang tokoh yang berhasil turut membujuk Pak Harto untuk lengser saja.

Dan kalimat mbeling itu diucapkan pula oleh pak Harto dalam jumpa pers sesaat setelah pertemuan yang digelar minus Amien Rais itu. “....bahkan ada yang bilang, tidak jadi Presiden tidak pathek’en,” kata Pak Harto sambil melirik Cak Nun yang berdiri di belakangnya.

Sama, tidak membaca buku ini pun Anda tidak akan pathek’en, tidak akan kudisan.  Tetapi dengan membacanya, kita bisa tahu banyak hal dalam perspektif seorang budayawan asal Jombang ini. Dan, tahu adalah lebih beruntung dari pada tidak tahu. Lebih rugi lagi adalah bila tidak tahu tetapi tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. *****

Jumat, 19 Oktober 2012

Lakukan Sekarang

SEKARANG atau nanti saya tetap harus melakukan ini, maka saya memilih sekarang.

(Bruce Lee)

Rabu, 10 Oktober 2012

Siasat Malaikat


SUATU pagi, dari dalam rumah, saya mendengar isteri saya menolak dengan halus tawaran seorang penjual untuk membeli dagangannya. Karena dialog singkat itu saya dengar dari dapur, saya kurang mengerti apa barang dagangan yang ditawarkan kepada isteri saya itu. Begitu saya keluar, sambil mengenakan sepatu untuk bersiap berangkat kerja, saya tanya lebih rinci dialog yang saya dengar samar-samar itu.

“Itu, ada bapak tua menjajakan lampu minyak yang dibikin dari bekas botol minuman suplemen,” kata isteri saya. “Sebenarnya sih  kasihan; sudah tua, masih berjalan menjajakan dagangan. Tetapi dagangannya itu, sungguh kurang berguna di zaman serba listrik ini. Harganya lima ribu lagi.”

Tentu saya bilang tindakan isteri saya itu kurang tepat. Kita harus menghargai seseorang yang mau ‘bekerja’ dalam kondisi yang sudah renta. Ini bila dibanding dengan orang yang usianya masih belum terlalu tua tetapi malah berkeliling dari rumah ke rumah, masuk-keluar kampung dengan hanya menadahkan tangan; mengemis. Dilihat dari sudut manapun, sekalipun lampu minyak itu sudah tidak zaman, dengan membelinya, kita bisa menghargai sebuah jerih payah.

Sialnya, sambil berangkat kerja, saya cari bapak tua yang saya perkirakan belum begitu jauh dari gang rumah saya, tidak ketemu. Waduh, kalau bapak tua tadi adalah jelmaan malaikat yang sedang turun menguji watak isteri saya bagaimana? Bukanlah tidak tertutup kemungkinan, dalam menjalankan tugasnya, malaikat juga sesekali punya siasat berpakainan preman. Menyamar menjadi pengemis, atau ibu tua yang suatu siang kehabisan uang di sebuah terminal, atau menjadi bapak tua penjual lampu minyak...

Lain lagi cerita yang dituturkan seorang teman. Kala itu di kampungnya ada seorang tetangga yang baru saja panen padi. Di teras rumahnya ada beberapa karung gabah kering siap giling. Sementara, di ba’an ( halaman depan rumah yang diplester semen sebagai tempat menjemur hasil panen) ada terhampar butiran padi yang sedang dikeringkan dengan memanfaatkan panasnya sinar matahari. Datanglah seorang lelaki yang belum begitu tua. Dengan pakaian yang sedemikian rupa, plus gayanya, sudah bisa ditebak, ia adalah seorang pengemis.

Si tetangga teman saya itu paham betul akan maksud kedatangannya. Tetapi ia sedang punya maksud lain. Begini tanyanya kepada pengenis yang belum tua itu, “Kamu kuat memanggul sekarung gabah?”
Dengan wajah sumringah karena mengira akan diberi sekarung gabah, pengemis itu dengan mantap bilang, “Kuat, tuan. Saya tentu saja kuat memanggul sekarung gabah kering.” Dalam hatinya saya membayangkan pengemis itu sedang mengira-ngira harga sekarung gabah kering. Pastilah lumayan mahal.

Dan inilah pukulan telak dari si tuan yang sedang panen padi itu, “Kalau kamu masih kuat memanggul sekarung gabah, tentu tidak pantas kamu datang kesini hanya dengan menadahkan tangan meminta-minta begini....”

Dalam imajinasi, saya bisa membayangkan reaksi wajah kecut si pengemis, sekaligus senyum tajam si tuan.

TADI malam, melintaslah seorang pedagang tua di gang depan rumah yang memang buntu ini. Dari aroma yang mengepul plus suara semacam peluit yang khas, saya tahu dia penjual kue putu. Tetapi ketika saya baca tulisan di kaca gerobaknya, ternyata ia juga menjual kue klepon. Dua jajan tradisional yang memang saya suka. Sepertinya sudah lama sekali saya tidak makan putu. Untuk klepon, seminggu yang lalu saya masih membelinya di Gempol sana. Tetapi kali ini saya akan membeli klepon lagi. Suka sih...

Klepon itu, yang selalu diwarna hijau itu (semoga bukan pewarna terkstil), adalah jajanan berbahan tepung ketan yang dimasak sedemikian rupa, dengan taburan parutan kelapa, dan ketika kita memakannya dengan cara menjepit klepon itu pakai lidah yang ditekan kelangit-langit mulut, mak-ceplus, gula merah langsung pecah. Kenyil-kenyil, ada gurih dan ada manis...

Saya tunggu bapak tua itu di depan rumah. Karena gang ini buntu, setelah mentok di timur sana, pastilah ia akan balik kanan grak dan lewat lagi di depan rumah saya. Oh, rupanya ada tetangga saya yang juga mencegatnya. Tidak seperti saya, ia mengincar kue putu yang dengung asapnya menguarkan aroma pandan itu memang menggugah selera. 

Dari jarak sekitar lima meter dari tempat saya berdiri, saya lihat penjual tua dengan gerobak yang juga sudah tua itu cekatan sekali meladeni pembeli. Ia meletakkan adonan tepung ketan sebagai bahan jajan putu ke sebuah tabung bambu yang kemudian diletakkan di lubang yang mengeluarkan asap itu. Terus saja saya perhatikan cara memasaknya. Ya, kue putu itu dikukus. Ada semacam kaleng berbentuk kotak berisi air sebagai alat pengukusnya. Ada bagian kaleng yang muncul sekitar sepuluh centi dari permukaan meja gerobaknya. Dari situ saya tahu, kaleng itu bukan semacam alat pengukus khusus. Dari tulisan yang masih jelas saya baca, kaleng itu bekas wadah lem. Nah.

Saya menjadi kurang bernafsu membeli jajan ke penjual tua itu. Memang saya bukan bermaksud membeli putu yang ternyata dikukus pakai kaleng bekas wadah lem itu, saya nawaitu sedang akan membeli klepon. Tetapi warna hijau sebagai warna khas klepon, jangan-jangan sungguh memakai pewarna pakaian...

Niatan saya untuk menghargai seseorang yang dalam mencari rezeki masih mau bekerja dan tidak hanya meminta-minta, gara-gara kaleng lem itu, menjadi berantakan. Ini lebih karena saya terlalu banyak berpikir. Padahal, tadinya saya berniat untuk membantu, --kalau beruntung-- siapa tahu itu adalah malaikat yang sedang menyamar sebagai penjual klepon.

Pada situasi begitu, saya menjadi ingat sebuah ungkapan. Jangan menunda maksud baik yang keluar dari hati pertama kali. Karena biasanya itu murni. Dengan menunda beberapa saat saja, maka akan timbul pertimbangan-pertimbangan ini-itu, yang bisa jadi itu adalah bisikan setan. *****

Kamis, 27 September 2012

Kekuasaan yang Menggiurkan

KHOFIFAH KEMBALI”, begitu bunyi spanduk yang terpasang di beberapa tempat sejak beberapa hari ini. Pesan yang disampaikan jelas. Tujuan yang dimaksud pun jelas: bahwa kursi yang sekarang ini sedang diduduki Pakde Karwo bakal ada yang menggoyang untuk direbut pada pilgub mendatang. Intinya, kursi kekuasaan bagi sebagian orang memang selalu menggiurkan.

Tetapi, sejauh ini, tidak diketahui siapa pemasang spanduk itu. Jadi, siapa sejatinya pengusung Khofifah pada pilgub yang akan digelar setahun lagi ini? Pada pilgub yang lalu, tokoh Muslimat NU ini memang menjadi lawan tanding yang sengit bagi Pakde Karwo. Kala itu ia berpasangan dengan tokoh yang –menurut hemat saya-- agak kurang dikenal publik; Mujiono. Lalu, siapa pasangan yang digandeng Khofifah pada laga rematch dengan Pakde Karwo nanti? Belum jelas. Yang pasti jelas adalah, seperti biasa, warga nahdliyin akan jadi rebutan dalam mendulang suara.

Pasuruan, salah satu basis nahdliyin, hari-hari ini juga sedang ramai oleh persiapan pilkada. Di seluruh pelosok banyak sekali bertebaran sepanduk dan poster para tokoh yang mempunyai hasrat maju bertanding. Seperti biasa, spanduk dan poster itu dibikin sedemikian rupa agar nyaman dilihat. Sekaligus disisipkan pesan-pesan manis. Misalnya, ada salah satu tokoh yang mengusung tagline 'kita semua bersaudara', atau 'saya siap bekerja untuk rakyat' dsb.

Semua poster itu menampilkan tokoh sendiri saja. Belum berduaan dengan wakilnya. Atau bisa jadi ada dua tokoh yang nantinya bersatu maju bersama. Dan untuk menentukan siapa yang sebagai Kepala, siapa yang harus rela 'hanya' sebagai wakil, diundi dulu seberapa tebal 'amunisi' politiknya. Atau agar gampang, bagi yang modalnya sama-sama cekak, secara suit  saja.

Kreasi poster itu sedemikian bebasnya. Kalau pada pilgub yang lalu pakde Karwo memakai istilah Karsa (sebagai gabungan dari Sukarwo dan Saifullah Yusuf) atau Khofifah memakai istilah Kaji karena berpasangan dengan Mujianto, di Pasuruan kita bisa dapati salah satu tokoh membuat posternya dengan menjiplak logo kesebelasan Manchester United. Dengan bentuk yang jan mak pleg-sama, tetapi hanya menghilangkan bagian tengah dari logo tim Setan Merah itu dan menggantinya dengan tulisan MU.

Saya tidak terlalu memahami apakah memang orang Pasuruan termasuk pecinta fanatik kesebelasan besutan Sir Alex Ferguson itu sehingga seorang tokoh memakai atributnya untuk menggaet suara mereka pada pilkada mendatang. Tetapi, semakin membaca poster itu saya makin menyadari –bisa jadi-- itu hanyalah jurus dewa mabuk seperti pada film Mandarin yang pernah saya tonton di televisi. Karena tulisan MU di tengah logo tim papan atas liga utama Inggris tidak berarti Manchester United, tetapi Mas Udik.

Ada-ada saja...





Rabu, 19 September 2012

Demonstran Sexy

JUMAT kemarin (14 September), khotib salat Jumat singkat sekali khutbahnya. Menjadikan saya punya lebih banyak waktu untuk ngeluyur dulu sebelum balik kantor lagi. Tujuannya ke sebuah toko buku yang tak jauh dari masjid itu. Dan pada rak buku-buku sastra, saya menemukan satu buku tipis yang nyelempit agak ke bawah. Dengan cover yang menggoda iman, saya comot buku itu. Dan semakin tergoda iman saya saat mendapati nama Binhad Nurrohmat sebagai penulisnya. 

Kendati sebagai buku lama, saya ambil itu sebagai salah satu buku yang saya beli. Karena terbungkus plastik tentu saya tak tahu isinya apa. Ketika saya buka, astaghfirullah..... buku itu sungguh ter-la-lu (meminjam istilah bang Haji).
Isinya asyik sih. Tetapi buku yang terdiri dari 122 halaman itu tidak sedikit per lembar halamannya yang hanya terdiri dari tiga baris kalimat. Itu pun salah satu kalimatnya adalah judul.

Dan sebelum orasi pamungkas yang ditulis panjang lebar oleh Yudi Latif, pada halaman ke 109 (judulnya Bukan Kata Kritikus) Binhad menulis begini; "Penyair serius tabu membaca buku ini".

Tentu saya tidak pantas untuk 'tersinggung'; saya bukanlah penyair, lebih-lebih yang serius.

Salam.

Senin, 10 September 2012

Iklan Manatahan....

RUMAH saya tidak jauh jaraknya dari kampus Universitas Surabaya (Ubaya). Hal yang saya perhatikan belakangan ini, diantaranya, adalah banyak sekali rumah-rumah kost yang direnovasi sedemikian rupa menjadi bangunan berbentuk vertikal dengan arsitektur minimalis modern. Ini, menurut prakiraan saya, dikarenakan tidak jauh dari kampus Ubaya itu, telah berdiri megah sebuah apartement yang sepertinya memang membidik para mahasiswa sebagai segmentasi pasarnya. Metropolis, nama apartement itu, bagus sekali okupansinya. Dan disisi lain, hal itu mengurangi tingkat hunian rumah-rumah kost gaya lama. Ini membuat para pemilik rumah kost model jadul harus berbenah.


Mahasiswa, sesuai perkembangan zaman, lebih suka ‘kost’ di apartement.
Lihatlah, banyak sekali apartement baru dibangun di dekat sebuah kampus. Ambil contoh, di dekat kampus Universitas Petra di Siwalankerto, termasuk juga Universitas Ciputra yang membangun UC Apartement  di kawasan Surabaya Barat sana.


Di RMS (ah, jangan artikan itu sebagai Republik Maluku Selatan, tetapi Rungkut Mejoyo Selatan), wilayah terdekat kampus Ubaya, sekalipun ada beberapa yang merombak bangunan menjadi lebih tinggi dan modern, masih banyak sekali terdapat rumah-rumah besar dengan arsitektur tahun 80an yang difungsikan sebagai tempat kost mahasiswa.

Rumah-rumah kost konvensional itu, saya lihat diantaranya menempelkan tulisan di pintu pagar. Bunyi  tulisan itu ada yang macam begini; terima kost. Atau agak panjang dan lebih spesifik seperti; terima kost putri. Atau ada juga yang lebih komplet; terima kost, fasilitas OK. Kamar mandi sendiri-sendiri. Juga tersedia kamar VIIP. (Untuk tulisan yang terakhir itu, sialnya, saya sedang tidak membawa kamera.) Tentu yang dimaksud pemilik kost adalah; tersedia kamar VVIP. Hehe...

Seringkali kita dapati ‘iklan’ pemilik rumah kost itu tidak hanya ditempel di pagar rumah. Namun juga dipaku di pohon-pohon pinggir jalan. Jelas agar coverage area-nya makin luas, agar ‘dagangannya’ (baca: iklan rumah kost-nya) dibaca lebih banyak orang. Iklan-iklan itu selain terbuat dari kertas, agar lebih tahan lama, ada yang membuatnya dari selembar papan atau bahkan seng. Dari tulisan tangan sampai yang hasil olahan printer.

Di jalan Sedati dekat kawasan bandara Juanda, sore tadi saya dapati sebuah iklan tentang rumah kost yang berbahan seng. Bentuk tulisannya kurang rapi, seperti iklan-iklan dari ‘tukang talang’ atau ‘ahli kunci’ atau jasa ‘kuras WC’. Biasa saja. Yang tidak biasa adalah bunyi tulisannya. Kalau di rumah-rumah yang menerima kost, kata-katanya adalah ‘terima kost’. Namun, di Sedati ini tertera  ‘menerima rumah kost’.

Tidak tahu saya; maksudnya menerima kost, atau memang menerima rumah kost. Bukankah itu adalah dua hal yang berlainan arti? Tadinya itu saja yang saya perhatikan. Tetapi, semakin membaca, semakin tidak tahan saya untuk tidak membuatnya menjadi catatan pendek ini.

Apa pun nama orang, tentu tidak layak untuk ditertawakan. Dan ketika ada orang tertarik tawaran iklan itu, selain tertulis nomor-nomor telepon yang bisa dihubungi, juga ada nama pemilik iklan yang bisa disapa. Membaca nama itu, sungguh, saya ingin biasa-biasa saja. Tidak tersenyum, apalagi menertawainya. Saya tahan sekuat bibir saya, tapi... oh, tak tahan juga.
Mana tahan?! *****
Iklan Manatahan.
Foto: ewe.

Jumat, 07 September 2012

Kekuatan

"KEKUATAN bukan hanya bersumber dari kemampuan fisik, melainkan juga dari keteguhan hati" -

 Mahatma Gandhi

Rabu, 05 September 2012

Janda Royal, Bingung dan Terancam


SETIAP saya pulang ke desa, emak selalu sibuk menyiapkan menu makan. Saya selalu langsung menyetopnya bila tujuannya memasak berbahan daging ayam. Bukannya saya anti makan daging dan penganut vegetarian. Bukan. Tetapi saya selalu rindu akan masakan emak yang jarang saya temui di kota; eseng-eseng genjer.

Makan berteman eseng-eseng genjer itu, plus sambal terasi bertabur teri, hmm... tak tahan saya untuk tidak bolak-balik nambah nasi lagi.

Lain emak, lain pula masakan mendiang nenek yang sampai sekarang saya kenang. Sayur lumbu. Lumbu itu, Sampeyan tahu, adalah nama daun talas. Bukan sembarang talas, tetapi talas yang bernama bentul. Betul, buahnya yang dijadikan gambar merek rokok Bentoel  itu.

Yang namanya daun talas, kalau dimasak tentulah lunak. Mblekotrok. Dan warnanya hijau pekat. Atau malah cenderung menjurus menghitam. Tidak polos sih, karena sayur 'lumbu' itu ditambah kedelai putih. Jadinya, tampak kontras. Mblekotrok  hitam bertabur kedelai yang mulus kemletus. Entah apa bumbunya, pokoknya rasa sayur daun lumbu ini khas. Dengan tambahan cabe secukupnya, jan maknyus  bagi lidah saya yang sederhana ini.

Kuliner kelas kampung memang aneka rupa. Sekalipun, tentu saja, emak atau nenek saya tidak menghias sedemikian rupa saat menyajikannya. Tidak seperti lazim kita temui pada hidangan di restoran-restoran. Menu-menu itu tampil bersahaja apa adanya. Dan malah kadang namanya terdengar unik dan sekenanya.

Untuk gorengan, misalnya. Ketika tape singkong dibalut tepung dan digoreng, di kampung saya ia bernama 'rondo royal'. Yang kalau diterjemahkan menjadi 'janda royal'. Ada pula yang namanya jibeg. Padahal jibeg itu, kalau dialih-bahasakan menjadi bingung, pusing yang sangat pusing pokoknya. Dan jibeg itu berbahan buah sawo matang yang digoreng. Buah sawo digoreng? Kalau pisang goreng sih sudah umum, lha kalau sawo digoreng?! Ini, konon, asal muasalnya; Karena bingung (jibeg) tidak ada pisang yang layak digoreng, sementara tamu-tamu sudah datang, eh di dapur yang ada cuma sawo. Maka, selain sawo disuguhkan lawaran sebagai buah, selebihnya digoreng saja. Jadilah ia  jibeg.

Kembali ke soal menu makan. Kali ini tampil sebagai sekumpulan bahan mentah yang dirajang. Ada mentimun, kacang panjang, lamtoro, kemangi, kelapa agak muda yang diparut dan aneka sayur lainnya. Bumbunya yang agak pedas, dengan aroma kencur yang harum, ia terasa segar dijadikan lauk makan siang. Dan entah siapa yang memberinya nama sedemikian ngawurnya. Saya tidak tahu di daerah Sampeyan ia bernama apa, tetapi di desa saya ia dinamakan terancam! *****

Minggu, 02 September 2012

Abang Odong-odong Jangan Begitu Dong...

JEMPUT bola. Itu metode yang banyak dipakai berbagai pihak untuk meningkatkan pelayanan. Sebutlah misalnya pelayanan SIM Keliling, Samsat Keliling, Pos Keliling atau E-Buz-nya bank BRI. Dengan mendatangi begitu, tentu terasa ada nilai plusnya. Customer menjadi lebih punya waktu ketimbang harus mendatangi kantor-kantor dimaksud.

Dan layanan jemput bola itu kemudian merambah ke bidang yang bukan layanan publik dari sebuah instansi. Ia bisa kita dapati berupa mobil yang dimodifikasi sedemikian rupa menjadi toko keliling. Atau para ibu tidak perlu lagi belanja ke pasar untuk keperluan pengadaan sayur-mayur yang akan dimasak hari itu. Sudah banyak kita temui para abang penjaja sayur bermotor yang pagi-pagi sudah sliwar-sliwer di sekitar rumah  kita. Untuk perkara jahit-menjahit, pun sudah ada tukang permak keliling.

Dulu, dikampung saya, para orang tua mengajak anak untuk bisa naik komidi putar atau dremolen tentu harus mendatangi pasar malam dulu. Dan pasar malam itu, sampeyan tahu, tidak saban waktu ada. Ia pindah dari desa satu kedesa yang lain dalam kurun tertentu. Kalau tidak ada pasar malam, jangan harap kita menemukan kereta kelinci, misalnya. Sekarang jangan tanya. Pagi siang malam ada saja kereta kelinci, komidi putar, atau perahu-perahuan yang datang menjajakan jasa dengan sistem jemput bola.

Benar, sekarang ia lebih populer disebut odong-odong. Segala mainan ala pasar malam tetapi dimodifikasi dengan bentuk mini itu, datang tiap waktu menggoda iman anak-anak kecil. Makanya, bagi orang tua seperti saya, selain uang jajan, paling tidak harus dianggarkan pula uang odong-odong.

Si kecil saya (Faiz, 2,5 tahun), mana tahu kalau saya lagi harus mengetatkan ikat pinggang. Ia akan langsung minta naik odong-odong begitu mendengar suara sirine yang meraung-raung dari becak odong-odong itu. Padahal, tarifnya minimal seribu rupiah untuk durasi tiga lagu anak-anak yang diputar. Ya sekitar lima belas menitlah. Itu yang odong-odong manual, dipancal layaknya becak. Kalau yang pakai mesin, misalnya kereta kelinci atau yang sejenisnya, ongkosnya lebih mahal. Tiga ribu rupiah bareng si ibunya. (Karena, tentu mengkhawatirkan melepas si kecil naik sendiri kereta hasil sulapan motor roda tiga dengan empat gerbong kecil yang digandengnya). Padahal, dalam sehari, ada sekian banyak odong-odong yang beroperasi. Padahalnya lagi, yang namanya anak-anak, mana pernah bosan merasakan sensasi naik odong-odong.

Sambil menunggui si kecil yang asyik naik odong-odong model perahu yang bergerak maju-mundur, saya bertanya kepada abang odong-odong tentang pendapatannya dalam sehari operasi.

“Setelah saya pakai ngopi, beli rokok dan makan, dalam sehari saya rata-rata bawa pulang uang seratus ribu,” kata lelaki (berumur sekitar 50 tahunan) asal Kediri yang sebelumnya bekerja sebagai buruh pabrik di PT Unilever itu. Lebih lanjut ia bercerita, odong-odongnya ini ia beli empat tahun lalu seharga 7,5 juta. “Sekarang, saya pesen lagi sudah naik menjadi sepuluh juta.”

Ingin menambah armada odong-odongnya, dari yang sekarang punya dua (satu unit dioperasikan orang lain dengan sistem setoran per hari 30 ribu), tentu hal ini bisa dijadikan indikasi betapa menjanjikannya bisnis odong-odong ini. Dan saya perhatikan, pelayanan si tukang odong-odong ini termasuk memuaskan. Artinya, ketika si anak belum mau turun padahal sudah seharusnya turun, dengan sabar ia masih mau mengayuh odong-odongnya untuk satu lagu lagi tanpa biaya tambahan.

Tentu tidak semua begitu. Ada pula yang sedikit menjengkelkan. Tadi malam, misalnya. Ketika jam delapan seperempat, dan si kecil saya sudah ‘mapan’ tidur, di mulut gang yang berjarak duapuluh meter dari rumah, ada odong-odong yang datang. Ia pakai mesin. Berbentuk kereta kecil empat gerbong dengan rel yang disangga sedemikian rupa. Untuk memindahkan dari lokasi satu kelain tempat, si abang odong-odong menariknya menggunakan motor Honda GL.

Seperti biasa, untuk menggoda para Balita, suara sirine adalah alat pemanggil yang ampuh. Masalahnya adalah, si kecil saya yang sudah liyer-liyer mau tidur, akhirnya merengek dan kemudian menangis minta naik. Dan hari itu, entah sudah untuk keberapa kalinya ia naik odong-odong. Menurut saya, cari duit ya cari duit, tetapi jangan sampai begitu dong. Jam yang sudah masuk waktunya si kecil tidur, mbokya jangan diganggu.

Bagi saya, aneka jajanan snack sungguh tidak baik dikonsumsi anak-anak karena kandungan bahannya (MSG-nya, atau pewarnanya, atau pemanis buatannya, dan sebagainya), dan untuk si odong-odong, efek sampingnya adalah; sedikit-banyak ia ikutan memengaruhi stabilitas isi kantong. *****

Minggu, 26 Agustus 2012

Invasi Televisi

--> (Artikel ini disiarkan di halaman Horizon harian Radar Surabaya edisi Minggu, 26 Agustus 2012.)

BULAN Agustus ini ada tiga stasiun tivi yang berulang tahun. RCTI,  SCTV dan TVRI. Tepatnya tanggal 24 Agustus, yang juga diperingati sebagai Hari Televisi  Indonesia.

Dan tengoklah ke kiri atau ke kanan, ke seantero rumah tetangga, nyaris tiada rumah tanpa pesawat televisi. Ia mengisi ruang tamu, kamar tidur bahkan sampai dapur. Sungguh, televisi, selain roda, adalah penemuan  ‘gila’ yang berhasil dibuat manusia modern. Untuk itu, kita perlu berterima kasih kepada John Logie Baird. Karena hasil utak atiknya yang terpacu penemuan Gugliemo Marconi yang lebih dulu menemukan gelombang radio, membuat  ia yakin video pun bisa dikirimkan melalu sinyal. Pada 1927 ia berhasil memancarkan gelombang televisi dari London ke Glasglow. Dan setahun kemudian, pada 1928, ia kembali sukses memancarkan sinyal televisi dari London ke New York.

Dan hari ini, siaran yang sedang Anda tonton di kamar tidur, ruang tamu atau bahkan kamar mandi, bisa saja dipancarkan lebih jauh dari jarak antara London-New York! Sungguh, kotak ajaib ini telah dengan sukses menginvasi segala ruang kita. Ruang jasmani, sekaligus ruang ruhani.

Sekarang, 50 tahun sejak pertama kali siaran televisi hadir di Indonesia, televisi  --harus disadari-- juga laksana pisau dapur. Ia bermanfaat, sekaligus juga bisa mengundang mudarat. Ia, secara nyata lebih berbahaya ketimbang yang ditemukan Gugliemo Maconi. Sebagai media pandang dengar, apa pun yang terpampang di layar kaca menjadi gampang ditiru.

Ingat saya, ketika di kampung dulu, dan siaran televisi cuma TVRI, dan radio masih berjaya dengan serial sandiwaranya. Mendengarkan sandiwara radio macam itu, sekalipun mendengarkannya secara bersama, bisa jadi imajinasi setiap orang akan berbeda. Semakin tinggi tingkat kecerdasan  imajinatifnya, semakin hidup jalan cerita sandiwara itu dalam pikirannya. Hal yang tentu sangat berbeda ketika orang menonton siaran televisi. Televisi menyuguhkan sesuatu yang ‘nyata’. Yang hidup, yang bergerak sekaligus bersuara. Karenanya, ketika sebuah tayangan miskin makna, ketika ditonton oleh pemirsa yang miskin pengetahuan, tayangan itu telah sukses memiskinkan yang telah miskin.

Contoh tentang model tayangan ini kalau disebutkan tentu sangatlah melimpah ruah. Misalnya sinetron-sinetron itu, tayangan-tayangan humor itu. Juga debat (kusir) para petinggi negeri yang muluk-muluk tetapi nol besar dalam realita itu. Padahal, pada sisi lain, rakyat yang sudah terhimpit kanan-kiri dan atas-bawah itu, ketika pulang ke rumah butuhnya hiburan. Dan sarana hiburan yang paling murah adalah televisi. Namun ketika nyaris semua saluran televisi tidak ada yang memberi kesempatan untuk pemirsa kelas rendah itu makin cerdas, apa daya; meminjam istilah AS. Laksana, tayangan-tayangan yang dibuat dengan tingkat kecerdasan sedengkul itu pun mau tak mau ditelannya juga.

Contohnya adalah ketika dulu TPI dengan sakti bisa siaran secara nasional mengalahkan sang kakak (baca: RCTI dan SCTV) yang lahir duluan tetapi masih harus menggunakan decoder agar bisa menangkap siarannya.  Itupun dalam coverage area  yang terbatas. TPI, yang milik mbak kala Tutut itu, yang adalah tak mungkin TVRI (yang hanya bersiaran malam hari, kecuali hari Minggu) berani menolak perintah agar ia mau ‘menyewakan’ pemancarnya pada siang hari kepada stasiun televisi milik putri sulung penguasa Orde Baru kala itu. Acara unggulannya adalah dangdutan dan film-film India. (Sungguh, pada titik ini, TPI sangat jauh melenceng dari namanya sebagai Televisi Pendidikan Indonesia). Dan salah satu serial unggulan film Indianya adalah Ramayana.

Karena masyarakat kita (Jawa umumnya) sangat familier dengan ceriita pewayangan, tentu suguhan serial Ramayana ini menangguk sukses luar biasa. Dan bagi anak-anak, menggemari  film ini tidak sekadar menirukan ungkapan  ‘ Hidup Sri Rama’. Tetapi juga, ada pedagang mainan yang menangkap peluang bisnis; menjual busur dan anak panah seperti yang ada di film itu. Busur dan anak panah yang terbuat dari bambu itu adalah benar-benar bisa digunakan. Dan itu, tentu bida melukai.

Itu contoh lama. Yang agak baru adalah ketika banyak anak usia SD saling banting sampai patah tulang kaki atau tangan hanya sekadar menirukan adegan Smack Down, sebuah acara ‘hiburan’ yang ditayang Latifi. Bagi pemirsa, anak khususnya, televisi amatlah berbahaya bila pihak pengelola stasiun hanya berorientasi bisnis. Semua tayangannya begitu gampang ditiru sebagai mode.

Sinetron, misalnya. Cermatilah. Adakah anak sekolah seperti dalam sinetron itu. Yang ke sekolah bermobil mewah. Yang berambut gondrong. Yang penuh konflik, penuh intrik. Yang peran guru hanyalah sebagai pelengkap saja. Menurut saya, kalaulah di alam nyata ada murid sekolah macam di sinetron-sinetron itu, adalah karena sebuah pengaruh tayangan televisi. Bahwa, bukan sinetron yang memotret realita sekolah, tetapi siswa di alam ‘sekolah nyata’  yang meniru gaya anak sekolah di 'alam layar kaca' sinetron-sinetron.

Dalam hal ini tentu tidak bisa dimungkiri bahwa para pemilik stasiun televisi itu berorientasi bisnis. Perkara siaran dari stasiun televisinya tidak membawa dampak positif kepada pemirsanya, ia kurang peduli. Yang penting acara-acara itu ber-rating tinggi. Yang utama pemasukan uang dari iklan mengalir deras.

Tentu tidak semua stasiun televisi berprinsip begitu. Ada stasiun yang idealis. Bermain lurus. Tetapi, liriklah, stasiun macam itu tak sepopuler stasiun-stasiun besar yang belakangan, kita tahu, dikuasai oleh orang-orang yang sama.

Saya sempat menaruh harap kepada stasiun televisi besar yang bermain sebagai saluran televisi berita. Saya sebut saja MetroTV dan TV One. Tetapi harapan itu, agar masih tersisa saluran yang mencerdaskan dan netral, perlahan tapi pasti mulai menipis. Benar memang, program-programnya ada yang bagus. Tidak bagusnya adalah, pemiliknya adalah orang partai. Surya Paloh, bos MetroTV, hengkang dari Golkar dan membangun Partai Nasional Demokrat. Dan TV One, semua orang tahu, itu adalah nama baru dari Latifi milik Abdul Latif yang dibeli oleh  kelompok Bakrie, ketua umum Partai Golkar. Dunia pertelevisian makin ‘ramai’ manakala belakangan, bos MNC (raksasa media yang menaungi RCTI, MNCTV (nama baru dari TPI), GlobalTV, SindoTV, Sindo Radio (nama baru dari Trijaya Network) dan beberapa media lain -- termasuk media cetak-- Hary Tanoesoedibjo juga bergabung ke Partai Nasdem-nya Surya Paloh.

Jelas sudah, sekarang stasiun televisi tidak sekadar sebagai media informasi dan hiburan, ia telah pula dijadikan sebagai kendaraan politik. Karena, pencitraan adalah hal yang mutlak perlu dalam berpolitik. Dan televisi adalah media yang sangat mendukung politik pencitraan macam itu. Contoh vulgarnya adalah, MetroTV rela menayangkan pelantikan pengurus Partai Nasdem di sebuah wilayah yang disertai orasi politik Surya Paloh dalam durasi yang panjang. Padahal itu, menurut saya, bukanlah berita yang penting-penting amat untuk televisi berita dengan cakupan nasional sekelas MetroTV. Atau, TV One yang terkesan menghindar dari pakem ‘berita itu harus berimbang’ bila sedang mewartakan luapan lumpur Lapindo, misalnya.

Tetapi, pemirsa tentu adalah pemilik kuasa penuh akan tayangan apa yang perlu dan layak ditontonnya. Dan kini, dengan begitu banyak saluran televisi, sebagai pemirsa kita bisa sesuka hati menombol remote control  untuk mencari saluran mana yang tidak memiskinkan jiwa. Dan kalau tidak berhasil menemukannya, karena semua yang tertayang di layar kaca adalah sampah, kita bisa meniru semboyan para penentang rokok. Dengan memodivikasi sedikit, kalimat itu akan berbunyi; matikan televisi atau televisi akan mematikan (jiwa) kita!*****

Sabtu, 25 Agustus 2012

Nopol Konyol

NOPOL kendaraan bermotor itu penting, makanya diadakan. Tidak hanya di sisi depan, tetapi juga belakang.
Karena sedemikian pentingnya, tidak semua orang diperbolehkan membuatnya.
Ada pihak yang berwenang. Plus segala peraturannya. Misalnya, tidak boleh bentuk huruf dan angka dimodifikasi seenak sendiri. Saking pentingnya, maka ia wajib ada. Kalau terlepas, misalnya karena baut kendor, ya harus dipasang lagi. Diikat pakai kawat pun boleh. Pakai tali rafia pun tidak dilarang. Asal angka dan hurufnya masih bisa terbaca.
Asal tidak seperti pengendara motor Honda GLMax yang saya jepret sore tadi di traffict light bundaran Satelit Surabaya. Yang mengikat plat nopolnya dengan tali rafia yang 'over dosis', sampai seolah ia hanya pamer tali itu, bukan nopolnya.
Foto: ewe.

Minggu, 19 Agustus 2012

Ini Sarungku, Mana Sarungmu?

KALAU pada ajang Grammy Award atau ajang-ajang lain yang sejenis itu ada istilah red carpet, di masjid tempat saya sholat id tadi ada green carpet. Ya, karpet selebar satu meter berwarna hijau itu dihampar memanjang sejak undakan masjid sampai ke ujung di dekat pengimaman. Peletakan yang di tengah-tengah begitu, seolah membelah masjid menjadi dua bagian, kiri dan kanan. Selatan dan utara.

Berangkatnya tadi, agak saya kebutkan langkah kaki. Dalam pikiran terbayang, kalau datang terlambat, bisa-bisa saya tidak mendapat tempat di dalam masjid. Bisa-bisa hanya di halamannya. Atau malah harus menggelar koran untuk kemudian ia dijadikan alas sajadah di jalan raya.

Saya lihat, banyak sekali calon jamaah yang duduk bergerombol di pinggir jalan. Saya terus saja berjalan. Saya terus saja berharap mendapat tempat di dalam masjid. Dan benarlah adanya. Ternyata masjid masih longgar. Terutama di lantai dua. Tetapi saya memilih di lantai satu saja. Sekalipun di ruang utama sudah penuh jamaah, saya masih mendapatkan tempat di serambinya yang masih lega. Posisi saya persis di dekat green carpet itu.

Setelah sholat dua rakaat, saya duduk sambil mengikuti takbir.
Saya melihat ke kiri kanan, dan mendapati hampir sebagian besar terlihat baju yang dikenakan para jamaah adalah baju baru. Kecuali para pengurus takmir masjid. Baju seragam berbentuk jas warna krem itu sering saya lihat saat mereka  masjid mengadakan acara. Termasuk acara sholat idul fitri ini.

Ini sarungku, mana sarungmu?
Foto: ewe.
Selain baju, yang juga pada baru adalah sarung.
Dengan poisisi yang di pinggir green carpet yang menjadi jalan masuk para jamaah yang baru datang begitu, membuat saya bisa membaca merek apa saja sarung yang mereka kenakan. Dan, mungkin, inilah bedanya sarung dan baju. Baju, mereknya seringkali dipasang  pada bagian kerah sisi dalam. Dengan begitu, saya tidak bisa membaca merek apa baju yang dikenakan orang yang barusan lewat di samping saya. Kalau sarung tidak begitu.

Merek sarung, oleh produsen sering (bahkan selalu) dijahit di bagian tengah motif sarung sisi bawah. Tepat di bagian tengah kain sarung, selebar sekitar dua puluh centi, dengan corak warna yang berbeda dari sebagian besar kain sarung itu. Dan, karena orang (termasuk saya) sudah terbiasa memakai sarung dengan lipatan sedemikian rupa, merek sarung itu dapat terbaca dengan jelas di bagian belakang paling bawah.
Secara branding itu tentu ada maksudnya. Tetapi, dengan begitu, ketika sedang sholat berjamaah, dan seorang sedang khusuk sambil agak menunduk dan memejamkan mata, ketika ia sekali saja membuka mata, kalau tidak benar-benar konsentrasi, pesan ‘iklan’ sarung itu terbaca juga. Atlas misalnya, atau Mangga, atau Wadimor, atau Gajah Duduk atau yang lainnya.

Sambil duduk bertakbir di pinggir green carpet itu, saya mendapati orang-orang lewat memakai aneka merek sarung. Dari yang umum seperti yang saya sebutkan di atas tadi, sampai merek-merek yang baru saya tahu. Yang ikut tertenun, tidak dijahit misalnya, ada merek BHS (hurufnya tertulis dengan besar dan mencolok), juga ada Sarung Samarinda dengan tenunan angka 210 di atasnya, ada juga yang agak nyeleneh. Sarung merek MPR. Entah itu produksi mana. 

Dan seorang jamaah yang di depan saya, sarungnya mengingatkan saya akan masa kecil saya dulu. Sarung yang dipakainya persis yang saya kenakan saat dikhitan. Yakni sebuah sarung batik dengan sambungan pada sisi tengah secara horizontal. Jadinya sarung ini ada dua jahitan, jahitan vertikal (sebagaimana lazimnya sarung) dan satu lagi jahitan horizontal. Saya lupa sarung saya dulu mereknya apa. Tetapi yang dikenakan orang di depan saya ini mereknya tertenun angka 210. Tanpa embel-embel kata-kata lagi.

Saya perhatikan dari belakang, sepertinya saya tidak mengenal sosok pemakai sarung yang berambut agak panjang itu. Tetapi, seandainya, angka pada bagian bawah belakang sarungnya adalah 212, tentu saya langsung menduga ia adalah si Wiro Sableng. *****