Rabu, 10 Oktober 2012

Siasat Malaikat


SUATU pagi, dari dalam rumah, saya mendengar isteri saya menolak dengan halus tawaran seorang penjual untuk membeli dagangannya. Karena dialog singkat itu saya dengar dari dapur, saya kurang mengerti apa barang dagangan yang ditawarkan kepada isteri saya itu. Begitu saya keluar, sambil mengenakan sepatu untuk bersiap berangkat kerja, saya tanya lebih rinci dialog yang saya dengar samar-samar itu.

“Itu, ada bapak tua menjajakan lampu minyak yang dibikin dari bekas botol minuman suplemen,” kata isteri saya. “Sebenarnya sih  kasihan; sudah tua, masih berjalan menjajakan dagangan. Tetapi dagangannya itu, sungguh kurang berguna di zaman serba listrik ini. Harganya lima ribu lagi.”

Tentu saya bilang tindakan isteri saya itu kurang tepat. Kita harus menghargai seseorang yang mau ‘bekerja’ dalam kondisi yang sudah renta. Ini bila dibanding dengan orang yang usianya masih belum terlalu tua tetapi malah berkeliling dari rumah ke rumah, masuk-keluar kampung dengan hanya menadahkan tangan; mengemis. Dilihat dari sudut manapun, sekalipun lampu minyak itu sudah tidak zaman, dengan membelinya, kita bisa menghargai sebuah jerih payah.

Sialnya, sambil berangkat kerja, saya cari bapak tua yang saya perkirakan belum begitu jauh dari gang rumah saya, tidak ketemu. Waduh, kalau bapak tua tadi adalah jelmaan malaikat yang sedang turun menguji watak isteri saya bagaimana? Bukanlah tidak tertutup kemungkinan, dalam menjalankan tugasnya, malaikat juga sesekali punya siasat berpakainan preman. Menyamar menjadi pengemis, atau ibu tua yang suatu siang kehabisan uang di sebuah terminal, atau menjadi bapak tua penjual lampu minyak...

Lain lagi cerita yang dituturkan seorang teman. Kala itu di kampungnya ada seorang tetangga yang baru saja panen padi. Di teras rumahnya ada beberapa karung gabah kering siap giling. Sementara, di ba’an ( halaman depan rumah yang diplester semen sebagai tempat menjemur hasil panen) ada terhampar butiran padi yang sedang dikeringkan dengan memanfaatkan panasnya sinar matahari. Datanglah seorang lelaki yang belum begitu tua. Dengan pakaian yang sedemikian rupa, plus gayanya, sudah bisa ditebak, ia adalah seorang pengemis.

Si tetangga teman saya itu paham betul akan maksud kedatangannya. Tetapi ia sedang punya maksud lain. Begini tanyanya kepada pengenis yang belum tua itu, “Kamu kuat memanggul sekarung gabah?”
Dengan wajah sumringah karena mengira akan diberi sekarung gabah, pengemis itu dengan mantap bilang, “Kuat, tuan. Saya tentu saja kuat memanggul sekarung gabah kering.” Dalam hatinya saya membayangkan pengemis itu sedang mengira-ngira harga sekarung gabah kering. Pastilah lumayan mahal.

Dan inilah pukulan telak dari si tuan yang sedang panen padi itu, “Kalau kamu masih kuat memanggul sekarung gabah, tentu tidak pantas kamu datang kesini hanya dengan menadahkan tangan meminta-minta begini....”

Dalam imajinasi, saya bisa membayangkan reaksi wajah kecut si pengemis, sekaligus senyum tajam si tuan.

TADI malam, melintaslah seorang pedagang tua di gang depan rumah yang memang buntu ini. Dari aroma yang mengepul plus suara semacam peluit yang khas, saya tahu dia penjual kue putu. Tetapi ketika saya baca tulisan di kaca gerobaknya, ternyata ia juga menjual kue klepon. Dua jajan tradisional yang memang saya suka. Sepertinya sudah lama sekali saya tidak makan putu. Untuk klepon, seminggu yang lalu saya masih membelinya di Gempol sana. Tetapi kali ini saya akan membeli klepon lagi. Suka sih...

Klepon itu, yang selalu diwarna hijau itu (semoga bukan pewarna terkstil), adalah jajanan berbahan tepung ketan yang dimasak sedemikian rupa, dengan taburan parutan kelapa, dan ketika kita memakannya dengan cara menjepit klepon itu pakai lidah yang ditekan kelangit-langit mulut, mak-ceplus, gula merah langsung pecah. Kenyil-kenyil, ada gurih dan ada manis...

Saya tunggu bapak tua itu di depan rumah. Karena gang ini buntu, setelah mentok di timur sana, pastilah ia akan balik kanan grak dan lewat lagi di depan rumah saya. Oh, rupanya ada tetangga saya yang juga mencegatnya. Tidak seperti saya, ia mengincar kue putu yang dengung asapnya menguarkan aroma pandan itu memang menggugah selera. 

Dari jarak sekitar lima meter dari tempat saya berdiri, saya lihat penjual tua dengan gerobak yang juga sudah tua itu cekatan sekali meladeni pembeli. Ia meletakkan adonan tepung ketan sebagai bahan jajan putu ke sebuah tabung bambu yang kemudian diletakkan di lubang yang mengeluarkan asap itu. Terus saja saya perhatikan cara memasaknya. Ya, kue putu itu dikukus. Ada semacam kaleng berbentuk kotak berisi air sebagai alat pengukusnya. Ada bagian kaleng yang muncul sekitar sepuluh centi dari permukaan meja gerobaknya. Dari situ saya tahu, kaleng itu bukan semacam alat pengukus khusus. Dari tulisan yang masih jelas saya baca, kaleng itu bekas wadah lem. Nah.

Saya menjadi kurang bernafsu membeli jajan ke penjual tua itu. Memang saya bukan bermaksud membeli putu yang ternyata dikukus pakai kaleng bekas wadah lem itu, saya nawaitu sedang akan membeli klepon. Tetapi warna hijau sebagai warna khas klepon, jangan-jangan sungguh memakai pewarna pakaian...

Niatan saya untuk menghargai seseorang yang dalam mencari rezeki masih mau bekerja dan tidak hanya meminta-minta, gara-gara kaleng lem itu, menjadi berantakan. Ini lebih karena saya terlalu banyak berpikir. Padahal, tadinya saya berniat untuk membantu, --kalau beruntung-- siapa tahu itu adalah malaikat yang sedang menyamar sebagai penjual klepon.

Pada situasi begitu, saya menjadi ingat sebuah ungkapan. Jangan menunda maksud baik yang keluar dari hati pertama kali. Karena biasanya itu murni. Dengan menunda beberapa saat saja, maka akan timbul pertimbangan-pertimbangan ini-itu, yang bisa jadi itu adalah bisikan setan. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar