SUATU pagi, dari dalam rumah, saya
mendengar isteri saya menolak dengan halus tawaran seorang penjual untuk
membeli dagangannya. Karena dialog singkat itu saya dengar dari dapur, saya
kurang mengerti apa barang dagangan yang ditawarkan kepada isteri saya itu. Begitu
saya keluar, sambil mengenakan sepatu untuk bersiap berangkat kerja, saya tanya
lebih rinci dialog yang saya dengar samar-samar itu.
“Itu, ada
bapak tua menjajakan lampu minyak yang dibikin dari bekas botol minuman
suplemen,” kata isteri saya. “Sebenarnya sih
kasihan; sudah tua, masih berjalan
menjajakan dagangan. Tetapi dagangannya itu, sungguh kurang berguna di zaman
serba listrik ini. Harganya lima ribu lagi.”
Tentu saya
bilang tindakan isteri saya itu kurang tepat. Kita harus menghargai seseorang
yang mau ‘bekerja’ dalam kondisi yang sudah renta. Ini bila dibanding dengan
orang yang usianya masih belum terlalu tua tetapi malah berkeliling dari rumah
ke rumah, masuk-keluar kampung dengan hanya menadahkan tangan; mengemis.
Dilihat dari sudut manapun, sekalipun lampu minyak itu sudah tidak zaman,
dengan membelinya, kita bisa menghargai sebuah jerih payah.
Sialnya,
sambil berangkat kerja, saya cari bapak tua yang saya perkirakan belum begitu
jauh dari gang rumah saya, tidak ketemu. Waduh,
kalau bapak tua tadi adalah jelmaan malaikat yang sedang turun menguji watak
isteri saya bagaimana? Bukanlah tidak tertutup kemungkinan, dalam menjalankan
tugasnya, malaikat juga sesekali punya siasat berpakainan preman. Menyamar menjadi
pengemis, atau ibu tua yang suatu siang kehabisan uang di sebuah terminal, atau
menjadi bapak tua penjual lampu minyak...
Lain lagi
cerita yang dituturkan seorang teman. Kala itu di kampungnya ada seorang
tetangga yang baru saja panen padi. Di teras rumahnya ada beberapa karung gabah
kering siap giling. Sementara, di ba’an ( halaman depan rumah yang diplester
semen sebagai tempat menjemur hasil panen) ada terhampar butiran padi yang
sedang dikeringkan dengan memanfaatkan panasnya sinar matahari. Datanglah
seorang lelaki yang belum begitu tua. Dengan pakaian yang sedemikian rupa, plus
gayanya, sudah bisa ditebak, ia adalah seorang pengemis.
Si tetangga
teman saya itu paham betul akan maksud kedatangannya. Tetapi ia sedang punya
maksud lain. Begini tanyanya kepada pengenis yang belum tua itu, “Kamu kuat
memanggul sekarung gabah?”
Dengan wajah
sumringah karena mengira akan diberi sekarung gabah, pengemis itu dengan mantap
bilang, “Kuat, tuan. Saya tentu saja kuat memanggul sekarung gabah kering.”
Dalam hatinya saya membayangkan pengemis itu sedang mengira-ngira harga
sekarung gabah kering. Pastilah lumayan mahal.
Dan inilah
pukulan telak dari si tuan yang sedang panen padi itu, “Kalau kamu masih kuat
memanggul sekarung gabah, tentu tidak pantas kamu datang kesini hanya dengan
menadahkan tangan meminta-minta begini....”
Dalam
imajinasi, saya bisa membayangkan reaksi wajah kecut si pengemis, sekaligus senyum
tajam si tuan.
TADI malam, melintaslah seorang pedagang
tua di gang depan rumah yang memang buntu ini. Dari aroma yang mengepul plus
suara semacam peluit yang khas, saya tahu dia penjual kue putu. Tetapi ketika saya
baca tulisan di kaca gerobaknya, ternyata ia juga menjual kue klepon. Dua jajan
tradisional yang memang saya suka. Sepertinya sudah lama sekali saya tidak
makan putu. Untuk klepon, seminggu yang lalu saya masih membelinya di Gempol
sana. Tetapi kali ini saya akan membeli klepon lagi. Suka sih...
Klepon itu,
yang selalu diwarna hijau itu (semoga bukan pewarna terkstil), adalah jajanan
berbahan tepung ketan yang dimasak sedemikian rupa, dengan taburan parutan
kelapa, dan ketika kita memakannya dengan cara menjepit klepon itu pakai lidah
yang ditekan kelangit-langit mulut, mak-ceplus,
gula merah langsung pecah. Kenyil-kenyil, ada gurih dan ada manis...
Saya tunggu
bapak tua itu di depan rumah. Karena gang ini buntu, setelah mentok di timur
sana, pastilah ia akan balik kanan grak
dan lewat lagi di depan rumah saya. Oh, rupanya ada tetangga saya yang juga
mencegatnya. Tidak seperti saya, ia mengincar kue putu yang dengung asapnya
menguarkan aroma pandan itu memang menggugah selera.
Dari jarak
sekitar lima meter dari tempat saya berdiri, saya lihat penjual tua dengan
gerobak yang juga sudah tua itu cekatan sekali meladeni pembeli. Ia meletakkan
adonan tepung ketan sebagai bahan jajan putu ke sebuah tabung bambu yang
kemudian diletakkan di lubang yang mengeluarkan asap itu. Terus saja saya
perhatikan cara memasaknya. Ya, kue putu itu dikukus. Ada semacam kaleng
berbentuk kotak berisi air sebagai alat pengukusnya. Ada bagian kaleng yang
muncul sekitar sepuluh centi dari permukaan meja gerobaknya. Dari situ saya tahu,
kaleng itu bukan semacam alat pengukus khusus. Dari tulisan yang masih jelas
saya baca, kaleng itu bekas wadah lem. Nah.
Saya menjadi
kurang bernafsu membeli jajan ke penjual tua itu. Memang saya bukan bermaksud
membeli putu yang ternyata dikukus pakai kaleng bekas wadah lem itu, saya nawaitu sedang akan membeli klepon. Tetapi
warna hijau sebagai warna khas klepon, jangan-jangan sungguh memakai pewarna
pakaian...
Niatan saya
untuk menghargai seseorang yang dalam mencari rezeki masih mau bekerja dan
tidak hanya meminta-minta, gara-gara kaleng lem itu, menjadi berantakan. Ini lebih
karena saya terlalu banyak berpikir. Padahal, tadinya saya berniat untuk
membantu, --kalau beruntung-- siapa tahu itu adalah malaikat yang sedang
menyamar sebagai penjual klepon.
Pada situasi
begitu, saya menjadi ingat sebuah ungkapan. Jangan menunda maksud baik yang
keluar dari hati pertama kali. Karena biasanya itu murni. Dengan menunda
beberapa saat saja, maka akan timbul pertimbangan-pertimbangan ini-itu, yang
bisa jadi itu adalah bisikan setan. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar