Kamis, 21 September 2017

1 Muharram di Tabanan

TAK salah kiranya saya memilih tempat tinggal sementara selama menjalankan tugas kerja di Tabanan, Bali, ini. Walau awalnya, tentu sangat disayangkan oleh atasan saya. “Yakin mau tinggal di tempat kayak itu?”, tanya Bu HRD yang baik hati saat saya memutuskan memilih tempat kost yang pertama ditunjukkan saja, setelah mencari tempat lain yang lebih layak untuk saya. Salah satunya di sebuah komplek kost yang secara tampilan luarnya saja sudah menggambarkan kelasnya. Tetapi, begitu Pak Komang (driver langganan perusahaan) membuka gerbang untuk bertanya, kami langsung disambut gonggong anjing. Hassuh tenan!

“Itu fasilitasnya cuma segitu lho”, lagi beliau mengingatkan agar saya menimbang ulang.

“Tapi itu dekat masjid, Bu”, saya beralasan. Sok alim ya? Hehe...

Begitulah. Jadilah saya tinggal di sini sudah (atau baru?) dua minggu ini, telinga yang biasa mendengar TOA masjid-musholla di tempat tinggal saya di Surabaya, tak terlalu rindu karena tak kehilangan suara serupa selama di Tabanan ini. Saya bisa jamaah sholat di masjid Agung Tabanan, dan malamnya cari makan di Pasar Senggol jalan Gajah Mada yang menu Jawanya terbilang komplit adanya. Pendek kata, telinga dan lidah saya tak ada masalah selama disini, kecuali hati yang selalu rindu anak-istri karena tak terbiasa pisah dalam rentang jarak dan waktu selama ini. Ini yang kadang bikin syedih (pakai syin).

Semalam, dalam memperingati tahun baru Hijriyah, saya ikut beristigotsah di Masjid yang walau berjuluk Agung tolong jangan dibandingkan dengan Masjid Agung Surabaya itu. Ingin menikmati pergantian tahun sambil mengaji, juga melihat bagaimana warga Islam disini menyongsongnya.

Seperempat jam sebelum adzan maghrib saya sudah disitu. Melihat beberapa warga datang membawa tumpeng dan uba rampe-nya. Yang tengahnya runcing berselimut daun pisang diberi bendera kecil. Makin menjelang maghrib, makin banyak yang datang, dan tak sebanyak jamaah sholat maghrib di hari biasa. Tumpeng-tumpeng yang datang ditata di serambi masjid adalah hal yang photoable. Dan celakanya saya sedang tidak membawa HP untuk memotretnya!

Masjid nyaris penuh oleh jamaah sholat maghrib. Laki-laki dan perempuan. Khusyu’ beristighotsah. Syahdu dalam doa. Tapi sesekali terdengar salak anjing di luar sana. Itu hal yang menyadarkan saya memang sedang ada di Bali, bukan di Rungkut, Surabaya.

Setelah istighotsah dan sebentar ceramah agama bertema hijriyah, dilanjut sholat Isya’, kami semua diminta naik ke lantai dua. Deretan tumpeng yang tadi ditata di serambi, rupanya telah dipindah ke lantai dua, yang biasanya dipakai tempat anak-anak kecil mengaji.

Saya lihat beberapa tumpeng disebar untuk diserbu. Satu tumpeng dirubung lima-enam orang. Makan bersama, dan tentu saja perut kami tak mungkin muat menghabiskannya. Dan lagi-lagi saya menyesal tak bisa memotretnya.

Hari ini, Kamis 21 September, hari libur. Dan, “Dekat kok kalau mau ke Tanah Lot, gak sampai tigapuluh kilo”, kata Pak Made, seorang teman di kantor tempat sementara saya bermarkas, menyarankan saya agar mengisi waktu libur hari ini dengan pelesir. “Masa sekian lama di Bali gak tahu mana-mana “, lanjutnya.

Saya yang memang bukan type orang macam itu cuma nyengir saja. Lalu ingat seorang teman kerja yang hobby sekali travelling. (Mbak Tantri, kita tuker tugas ya? :) )

Lagi libur, di Pulau Dewata pula, cuma gluntang-gluntung di kamar, dan tidak bersyahwat mencumbui sekujur lekuk tubuh pulau molek ini, memangnya masalah buat sampeyan?

Pintu kamar diketuk orang saat saya mandi. Seorang kakek asal Sumenep, tetangga kost, yang berdua saja disini bersama istrinya yang asli Jember, mengantar sepiring bubur Suro untuk saya. “Iya, agar kita semua selamat di sepanjang tahun nanti...”, kata istri kakek itu ketika saya berterima kasih seterimakasih-terimakasihnya kepada beliau atas pemberiannya.

Duhai, sepiring bubur hangat bertabur kacang goreng, kuah santan, telur dadar dan suwiran daging ikan itu, membuat saya makin makin mantap tak kemana-mana hari ini. Selamat tahun baru, kawan.


2 komentar: