Senin, 07 Agustus 2017

Tak Bisa ke Lain Honda

WALAU bukan penggemar Persebaya, saya ini pernah juga menjadi bonek. Kata apa yang pantas untuk menggambarkan mengajak putri Lamongan untuk menikah dengan hanya bermodal uang tak seberapa selain bonek; modal nekat? Ya tahun 1999 itu, dengan umur yang sudah duapuluh lima, makin telaten (telat jadi manten) makin menikmati jomblo yang pura-pura bahagia, makin jauhlah hasrat untuk menikah. Padahal kiamat makin dekat.

Dengan profesi saya sebagai pekerja bangunan dan istri sebagai buruh pabrik, kami benar-benar ingin membangun keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, sekaligus berusaha mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah yang tujuhpuluh kali disebut pembawa acara pada hajatan walimatul urusy yang diguyur hujan deras di kampung istri saya waktu itu.

Keluarga kecil memang iya. Rumah kost kami kecil sekali; hanya muat dipan dan satu lemari mungil dengan bonus selalu banjir setiap musim hujan. Bahagia? Ya iyalah. dibanding jomblo mana pun, orang sudah menikah itu niscaya lebih bahagia lahir batin. Sejahtera? Relatif. Makan kami memang tiga kali sehari, tetapi kalau menu andalannya hanya mie instant dan telur dadar yang dicampur tepung biar babar, itu adalah sebentuk ikhtiar. Agar kami segera punya motor.

Kemana-mana naik angkot sungguh berat. Apalagi setahun setelah menikah, kami dikaruniai momongan. Namun, syukurlah, berkat tirakat model mie instan dan telur dadar itu, akhirnya kami punya motor. Bukan motor sembarang motor. Tetapi motor Honda. Berjenis bebek. Namanya Astrea Grand 97.

Tahun 2000 itu, masa efek krisis moneter masih sangat terasa. Televisi tabung empat belas inchi yang sebelum krisis cuma empatratus ribu, harganya berlipat ganda. Maka, bebek saya itu, yang sudah empat tahun ditunggangi pemiliknya sebelumnya itu, saya deal dengan harga delapan juta rupiah! Sungguh mahal untuk ukuran motor bekas. Tetapi dengan kondisi mesin masih jos gandhos dan bodi yang masih semulus tubuh para personel girl band So-Nyuh Shi-Dae alias SNSD Korea yang sekadar isunya saja disini sudah bikin gaduh itu, saya nekat membayarnya. Padahal seandainya mau, dengan harga segitu, waktu itu saya sudah bisa meminang motor baru keluaran Tiongkok semisal Jialing, Sanex atau Dayang yang sedang membanjiri Indonesia.


Terbilang lama saya berpoligami dengan si Astrea Grad 97 itu. Sebagai istri kedua, ia begitu saya cintai. Lalu lama-lama timbul chemistry di antara saya dan dia. Sebagaimana istri pertama, si bebek itu pun sama sekali tak rewel. Dengan service berkala di sebuah bengkel langganan yang bukan AHASS di daerah Bratang, Surabaya, ia tidak pernah mogok, kecuali kalau ia sedang ingin bermanja-manja menggoda saya. Obatnya pun mudah dan sederhana; kalau bukan busi yang slilitan kerak, paling-paling karburator yang setelah kran saya tutup dan isi karburator saya tap, buka kran lagi. Langsung starter, greengggg... hidup lagi. Atau kalau dua langkah itu telah saya lakukan tetapi masih mogok juga, hal supranatural yang saya lakukan adalah dengan mengelap dua spionnya sampai kinclong. Setelahnya, dengan terlebih dulu membaca mantera sebisa saya, lalu saya starter. Ajaib; mesin motor kesayangan saya itu langsung tetep mogok.

Sepuluh tahun berselang, ketika istri saya makin tidak langsing ditambah polisi tidur di gang tempat tinggal saya yang rasanya makin gendut-gendut saja, membuat saat kami melewatinya, bagian bawah Astrea Grand 97 saya ini nggasruk. Sungguh tak nyaman, dan eman-eman. Lalu timbul keinginan untuk ganti motor saja. Yang lebih tinggi, yang lebih kini. Ancer-ancernya sudah ditentukan. Dan masih Honda pula. Tetapi, “Tunggu si kecil lahir dulu ya”, istri saya mengajukan syarat. Nanti, lanjutnya, kalau anak kedua kita ini lahir, barulah kita ganti motor.

Tahun 2010 anak kedua kami lahir, normal. Ya bayinya, ya persalinannya. Beberapa bulan setelahnya, kami membeli SupraX 125. Rem cakram depan belakang. Kombinasi warnanya seperti buah sogok thuntheng; merah hitam. Bagi saya ini elegan. Dan yang penting, sampai sekarang ia gak rewelan.

Nasib si Grand 97 akhirnya, walau terasa sangat eman-eman, saya jual dengan harga separuh dari saat pembeliannya dulu. Secara rupiah saya memang rugi, tetapi secara kenangan, tiada hitungan.

Dengan masih memegang teguh peribahasa 'rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya dan Juanda pangkalan udara', empat tahun setelah beli SupraX 125 itu, saya membeli motor matic. Sebagai penggemar lagu-lagunya Katon Bagaskara, termasuk yang Tak Bisa ke Lain Hati itu, rasanya saya tak bisa ke selain Honda. Saya memilih Vario125. Kenapa tidak Vario150? Yah, karena waktu saya membelinya, si 150 itu belum keluar.

Walau si kecil saya ngotot ingin yang warna merah, saya tak menyesal memutuskan beli yang warna putih kombinasi biru saja. Kalau merah, saya takut diduga sebagai simpatisan partai tertentu. Lha kalau putih kan netral. Sedang kombinasi biru, apa tidak identik Partai Demokrat itu? Oh, bukan, broh. Biru itu warna cinta. Gak percaya? Tuh, Via Vallen menyanyikan ulang lagu lawasnya Dayu AG dan Kitty Andry; Birunya Cinta. Atau lagunya Vina Panduwinata yang juga dinyanyikan ulang oleh Ruth Sahanaya yang judulnya Biru.

Sekarang, alhamdulillah, kami sudah punya rumah. Tidak lagi kost seperti dulu. Coba kalau dulu saya gak nekat nikah dengan modal dengkul, bisa jadi saya sampai kini tetap jomblo dan belum memiliki karunia rezeki sebesar ini. Istri yang makin ginuk-ginuk, anak yang ganteng-ganteng dan roda empat terparkir di garasi.

Roda empat? Avanza? Oh, belum; masih dua roda milik SupraX 125, dan dua roda lagi milik Vario 125. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar