Minggu, 14 Desember 2014

Parikan di Jalan

SAYA kurang paham betul kesenian Ludruk itu berasal dari Jombang atau Surabaya. Yang saya tahu, dalam ludruk ada segmen yang selalu ditunggu. Biasanya dimunculkan setelah tari remo dan paduan suara para 'wandu' yang berdiri berjajar setelah penari remo turun panggung.

Ya, Anda betul. Segmen itu adalah munculnya dagelan. Dalam ludruk, dagelan itu muncul sebagai penyegar. diawali dengan monolog yang ditingkahi jula-juli yang kadang bercampur pula dengan parikan, pantun khas ludruk.

Pada segmen dagelan ini, selain sebagai lucu-lucuan, jula-juli dan atau parikan yang disampaikan, tidak jarang mengusung pula pesan-pesan. Mulai pesan tentang keseharian sampai ke hal-hal yang sifatnya kerohanian. Saya jadi ingat cerita Cak Nun tentang Syiir Tanpo Waton Gus Dur yang selalu berkumandang dari surau-surau atau masjid menjelang waktu adzan itu. Entah ini serius atau hanya 'dagelan ala Jombang', dalam acara Kongkow Budaya yang ditayangkan AswajaTV itu, Cak Nun bilang, orang salah kalau menganggap lagu Syiir Tanpo Waton itu asli ciptaan Gus Dur. Yang benar adalah, karena sejak kecil Gus Dur suka nonton ludruk, belakangan, paduan suara 'wandu' yang biasanya bernyanyi selamat datang, para penonton, dst, dst' mengilhami Gus Dur untuk menggubahnya menjadi, akeh kang apal, qur'an hadits-e.... dst, dst.

Kalau ludruk identik dengan Suroboyo (sekalipun orang akan agak sulit menemukan tempat menonton ludruk di Surabaya ini selain di THR. Lebih-lebih bila dibandingkan dengan sangat mudahnya orang menemukan para penari Kecak atau Janger di Bali), mau tidak mau, jula-juli dan parikan turut pula menjadi ciri khas kota Pahlawan ini. Tak terkecuali yang dilakukan pihak berwenang dalam kampanye keselamatan berlalulintas. Harapannya jelas; pesan yang dibungkus dengan bahasa 'ludruk' plus ditambah kartun berwajah Suro dan Boyo, akan bisa dilirik dan dibaca para pengendara untuk kemudian diterapkan dalam berlalulintas.*****

wandu: adalah laki-laki yang berdandan sebagai perempuan. Dalam ludruk, semua pemainnya adalah laki-laki, sehingga semua tokoh perempuan dalam lakon ludruk selalu yang memerankannya adalah laki-laki yang bergaya kemayu laksana perempuan betulan. Karena begitu menjiwai sebuah peran atau sebab lain, sering sekali lelaki pemeran perempuan itu dalam kehidupan nyatab di luar panggung tetap saja bergaya kemayu dan memainkan mata secara genit ketika melihat laki-laki tampan. Itu dulu, entah kalau sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar