DARI sekian
banyak peristiwa sepekan ini, salah satu yang menjadi perhatian banyak orang
adalah kecelakaan di tol Jagorawi seminggu yang lalu yang melibatkan AQJ, anak
umur 13 tahun putra musisi kondang Achmad Dani. Tentang kecelakaan di jalan yang
mengakibatkan sejumlah orang tewas, bukan pertama kali itu terjadi. Tetapi ketika
sang pengemudi adalah anak di bawah umur yang mengendarai mobil pada tengah
malam di saat anak lain seusianya terlelap dibuai mimpi, inilah daya tariknya. Yang juga menjadikan peristiwa ini
menarik diberitakan adalah karena ia anak selebrita.
Ada memang yang berpendapat dan meramalkan kasus ini akan pelan-pelan
menguap seperti peristiwa kecelakaan yang melibatkan anak seorang petinggi
negeri yang juga merupakan besan orang penting negeri ini. Bagi yang memercayai
dugaan ini, sepertinya yakin bahwa kebebasan di negeri ini memang sudah
sedemikian dahsyatnya. Seperti halnya orang bebas bicara, uang pun bisa bicara!
Saya tak terlalu tertarik menelisik –apalagi menarik-narik Sampeyan—untuk mengamini pendapat itu. Langkah
ringan untuk membuktikan dugaan itu benar atau tidak hanyalah dengan menunggu
ke mana buntut kasus itu nanti akan menuju. Jadi bersabarlah sedikit.
Sambil menunggu itu, mari kita membuktikan teori yang
mengatakan bahwa di balik setiap peristiwa pasti akan ada hikmahnya. Dan tengoklah
ke sekitar, hikmah yang mulai menampakkan diri yang dilatarbelakangi peristiwa
maut itu adalah; di jalanan polisi melakukan razia kepada para pengemudi kendaraan
bermotor yang masih usia sekolah. Sepertinya polisi harus lebih banyak lagi
menyediakan surat tilang bila hal ini benar-benar terus dilakukan. Karena,
sudah menjadi pemandangan lumrah, banyak sekali anak sekolah yang menggunakan
motor (atau mungkin mobil) sebagai kendaraan ‘dinas’-nya, padahal secara usia
mereka belum waktunya memiliki SIM.
Secara ekonomis perhitungannya jelas; daripada naik angkot,
biaya naik motor untuk berangkat dan pulang sekolah tentu lebih hemat. Tetapi efek
samping dari anak-anak sudah dipegangi kendaraan sendiri juga tak kalah
jelasnya. Seringkali saya mendapati anak masih berseragam sekolah sehabis
maghrib masih santai-santai di pinggir jalan tak langsung pulang ke rumah. Tetapi
kongkow-kongkow bareng teman-teman laki-perempuan dengan tujuan yang bagi saya kurang jelas.
Saya agak pesimistis tentang gebrakan polisi dalam merazia
pelajar berkendara motor/mobil ini. Bukannya apa-apa, sudah seringkali dalam menyikapi
sesuatu kita ini hanya hangat sesaat. Lalu lambat laun kembali ke ‘selera asal’.
Ingatlah, ketika baru terjadi pengeboman oleh teroris di sebuah hotel, uh di tempat-tempat sejenis langsung petugas
security-nya luar biasa teliti dalam memeriksa mobil yang keluar-masuk. Polisi pun
terlihat makin ketat di mana-mana. Sebulan dua bulan, setahun dua tahun, ketika
hal yang dikhawatirkan tak jua terjadi, kita-kita ini menjadi lengah lagi. Longgar
lagi. Lalu, bumm... bom meledak lagi!
Begitulah, sepertinya dalam menegakkan yang seharusnya
ditegakkan kita-kita ini membutuhkan semacam obat kuat agar kewaspadaan dan ketaatan dalam menjalankan
peraturan menjadi tahan lama dan tak gampang loyo. Bukan sekadar suam-suam tahi
ayam. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar