Rabu, 22 Februari 2023

PIN Google AdSense, 6 Angka Keramat

SEPERTI halnya awal ngeblog, saya mainan Youtube mulanya juga asal saja. Tentang ini tentu bisa dilihat dari posting awal di kanal saya. Sama sekali tiada istimewanya. Tiada konsep yang jelas, tiada pula jadwal upload yang rutin. Pokoknya sesukanya saja.

Sama halnya (sekali lagi) postingan saya di blog, kok yang mengintip dan berkomentar lumayan ada saat saya membahas tentang televisi. Padahal, terus terang, saya ini sama sekali tidak bisa elektronika, pula tak ada latar belakang begituan. Belajar tracking sinyal satelit lewat baca-baca atau nonton Youtube. Demikian pula mencari sinyal tv digital. 

Baiklah, lalu saya bikin konten di kanal Youtube saya sebagian besar membahas tentang siaran televisi. Toh, ini 'hanya' mengubah mediumnya saja. Bahasannya sama: televisi. Hanya yang awalnya berbentuk tulisan di blog menjadi berbentuk audio-visual yang disebarluaskan melalui platform digital yang namanya Youtube.

Secara usia saya ini sudah tidak muda, namun secara Youtuber saya ini baru anak kemarin sore, pemula sekali. Alhamdulillah secara jam tayang dan secara jumlah subscriber sudah memenuhi syarat untuk dimonetisasi.

Norek bank, ID, dan alamat domisili sudah saya kirim. Semua sudah diverifikasi, kecuali alamat saja yang belum terverifikasi. Tentang ini harus menunggu kiriman surat sakti berisi 6 angka keramat: PIN Google AdSense yang kemudian harus diisikan pada form di akun Google AdSense saya.

Menunggu datangnya itu rasanya melebihi menunggu datangnya belanjaan online yang tak kunjung datang. Bedanya lagi, belanjaan online kita bisa lacak sudah sampai mana berdasar nomor resi. Lha si PIN Google AdSense ini dikirim dari negeri jiran Malaysia tanpa disertai nomor resi. Bagaimana melacaknya coba! Dan bagaimana pula kalau surat itu nyasar ke rumah Kak Ros atau Abang Saleh di Kampung Durian Runtuh?

Terhitung dua kali saya ke kantor pos untuk mengambil (mungkin tepatnya mencari tahu) surat dari Google AdSense itu. Hasilnya: zonk! Dicari oleh petugas di ruang ekspedisi, kiriman untuk saya itu tidak, eh belum datang ding!

Sebelum meninggalkan kantor pos, saya meninggalkan nomor telepon kepada petugas pos yang biasa menangani kiriman Google AdSense. Agar bila si PIN AdSense itu datang, bisa mengabari saya. 


Lebih lima purnama tiada kabar. Sejak belum musim lato-lato sampai selesai sidang tingkat pertama kasus Sambo. Belum ada pemberitahuan dari kantor pos. Sampailah kemarin siang kabar itu datang. Via WA, petugas pos berkirim pesan, juga ada disertakan foto amplop berlogo Google untuk saya: bahwa kiriman dari Malaysia itu sudah tiba. Urrraa...‼️

Secara pemberitahuan via email, sebenarnya surat dari Google AdSense ini adalah yang kedua. Yang pertama dikirim tanggal 23 September tahun 2022 kemarin. Sampai empat bulan belum juga datang. Nah, yang saya terima barusan ini adalah kiriman tertanggal 23 Januari 2023.


Tak mau mereka-reka surat pertama itu nyasar ke Kak Ros atau siapa, saya bergegas membuka. Merobek sampulnya, dan menemukan 6 angka keramatnya. Sat-set das-des saya masukkan ke akun Google AdSense saya. Clink, lengkap sudah. IDV dan alamat saya langsung terverifikasi.*****



Sabtu, 15 Oktober 2022

Berita TV Berita

MINGGU lalu, dalam mengakhiri membaca berita di KompasTV, Aiman Witjaksono juga pamit. Bukan pamit untuk esok bertemu lagi di Kompas Malam, misalnya. Tapi pamit betulan. Iya, pamit resign dari KompasTV

Orang tv berita pindah-pindah adalah hal lumrah. Lihat CNN Indonesia. Orang-orang dari tv berita, atau paling tidak orang pemberitaan di televisi hiburan, banyak yang ngumpul disana. Mulai Desi Anwar, Putri Ayuningtyas, dan berderet nama lainnya. Kania Sutisnawinata juga pernah hengkang ke Bloomberg tv, dan ketika Bloomberg TV Indonesia cuma bertahan mengudara seumur jagung dan lalu gulung layar, Kania balik lagi ke MetroTV. Don Bosco Selamun, pun demikian. Pernah di SCTV, lalu ke MetroTV, lalu ke BeritaSatu, lalu balik lagi ke MetroTV.

Banyak nama orang pemberitaan di tv Indonesia yang punya posisi moncer, barangkali tak begitu saja bisa lepas dari Karni Ilyas. Misal, saat si pemilik suara serak itu masih pemred di Liputan6 SCTV, Don Bosco masih wakilnya. Rosiana Silalahi, Arief Suditomo atau Ira Kusno, Alvito Deanova, Bayu Setiono masih News Anchor-nya.

Kini  Rossi pemred KompasTV, Arief Suditomo (selepas dari pemred di RCTI dan sempat jadi anggota DPR), sekarang pemred di MetroTV.

Balik ke Aiman. Serara waktu, ia lama di Seputar Indonesia RCTI. Beberapa waktu sebelum ke KompasTV, sempat saya lihat Aiman membaca berita di TVRI. Sayang saya tak sempat memotretnya. Kini Aiman sudah keluar dari KompasTV. Kemana?

Kamis, 18 Agustus 2022

Farel Prayoga dan Fenomena Lagu Dewasa oleh Anak-anak

banyak nyamuk di rumahku
gara-gara aku 
malas bersih-bersih

Salain lagu itu, ada juga yang ini:

semut-semut kecil
saya mau tanya
apakah kamu di dalam tanah
punya mama-papa

Atau;

diobok-obok airnya diobok-obok...

Ingat syair lagu itu?
Baiklah. Namun sekarang, entah saya yang kurang perhatian atau apa, makin jarang anak-anak punya lagunya sendiri, ya lagu anak-anak. Ataukah memang tak ada lagi pencipta lagu macam Papa T. Bop yang dulu produktif menciptakan lagu anak-anak yang sesuai dengan umur anak-anak. 

Kini?
Anak-anak 'diobok-obok' lagu dewasa, yang trenyuhnya, dinyanyikan oleh anak-anak dengan riang gembira. Ya semacam lagu cinta-cintaan. Anak-anak menyanyikan (atau sekadar  mendengar ---tapi sering-- lagu-lagu macam itu) jangan-jangan membuat anak-anak mengalami pendewasaan dini. 

Kambing paling hitam yang patut ditunjuk batang hidungnya adalah gawai, gadget. Perangkat mungil tapi bisa menampilkan apa saja, kepada siapa saja. Termasuk fenomena anak bernama Farel Prayoga.

Kamis, 12 Mei 2022

Siaran TV Digital Surabaya, Update Terbaru

ASO (Analog Switch Off) ditunda. Walau tidak semua area. Setelah sekian lama ditunggu. Padahal jauh hari sudah dijadwalkan. Malah pakai hitung mundur segala. Start-nya jelas. Tanggal 30 April 2022.  Artinya, per tanggal 1 Mei 2022, beberapa wilayah itu siaran tv analognya mati. Dimatikan. Serentak. Tetapi, sebagaimana terjadi, kematian serentak itu urung terjadi. Hanya sebagian kecil yang dimatikan analognya. Lainnya menunggu lagi. Dengan beragam alasan. Namun sampai kapan?

Jadilah beberapa teman yang gegap gempita secara sukarela mensosialisasikan ASO itu di sosmed, jadi gimanaaa gitu. Malu? Mungkin. Apalagi, sebagaimana hal apapun, pasti ada yang kontra. Yang kemudian menjadi saling sindir. Antara pemerhati dan pendukung migrasi analog ke digital, dengan kelompok jalur wajan, jalur digital langit. Yang sedari awal gak yakin ASO akan mulus. Bahkan, diantara mereka ada yang tidak percaya siaran digital terrestrial ini gratis selamanya. Padahal, secara legal formal, siaran digital ini terang-terangan mendaku sebagai FTA. 

Setelah 'geger rada gedhen' tempo hari, kini pelahan tensi mereda lagi. Semua ngaso membahas ASO. Walau ada selentingan beberapa televisi akan melakukan ASO mandiri. SBO yang kini berbendera Jawa Pos TV termasuk yang dikabarkan telah menyuntik mati siaran analognya. Maaf, saat saya menulis ini, saya belum mengeceknya.


Update Siaran TV Digital Surabaya di kanal
Youtube saya. Subscribe ya.... 😊

Kalau di area Surabaya sendiri, belum ada penambahan channel lagi di kanal digital. Masih 29, dengan NET. belum nongol. Untuk tv lokal Surabaya, setelah ArekTV on air di MUX Viva, praktis tinggal SurabayaTV yang belum. Eh, tapi... apakah SurabayaTV masih mengudara di jalur analog ya? Ataukah ia, dengan gaungnya yang tak terdengar, sedang mati suri?

Baiklah, berikut daftar MUX dan channel yang sudah mengudara di kanal digital untuk area Surabaya;

-MUX Viva (ch. 23/490 MHz): antv, tvOne, ArekTV

-MUX Media Grup (ch. 25/506 MHz): MetroTV, Magna Channel, BNTV, TV9, MaduTV, BBSTV, Jtv, Jawa Pos TV

MUX Trans Grup (ch. 27/522 MHz): Trans7, TransTV, CNN Indonesia, CNBC Indonesia.

MUX Emtek (ch. 29/538 MHz): SCTV, Indosiar, O Channel, MentariTV, RTV, KompasTV

MUX TVRI (ch 35 / 586 MHz): TVRI Nasional, TVRI Jatim, TVRI 3 TVRI Sport

MUX MNC Grup (ch. 41/634 MHz): RCTI, MNCTV, GlobalTV, INews

****

Rabu, 04 Mei 2022

Mudik

SEPERTI biasa, saya mudik lebaran di hari ke dua. Hari pertama masih harus kerja. Bahkan kemarinnya, di malam takbiran, juga masih harus piket. 

Namun, setelah dua kali lebaran pemerintah membuat pembatasan, pun untuk urusan mudik dan juga sholat id, kali ini: brol. Dilepaskan. Maka di televisi saya lihat orang terpaksa sampai bermalam di pelabuhan penyeberangan, saking antrenya. Saking membludaknya pemudik.

Sebelumnya, demi mudik ini, apapun dilakukan. Termasuk dijus pakssin buster. "Tapi di perjalanan sama sekali tidak ada ditanyakan. Juga di penyebetangan", kata teman saya yang mudik ke Singaraja.

"Selamat, sampeyan kena prank. Wkwkwk," goda saya.

 
Istri dan anak-anak saya ajak istirahat
sejenak di 'hotel Merah Putih'.
Maaf, wajah saya diwakili oleh
penampakan helm saja.😊


Saya juga mudik, tapi tak sejauh para pemudik yang dengan riang menulisi bagian belakang kardus bawaannya dengan aneka tulisan genuine dan lucu, walau ada pula yang wagu. Ada yang Jakarta-Sragen, atau mBogor-Purwodadi. Saya dekat saja. Ke nJember. Tapi, baiklah, saya akui. Pinggang dan pantat saya bukan muda lagi. Menempuh jarak mudik yang hanya 200 km kurang dikit itu, berkali-kali harus menepi. Mendinginkan pantat. Sekaligus ngeluk boyok, terlentang di bangku warung yang sedang tutup, ditinggal pemiliknya libur lebaran.

Perjalanan mudik saya kali ini (pakai roda 4, tapi terpisah, jadi dua) terbilang lancar. Setidaknya dari Surabaya sampai Leces. Karena selepas pertemuan antara yang keluar dari pintu tol dan yang dari jalur arteri, barulah ada sedikit tersendat. 

Saya juga agak senang. Pasar Gedang Lumajang belum ada aktifitas berarti. Artinya kemacetan di situ belum terjadi. Padahal kalau pasar sudah normal, macetnya juga ampun-ampun. Namun, apakah lalu kalau itu nyaris saban hari terjadi, bisa dianggap kenormalan belaka? Sampai ada di antara pengguna jakan menilai ada unsur pembiaran atas situsasi itu. Pembiaran terhadap para pedagang yang lebih suka berjualan di tepi jalan dan enggan melakukannya di dalam pasar. Sekaligus pembiaran arus lalu lintas tersendat dan cenderung macet dan secara tidak langsung mengajak kita untuk mafhum. Ah, embuhlah.

Sekarang musim mudik. 

Tapi mudik harus tetap prokes, alah mbel apa? Jangankan manut anjuran halal bi halal boleh asal meniadakan makan bareng dan ngobrol, lha wong di kampung saya pakai masker saja sudah tiada temannya. Kecuali anak istri. Pokoknya di desa sudah los dol.

Kalau sudah begitu, apa ya tega tak menyambut uluran tangan sanak saudara dan para tetangga untuk saling salaman? Ndak-lah. Sekarang idul fitri. Saat tepat bermaafan. Lahir-batin.*****


Rabu, 27 April 2022

Ramen

 


TADI malam dibelikan si mbarep makanan yang dipesan secara daring. Sebagai penganut sekte 'pantang menolak walau perut sudah relatif penuh', si ramen itu akhirnya saya carikan tempat di sela-sela rongga lambung. 

Sepertinya lambung saya tetaplah lambung ndeso. Yang hanya akrab dengan nasi pecel, lalapan, sayur kelor atau paling banter rawon dengan subalan irisan labu siam sekwintal.

Bukannya tentram sentosa, perut saya semalaman malah mulas terus dengan ramen yang langsung saya tunjuk sebagai kambing hitamnya. 

Benar saja, dari sejak sahur tadi, telah berkali-kali saya ke belakang; masur-masur. Ramen, yang di lidah saya terasa belum familiar, di lambung rupanya ia malah dikenali sebagai barang asing.

Kalau saja tadi malam saya tidak maksa memakannya, bisa jadi pagi ini saya ramencret!

Selasa, 26 April 2022

Ibu Negara


BEGINILAH ritual buka puasa dan makan sahur kami. Lesehan. Agar membumi, oh bukan. Kami memang tak punya meja makan. Namun bukan itu yang hendak saya ceritakan. Tetapi peran seorang diantara kami yang terasa makin vital saja saat puasa begini. Karena, tanpanya, semuanya akan fatal.

Ia, yang sejak pagi merancang menu apa hari ini, lalu mengeksekusinya sampai menjadi hidangan siap makan, yang secara ajaib taburan garam dan lainnya terasa selalu pas walau tanpa diincipi, sungguh: chef Renata saja akan minggir!

Walau demikian, saat maghrib tiba, ia hanya meneguk air saja, sekadar membatalkan puasa, lalu pergi ke musholla di saat saya memimpin anak-anak secara berjamaah melakukan balas dendam setelah seharian menahan lapar dan dahaga.

Ia yang memasak, ia yang makan belakangan., termasuk melanjutkan efek samping: cuci piring dan sebangsanya. Pendek kata, ia yang bangun paling awal, ia pula yang selalu tidur paling akhir.

Pada tengah malam, saat saya terjaga dan melakuan 'buka puasa sesi dua', saya lihat ia tidur dengan kening bergambar rencana menu besok hari. Selalu begitu. Pada titik demikian, nikmat Tuhan manakah yang hendak saya dustakan: memiliki Ibu Negara yang kalau saja ia bangun kesiangan, niscaya kami serumah tidak ada yang makan sahur. ***

Kamis, 24 Maret 2022

Satu STB untuk Dua Televisi

LAMA sudah kabar migrasi dari televisi analog ke siaran televisi digital ini digaungkan. Sayangnya, gaung itu sempat laksana suara yang dibunyikan dari kejauhan nun disana. Timbul, tenggelam. Lalu ditanggapinya pun secara sayup-sayup saja. Kalah oleh heboh-heboh hal lain, toh siaran tivi tetap mengudara. Analog. Kadang dapat bonus gambar bersemut, dan suara mendesis.

Ketika sebuah gaung tak bersambut (oh, itu gayung ya?) lambat laun kemudian ada yang nakal meramal: jangan-jangan migrasi siaran televisi dari analog ke digital (yang secara teknologi meruoakan keniscayaan ini) batal. 

Sebuah prediksi sembrono yang sebentar lagi terbukti tak terbukti. Buktinya, per tanggal 30 April tahun 2022 ini di beberapa daerah akan mulai penyuntikan mati siaran televisi analog. Semoga suntikan itu benar-benar mematikan. Sehingga, LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) yang tak ma(mp)u bersiaran digital, menjadi tak berani main ulur kematiannya dengan tetap genit mengudara di kanal analog. Saya kira deadline-jelas, semoga didukung oleh pendukung lsin yang yang juga tegas: pokoknya siaran televisi analog tidak boleh lagi mengudara. Titik. Tak ada Sandora. 

Toh telah banyak masyarakat yang pesawat televisinya sudah support DVB-T2. Juga, beberapa LPS telah pula mulai membagikan STB gratis untuk keluarga dengan ktiteria tertentu. 


☝️
Versi Youtube dari topik yang sama.

Namanya dikasih, satu unit STB cukuplah. Tetapi kalau di rumah pesawat televisinya ada dua, satu LCD, satu lagi tivi tabung. Gimana dong agar keduanya masih bisa ditonton?

Senin, 20 Desember 2021

Kebelet Kiblat

Saat saya makan di warung gudeg Jogja
jalan Teuku Umar, Denpasar.

WALAU
saya ini sudah puluhan tahun bekerja di sebuah tempat --yang management kami acap menancapkan faham kepada setiap karyawan bahwa--berkelas bintang lima (padahal menurut saya --setuju tidak setuju-- sudah amat sangat pantas naik kasta menjadi bintang tujuh, karena tiap awal bulan telah berjasa membuat saya tidak terlalu sakit kepala, walau di tanggal empat uang gaji saya tinggal seperempat), saya ini tetap saja orang katrok. Ndesit. Dan, belum pernah menginap di hotel berbintang. Kalau makan di hotel berbintang sih pernah. Saat menjadi 'pemain pengganti' (karena kabag yang kudunya hadir, berhalangan) untuk menghadiri sebuah forum membahas suatu program atau semacam pelatihan.

Acara training-nya sih biasa, saat makan ala hotel itu yang luar biasa. Luar biasa canggung, maksud saya. Pernah sih, setelah lirak-lirik kanan-kiri, nyontek menu yang diambil orang-orang, saya ikutan. Namun apa daya, lidah saya ini adalah lidah ndedo-kesakeso, makanan ala hotel yang saya bayangkan semua mak-nyus, malah terasa pating klenyit tak karuan di lidah saya. Tahu gitu, tadi saya memilih nasi goreng atau sate saja. Menu makanan yang menurut lidah saya adalah pemuncak abadi klasemen dari semua jenis makanan di alam fana ini.

Sabtu, 30 Oktober 2021

Antena Indor Andal untuk TV Digital

SECARA kepastian, walau karena pandemi, yang semula dijadwal dimulai bulan Agustus tahun ini diundur start-nya menjadi April tahun 2022, namun deadline-nya tetap. Analog Switch Off akan dilakukan pada 22 November 2022. Berarti persis setahun lagi bila dihitung dari saat saya membuat tulisan ini.

Artinya apa?

Setelah bertahun-tahun serasa di-PHP, semoga geliat dan progress migrasi siaran tivi dari analog ke digital benar-benar akan terjadi. Dan sepertinya memang akan segera terjadi. Sehingga kita bisa segera berdada-dada mengucap selamat tinggal siaran tivi dengan gambar kepyur bersemut. Menuju era tivi bergambar glowing, clink dan bening! Kalau menurut si Modi yang muncul di sudut layar kaca: Bersih, jernih, canggih!

Menyongsong era itu, para pelaku usaha telah menyambutnya dengan -bisa diintip dari aneka kebutuhan yang terkait dengan itu- mulai marak di pasaran. Dari mulai produsen pesawat tivi yang kabarnya akan segera berhenti memproduksi pesawat tivi analog, dan segera total memproduksi tivi digital, bahkan mulai dari ukuran inch yang biasa dijangkau kelas menengah, aneka merk STB yang membanjiri pasaran membuat harga makin membumi, termasuk tersedianya aneka merk antena yang mendaku sebagai antena khusus digital.

Senin, 02 Agustus 2021

Kampung Bendera Surabaya

KALAU di Rungkut ada Kampung Kue dan di Tenggilis ada Kampung Tempe, maka di Darmorejo, di ujung jalan Darmokali arah Wonokromo, ada Kampung Bendera. Dan kemarin sore, saya sengaja mampir kesitu.

Bu Cici sedang menjahit pesanan hiasan
tujuhbelasan di lapaknya.

Melihat geliat aktifitas yang marak. Maklum, telah masuk bulan Agustus. Aneka pernak-pernik tujuhbelasan ada dijual disini. Mulai umbul-umbul, bendera aneka ukuran, tiang bendera, lampu kelap-kelip dan sebagainya.

Tidak hanya tersedia barang jadi, namun ada beberapa perajin pernak-pernik yang sekalian mengusung peralatan jahitnya di lapaknya. "Iya, kami juga menerima pesanan. Ini saya juga lagi menjahit barang pesanan", Bu Cici, salah satu perajin pernak-pernik yang menggelar dagangannya di kios sederhana di tepi jalan Darmokali, menjelaskan saat saya tanya.

Iya memang, demi estetika dan agar telihat makin cantik, ketika menghias meja resepsionis sebuah hotel, misalnya. Tentu akan lebih manis kalau pernak-pernik tujuhbelasannya dipesankan. Bukan beli jadi. Agar ukurannya bisa pas. Bisa proporsional dengan ruang atau bidang yang akan dihias.

Agustusan tahun ini adalah Agustus kedua di tengah masa pandemi. Dengan ekonomi yang makin sulit, pembatasan kegiatan, serta aneka dampak pageblug Covid lainnya, ternyata animo masyarakat untuk belanja pernak-pernik tujuhbelasan tidak pudar.


"Mulai kemarin alhamdulillah sudah ramai", sambil menjahit, Bu Cici menerangkan. "Agustus tahun lalu penjualan juga bagus".

Si Covid memang ada. Dampaknya pun demikian. Namun, melihat geliat KampungBendera, dengan segala dinamikanya, saya menemukan secercah cahaya. Bahwa, ketika orang-orang masih berbelanja bendera dan atau pernak-pernik merah-putih lainnya, tentu itu yang akan dikibarkannya. Sang dwi warna. Merah-putih.

Bukan malah hanya mengibarkan kaih putih. Menyerah. 

Tujuh puluh enam tahun sudah Indonesia merdeka. Semoga, tak lama lagi kita juga segera terbebas dari cengkeraman si Corona. 

Merdeka !!!*****


Minggu, 25 Juli 2021

Dari Positif ke Negatif

DUA konten video terbaru saya di YouTube perihal pengalaman saya PCR dan hasilnya, sementara saya 'kunci' dulu. Saya setting hanya bisa saya tonton sendiri. Bukan apa-apa. Persepsi orang tentang Covid ini kan macam-macam. Ada yang tingkat 'keparnoannya' berlebihan, ada yang wajar, sampai ada yang masa bodo.

Menghindari penyikapan yang keliru, saya pikir, lebih baik konten itu saya 'amankan' dulu. Nantilah kalau situasi sudah 'aman terkendali' konten itu akan saya publish. Kalau saat ini dan dilihat tetangga atau orang dekat yang pemahamannya tentang covid ini masih kurang semestinya, tentu bisa menimbulkan hal yang tak perlu. Bisa-bisa saya dijadikan bahan --seperti judul lagunya Elvie Sukaesih-- bisik-bisik tetangga, misalnya.😊

Tidak usah diasingkan, selama menunggu hasil PCR tempo hari itu, saya sudah mengucilkan diri sendiri (baca: isoman). Secara suka rela. Lagian, siapa sih yang mau ketempelan si covid ini. Terlebih, tentu saya sangat tidak ingin orang terdekat saya ikut kepapar dan sumber paparan itu dari saya. 

Saya isi waktu selama isoman itu dengan hal-hal yang positif. Yang tadinya saya ini gak bernah berolahraga, kini menjadi lumayan rajin lari pagi: 30 menit sampai satu jam.

Hari itu tiba juga. Saat mana saya menerima hasil test PCR. Hasilnya? Po-si-tif.