Selasa, 26 April 2022

Ibu Negara


BEGINILAH ritual buka puasa dan makan sahur kami. Lesehan. Agar membumi, oh bukan. Kami memang tak punya meja makan. Namun bukan itu yang hendak saya ceritakan. Tetapi peran seorang diantara kami yang terasa makin vital saja saat puasa begini. Karena, tanpanya, semuanya akan fatal.

Ia, yang sejak pagi merancang menu apa hari ini, lalu mengeksekusinya sampai menjadi hidangan siap makan, yang secara ajaib taburan garam dan lainnya terasa selalu pas walau tanpa diincipi, sungguh: chef Renata saja akan minggir!

Walau demikian, saat maghrib tiba, ia hanya meneguk air saja, sekadar membatalkan puasa, lalu pergi ke musholla di saat saya memimpin anak-anak secara berjamaah melakukan balas dendam setelah seharian menahan lapar dan dahaga.

Ia yang memasak, ia yang makan belakangan., termasuk melanjutkan efek samping: cuci piring dan sebangsanya. Pendek kata, ia yang bangun paling awal, ia pula yang selalu tidur paling akhir.

Pada tengah malam, saat saya terjaga dan melakuan 'buka puasa sesi dua', saya lihat ia tidur dengan kening bergambar rencana menu besok hari. Selalu begitu. Pada titik demikian, nikmat Tuhan manakah yang hendak saya dustakan: memiliki Ibu Negara yang kalau saja ia bangun kesiangan, niscaya kami serumah tidak ada yang makan sahur. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar