Sabtu, 21 September 2019

Memori Bubur Suro

HARI ini Facebook mengingatkan, bahwa saya pernah memposting gambar sepiring bubur Suro. Dua tahun yang lalu, demikian kata Efbi. Padahal, secara pastinya saya lupa. Namun demikian, tentu saya tak akan melupakan momen yang menyertai itu.

Saat itu, di Tabanan-Bali, saya kos di tempat yang sangat biasa. Malah terkesan murahan dengan rentetan fasilitas yang... ya gitu deh. Kamar berderat, ada tujuh, semua menghadap selatan. Kamar terbesar hanya berukuran tiga kali tiga setengah meter termasuk kamar mandi dan WC (yang sering mampet) di dalam dan tanpa tambahan lainnya.

Tiada kipas angin apalagi AC, saya terbantu oleh hawa Tabanan yang relatif sejuk ketimbang asal rumah saya, Surabaya.

Tetangga kanan-kiri kamar saya berprofesi sebagai macam-macam. Ada pegawai minimarket, ada sopir toko bangunan, juga ada para perempuan yang suka berdandan menor berbusana ekhm, ekhm... yang kalau siang di rumah, tapi kalau malam entah kemana. Juga, ada sepasang kakek-nenek tua yang selepas subuh selalu telah berangkat kerja berdua. Berboncengan Honda Prima yang telah uzur usianya.

Kepada para tetangga itu, sebisa mungkin saya baiki semua. Setengah tahun lebih kos disitu, alhamdulillah, kami baik-baik saja. Dan sejauh itu pula saya tak pernah bercerita apa sejatinya pekerjaan saya di Bali. 😉

Baiklah, saya fokus saja. Bukan tentang para perempuan aduhai tetangga saya itu. Yang cara merokoknya terlihat mahir betul. Dan sebagainya, dan sebagainya. Namun tentang kakek-nenek itu.


Mereka seasal dengan tempat kelahiran saya. Jember. Menjadikan kami sering berbicara pakai bahasa Madura. Dari bincang-bincang itu, saya jadi tahu pekerjaannya; pencari rumbut ilalang.

Rumput liar itu sering mereka dapatkan di lahan nganggur milik warga. Lalu dibelinya. Secara borongan. Kalau beruntung, mereka mendapatkan secara cuma-cuma, gratisan. "Rezeki", kata si kakek sambil menghisap rokok 'tingwe', melinteng dhewe. Rokok buatan sendiri.

Rumput ilalang itu dijual kalau sudah kering. Masih berbentuk rumput kering saja, tanpa dianyam. Nantinya, rumput ilalang kering itu akan dipakai untuk atap tempat-tempat tertentu di Bali.

"Harganya limabelas ribu perikat besar rumput kering", kata kakek itu dalam bahasa Madura, kepada saya.

Masa susah adalah kalau musim hujan. Padahal Tabanan ini, ada yang bilang, Bogornya Bali. Kota hujan. Rumput lama keringnya, dan kadang busuk sebelum kering. Kalau sudah begitu, rugilah kakek-nenek itu. Dagangan tak ada yang membeli. Walaupun rumput dapat gratisan, tentu mereka telah rugi tenaga. Menganggurlah mereka karenanya.

"Kerja di proyek, sudah gak koat saya", aku sang kakek. Tak pernah bilang berapa usianya. Namun taksiran saya, lebih sudah kalau tujuhpuluh tahun. Iya. Bener. Sudah terlihat ringkih, dengan kulit yang legam karena sering kepanasan.

Di suatu sore yang hujan, keadaan yang saya pakai untuk kali itu tidak ke masjid Agung Tabanan untuk sholat Maghrib (lanjut Isya') berjamaah seperti biasanya. Selepas sholat maghrib secara solo dengan menggelar sajadah tipis di lantai kamar, pintu kamar saya ada yang mengetuk.

Nenek pencari ilalang tampak terlihat membawa piring berisi bubur saat saya membuka pintu, "Acara apa nek?", tanya saya sambil menerima pemberian beliau.

"Ini bubur Suro", katanya. "Agar saya dan kakek sehat dan selalu selamat. Sampiyan juga. Semua manusia pokoknya..."

Saya menutup pintu pelan. Lalu menatap sepiring bubur Suro pemberian tadi. Lama saya tatap. Mata saya agak basah.

Saya tahu, lebih seminggu ini hujan saban hari. Selama itu pula mereka tidak bekerja. Tentu tiada pemasukan. Namun mereka masih sempat bikin selamatan. Di bulan Suro. Bikin bubur. Dan saya, yang jangankan untuk makan, untuk menyewa kamar di tempat yang jauh lebih nyaman dari ini saja masih diperkenankan oleh perusahaan tempat saya bekerja, sering kurang bersyukur.

Perlahan saya sendok bubur yang masih hangat itu. Tenggorokan saya, entah mengapa, terasa gimanaa gitu. Dan, basah di mata tadi, perlahan mengalir ke pipi.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar