Minggu, 03 Januari 2021

E m b u h

 "KAMU sudah dengar kan, nDo?", Kang Karib bertanya kepada Mas Bendo yang lagi menata papir tjap Pagupon, tembakau lalu ditaburi cengkih, bikin rokok tingwe, nglinting dhewe.

"Dengar apa to, Kang?", Mas Bendo ngakep rokok tingwe itu di bibirnya, kemudian menyulutnya. Asap mengepul.

"Bu Khofifah positif Covid-19".

Mas Bendo klepas-klepus, menikmati rokoknya.

"Kamu itu, jadi orang kok gak ada empatinya babar-blas", Kang Karib maido.

"Terus aku kudu piye, Kang? Di tipi tiap hari beritanya kopit. Di henpun juga gitu. Terus sampeyan juga. Tiap hari kok yang dibahas kopat-kopit, kopat-kopit".

"Eh, dengar ya, nDo. Aku itu paling gregetan kalau ada otang yang cuek, gak peduli, dan nyepelekne pandemi Covid-19 ini".

"Sampeyan juga dengar ya, Kang. Saya ini juga gak suka kalau ada orang saban hari bicara kopat-kopit, kopat-kopit dan terlalu takut sama si korona".

"Kamu itu, jan embuh, nDo, nDo..."

"Sampeyan itu kok juga embuh, Kang, Kang..." ****


Rabu, 30 Desember 2020

H o n o r

SEPERTINYA sudah pernah saya tulis, bahwa honor pertama yang saya terima dari koran adalah saat saya kelas 2 Madrasah Aliyah. Saat ini, ketika jam istirahat, saya masuk ke ruang TU. Saya lihat mesin ketiknya lagi tidak dipakai. Maka, iseng saya mulai mengetik. Satu halaman, atau bahkan mungkin hanya setengah halaman. Lupa saya. Berisi tentang kegiatan OSIS di sekolah kami.

Berbekal selembar perangko seharga 150 rupiah, tulisan itu saya kirim ke harian sore Surabaya Post. Sebuah harian yang saat itu sangat besar oplagnya. Jauh di atas Jawa Pos. Rubrik yang saya tuju: Kronik Pelajar.

Selang beberapa hari kemudian, saya mendapat kiriman wesel. Tertera angka 6 ribu rupiah yang bisa saya uangkan di Kantor Pos. Dan saya tidak pernah tahu bentuk fisik terbitan artikel saya itu di koran dimaksud. Maklum, sebelumnya saya hanya pernah baca koran itu sudah dalam bentuk kadaluarsa. Sudah sebagai alas duduk saat nonton film misbar.

Dengan uang segitu, saya bisa membeli seekor ayam babon dan sebuah songkok produksi Gresik. Masih juga ada sisanya. Alhamdulillah....

Lima tahun yang lalu, berjarak sekian puluh tahun dari saya dapat honor pertama dari koran, secara rutin saya membuat soal TTS untuk sebuah harian di Surabaya. Lumayan, hampir dua tahun. Karena rutin, honornya pun rutin. Lumayan. Walau sedikit, lama-lama honor yang saya kumpulkan itu jadi bukit. Buktinya, sampai saya bisa beli tanah di Prapen. Iya tanah. Dua tiga-zak. Untuk tanam bunga di pot. ****

Minggu, 27 Desember 2020

Masjid Al Hamzah, Senganan

DULU, selama sekian bulan, hampir tiap hari saya ke madjid ini, selain di Masjid Agung Tabanan. Dan, seingat saya, mungkin hanya sekali mampir maghriban di Masjid An Nur di Penebel, yang terletak di tengah jarak antara Tabanan kota (tempat tinggal sementara saat tugas kerja di Bali) dan desa Senganan, tempat dimana urusan kerjaan dalam satu paket penugasan. Urusan di kantor instansi di kota kabupaten, sedangkan urusan lainnya di desa Senganan, membuat saya bolak-balik.

Saat di desa Senganan,
di antara rimbun tanaman 
bongkot alias kecombrang.



"Daripada saban hari wira-wira ke Tabanan, silakan nginap di sini saja lho. Ada tempatnya kok", kata Pak Mukhsin, salah satu takmir masjid Al Hamzah kepada saya.

Setali tiga uang, kapan hari Mas Aan (lelaki asal Tulungagung yang menikahi saudara perempuan Pak Mukhsin), yang juga saya kenal akrab, pernah menawari begitu. Lalu menunjukkan sebuah ruang di sebelah kanan pengimaman. Ada kasur, ada lampu, ada pintu. Sudah memenuhi syarat untuk dibilang sebagai kamar.

Mandi dan sebangsanya juga tidak perlu khawatir. Air wudlu melimpah, Kamar mandi juga bersih. Airnya jernih dan dingin. Nah inilah masalahnya. Kalau sehabis asyar saja hawa dinginnya minta ampun, tentu kalau malam dinginnya makin ampun-ampun.

Sayang sekali beberapa file foto dan video tentang masjid al Hamzah ini raib dari kartu SD saya yang rusak. Sehingga terpaksa sebagai pelengkap tulisan ini saya ngambil gambar dari google maps.




Ada cerita tentang masjid kecil ini di tengah masyarakat setempat yang Hindu. Yang tetap rukun. Yang saya sempat tanyakan kepada keluarga besar Pak Mukhsin yang mukim di sekitar masjid. Sekitar belasan KK. Juga kepada beberapa tetua masyarakat Hindu di situ.

Keluarga besar Pak Mukhsin adalah keturunan kesekian dari orang Bugis yang sudah sejak dulu tinggal di desa ini. Secara bahasa, sehari-hari memakai bahasa Bali. Pun Mas Aan dan kemudian saya juga kenal Mas Hamid asal Balung-Jember, yang juga menikah dengan saudara perempuan Pak Mukhsin. Dengan masyarakat sekitar yang mayoritas Hindu jangan ditanya rukunnya.

"Setiap hari raya kurban, kami juga dibagikan daging kambing", cerita Pan Sukresni, yang rumahnya tidak jauh dari masjid.

"Nah, kalau setiap waktu sholat ada suara adzan dari TOA masjid, apa gak keganggu. Apalagi saat subuh yang lagi enak-enaknya tidur?", seloroh saya.

"Ibu malah suka", sahut Bu Sukresni. "Kalau dengar suara adan subuh, berarti itu waktunya Ibu bangun. Mulai masak", papar Ibu yang sehari-hari bekerja sebagai pengepul sayur, terutama bongkot ini.

Bongkot?! Wah kok saya langsung kangen sambel bongkot ya.πŸ₯° ****

Kamis, 26 November 2020

Kecanduan

HARI-HARI belakangan ini, saya sedang agak geregetan kepada Ibu Negara. Gara-garanya ia kecanduan lagi. Rajin nonton sinetron lagi. Sesuatu yang saya tidak suka sejak dulu.

Saat hamil anak pertama dulu, ia kecanduan nonton sinetron Misteri Gunung Merapi. Saya menjadi was-was juga.  Dengan alasan, iya kalau  anak kami nanti lahir seperti Sembara, kalau lahir laksana Basir bagaimana. Kerjaannya makan melulu. Itu pun masih mending. Kalau menjadi seperti Grandong bagaimana?

Saya memang hanya bisa geregetan. Tidak lebih. Karena untuk apa kesukaannya yang tidak saya sukai itu dijadikan pemicu 'perang'? Toh Ibu Negara nonton sinetron selepas semua 'tugas kenegaraan' di sumur, dapur dan kasur telah diselesaikan dengan sempurna. Itu pertama.

Kedua: jangan-jangan sebenarnya ia juga kurang suka saat saya nonton talkshow politik yang sering mengaduk-aduk emosi saya itu. Atau saat saya nonton pertandingan tinju, atau sepakbola.

Atau juga, diam-diam saat larut malam, dan Ibu Negara sedang pulas dibuai mimpi, saya malah sedang asyik berbalas obrolan (yang sering sama sekali bukan percakapan penting dan hanya nggedabrus tentang hal remeh-temeh belaka) dengan teman lama via grup wasap. ****

Minggu, 22 November 2020

Mengintip SCTV, TVRI Zonk

SAYA tidak tahu bagaimana hawa di rumah Anda saat ini. Tapi di Surabaya, masih sumuk. Mungkin sesumuk suhu politik jelang pemilihan Wali Kota. Ah, mana ada sih urusan politik yang bikin adem. Bawaannya panas melulu.

UpsGak usahlah kita ngomongin politik. Yang pelik. Yang kadang antar tetangga, karena beda pilihan, bisa saling mendelik. Kita bicara yang ringan-ringan saja. Tentang televisi digital terrestrial. Yang bikin geregetan. Bagi yang geregetan sih. 😊

Baiklah. Kita bicara tentang SCTV dkk. Yang belum lama ini on air di kanal digital. Di kota kelahirannya. Eh, kenapa ya untuk Surabaya, si Surya Citra ini malah mengudara belakangan. Ataukah sebagai kacang sudah agak lupa pada kulitnya?

Ups, maap. Tak baik berburuk sangka. Pastilah pihak Emtek punya strategi sendiri. Punya jadwal tersendiri. Untuk menghidupkan saluran digitalnya. 

Sinyal MUX Metro,
sedang-sedang saja tapi clink. 


Bermain di kanal 29 digital (538 MHz), si SCTV menggendong si Indosiar dan O Channel. Secara power, sepertinya masih kecil pakai banget. Sehingga daya jangkaunya masih tak seberapa. Di daerah tempat tinggal saya di kawasan Rungkut, signal yang tertangkap hanya kenduk-kenduk semata. Tak lebih dari 17%. Itu pun timbul tenggelam. Menjadikan siaran tak muncul di layar kaca saya. Bersyukurlah kalau Anda bisa menangkap siarannya. Kabarnya, malah ada yang bisa menangkap di daerah Pasuruan sana.

Sinyal MUX Emtek,
masih pelit.

Mengudara dari tower Indosiar di Balongsari (bukan di menara SCTV Darmo Permai), secara jarak tak jauh berbeda dengan pemancar digital lain yang telah on air. Kalau dibandingkan dengan MUX Trans (ch. 27) kalah jauh. Signal milik Trans kenceng sekali. Pada urutan berikutnya ada MUX Metro (ch. 25) dan peringkat teratas secara kekuatan sinyal (biasanya) diraih MUX TVRI (ch. 35).

Sinyal TVRI, sedang zonk.

Kok biasanya?

Iya, karena sesaat sebelum membuat tulisan ini, ketika saya intip, sinyal dari MUX TVRI malah sedang zonk. Ada apa gerangan?

Baiklah, saya keluar sebentar. Menatap langit. Bertanya kepada mendung yang tipis belaka. Kapan hujan turun, agar hawa Surabaya tidak lagi sesumuk ini. ****

Senin, 31 Agustus 2020

Tilik: Reality Show Sesungguhnya

PETAN, mencari kutu rambut, dilakukan ibu-ibu di saat senggang. Setelah lelah dengan urusan kasur, sumur dan dapur. Membentuk lingkaran. Sehingga bisa saling petan kepala lain di depannya. Ketemu kutu, diceplus, atau digites, dipenyet diantara kuku jempol tangan kiri dan jempol tangan kanan. Ada satu bumbu pelengkap agar ritual mencari kutu rambut itu makin seru. Makin gayeng. Yaitu: rasan-rasan

Rasan-rasan, ngomongin orang lain yang tidak ada dalam lingkaran petan itu, teramat nikmat gurihnya. Ada banyak hal yang bisa dijadikan bahan rasan-rasan. Pun demikian juga sosoknya. Bisa dipetani segalanya. Seringkali kejelekannya. Dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki. 


Mukaddimah
-nya bisa saja sederhana. Kemudian makin melebar secara liar. Misal, celetuk Yu Sam, "Apa benar si Fikri iku sesrawungan karo Dian?"

Dan percakapan pembuka rombongan Bu Tejo dalam perjalanan ke Rumah Sakit hendak tilik, menjenguk, bu Lurah (ibunya Fikri) yang lagi gerah, sakit itu mengalir lancar jaya. Terlihat tidak seperti sedang berakting.

Minggu, 30 Agustus 2020

Sambal Bongkot, Oh My God!


UNTUK
urusan makan, saya ini termasuk orang yang menganut faham pokoknya kenyang. Bukan sebagai petualang rasa. Dalam artian suka mencoba menu baru yang tentu mempunyai rasa baru. Saya kira ini ada untungnya. Paling tidak, selain baju yang tidak sering ganti (karena punyanya cuma itu melulu), tidak suka mencoba menu makanan baru dapat diindikasikan hanya dilakukan oleh orang yang setia. Orang yang tidak suka syelingkuh (pakai syin). Yes, dengan memakai parameter itu, saya masuk kategori orang yang setia setiap saat seperti bunyi iklan deodorant.

Tempo hari saya membuat status di wasap tentang lidah saya yang kangen sambel bongkot. Itu nyata adanya. Bukan mengada-ngada. Bahwa dulu saya tidak suka sambel itu memang iya. Tetapi kemudian menjadi suka berawal dari coba-coba. Sekali dua kali, lidah saya mulai bisa menerima. Lalu, kini, mengangeninya. (Jangan-jangan hobi selingkuh juga berawal coba-coba demikian itu😊).


Dulu, saat bertugas di Bali, dalam sebulan sekali pulang ke Surabaya, selalu saya bawa si bongkot itu. Yang sebelumnya tidak saya sukai itu. Saya bawa naik pesawat. Di rumah saya sambal sendiri. Pakai terasi. Pakai teri. Ditambah pete. Dimakan sama nasi hangat, amboi rasanya. Kalau saja si Inces Nabati mencoba sambal buatan saya itu, tentu ia akan bilang: Duh Gustiiii..... Endol surendol takendol-kendol nguenah....

Entah dimana di Surabaya ini saya bisa beli si bongkot yang kalau di Senganan, Tabanan, harga seikat berisi empatbelas, seingatnya saya hanya lima ribu rupiah saja. Dan di kebun Pan Sukresni, orang tua baik hati yang selama berbulan-bulan di Tabanan saya ikuti, saya bisa membawa semau saya dengan gratis belaka.

Sambil sarapan dengan sambal instan buatan pabrik, tadi pagi saya iseng bilang kangen sambel bongkot kepada Ibu Negara.

"Itu di frezer kan masih ada", sahutnya. "Dulu pernah aku mau buang, sampeyan bilang jangan".

"Iya to?!"

Istri saya menuju lemari es dan mengambil kotak tupperware berwarna hijau muda. Di dalamnya ada bongkahan kecil sambal yang menggumpal. Putih. Menjadi beku. Saya cuwil, ah iya, saya masih belum lupa. Ini benar sambel bongkot. Oh my God. Saya girang sekali.

"Ini sambal kapan ya?", saya bertanya sambil makan.

"Hampir tiga tahun lalu. Apa masih enak?"

"Enak tuh", lahap saya menyantap. "kalau nanti ada efek samping, palingan cuma mules...".

Rindu kadang memang bisa bikin orang mabuk kepayang. Eh, mabuk sambel bongkot ding!****

Koran Korban

BEBERAPA bulan yang lalu, saat sedang hangat-hangatnya berita tentang Helmy Yahya sebagai Dirut yang dicopot jabatannya oleh Dewas TVRI, saya baca di internet koran Kompas melalukan survei terkait hal tersebut. Survei Litbang Kompas, Anda tahu, tentu selalu bermutu. Jangankan soal perseteruan Helmy dan Dewas TVRI, survei soal Pilpres saja koran Kompas menyajikannya dengan ces-pleng. Maka, ketika hasil survei itu dimuat di koran Kompas, sepulang kerja saya sempatkan membeli edisi Kompas hari itu. Saya beli di tukang koran pinggir jalan. Di ujung jalan Diponegoro, seberang bonbin, Surabaya. Lalu saya lanjut perjalanan pulang, si koran Kompas itu saya masukkan bagasi motor Vario saya. Dan, hasil survei Litbang Kompas tentang TVRI-Helmy itu adalah; saya malah belum membacanya. Sampai sekarang. Sampai saya iseng membuat tulisan ini.

Jadi, saya ingin bertanya; kapan terakhir kali Anda membaca koran? Atau malah sudah tidak pernah.

Di seberang Pasar Soponyono Rungkut, saya lihat tumpukan koran yang dijual seorang agen sekarang makin menipis. Di perempatan Panjangjiwo, di dekat lampu merah, dua ibu sepuh duduk di tepi jalan memangku koran dagangannya. Duduk, pasif. Bukan laiknya tukang koran saat zaman koran masih menjadi sumber informasi andalan dulu. Yang mendatangi calon pembeli. Saat lampu merah. Dengan membaca judul isi koran edisi hari itu. Yang kadang di-lebay-kan. Agar menarik. Agar orang tertarik membeli.

Sekarang era digital. Era internet. Era paperless. Lalu nasib koran?

Membaca Jawa Pos edisi Minggu

Saya bukan orang koran. Tapi saya bisa membayangkan bagaimana orang koran mempertahankan mati-matian media cetaknya. Agar tetap hidup. Di tengah gempuran sumber bacaan yang tanpa kertas tadi. Dan era mempertahankan kehidupan media cetak sudah pernah terjadi sebelumnya. Menyesuaikan diri. Dengan perkembangan zaman yang menuntut segala sesuatu penjadi simple. Menjadi praktis.

Selasa, 25 Agustus 2020

Blogger, Vlogger, Youtuber dan Mager

IYA, entah sejak kapan, saya suka utak-atik antena televisi. Bermula dari antena UHF biasa, beranjak ke antena wajan. Iseng saja. Suka saja. Suka lihat televisi. Walau kalau saya sedang pegang remote control tivi, si remote itu bisa-bisa kegeregetan; karena saya selalu gonta-ganti channel. Tak fanatik pada kanal tertentu. Lalu kesukaan itu saya tuang dalam tulisan. Dalam blog. Sekenanya. Semaunya. Sok jadi pengamat televisi. Karena, saya pikir, jadi pengamat televisi itu gampang. Tinggal nonton, amati, ulas, lalu posting di blog.

Ternyata saya keliru. Ternyata tidak begitu. Pengamat tivi itu kudu paham banyak hal. Bukan berdasar amatan serampangan di layar kaca belaka. Tapi juga hal-ihwal yang saling kait-mengait dalam ikatan dunia penyiaran. Undang-undang atau regulasinya, teknologinya, resolusi gambarnya. Dan sebagainya, dan seterusnya.

Dengan tahu diri bahwa saya tidak banyak tahu, maka dalam blog televisi saya itu, saya membatasi diri hanya memposting hal yang setahu saya saja. Tidak lebih. 

Awal ngeblog dulu, sekitar sebelas tahun yang lalu, saya seperti kesurupan. Entah berapa blog yang saya buat. Walau sekarang, yang saya rawat (seingatnya saja sih merawatnya 😊) hanya dua atau tiga. Termasuk ini. Yang sedang saya (atau Anda?) baca ini.

Minggu, 28 Juni 2020

Lathi Bahasa Jawa Kuno?

SEHARIAN ini beberapa kali saya menyimak lagu Lathi. Sebelumnya saya hanya mendengar secara tidak sengaja. Saat anak saya mainan TikTok. Awalnya, jujur, saya tidak tahu itu lagu siapa. Lebih jujur lagi, saya menyangka itu lagu dari penyanyi manca negara. Ternyata oh ternyata, saya yang kudet. Kalah sama bocah generasi TikTok.

Mumpung sempat, saya cari tahu siapa di balik Lathi. Selain Sara Fajira, saya temukan Eka Gustiwana. Nama yang saya konotasikan sebagai sosok  muda yang kreatif. Yang pernah menggubah (atau mengubah) dialog saat debat capres menjadi lagu. Atau merekam segala bunyi aktifitas di bandara (langkah kaki pramugari, suara mesin pesawat dlsb) menjadi karya musik yang indah di telinga. Beberapa kali pula saya lihat di Youtube penampilan Eka meng(g)ubah jingle banyak iklan menjadi satu kesatuan lagu yang enak didengar.

Di Weird Genius itu, selain Eka Gustinawa, ada Reza Arap (pakai P, bukan B) dan Gerald. Siapa mereka, sepertinya Anda lebih tahu daripada saya. Pun demikian tentang Sara Fajira.

Dalam sebuah obrolan dengan Pak Ganjar Pranowo, Sara mengungkap bahwa ialah yang memasukkan syair berbahasa Jawa yang salah satu katanya dijadikan judul lagu; lathi.

"Saya mengambil dari istilah peribahasa Jawa kuno", begitu jawab Sara saat ditanya Pak Ganjar seperti saya lihat di kanal Youtube Pak Gubernur Jawa Tengah itu, tentang inspirasi dibalik Lathi.

Jumat, 05 Juni 2020

BaliTV Pindah ke Telkom-4



HARI-HARI ini sedang hangat perihal persatelitan dibahas teman-teman tracker jalur langit. Mula-mula tentang satelit pengganti Palapa-D yang gagal mencapai orbit, yang berdampak kepada banyak siaran yang terpancar melalui satelit Palapa-D tersebut kelimpungan. Ancang-ancang pindah rumah. Ke satelit lain.

Pembetitahuan transponder di
satelit Telkom-4 pada layar BaliTV.
Selanjutnya tentang Ninmedia. Saluran TV Satelit yang mendaku dirinya sebagai TV Rakyat Indonesia ini pun sedang jadi buah bibir. Pasalnya, tiada angin tiada hujan, satu transpondernya hilang. Tak terdetek. Runtutan berikutnya, sekian saluran televisi ikutan menghilang. Tiada angin atau tiada hujan? Belum tentu begitu. Tak ada asap kalau tak ada api. Menurut beberapa teman, naga-naganya si Ninmedia sedang 'kesulitan' keuangan. Atau si operator satelit Chinasat-11 minta harga sewa transponder naik. Tawar-menawar tak ketemu harga pas, maka tak lanjut tancap gas.

Saya tahu diri. Bahwa saya tak begitu paham apa yang sebenarnya sedang terjadi di dunia persilatan persatelitan. Yang saya tahu, di JCsat-4B, sejak akhir bulan Mei kemarin, si 'besar' BigTV juga undur diri. Kukut.

Maka, dari tiga antena saya (4 LNB; 2 C-band, 2 Ku-band), praktis saya kali ini hanya menggunakan 2 antena saja; 3 LNB. Ninin dan Palkom. Itu pun si Ninin akan segera boyongan ke satelit lain. Kemana? JCSat-4BMeasat atau SES-9? Kita lihat saja nanti. Mudah-mudahan benar-benar hanya pindah. Bukan hilang. Bukan gulung tikar.

Transponder BaliTV di Palapa-D
yang kini sudah gelap gulita.
Kembali tentang satelit Palapa-D. Yang pemain penggantinya gagal tampil, sementara si Palapa-D sendiri sudah uzur. Sudah hampir kehabisan tenaga. Tak kuat lagi berlama-lama di angkasa. Expired. Lalu, mau tak mau sekian banyak kanal yang mukim disitu mulai boyongan. Misalnya BaliTV. Yang pindah ke Telkom-4. Selanjutnya SCTV dan saudaranya (Indosiar) akan juga pindah ke Telkom-4. 

Sepertinya akan ada lagi yang hengkang dari Palapa-D ke Telkom-4 atau satelit lain. Kita tunggu saja nanti. Sambil menunggu si Corona juga minggat dari sekitar kita.

Intensitas dan kualitas sinyal
BaliTV di receiver Matrix Burger S2 saya.
Bagi pemirsa yang kehilangan BaliTV di Palapa-D, caranya bisa langsung melakukan setting di satelit Telkom-4. Lupakan transponder BaliTV di Palapa-D laiknya melupakan mantan. Mari merapat ke pelukan kekasih baru; satelit Telkom-4. Masukkan transponder 3937, polarisasi Horizontal, symbol rate 1640. Lakukan scan. Kalau siaran lain macam antvTransTVTrans|7 atau CNN Indonesia & CNBC di satelit Telkom-4 bening, dijamin siaran BaliTV juga clink. Dengan cara itu, sekarang kita bisa mengikuti lagi beragam acara kesukaan dari televisi andalan Pulau Dewata ini.*****


Rabu, 03 Juni 2020

Meramal New Normal

KANG KARIB, ketika masih kecil, saat sandal jepitnya putus dan bilang ke orang tuanya, cerita selanjutnya sungguhlah lumrah. Tepatnya lumrah dan normal di zaman itu. Yakni, bukan lalu dibelikan sandal jepit baru, namun dicarikan peniti atau paku. Lalu ditusukkanlah paku atau peniti itu ke bagian srampat sandalnya yang putus. Beres. Sandal bisa dipakai lagi.

"Itu lak zaman doeloe, Kang", Mas Bendo mengomentari cerita itu. "Coba anak sekarang, mana mau mereka pakai sandal jepit 'berpenangkal petir' begitu".

"Begitulah, nDo. Setiap zaman mengandung kelumrahannya sendiri".

Lalu Kang Karib menukil contoh termutakhir. Akibat Covid-19. Yang orang dianjurkan untuk jangan salaman dulu. Selalu pakai masker. Tentu saja ada yang manut, ada yang ngeyel. Lazim. Namanya juga homo sapiens. Nah, sampai kapan harus begitu? Harus jangan salaman, harus selalu bermasker?

Para orang pintar pun belum tahu kapan pageblug ini akan game over. Kapan pandemi ini berakhir. Nah, jangan-jangan orang kemudian keterusan tidak suka salaman dan kemana-mana dengan penutup mulut.

"Lha lak tambah bagus to, Kang", sahut Mas Bendo. "Orang menjadi makin sadar jaga kesehatan".

"Itu lak kalau maskeran, nDo. Maksudku kalau keterusan tidak mau salaman piye?".

"Aku juga lagi mikir, Kang."

"Mikir opo?"

"Mikir konsep rumah", jawab Mas Bendo. "Rumahku kan kamar mandinya di belakang. Di dekat dapur".

"Lho lak normalnya memang gitu kan, nDo?" sela Kang Karib.

"Itu lak normal cara lama, Kang. Kalau normal gaya baru, yang dibilang orang dengan kata 'keminggris' New Normal itu, bisa beda, Kang."

"Beda piye jal?"

"Sekarang orang kalau dari keluar rumah, dari berbelanja atau pulang bekerja, kan harus bebersih badan dulu. Mandi, ganti baju, baru boleh bercengkerama dengan orang rumah. Lha kalau kamar mandinya di belakang, lak sudah kadung masuk rumah, penyakit bisa keburu ngikut masuk".

"Jadi?"

"Menurut ramalanku, selain harus selalu menerapkan segala protokol kesehatan yang sekarang umum dikampanyekan, di rumah-rumah, jedhing atau kamar mandi, nantinya tempatnya tidak 'disembunyikan' di belakang seperti selingkuhan. Tapi di depan, di dekat halaman".****