Minggu, 27 Desember 2020

Masjid Al Hamzah, Senganan

DULU, selama sekian bulan, hampir tiap hari saya ke madjid ini, selain di Masjid Agung Tabanan. Dan, seingat saya, mungkin hanya sekali mampir maghriban di Masjid An Nur di Penebel, yang terletak di tengah jarak antara Tabanan kota (tempat tinggal sementara saat tugas kerja di Bali) dan desa Senganan, tempat dimana urusan kerjaan dalam satu paket penugasan. Urusan di kantor instansi di kota kabupaten, sedangkan urusan lainnya di desa Senganan, membuat saya bolak-balik.

Saat di desa Senganan,
di antara rimbun tanaman 
bongkot alias kecombrang.



"Daripada saban hari wira-wira ke Tabanan, silakan nginap di sini saja lho. Ada tempatnya kok", kata Pak Mukhsin, salah satu takmir masjid Al Hamzah kepada saya.

Setali tiga uang, kapan hari Mas Aan (lelaki asal Tulungagung yang menikahi saudara perempuan Pak Mukhsin), yang juga saya kenal akrab, pernah menawari begitu. Lalu menunjukkan sebuah ruang di sebelah kanan pengimaman. Ada kasur, ada lampu, ada pintu. Sudah memenuhi syarat untuk dibilang sebagai kamar.

Mandi dan sebangsanya juga tidak perlu khawatir. Air wudlu melimpah, Kamar mandi juga bersih. Airnya jernih dan dingin. Nah inilah masalahnya. Kalau sehabis asyar saja hawa dinginnya minta ampun, tentu kalau malam dinginnya makin ampun-ampun.

Sayang sekali beberapa file foto dan video tentang masjid al Hamzah ini raib dari kartu SD saya yang rusak. Sehingga terpaksa sebagai pelengkap tulisan ini saya ngambil gambar dari google maps.




Ada cerita tentang masjid kecil ini di tengah masyarakat setempat yang Hindu. Yang tetap rukun. Yang saya sempat tanyakan kepada keluarga besar Pak Mukhsin yang mukim di sekitar masjid. Sekitar belasan KK. Juga kepada beberapa tetua masyarakat Hindu di situ.

Keluarga besar Pak Mukhsin adalah keturunan kesekian dari orang Bugis yang sudah sejak dulu tinggal di desa ini. Secara bahasa, sehari-hari memakai bahasa Bali. Pun Mas Aan dan kemudian saya juga kenal Mas Hamid asal Balung-Jember, yang juga menikah dengan saudara perempuan Pak Mukhsin. Dengan masyarakat sekitar yang mayoritas Hindu jangan ditanya rukunnya.

"Setiap hari raya kurban, kami juga dibagikan daging kambing", cerita Pan Sukresni, yang rumahnya tidak jauh dari masjid.

"Nah, kalau setiap waktu sholat ada suara adzan dari TOA masjid, apa gak keganggu. Apalagi saat subuh yang lagi enak-enaknya tidur?", seloroh saya.

"Ibu malah suka", sahut Bu Sukresni. "Kalau dengar suara adan subuh, berarti itu waktunya Ibu bangun. Mulai masak", papar Ibu yang sehari-hari bekerja sebagai pengepul sayur, terutama bongkot ini.

Bongkot?! Wah kok saya langsung kangen sambel bongkot ya.🥰 ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar