Kamis, 18 Februari 2021

Empati Mati?

BEBERAPA hari terakhir ini saya tidak terlalu intens bersosial media, sampai ketinggalan berita tentang Dayana. Beberapa hari ini saya sedang dirundung kesedihan mendalam. Oleh kematian. Bukan sekadar nyawa yang dicabut dari raga semata, tapi oleh kematian empati terhadap sebuah kematian itu sendiri.

Entah sejak kapan ada orang yang menggembirai kematian bukan hanya disimpan namun diungkapkan lewat tulisan. 

Tempo hari ada seorang pemikir terkenal yang meninggal. Sebuah kanal berita daring memberitakan dengan kalimat pertama yang mengenalkan bahwa si mendiang adalah juga aktifis sebuah partai. Penonjolan almarhum sebagai tokoh partai ketimbang sebagai pemikir yang rekam jejaknya sungguh tak bisa dianggap remeh, tentulah angle yang dipilih oleh pembuat berita. Kalaulah tidak begitu, alangkah dangkalnya si pembuat berita dalam menggali latar belakang tentang siapa si tokoh ini. Itu pertama.

Kedua, ada benang merah antara beberapa media (online utamanya) yang suka membuat judul 'provokatif' dengan komentar pembaca yang nge-gas atas berita tersebut. Tentu bukan hal salah. Demi dibaca, berita diberi judul yang genit dan memancing. Namun, dengan tabiat pembaca kita yang kadang (atau sering?) hanya membaca judul berita tanpa membaca dengan seksama dan utuh, tentu bikin ngelus dada karena komentarnya sungguh gaduh.

Sedih karena bertubi-tubi mendengar wafatnya orang-orang cemerlang, lebih menyedihkan lagi membaca komentar yang secara vulgar nyukurin tentang kematian itu. Dan astaghfirullah, ungkapan nyukurin itu dibalut dengan kalimat hamdalah.

Politik memang kejam. Tapi kalau hanya karena fanatisme dan perbedaan pilihan politik lantas kemudian menjadikan manusia hilang kemanusiaannya, politik buat apa? ****

Jumat, 12 Februari 2021

Kang Prie GS, Sugeng Tindak


ADA
seorang teman di grup wasap alumni sekolah Aliyah saya, memposting gambar yang hari ini entah sudah berapa kali diposting orang. Tentang tanggal baik. Di hari ini. 12022021. Unik. Antik. Dibaca bolak-balik, dari depan atau belakang sama saja. Hari ini juga saat baik. Tahun baru Imlek. Hari Jumat pula. Kebaikan yang berlipat ganda.

Di hari baik ini tapi saya malah mendapat kabar kurang baik. Tentang kepergian orang baik. Yang humoris, yang 'cubitannya' tak bikin sakit. Paling banter malah 'geli'. Itulah yang saya tangkap dari 'perkenalan' awal dulu. Via acara radio. Sketsa Indonesia. Lalu saya jatuh cinta. Dengan gayanya. Dengan blaka-suta-nya. 

Tentang kemiskinan yang saat kecil dulu amatlah nelangsanya, namun kini bisa ditertawai dengan riang gembira. Tentang kenekatan jatuh cinta kepada siapapun perempuan yang layak dijatuhcintai, tanpa berharap cinta itu tak bertepuk sebelah tangan.

Saya pernah membayangkan diri saya sebagai Ipung. Yang kerempeng. Yang miskin, tapi punya jatidiri. Saya juga sempat lancang mengingat mantan-mantan saya (paling tidak yang saya anggap sebagai mantan, walau mereka itu sama sekali tak pernah menaruh hati pada saya. Marilah kita bersepakat: bahwa mencintai tak harus memiliki!) adalah Paulin atau Surtini.

Minggu, 24 Januari 2021

Antena UHF Paramount Gold

 


SEJAK
 diketok palu tentang batas akhir umur siaran tv analog pada 22 November 2022, sepertinya geliat migrasi siaran televisi dari analog ke digital kembali terasa menggelinjang😊. Di beberapa zona, ambil sebagai contoh, MUX MNC grup langsung tancap gas, walau di area lain masih harus bersabar dulu. Menunggu pengadaan perangkat dulu. Termasuk menunggu proses lelang MUX di beberapa propinsi.

Saya mengikuti perkembangan di zona lain via sosmed saja. Sedang di area Surabaya ini, seminggu yang lalu ada kejutan dari MUX Viva yang tiada hujan-tiada angin tiba-tiba nongol. Walau, kemudian langsung clink: menghilang lagi. Kok saya jadi ingat jailangkung ya. Hehe...

Baiklah, mungkin si Viva sedang memanasi perangkat saja. Baru uji coba. Walau sebenarnya, saya inginnya MUX Viva langsung tancap gas, menyalip sinyal MUX Emtek yang walau sudah sebulan lebih on air, tapi sinyalnya masih pelit (pakai banget).

Minggu, 03 Januari 2021

E m b u h

 "KAMU sudah dengar kan, nDo?", Kang Karib bertanya kepada Mas Bendo yang lagi menata papir tjap Pagupon, tembakau lalu ditaburi cengkih, bikin rokok tingwe, nglinting dhewe.

"Dengar apa to, Kang?", Mas Bendo ngakep rokok tingwe itu di bibirnya, kemudian menyulutnya. Asap mengepul.

"Bu Khofifah positif Covid-19".

Mas Bendo klepas-klepus, menikmati rokoknya.

"Kamu itu, jadi orang kok gak ada empatinya babar-blas", Kang Karib maido.

"Terus aku kudu piye, Kang? Di tipi tiap hari beritanya kopit. Di henpun juga gitu. Terus sampeyan juga. Tiap hari kok yang dibahas kopat-kopit, kopat-kopit".

"Eh, dengar ya, nDo. Aku itu paling gregetan kalau ada otang yang cuek, gak peduli, dan nyepelekne pandemi Covid-19 ini".

"Sampeyan juga dengar ya, Kang. Saya ini juga gak suka kalau ada orang saban hari bicara kopat-kopit, kopat-kopit dan terlalu takut sama si korona".

"Kamu itu, jan embuh, nDo, nDo..."

"Sampeyan itu kok juga embuh, Kang, Kang..." ****


Rabu, 30 Desember 2020

H o n o r

SEPERTINYA sudah pernah saya tulis, bahwa honor pertama yang saya terima dari koran adalah saat saya kelas 2 Madrasah Aliyah. Saat ini, ketika jam istirahat, saya masuk ke ruang TU. Saya lihat mesin ketiknya lagi tidak dipakai. Maka, iseng saya mulai mengetik. Satu halaman, atau bahkan mungkin hanya setengah halaman. Lupa saya. Berisi tentang kegiatan OSIS di sekolah kami.

Berbekal selembar perangko seharga 150 rupiah, tulisan itu saya kirim ke harian sore Surabaya Post. Sebuah harian yang saat itu sangat besar oplagnya. Jauh di atas Jawa Pos. Rubrik yang saya tuju: Kronik Pelajar.

Selang beberapa hari kemudian, saya mendapat kiriman wesel. Tertera angka 6 ribu rupiah yang bisa saya uangkan di Kantor Pos. Dan saya tidak pernah tahu bentuk fisik terbitan artikel saya itu di koran dimaksud. Maklum, sebelumnya saya hanya pernah baca koran itu sudah dalam bentuk kadaluarsa. Sudah sebagai alas duduk saat nonton film misbar.

Dengan uang segitu, saya bisa membeli seekor ayam babon dan sebuah songkok produksi Gresik. Masih juga ada sisanya. Alhamdulillah....

Lima tahun yang lalu, berjarak sekian puluh tahun dari saya dapat honor pertama dari koran, secara rutin saya membuat soal TTS untuk sebuah harian di Surabaya. Lumayan, hampir dua tahun. Karena rutin, honornya pun rutin. Lumayan. Walau sedikit, lama-lama honor yang saya kumpulkan itu jadi bukit. Buktinya, sampai saya bisa beli tanah di Prapen. Iya tanah. Dua tiga-zak. Untuk tanam bunga di pot. ****

Minggu, 27 Desember 2020

Masjid Al Hamzah, Senganan

DULU, selama sekian bulan, hampir tiap hari saya ke madjid ini, selain di Masjid Agung Tabanan. Dan, seingat saya, mungkin hanya sekali mampir maghriban di Masjid An Nur di Penebel, yang terletak di tengah jarak antara Tabanan kota (tempat tinggal sementara saat tugas kerja di Bali) dan desa Senganan, tempat dimana urusan kerjaan dalam satu paket penugasan. Urusan di kantor instansi di kota kabupaten, sedangkan urusan lainnya di desa Senganan, membuat saya bolak-balik.

Saat di desa Senganan,
di antara rimbun tanaman 
bongkot alias kecombrang.



"Daripada saban hari wira-wira ke Tabanan, silakan nginap di sini saja lho. Ada tempatnya kok", kata Pak Mukhsin, salah satu takmir masjid Al Hamzah kepada saya.

Setali tiga uang, kapan hari Mas Aan (lelaki asal Tulungagung yang menikahi saudara perempuan Pak Mukhsin), yang juga saya kenal akrab, pernah menawari begitu. Lalu menunjukkan sebuah ruang di sebelah kanan pengimaman. Ada kasur, ada lampu, ada pintu. Sudah memenuhi syarat untuk dibilang sebagai kamar.

Mandi dan sebangsanya juga tidak perlu khawatir. Air wudlu melimpah, Kamar mandi juga bersih. Airnya jernih dan dingin. Nah inilah masalahnya. Kalau sehabis asyar saja hawa dinginnya minta ampun, tentu kalau malam dinginnya makin ampun-ampun.

Sayang sekali beberapa file foto dan video tentang masjid al Hamzah ini raib dari kartu SD saya yang rusak. Sehingga terpaksa sebagai pelengkap tulisan ini saya ngambil gambar dari google maps.




Ada cerita tentang masjid kecil ini di tengah masyarakat setempat yang Hindu. Yang tetap rukun. Yang saya sempat tanyakan kepada keluarga besar Pak Mukhsin yang mukim di sekitar masjid. Sekitar belasan KK. Juga kepada beberapa tetua masyarakat Hindu di situ.

Keluarga besar Pak Mukhsin adalah keturunan kesekian dari orang Bugis yang sudah sejak dulu tinggal di desa ini. Secara bahasa, sehari-hari memakai bahasa Bali. Pun Mas Aan dan kemudian saya juga kenal Mas Hamid asal Balung-Jember, yang juga menikah dengan saudara perempuan Pak Mukhsin. Dengan masyarakat sekitar yang mayoritas Hindu jangan ditanya rukunnya.

"Setiap hari raya kurban, kami juga dibagikan daging kambing", cerita Pan Sukresni, yang rumahnya tidak jauh dari masjid.

"Nah, kalau setiap waktu sholat ada suara adzan dari TOA masjid, apa gak keganggu. Apalagi saat subuh yang lagi enak-enaknya tidur?", seloroh saya.

"Ibu malah suka", sahut Bu Sukresni. "Kalau dengar suara adan subuh, berarti itu waktunya Ibu bangun. Mulai masak", papar Ibu yang sehari-hari bekerja sebagai pengepul sayur, terutama bongkot ini.

Bongkot?! Wah kok saya langsung kangen sambel bongkot ya.🥰 ****

Kamis, 26 November 2020

Kecanduan

HARI-HARI belakangan ini, saya sedang agak geregetan kepada Ibu Negara. Gara-garanya ia kecanduan lagi. Rajin nonton sinetron lagi. Sesuatu yang saya tidak suka sejak dulu.

Saat hamil anak pertama dulu, ia kecanduan nonton sinetron Misteri Gunung Merapi. Saya menjadi was-was juga.  Dengan alasan, iya kalau  anak kami nanti lahir seperti Sembara, kalau lahir laksana Basir bagaimana. Kerjaannya makan melulu. Itu pun masih mending. Kalau menjadi seperti Grandong bagaimana?

Saya memang hanya bisa geregetan. Tidak lebih. Karena untuk apa kesukaannya yang tidak saya sukai itu dijadikan pemicu 'perang'? Toh Ibu Negara nonton sinetron selepas semua 'tugas kenegaraan' di sumur, dapur dan kasur telah diselesaikan dengan sempurna. Itu pertama.

Kedua: jangan-jangan sebenarnya ia juga kurang suka saat saya nonton talkshow politik yang sering mengaduk-aduk emosi saya itu. Atau saat saya nonton pertandingan tinju, atau sepakbola.

Atau juga, diam-diam saat larut malam, dan Ibu Negara sedang pulas dibuai mimpi, saya malah sedang asyik berbalas obrolan (yang sering sama sekali bukan percakapan penting dan hanya nggedabrus tentang hal remeh-temeh belaka) dengan teman lama via grup wasap. ****

Minggu, 22 November 2020

Mengintip SCTV, TVRI Zonk

SAYA tidak tahu bagaimana hawa di rumah Anda saat ini. Tapi di Surabaya, masih sumuk. Mungkin sesumuk suhu politik jelang pemilihan Wali Kota. Ah, mana ada sih urusan politik yang bikin adem. Bawaannya panas melulu.

UpsGak usahlah kita ngomongin politik. Yang pelik. Yang kadang antar tetangga, karena beda pilihan, bisa saling mendelik. Kita bicara yang ringan-ringan saja. Tentang televisi digital terrestrial. Yang bikin geregetan. Bagi yang geregetan sih. 😊

Baiklah. Kita bicara tentang SCTV dkk. Yang belum lama ini on air di kanal digital. Di kota kelahirannya. Eh, kenapa ya untuk Surabaya, si Surya Citra ini malah mengudara belakangan. Ataukah sebagai kacang sudah agak lupa pada kulitnya?

Ups, maap. Tak baik berburuk sangka. Pastilah pihak Emtek punya strategi sendiri. Punya jadwal tersendiri. Untuk menghidupkan saluran digitalnya. 

Sinyal MUX Metro,
sedang-sedang saja tapi clink. 


Bermain di kanal 29 digital (538 MHz), si SCTV menggendong si Indosiar dan O Channel. Secara power, sepertinya masih kecil pakai banget. Sehingga daya jangkaunya masih tak seberapa. Di daerah tempat tinggal saya di kawasan Rungkut, signal yang tertangkap hanya kenduk-kenduk semata. Tak lebih dari 17%. Itu pun timbul tenggelam. Menjadikan siaran tak muncul di layar kaca saya. Bersyukurlah kalau Anda bisa menangkap siarannya. Kabarnya, malah ada yang bisa menangkap di daerah Pasuruan sana.

Sinyal MUX Emtek,
masih pelit.

Mengudara dari tower Indosiar di Balongsari (bukan di menara SCTV Darmo Permai), secara jarak tak jauh berbeda dengan pemancar digital lain yang telah on air. Kalau dibandingkan dengan MUX Trans (ch. 27) kalah jauh. Signal milik Trans kenceng sekali. Pada urutan berikutnya ada MUX Metro (ch. 25) dan peringkat teratas secara kekuatan sinyal (biasanya) diraih MUX TVRI (ch. 35).

Sinyal TVRI, sedang zonk.

Kok biasanya?

Iya, karena sesaat sebelum membuat tulisan ini, ketika saya intip, sinyal dari MUX TVRI malah sedang zonk. Ada apa gerangan?

Baiklah, saya keluar sebentar. Menatap langit. Bertanya kepada mendung yang tipis belaka. Kapan hujan turun, agar hawa Surabaya tidak lagi sesumuk ini. ****

Senin, 31 Agustus 2020

Tilik: Reality Show Sesungguhnya

PETAN, mencari kutu rambut, dilakukan ibu-ibu di saat senggang. Setelah lelah dengan urusan kasur, sumur dan dapur. Membentuk lingkaran. Sehingga bisa saling petan kepala lain di depannya. Ketemu kutu, diceplus, atau digites, dipenyet diantara kuku jempol tangan kiri dan jempol tangan kanan. Ada satu bumbu pelengkap agar ritual mencari kutu rambut itu makin seru. Makin gayeng. Yaitu: rasan-rasan

Rasan-rasan, ngomongin orang lain yang tidak ada dalam lingkaran petan itu, teramat nikmat gurihnya. Ada banyak hal yang bisa dijadikan bahan rasan-rasan. Pun demikian juga sosoknya. Bisa dipetani segalanya. Seringkali kejelekannya. Dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki. 


Mukaddimah
-nya bisa saja sederhana. Kemudian makin melebar secara liar. Misal, celetuk Yu Sam, "Apa benar si Fikri iku sesrawungan karo Dian?"

Dan percakapan pembuka rombongan Bu Tejo dalam perjalanan ke Rumah Sakit hendak tilik, menjenguk, bu Lurah (ibunya Fikri) yang lagi gerah, sakit itu mengalir lancar jaya. Terlihat tidak seperti sedang berakting.

Minggu, 30 Agustus 2020

Sambal Bongkot, Oh My God!


UNTUK
urusan makan, saya ini termasuk orang yang menganut faham pokoknya kenyang. Bukan sebagai petualang rasa. Dalam artian suka mencoba menu baru yang tentu mempunyai rasa baru. Saya kira ini ada untungnya. Paling tidak, selain baju yang tidak sering ganti (karena punyanya cuma itu melulu), tidak suka mencoba menu makanan baru dapat diindikasikan hanya dilakukan oleh orang yang setia. Orang yang tidak suka syelingkuh (pakai syin). Yes, dengan memakai parameter itu, saya masuk kategori orang yang setia setiap saat seperti bunyi iklan deodorant.

Tempo hari saya membuat status di wasap tentang lidah saya yang kangen sambel bongkot. Itu nyata adanya. Bukan mengada-ngada. Bahwa dulu saya tidak suka sambel itu memang iya. Tetapi kemudian menjadi suka berawal dari coba-coba. Sekali dua kali, lidah saya mulai bisa menerima. Lalu, kini, mengangeninya. (Jangan-jangan hobi selingkuh juga berawal coba-coba demikian itu😊).


Dulu, saat bertugas di Bali, dalam sebulan sekali pulang ke Surabaya, selalu saya bawa si bongkot itu. Yang sebelumnya tidak saya sukai itu. Saya bawa naik pesawat. Di rumah saya sambal sendiri. Pakai terasi. Pakai teri. Ditambah pete. Dimakan sama nasi hangat, amboi rasanya. Kalau saja si Inces Nabati mencoba sambal buatan saya itu, tentu ia akan bilang: Duh Gustiiii..... Endol surendol takendol-kendol nguenah....

Entah dimana di Surabaya ini saya bisa beli si bongkot yang kalau di Senganan, Tabanan, harga seikat berisi empatbelas, seingatnya saya hanya lima ribu rupiah saja. Dan di kebun Pan Sukresni, orang tua baik hati yang selama berbulan-bulan di Tabanan saya ikuti, saya bisa membawa semau saya dengan gratis belaka.

Sambil sarapan dengan sambal instan buatan pabrik, tadi pagi saya iseng bilang kangen sambel bongkot kepada Ibu Negara.

"Itu di frezer kan masih ada", sahutnya. "Dulu pernah aku mau buang, sampeyan bilang jangan".

"Iya to?!"

Istri saya menuju lemari es dan mengambil kotak tupperware berwarna hijau muda. Di dalamnya ada bongkahan kecil sambal yang menggumpal. Putih. Menjadi beku. Saya cuwil, ah iya, saya masih belum lupa. Ini benar sambel bongkot. Oh my God. Saya girang sekali.

"Ini sambal kapan ya?", saya bertanya sambil makan.

"Hampir tiga tahun lalu. Apa masih enak?"

"Enak tuh", lahap saya menyantap. "kalau nanti ada efek samping, palingan cuma mules...".

Rindu kadang memang bisa bikin orang mabuk kepayang. Eh, mabuk sambel bongkot ding!****

Koran Korban

BEBERAPA bulan yang lalu, saat sedang hangat-hangatnya berita tentang Helmy Yahya sebagai Dirut yang dicopot jabatannya oleh Dewas TVRI, saya baca di internet koran Kompas melalukan survei terkait hal tersebut. Survei Litbang Kompas, Anda tahu, tentu selalu bermutu. Jangankan soal perseteruan Helmy dan Dewas TVRI, survei soal Pilpres saja koran Kompas menyajikannya dengan ces-pleng. Maka, ketika hasil survei itu dimuat di koran Kompas, sepulang kerja saya sempatkan membeli edisi Kompas hari itu. Saya beli di tukang koran pinggir jalan. Di ujung jalan Diponegoro, seberang bonbin, Surabaya. Lalu saya lanjut perjalanan pulang, si koran Kompas itu saya masukkan bagasi motor Vario saya. Dan, hasil survei Litbang Kompas tentang TVRI-Helmy itu adalah; saya malah belum membacanya. Sampai sekarang. Sampai saya iseng membuat tulisan ini.

Jadi, saya ingin bertanya; kapan terakhir kali Anda membaca koran? Atau malah sudah tidak pernah.

Di seberang Pasar Soponyono Rungkut, saya lihat tumpukan koran yang dijual seorang agen sekarang makin menipis. Di perempatan Panjangjiwo, di dekat lampu merah, dua ibu sepuh duduk di tepi jalan memangku koran dagangannya. Duduk, pasif. Bukan laiknya tukang koran saat zaman koran masih menjadi sumber informasi andalan dulu. Yang mendatangi calon pembeli. Saat lampu merah. Dengan membaca judul isi koran edisi hari itu. Yang kadang di-lebay-kan. Agar menarik. Agar orang tertarik membeli.

Sekarang era digital. Era internet. Era paperless. Lalu nasib koran?

Membaca Jawa Pos edisi Minggu

Saya bukan orang koran. Tapi saya bisa membayangkan bagaimana orang koran mempertahankan mati-matian media cetaknya. Agar tetap hidup. Di tengah gempuran sumber bacaan yang tanpa kertas tadi. Dan era mempertahankan kehidupan media cetak sudah pernah terjadi sebelumnya. Menyesuaikan diri. Dengan perkembangan zaman yang menuntut segala sesuatu penjadi simple. Menjadi praktis.

Selasa, 25 Agustus 2020

Blogger, Vlogger, Youtuber dan Mager

IYA, entah sejak kapan, saya suka utak-atik antena televisi. Bermula dari antena UHF biasa, beranjak ke antena wajan. Iseng saja. Suka saja. Suka lihat televisi. Walau kalau saya sedang pegang remote control tivi, si remote itu bisa-bisa kegeregetan; karena saya selalu gonta-ganti channel. Tak fanatik pada kanal tertentu. Lalu kesukaan itu saya tuang dalam tulisan. Dalam blog. Sekenanya. Semaunya. Sok jadi pengamat televisi. Karena, saya pikir, jadi pengamat televisi itu gampang. Tinggal nonton, amati, ulas, lalu posting di blog.

Ternyata saya keliru. Ternyata tidak begitu. Pengamat tivi itu kudu paham banyak hal. Bukan berdasar amatan serampangan di layar kaca belaka. Tapi juga hal-ihwal yang saling kait-mengait dalam ikatan dunia penyiaran. Undang-undang atau regulasinya, teknologinya, resolusi gambarnya. Dan sebagainya, dan seterusnya.

Dengan tahu diri bahwa saya tidak banyak tahu, maka dalam blog televisi saya itu, saya membatasi diri hanya memposting hal yang setahu saya saja. Tidak lebih. 

Awal ngeblog dulu, sekitar sebelas tahun yang lalu, saya seperti kesurupan. Entah berapa blog yang saya buat. Walau sekarang, yang saya rawat (seingatnya saja sih merawatnya 😊) hanya dua atau tiga. Termasuk ini. Yang sedang saya (atau Anda?) baca ini.