Rabu, 27 Maret 2019

Info Ninmedia di DVB-T2

AWAL punya receiver DVB-T2 dulu, rutinitas yang sering saya lakukan adalah scan receiver. Sambil berharap channel bertambah. Harapan yang hampa ternyata. Sekian lama, channelnya itu-itu melulu. MUX yang mengudara juga setali tiga uang. Milik Viva, Emtek dan MNC grup jarang muncul batang sinyalnya. Yang masih ajek hanya milik TransCorp (CT-Corp), Metro dan (tentu saja) MUXnya TVRI. Pun sampai saat ini, ketika saya membuat tulisan ini.

Malam ini, sekian belas bulan setelah tak mengintip channel di saluran digital terrestrial, iseng saya scan. Kali ini tak berharap lebih. Takut kecewa. Toh, untuk siaran televisi, saya sudah punya antena parabola. Yang C-band (Palkom) dan Ku-band untuk nangkap si Ninmedia. Cukup sudah. Walau telah punya 'alat tempur' macam itu, belakangan saya malah jarang nonton tivi.

Lha bagaimana? Nonton bal-balan saya kurang suka. Politik apalagi. Njelehi. Obrolan politik selalu bikin saya gatal-gatal, pusing, meriang dan panas dalam sampai sariawan. Mungkin ada gejala saya mengidap alergi ya. Menonton masing-masing kubu, dalam dialog di layar kaca, terlihat acap menampilkan para pendekar silat lidah. Ada yang sampai mengeluarkan jurus dan ajian yang kadang kurang bisa diterima akal (sehat?) saya. Sinetron? Wih. Baca judulnya saja kadang sudah capek. Azab Suami yang Ditolak Bumi Saat Mati Karena Sering Mendholimi Istri, atau judul lainnya. Yang entah mengapa, suka sekali membuat judul panjang. Atau sengaja menyaingi panjangnya rangkaian kereta api pengangkut tanki BBM Pertamina.

Kembali ke kanal tv digital. MUX yang mengudara masih tak bertambah. Pun demikian channelnya, hanya kurang dari duapuluh. Jadi, jangan bandingkan dengan yang bisa ditangkap lewat Palapa-D. Kalau dibanding konten siaran FTA (Free to Air) di Telkom-4 sih bolehlah diadu jumlahnya. Namun kalau lawan Ninmedia jangaaannn... Pasti telak kalahnya. Belasan vs nyaris seratus.

Lalu apa?
Lalu sampai kapan pemirsa bisa menikmati siaran tv digital terrestrial dengan konten beragam dan dengan jumlah channel yang seramai  dan sejernih gambar 'jalur langit'? Mungkin setelah Pilpres nanti ya. Namun, entah Pilpres tahun berapa.😊

Penampakan slot Info Freesat Ninmedia
di kanal digital terrestrial
pada MUX TVRI Surabaya.
Iklan sosialisasi migrasi siaran tv dari analog ke digital pernah juga saya lihat. Di kanal TVRI. Juga di layar InspiraTV. Selain itu sepertinya belum pernah. Kini, iklan Ninmedia yang malah nongol di jalur digital terrestrial. Menghuni satu slot. Di 586 MHz. Channel 35. Pada MUX milik TVRI Surabaya.

Artinya apa?
Bagi saya ini fenomena agak menarik. Pasalnya, dengan Ninmedia punya slot khusus untuk promosi (termasuk menayangkan betapa mudah dan murahnya pasang Ninmedia), menjadikan orang mau tak mau menjadi berpikir ulang. Mendingan Ninmedia dong... Toh perangkat receiver yang harus dibeli harganya tak mahal-mahal amat. Antenanya bisa pakai bekas punya pay tv. Di tukang rongsok kadang ada. Beli baru, yang ukuran diameter 45 cm, juga relatif murah maharnya.

Hal ini membuat saya menjadi ingat kata seorang sahabat. Bahwa untuk negara seluas Indonesia, migrasi ke digital terrestrial agak kurang tepat. Dimana setiap pemegang hak untuk berperan sebagai penyedia MUX (yang bisa disewakan ke badan penyiaran lain) pada suatu zona siaran, harus menyiapkan perangkat pemancar digital. Di sekian kota. Di seluruh Indonesia. Jumlahnya bisa jadi setara dengan jumlah pemancar analog yang sekarang ada.

"Seyogyanya", sambung sahabat saya tadi, "dengan negeri seluas ini, migrasinya langsung pakai digital satelit. Pakai DVB-S2".

Saya sepakat. Mungkin karena saya ini awam. Namun, saya berbaik sangka saja. Bahwa, pemerintah kita mengadopsi sistem penyiaran digital menggunakan digital terrestrial, tentu telah pula dipikir matang. Dan sampai sekarang terus digodok. Entah sampai kapan. Kita sebagai pemirsa hanya bisa menunggu.

Bagi yang kurang sabar, tuh ada solusinya. Lihat saja di Info Freesat (Ninmedia). Yang bisa kita tonton di saluran digital terrestrial.

Semoga konsep pematangan digitalisasi sistem penyiaran di Indonesia segera selesai digodok. Jangan sampai karena terlalu lama digodok, malah hasilnya tak bisa dinikmati karena mblekotrok. Maaf, Anda tahu arti kata mblekotrok? 😀 ****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar