DUA etape mudik saya tahun ini,sungguh saya syukuri sebagai yang lancar-lancar saja.Nyaris tiada yang pantas dituangkan sebagai tulisan.Tetapi karena saya kadung bertekad selalu harus menulis seremeh temeh apapun topiknya,maka saya tulis saja.
Etape pertama: Surabaya-LA (PP)
Etape ini pendek saja.Tak lebih dari 75 km.Tapi,sependek apapun jaraknya,dengan semotor berempat plus satu tas besar dan masih ditambah satu ransel,tentukah tetap berisiko tinggi.Tak perlulah saya upload foto saya tentang ini.Sudah sangat banyak terpampang di berbagai media gambar serupa; Si sulung didepan,duduk diatas tas besar diantara kemudi dan sang ayah sebagai 'pilot'.Dibelakang si ibu menggendong si kecil.Menggendong ganda,lengkapnya.Di depan anak,dipunggung ransel.Pula,jangan bayangkan repotnya.
Tetapi,syukurlah.Semua baik-baik saja.Walau sebuah rencana menjadi agak meleset sedikit.Yang tadinya,kami ingin sholat id di LA,karena setelah mendengar pemberitahuan di televisi hari raya baru tiba hari Rabu,maka rencana itu berubah.Mengingat waktu libur saya cuma 4 hari,sementara masih ada satu etape mudik lagi ke tanah air saya di Jember,maka Selasa pagi kami 'berakrobat' lagi;semotor berempat lagi balik ke Surabaya.Transit saja.Karena malam selepas buka puasa kami harus 'terbang' ke Jember.
Etape kedua: Surabaya-Jember (hanya P)
Suara takbir mengiringi perjalanan.Semotor berempat kali ini pendek saja.Saya,seperti biasa,menginapkan si Supra di Purabaya saja.
“Menginap,pak?”sapa penjaga 'penginapan' motor.
“Iya,empat hari.”
“Kena tarif lebaran,pak,”kata petugas itu mengajak mata saya memandang kelender yang ditandai.Juga tertera disitu kalimat pemberitahuan: Tarif Lebaran 5000/hari.
Untuk yang begini ini,tentu tak diatur pemerintah seperti mengatur tarif bus.Maka,ya saya harus mengeluarkan selembar dua puluh ribuan untuk si Supra saya yang selama lebaran ini memang bekerja lebih berat ketimbang biasanya.
Masuk ke Purabaya,saya menemui wajah baru.Bus ekonomi menempati lokasi baru.Jam delapan malam dari situ saya take off.Dibawa bus Restu yang saya tak sempat mencatat nomor punggungnya.Perjalanan yang landa-landai saja.Nyaris tiada yang laik ditulis.Benar-benar cerita tanpa kejutan.Kecuali,laju Restu sempat tersendat di alun-alun Bangil karena ribuan orang bermotor tumplek-blek disitu.Untuk takbiran? Entahlah.tetapi saya malah mengira sedang ada kontes adu suara kenalpot.
Sekitar jam sebelas malam,si Restu landing di Probolinggo.Sesuai rencana,kami hanya transit sejenak disini.Sekadar buang air.Dan yang lebih penting,membeli air panas untuk bikin dua botol susu untuk si kecil.Persiapan yang penting tentu.Karena masih dua jam perjalanan lagi baru sampai sasaran.
Transit yang singkat saja.Ketika kru Akas Asri yang tak parkir di terminal Bayuanga ini teriak-teriak,”Kencong,Kencong...”,dengan agak berlari kami masuk.Saya tak mau berspekulasi.Tengah malam begini bus yang lewat Kencong memang sudah jarang.Saya tak tega melihat si kecil terlalu lama kena hawa terminal yang penuh asap kenalpot,kalau menunggu bus berikutnya.
Dibanding si Restu,terasa Akas Asri ini lebih nyaman.Suspensinya lembut.AC yang berhembus dan badan yang capek membuat saya ingin sejenak terlelap.Tapi sekuat tenaga keinginan itu saya hindari.Karena,kalau sudah tidur,'sejenak' itu bisa lama.Dan itu bisa fatal akibatnya;kelewatan dari sasaran tujuan.
Tengah malam,sekitar jam satu,kami mendarat dengan selamat di kampuang nun jauh dimato; Mlokorejo,disambut hawa dingin yang menggigit.
(Bersambung besok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar