Es Dawet Siwalan 'Juara Satu'. Foto: Dok. Pribadi |
Saya termasuk yang terakhir itu. Karena, setiap mudik ke LA, saya selalu ambil jalan itu,tembus ke Suko Mulyo. Tetapi, sekali waktu, saya juga tergoda mencicipi jajanan disitu. Itu saya lakukan dengan prediksi, saya belum sampai rumah ketika bedug maghrib. Dan, karenanya, saya perlu bekal untuk sekadar membatalkan puasa dijalan.
Saya tertarik membeli jajanan yang namanya aneh; Bongko. Nama yang ‘saru’, saya kira. Itu derajat paling rendah dari istilah kematian; Wafat, meninggal, berpulang, tewas, mampus itu urutan dalam bahasa Indonesia. Kalau dalam bahasa Jawa; seda, tilar ndonya, mati, modar, dan...bongko.
Tentu saya keliru. Karena, si bongko berbungkus daun pisang itu, berisi semacam kolak bertabur butiran tepung ‘mutiara’ dengan aroma pandan nan harum-segar. Dengan kemasan yang menipu, tapi. Menipu? Iya. Si bongko tampil dalam kemasan daun yang ‘gemuk’, seakan isinya cukup mengenyangkan. Padahal sejatinya isinya cuma sak iprit untuk ukuran lambung saya. Persis kemasan gethuk pisang yang selengan, tetapi isinya sekelingking!
Dengan alasan tak mau tertipu untuk kedua kalinya, tempo hari saya tidak beli ‘bongko’ lagi. Saya memilih es dawet siwalan. Tentu segar sebagai pembuka buka puasa di jalan nanti. Dan karena ada begitu banyak penjual es dawet siwalan disitu, saya harus selektif memilih. Harus yang paling. Yang ter. Pokoknya yang nomer satu. Dan ketemu.
Entah ia pernah menang di mana. Tetapi dengan memampang nama Juara Satu, saya tak punya waktu untuk meragukannya. Buktinya, dari sekian banyak penjual es dawet siwalan, ia paling laris. Sungguh makin yakin saya.
Dengan maksud agar istri dan anak saya ikutan merasakan segarnya es dawet siwalan yang Juara Satu, akhirnya saya memesan untuk dibawa pulang. Jumlahnya? Satu bungkus saja. Harganya? Tiga ribu lima ratus saja. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar