PADA November mendatang ada kado indah untuk kota pahlawan ini. Kado itu berbentuk sebuah film yang mengusung tema nasionalisme. Judulnya,Bendera Sobek. Digarap oleh sutradara Dwi Ilalang. Film yang menelan dana 8 miliar rupiah itu mengambil lokasi syuting di sejumlah daerah di Jawa Timur. Juga, didukung oleh para pemain asli dari Jawa Timur.
Film yang terinspirasi peristiwa penyobekan bendera di atas hotel Yamato pada November 1945 lalu itu, memulai syutingnya pada 30 Juli kemarin. Tidak tanggung-tanggung, syuting perdana yang juga melibatkan tim dari Jember Fashion Carnaval itu menutup jalan Tunjungan selama seharian penuh. Tak ayal, hal itu menyebabkan kemacetan luar biasa di tengah kota Surabaya.
Bulan November masih beberapa bulan lagi. Masih ada waktu untuk menunggunya. Dan sambil menunggu, saya juga punya cerita tentang sesuatu yang sobek. Bukan bendera. Tetapi rok!
Tentu, kalaulah difilmkan, adegan sobeknya sang rok ini tak perlu sampai menutup sebuah jalan utama di tengah kota. Karena peristiwa ini terjadi hanya di sebuah desa sana. Tepatnya, dipertigaan pasar Gumukmas-Jember.
Terlalu muluk kalau saya berharap adegan sangat memalukan ini untuk dibuat sebagai film. Tetapi sebagai sesuatu yang saya kenang, memang iya.
Kelemahan saya, antara lain, saya tak pernah mencatat tanggal dan bulan kejadian. Tetapi kali itu saya hendak pergi ke Kencong, kalau tidak salah. Dari mulut gang Walet, saya naik ‘taksi’. Istilah ‘taksi’ di desa saya, jangan bayangkan ia sebagai semacam Blue Bird atau Cipaganti. Bukan. Tetapi ia adalah kendaraan Cotl T-20 atau semacamnya. Yang berfungsi sebagai angkutan umum untuk trayek-trayek jarak dekat. Karena untuk jarak lebih jauh, itu adalah dominasi kelompok Akas dkk. Atau paling tidak dari keluarga Bison-nya Isuzu.
Nah,di dalam ‘taksi’ itu, begitu saya naik,
“Kemana,pak?”sapa sang kernet.
“Kencong,”jawab saya.
Karena tujuan turun saya agak jauh sedikit, si kernet menyilakan yang turun duluan lebih geser ke depan. Kedekat pintu. Karenanya, saya lalu mendapatkan duduk disisi belakang. Tepat di sudut. Tempat yang menjadi favorit saya kalau naik ‘taksi’ begini. Karena bisa dapat angin segar dengan membuka sedikit saja kaca jendelanya.
Saya merasakan angin segar sesaat setelah taksi berjalan. Lebih segar lagi saya duduk berhimpitan dengan seorang wanita muda. Tak terlampau ‘bening’, tetapi karena pesaing lainnya lebih buram, tak apalah.
Saya yang memang sering memperhatikan hal-hal kecil, mendapati kenyataan bahwa; kalau saja si bening itu mau sedikit saja mengatur rambutnya sedemikian rupa, tentulah lebih modis. Tidak hanya membiarkan rambut panjangnya diikat menjadi laksana ekor kuda. Juga bajunya. Terlalu kedodoran untuk ukuran tubuhnya yang ramping. Paduan warna pastel berukuran longgar di atasan, plus bawahan yang juga seperti kepanjangan, saya kira ia sekaligus menyapu jalanan bila berjalan. Intinya;roknya terlalu ‘landung’.
Tetapi saya bukan Itang Yunasz atau Ivan Gunawan. Model baju belakangan ini, saya kira, menjadi ‘hak prerogatif’ si pemakai. Pun, karenanya, tentu bukan pada tempatnya saya menilai siapapun mengenakan baju model apapun. Juga si bening dengan rok longgar ini.
“Kiri, pak,” seru si bening begitu ‘taksi’ sampai di pertigaan Gumukmas.
Oh, rupanya ia sudah sampai sasaran. Dan, saya pikir, saya harus cari sasaran lain untuk mencuci mata. Maka, saya melemparkan pandangan keluar jendela ‘taksi’, berbarengan dengan si bening yang berdiri dari duduknya untuk segera turun.Tetapi,
“Weekkk….”ada suara kain sobek.
Secepat kilat saya mencari sumber suara. Dan, oh Tuhan, rok si bening itu menganga tepat di jahitan pada posisi pahanya. Penyebabnya; ternyata sebagian roknya masih terduduki pantat saya saat dia berdiri.
Saya lirik wajah si bening memerah-padam. Mualuuu. Sangat malu. Saya merasa bersalah? Tentu. Karenanya saya tak berani melihat adegan apa yang terjadi berikutnya. Duh.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar