Senin, 31 Agustus 2020

Tilik: Reality Show Sesungguhnya

PETAN, mencari kutu rambut, dilakukan ibu-ibu di saat senggang. Setelah lelah dengan urusan kasur, sumur dan dapur. Membentuk lingkaran. Sehingga bisa saling petan kepala lain di depannya. Ketemu kutu, diceplus, atau digites, dipenyet diantara kuku jempol tangan kiri dan jempol tangan kanan. Ada satu bumbu pelengkap agar ritual mencari kutu rambut itu makin seru. Makin gayeng. Yaitu: rasan-rasan

Rasan-rasan, ngomongin orang lain yang tidak ada dalam lingkaran petan itu, teramat nikmat gurihnya. Ada banyak hal yang bisa dijadikan bahan rasan-rasan. Pun demikian juga sosoknya. Bisa dipetani segalanya. Seringkali kejelekannya. Dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki. 


Mukaddimah
-nya bisa saja sederhana. Kemudian makin melebar secara liar. Misal, celetuk Yu Sam, "Apa benar si Fikri iku sesrawungan karo Dian?"

Dan percakapan pembuka rombongan Bu Tejo dalam perjalanan ke Rumah Sakit hendak tilik, menjenguk, bu Lurah (ibunya Fikri) yang lagi gerah, sakit itu mengalir lancar jaya. Terlihat tidak seperti sedang berakting.

Minggu, 30 Agustus 2020

Sambal Bongkot, Oh My God!


UNTUK
urusan makan, saya ini termasuk orang yang menganut faham pokoknya kenyang. Bukan sebagai petualang rasa. Dalam artian suka mencoba menu baru yang tentu mempunyai rasa baru. Saya kira ini ada untungnya. Paling tidak, selain baju yang tidak sering ganti (karena punyanya cuma itu melulu), tidak suka mencoba menu makanan baru dapat diindikasikan hanya dilakukan oleh orang yang setia. Orang yang tidak suka syelingkuh (pakai syin). Yes, dengan memakai parameter itu, saya masuk kategori orang yang setia setiap saat seperti bunyi iklan deodorant.

Tempo hari saya membuat status di wasap tentang lidah saya yang kangen sambel bongkot. Itu nyata adanya. Bukan mengada-ngada. Bahwa dulu saya tidak suka sambel itu memang iya. Tetapi kemudian menjadi suka berawal dari coba-coba. Sekali dua kali, lidah saya mulai bisa menerima. Lalu, kini, mengangeninya. (Jangan-jangan hobi selingkuh juga berawal coba-coba demikian itu😊).


Dulu, saat bertugas di Bali, dalam sebulan sekali pulang ke Surabaya, selalu saya bawa si bongkot itu. Yang sebelumnya tidak saya sukai itu. Saya bawa naik pesawat. Di rumah saya sambal sendiri. Pakai terasi. Pakai teri. Ditambah pete. Dimakan sama nasi hangat, amboi rasanya. Kalau saja si Inces Nabati mencoba sambal buatan saya itu, tentu ia akan bilang: Duh Gustiiii..... Endol surendol takendol-kendol nguenah....

Entah dimana di Surabaya ini saya bisa beli si bongkot yang kalau di Senganan, Tabanan, harga seikat berisi empatbelas, seingatnya saya hanya lima ribu rupiah saja. Dan di kebun Pan Sukresni, orang tua baik hati yang selama berbulan-bulan di Tabanan saya ikuti, saya bisa membawa semau saya dengan gratis belaka.

Sambil sarapan dengan sambal instan buatan pabrik, tadi pagi saya iseng bilang kangen sambel bongkot kepada Ibu Negara.

"Itu di frezer kan masih ada", sahutnya. "Dulu pernah aku mau buang, sampeyan bilang jangan".

"Iya to?!"

Istri saya menuju lemari es dan mengambil kotak tupperware berwarna hijau muda. Di dalamnya ada bongkahan kecil sambal yang menggumpal. Putih. Menjadi beku. Saya cuwil, ah iya, saya masih belum lupa. Ini benar sambel bongkot. Oh my God. Saya girang sekali.

"Ini sambal kapan ya?", saya bertanya sambil makan.

"Hampir tiga tahun lalu. Apa masih enak?"

"Enak tuh", lahap saya menyantap. "kalau nanti ada efek samping, palingan cuma mules...".

Rindu kadang memang bisa bikin orang mabuk kepayang. Eh, mabuk sambel bongkot ding!****

Koran Korban

BEBERAPA bulan yang lalu, saat sedang hangat-hangatnya berita tentang Helmy Yahya sebagai Dirut yang dicopot jabatannya oleh Dewas TVRI, saya baca di internet koran Kompas melalukan survei terkait hal tersebut. Survei Litbang Kompas, Anda tahu, tentu selalu bermutu. Jangankan soal perseteruan Helmy dan Dewas TVRI, survei soal Pilpres saja koran Kompas menyajikannya dengan ces-pleng. Maka, ketika hasil survei itu dimuat di koran Kompas, sepulang kerja saya sempatkan membeli edisi Kompas hari itu. Saya beli di tukang koran pinggir jalan. Di ujung jalan Diponegoro, seberang bonbin, Surabaya. Lalu saya lanjut perjalanan pulang, si koran Kompas itu saya masukkan bagasi motor Vario saya. Dan, hasil survei Litbang Kompas tentang TVRI-Helmy itu adalah; saya malah belum membacanya. Sampai sekarang. Sampai saya iseng membuat tulisan ini.

Jadi, saya ingin bertanya; kapan terakhir kali Anda membaca koran? Atau malah sudah tidak pernah.

Di seberang Pasar Soponyono Rungkut, saya lihat tumpukan koran yang dijual seorang agen sekarang makin menipis. Di perempatan Panjangjiwo, di dekat lampu merah, dua ibu sepuh duduk di tepi jalan memangku koran dagangannya. Duduk, pasif. Bukan laiknya tukang koran saat zaman koran masih menjadi sumber informasi andalan dulu. Yang mendatangi calon pembeli. Saat lampu merah. Dengan membaca judul isi koran edisi hari itu. Yang kadang di-lebay-kan. Agar menarik. Agar orang tertarik membeli.

Sekarang era digital. Era internet. Era paperless. Lalu nasib koran?

Membaca Jawa Pos edisi Minggu

Saya bukan orang koran. Tapi saya bisa membayangkan bagaimana orang koran mempertahankan mati-matian media cetaknya. Agar tetap hidup. Di tengah gempuran sumber bacaan yang tanpa kertas tadi. Dan era mempertahankan kehidupan media cetak sudah pernah terjadi sebelumnya. Menyesuaikan diri. Dengan perkembangan zaman yang menuntut segala sesuatu penjadi simple. Menjadi praktis.

Selasa, 25 Agustus 2020

Blogger, Vlogger, Youtuber dan Mager

IYA, entah sejak kapan, saya suka utak-atik antena televisi. Bermula dari antena UHF biasa, beranjak ke antena wajan. Iseng saja. Suka saja. Suka lihat televisi. Walau kalau saya sedang pegang remote control tivi, si remote itu bisa-bisa kegeregetan; karena saya selalu gonta-ganti channel. Tak fanatik pada kanal tertentu. Lalu kesukaan itu saya tuang dalam tulisan. Dalam blog. Sekenanya. Semaunya. Sok jadi pengamat televisi. Karena, saya pikir, jadi pengamat televisi itu gampang. Tinggal nonton, amati, ulas, lalu posting di blog.

Ternyata saya keliru. Ternyata tidak begitu. Pengamat tivi itu kudu paham banyak hal. Bukan berdasar amatan serampangan di layar kaca belaka. Tapi juga hal-ihwal yang saling kait-mengait dalam ikatan dunia penyiaran. Undang-undang atau regulasinya, teknologinya, resolusi gambarnya. Dan sebagainya, dan seterusnya.

Dengan tahu diri bahwa saya tidak banyak tahu, maka dalam blog televisi saya itu, saya membatasi diri hanya memposting hal yang setahu saya saja. Tidak lebih. 

Awal ngeblog dulu, sekitar sebelas tahun yang lalu, saya seperti kesurupan. Entah berapa blog yang saya buat. Walau sekarang, yang saya rawat (seingatnya saja sih merawatnya 😊) hanya dua atau tiga. Termasuk ini. Yang sedang saya (atau Anda?) baca ini.