Tampilkan postingan dengan label lupa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lupa. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Oktober 2011

Kaos Kaki Edwin





     ANAK SULUNG saya, Edwin, sudah kelas enam SD. Ia saya ‘hijrahkan’ dari LA (baca: Lamongan) ke Surabaya ketika masuk semester dua saat kelas lima. Dan alhamdulillah, sekalipun pindahan dari kampung, ia bisa mengikuti dan tidak ketinggalan pelajaran sekolah di kota. Walau tentu ada penyesuaian disana-sini.
     Penyesuaian itu antara lain ini; jam berangkat sekolah.
Kalau dulu di kampung, karena sekolah masuk jam tujuh, ia baru berangkat dari rumah jam 7 kurang seperempat. Disini, jam enam thet, ia harus sudah berangkat. Walau masuk kelasnya tetap sama; jam tujuh.
     Jam enam sudah harus berangkat, karena jam enam seperempat tepat dilaksanakan sholat dhuha secara berjamaah di sekolah.

     Berangkat lebih pagi, menimbulkan efek samping; sarapan juga harus dilaksanakan menyesuaikan. Dan kebiasaan si Edwin yang ikut terbawa ke Surabaya, setiap makan, selain sendok dan segelas air yang harus ada didekatnya, juga harus memegang remote control televisi. Baginya, sarapan tanpa nonton tivi bagai sayur tanpa garam.
     Urusan televisi ini yang sering bikin saya berlaku keras kepadanya. Dia saya larang menonton acara lucu-lucuan yang tidak memberi nilai lebih. Dagelan-dagelan yang tidak mencerdaskan. Ia saya ceraikan dengan si Opera van Java dan sejenisnya! Tidak boleh nonton Termehek-mehek dan sebangsanya. Nonton sinetron atau Infotanment, juga tidak boleh. Untunglah sejak sebulan lalu ada Kompas (tanpa ada huruf TV dibelakangnya. Karena ia adalah ‘hanya’ content provider?) Yang setiap hari selalu  menyajikan acara yang lebih ‘beradab’ ketimbang saluran lain. Karenanya, sungguh saya merindukan kenyataan bahwa Kompas akan benar-benar menjadi, sesuai tagline-nya; Inspirasi Indonesia.

     Kembali tentang Edwin;
Setiap sambil sarapan, acara yang selalu ditontonnya  adalah Lensa Olahraga di antv atau Sport7di Trans7. Untuk dua acara ini saya belum punya alasan untuk melarangnya. Seperti juga saya, Edwin juga gemar berita olahraga. Lebih-lebih yang memberitakan Persela. Rupanya sekalipun sudah di Surabaya, ia belum bisa melupakan si Laskar Joko Tingkir.
     Edwin begitu bangga akan namanya. Sebagai penggemar sepak bola, ia sering memiripkan nama depannya dengan kiper timnas Belanda Edwin van der Sar. Padahal namanya itu hanya kependekan dari nama saya. Hehehe…
     Asyik melototi berita olahraga, sarapannya jadi lamban dan kurang ngebut. Padahal jarum jam sudah nyaris menunjuk angka enam tepat.
     “Sudah, jangan nonton tivi melulu. Lihat jam itu,” saya mengambil alih remote control dan mematikan televisi.
     Edwin memang belakangan ini tidak seperti hari-hari pertama sekolah di Surabaya dulu. Dulu, jam enam kurang lima dia sudah tergopoh-gopoh berangkat. Takut terlambat, katanya. Beberapa hari ini dia terlihat lebih santai.
     Terlihat wajah Edwin sedikit kecewa ketika televisi saya matikan. Tetapi, saya pikir, sebagai orang tua saya kadang memang harus ‘kejam’. Lebih-lebih ia sudah kelas enam.
     Setelah menggosok gigi dan menyandang tas sekolah, saya lihat ia tak juga beranjak berangkat sekolah. Ia celingukan didekat rak sepatu.
     “Kenapa?” tanya saya.
     “Kaos kakiku mana?” tanyanya dengan wajah cemberut.
     Diburu waktu, mata saya secepat kilat ikut mencarinya.
     “Itu,” saya menunjuk sepasang kakinya yang sudah berkaos.
     Edwin menanggalkan cemberut dari wajahnya. Saya melihat, sambil mengayuh sepeda berangkat sekolah ia tertawa sendiri. *****

Minggu, 18 September 2011

(Bukan) Kabar Burung

SEBELUM punya kendaraan sendiri, dulu kemana-mana saya selalu naik angkot. Termasuk untuk berangkat dan pulang kerja. Dan kebiasaan saya, kalau akan bepergian, selalu buang air dulu. Karena, repot kan kalau dalam angkot di jalan tiba-tiba kebelet pipis. Kalau pakai kendaraan sendiri sih, tentu saya bisa belok ke SPBU untuk nunut ke toiletnya sekadar melampiaskannya.

Seperti biasa, sore itu sebelum pulang kerja saya menuju toilet melaksanakan 'ritual' buang air dulu. Lepas itu, saya menuju seberang patung kuda di jalan HR Muhammad menunggu lyn TV jurusan Joyoboyo. Dari terminal Joyoboyo ke Rungkut, nanti, saya masih harus oper ke angkot lain. Pilihannya lumayan banyak. Ada lyn U yang lewat Panjangjiwo, atau H4J yang lewat jalan Ahmad Yani lalu belok kiri melalui jalan Jemursari. Kalau ingin lewat Sidosermo bisa pilih lyn JTK yang type Kijang (butut), tetapi kalau mau yang via Margorejo Indah ada JTK2 dari jenis Suzuki Carry.

Menunggu beberapa lama lyn TV yang berwarna coklat tua belum juga nongol. Kecuali angkot-angkot lain, lyn TV ini saya tahu kenapa dinamakan begitu. Kok tidak seperti angkot JTK yang kependekan dari jurusannya: Joyoboyo-Tambak Klanggri, misalnya. Karena lyn TV ini menjelajah daerah Surabaya Barat (Manukan, Lontar, Darmo Permai, Ngesong, Balongsari) yang disitu menjulang tower stasiun relay nyaris semua saluran televisi lokal maupun nasional, maka angkotnya dinamakan lyn TV!

Hampir jam lima sore saya baru dapat lyn yang saya tunggu. Tanpa tanya ini-itu kepada si sopir langsung saja saya masuk. Karena pasti ini menuju terminal Joyoboyo. Lain halnya kalau ia berangkat dari terminal Joyoboyo. Angkot jenis ini terbagi menjadi beberapa tujuan; Ngesong, Manukan, Lontar atau Darmo Permai.

Di dalam angkot ini tak seberapa penuh. Di depan, di dekat sopir, ada satu penumpang, di belakang hanya ada saya, dan seorang ibu bersama anaknya yang sekitar delapan tahun umurnya. Rupanya si ibu itu punya tempat favorit seperti saya. Yang selalu memilih di bangku belakang, di dekat jendela. Angin yang berhembus ketika angkot berjalan membuat terasa isis. Saya duduk di pojok kiri sementara si ibu beserta anaknya di kanan. Kami berhadap-hadapan.

“Ma, ada burung mau terbang, ma,” si anak berceloteh saat angkot berjalan pelan, karena si sopir sambil tolah-toleh mencari penumpang.
“Hust,” si ibu menyuruhnya diam.

Ah, rupanya selain pilihan tempat duduk yang seselera dengan saya, si ibu itu juga tak suka bicara kalau di dalam angkot. Berbincang-bincang di dalam angkot adalah hal yang juga tidak saya sukai.
Tetapi dasar anak-anak, si bocah laki-laki itu terus saja ngoceh layaknya burung. Dan yang dibahas selalu saja soal burung.

Hampir setengah jam kami tiba di terminal Joyoboyo. Saya dan si ibu itu (juga anaknya, tentu) berpisah. Kami mempunyai tujuan yang berbeda, rupanya. Saya melanjutkan perjalanan ke Rungkut, dan si ibu itu entah mau kemana.

Seperti saya bilang di atas, angkot jurusan Rungkut ada beberapa pilihan. Dan semuanya ada plus-minusnya. Lyn H4J; via jalan Ahmad Yani yang luar biasa macetnya. Tetapi lyn U-pun setali tiga uang. Tiada jalan yang tak padat dan cenderung macet di Surabaya di setiap sore hari. Hanya trayek JTK type Kijang yang sedikit lebih lancar. Tetapi (minusnya) ia lewat perkampungan yang jalannya sempit dan meliuk-liuk. Karena jalan sepi, lajunya juga nggremet. Pelaaan sekali. Karena penumpang juga sepi. Kalau JTK2 yang Carry?

Karena ia sebagian besar adalah mobil agak baru (waktu itu sih...), tentu bila dibanding si TV yang setara JTK Kijang, saya memilih si JTK2 yang Carry. Walau bisa-bisa masih saja ada kemungkinan ketemu macet begitu sampai di pertigaan antara Kantor Pos dan kantor Telkom di Kendangsarin nanti. Tetapi plusnya, si JTK2 yang Carry ini, nyaris semua dilengkapi speaker yang menggelegar. Sebagian selalu tune in di sebuah gelombang radio dangdut. Lagu yang lagi populer waktu itu, Anggur Merah-nya Meggy Z.

Sekitar jam enam sore lebih sedikit, saya sampai rumah. Kebiasaan saya, selalu saja saya langsung menuju toilet; buang air. Dan ketika hendak membuka resleting,...
Lhadalah, ia masih menganga tiada terkunci selepas dibuka di tolilet kantor tadi. Makanya si bocah di lyn TV tadi selalu bicara tentang burung! ****

L u p a

BERTAHUN-TAHUN saya hanya selalu pulang kampung dalam durasi yang pendek saja. Seingat saya , dalam pulang yang setahun sekali itu, tak pernah lebih dari hanya lima hari saja.

Suatu sore di bulan ramadhan ketika pulang kampung, saya berniat membeli buah untuk buka puasa. Menujulah saya ke pasar Reboan. Sungguh, pasar ini memiliki nilai sejarah yang lumayan dalam bagi saya. Karena, enam tahun saya akrab blusukan di pasar yang saban hari selalu ramai, walau yang teramai tentulah di hari Rabu. Karenanya ia dinamakan Reboan.
Ya, karena sekolah saya hanya beberapa meter dari situ. Kenapa enam tahun? Penjelasannya; tiga tahun ketika SMP dan tiga tahun saat Madrasah Aliyah.

Sore itu saya mencari pedagang yang paling ramai. Karena menurut saya, yang paling ramai tentulah yang paling lengkap dagangannya, sekaligus dengan harga yang lebih murah.
Dalam kerumunan pembeli itu saya bergabung. Memilih beberapa nanas, mangga juga sebutir semangka.
“Berapa harga semua?” tanya saya.
Si pedagang, seorang perempuan gemuk, bersarung, dan berambut keriting memandang saya.
“Hei, kamu Edi, kan? Kapan datang. Wah, lama kita tak bertemu,” kata-kata itu begitu lancar melaju dalam bahasa Jawa logat Madura.
“Iya, aku Edi,” ucapan itu memang harus dikeluarkan. Walau, sumpah, saya tak tahu siapa si penjual buah itu.
“Kamu pangling aku ya?”
Tarikan panjang nafas saya sebagai pembetul ucapannya.
“Aku Romlah. Siti Romlah, teman SMPmu dulu,” riang betul kalimat itu meluncur..
Sore itu begitu menggembirakan. Pertemuan dengan seorang teman yang bertahun-tahun tak jumpa, adalah gembira pertama. Gembira berikutnya, saya membayar buah-buah pilihan saya itu jauh dibawah harga pasaran.


Kali lain saya hendak mengunjungi bibi di desa Grenden, di kecamatan Puger. Begitu turun dari angkutan umum, saya menyeberang jalan menuju rumah adik ibu saya itu. Sebelum jembatan, dikiri-kanan jalan ada beberapa toko berjajar.
“Ed,” ada suara memanggil dari arah kiri saya. Saya kira itu berasal dari dalam salah satu toko.
Saya memperlambat langkah. Tetapi belum menoleh. Takut salah kira. Ini karena saya menyadari nama Edi sungguh sebagai nama pasaran. Iya kalau betul suara itu memanggil saya, kalau Edi yang lain bagaimana?
“Edi,” sekali lagi panggilan itu terdengar.
Saya menoleh. Ke kanan. Jangan-jangan ada orang lain disana. Kosong. Mau tak mau saya menoleh ke kiri. Dan disambut kibas lambaian tangan bertubi-tubi.
“Kamu Edi Winarno, kan?”
Saya jawab tanya itu dengan anggukan kepala, juga bertubi-tubi.
Tetapi, sungguh, saya tak mengenal pemanggil yang sekarang berada persis didepan saya ini.
“Aku Pri,” katanya berusaha menggugah ingatan saya.
“Pri? Pri siapa ya,” saya menautkan sepasang alis.”Apa kita dulu sekelas? Saat SMP atau Aliyah?”
“Ya, kita dulu sering sekelas, di Aliyah."
"Ohya?"
"Iya, aku gurumu.”

Wadduh. *****

*) pangling: lupa.

Rabu, 14 September 2011

K a d o

ADA bulan yang dianggap baik untuk menggelar suatu hajatan. Pada bulan-bulan itu (tentu bulan Jawa maksud,sering harus saya waspadai. Kewaspadaan ini lebih kepada sektor keuangan sebenarnya. Karena, bulan yang dianggap baik untuk mengkhitankan, kawinan dan sejenisnya itu, seringkali berdampak tidak baik bagi kondisi dan stabilitas keuangan saya. Lebih mengganggu pula bila hari H undangan itu waktunya berbarengan. Bukan hanya berbarengan secara jumlah yang harus didatangi, tetapi lebih repotnya lagi bila itu berbarengan dengan kosongnya penghuni dompet.

Tapi itulah tradisi.

Sekalipun dalam selembar undangan yang saya terima selalu tertera kata ‘mohon doa restu’, tetapi tentu adalah hal janggal bila saya datang hanya membawa doa dan restu semata. Harus ada embel-embelnya. Dan kadang, embel-embel itu ditentukan oleh pemberi undangan. Misalnya tertera pada kalimat (yang begitu tega dicantumkan); 'tidak menerima kado'. Lebih tega lagi, pada undangan digambari gentong kecil berlubang; tempat 'nyemplungkan' amplop.

Ini lebih kepada kecerdasan, saya kira. Shohibul hajat tentu tak mau repot menguangkan kado selepas hajatan. Bisa repot kan, kalau harus menjual lagi kado-kado berbungkus bagus yang --bisa jadi-- hanya berisi mangkok atau piring dari hadiah detergent. Dan didalamnya hanya tertera ‘dari sahabatmu’ sebagai penyamar nama pemberi kado. Karena betapa malunya hadir sekalian (suami istri, plus anak dua) dan semua makan, minum berbaju batik mlipis tapi hanya modal dua keping piring.

Beberapa hari setelah lebaran ini, sudah ada undangan masuk. Syawal memang dianggap bulan bagus. Sebulan lagi, prei.Bulan Sela (bulan kesebelas dalam penanggalan Jawa) dianggap kurang bagus untuk menggelar hajatan.

Saya ingat, sekian belas tahun lalu, bulan Syawal pula saya menikah. Dan, tentu saya tidak termasuk yang tega menggambar gentong pada undangan. Intinya, saya terima hadiah model apapun; kado oke, amplopan juga oke. Bahkan yang tanpa isi sekalipun.

Amplop tanpa isi? Ya.

Mula-mula, saya maknai itu sebagai guyonan teman-teman saja. Toh tanpa nama. Tetapi, malam pertama ketika saya sibuk membuka amplop dan kado-kado, ada yang mengetuk pintu. Sungguh tamu tak tahu waktu, pikir saya.

”Maaf mengganggu,” kata seorang teman begitu saya membuka pintu. ”Tadi aku keliru ngasih amplop kosong. Ini yang benar,” katanya sambil memberikan sepucuk amplop berisi sejumlah uang.

Saya tentu berterima kasih atas kebaikannya. Ya hanya berterima kasih saja. Karena sungguh tidak elok saya menyilakan masuk ‘pinarak’ dulu dihampir jam sebelas malam begitu. Bisa mengganggu acara buka 'kado' dong.

Buka kado saya lanjutkan. Macam-macam isinya. Ada kain, baju, piring, mangkok, atau sekadar replika sepasang sendok dan garpu dalam pigura plastik warna merah. Entahlah apa maknanya. Ataukan itu sebagai pesan agar saya dan istri selalu setia seiya sekata laksana sendok dan garpu?

Tetapi selain itu,ada kado yang menyita perhatian saya. Ia lebih gemuk ukurannya dibanding yang lain. Ia saya kira sebagai gong dari sekian banyak kado yang bungkusnya membuat kamar dipenuhi kertas-kertas.

Sebagai gong, kado besar itu saya buka terakhir kali. Dari tampilan luarnya, ia pastilah sesuatu yang istimewa. Dan benarlah adanya. Kado itu dibungkus sedemikian telatennya. Rangkap-rangkap. Bungkus pertama dibuka masih ada berikutnya. Berulang-ulang entah sampai berapa kali. Sambil terus penasaran, saya dan istri juga dengan telaten mengulitinya satu persatu, sampai kemudian; istri saya menutup hidung pada saat bungkusan terakhir terbuka. Isinya; sarung peninggalan jaman saya kost dulu. Yang sekian lama teronggok tak pernah dicuci selepas untuk membendung pintu saat banjir pada musim penghujan lalu. Tetapi pengirim kado masih baik hati. Ia (atau mereka) menyertakan setengah bungkus kecil detergent. Juga secarik kertas berisi tulisan, ”Tolong dicuci ya...”

Masih tentang kado.

Suatu kali kami mendapat undangan pernikahan dari sahabat istri saya. TKP resepsinya di Pucuk. Sekalipun bernama Pucuk, ia tak terletak diatas gunung. Tetapi disekian kilometer kearah barat dari pertigaan Sukodadi Lamongan.

Malam sebelum buwuh ke situ,istri saya sudah belanja untuk kado. Tentu bukan berbentuk gombal mukiyo seperti yang saya terima ketika pernikahan saya dulu. Ia adalah kado yang pantas untuk seorang sahabat. Malam itu pula, kado yang sudah terbungkus rapi itu diletakkan di dekat pintu. Agar besok tak lupa.

Dari Surabaya kami berangkat sekitar jam tujuh pagi. Waktu yang cukup untuk jarak tempuh sejauh itu menurut hitungan saya. Karena pada undangan tertera resepsi dimulai jam sepuluh. Dan ternyata jam sembilan seperempat kami sudah tiba di TKP. Janur melengkung sudah tampak didepan rumah shohibul hajjat.

“Sini kadonya aku yang bawa,” kata istri saya beberapa meter sebelum pintu gerbang.

“Kado?”

“Iya, mosok sampeyan yang menyerahkan. Pengantinnya kan sahabatku.”

“Bukannya kadonya sampeyan yang bawa?”tanya saya.

“Ha?!  Jadi tidak sampeyan cangking?”

Saya menggeleng.

Tentu tak ada waktu untuk saling menyalahkan sekaligus tiada pula waktu untuk balik kanan grak mengambil kado ke Surabaya. Maka, sambil cipika-cipiki dengan mempelai putri, istri saya berbisik, ”Kadonya menyusul ya...”*****

Minggu, 04 September 2011

Tour d'Mudik (bagian 2)

Etape kedua: Surabaya-Jember (P kedua)


EMPAT hari waktu libur dengan perjalanan panjang,tentu recovery si kecil harus mendapat perhatian ekstra.Tetapi,alhamdulillah si Furqon (1,5) kerasan-kerasan saja di mbah Kakungnya.Sekalipun disini dingin.Tetapi ia baik-baik saja.
Setelah dua hari beranjang sana-beranjang sini,tibalah lagi kami harus balik lagi ke Surabaya.Dan seperti biasa,kami selalu rahasiakan arus balik ini.Karena si sulung Fauqo (12) selalu tak mau sarapan kalau tahu akan naik bis.Entahlah.Ia selalu sulit makan kalau akan bepergian.Padahal kalau begitu,dijalan ia akan lunglai tiada daya.Ia pemabuk yang hebat.
Selama dua hari itu,saya temui anak-anak yang dulu ketika saya di kampung masih kecil-kecil,sekarang sudah pada bening.Yang cowok juga sudah ganteng-ganteng.Tentu hal begitu membuat saya sering 'pangling' dengan seseorang yang selalu menyapa saya dengat sebutan paklik,pakde atau bahkan ada yang mbah.(?!)
Oh,sudah tua rupanya saya.Makanya belakangan ini saya menjadi pelupa.

Sebelum saya balik ke Surabaya,jam dua malam istri saya ngedumel tentang lupa saya ini.”Air di termos dingin tuh.Pasti sampeyan lupa nutup ya?Kan sampeyan yang terakhir bikin susu untuk si Furqon.”
Dengan malas saya bangun untuk menjerang air.Sekalian memanggang telapak tangan yang terasa mati rasa karena digigit hawa dingin.Hawa yang sedekian dingin inilah penyebab air setermos menjadi cepat dingin akibat saya lupa menutupnya.
Jam sembilan pagi kami ke jalan raya yang hanya tak lebih dari 70 meter dari rumah.Di seberang gang Walet kami menunggu bis.Dalam hati saya selalu berdoa,semoga ketemu bis yang nggenah.Bukan apa-apa.Saya terlanjur tidak percaya dengan setiap kata kondektur bis trayek Jember-Lumajang yang selalu saja bilang,”Surabaya langsung,”padahal selalu dioper di sekian ratus meter menjelang terminal Menak Koncar Lumajang.
Juga saya temui pemandangan baru;bis-bis mini serupa bis trayek Surabaya-Krian lewat jalan ini.Sungguh ia ancaman serius untuk 'taksi' (kelas Colt-T120),karena si bis mini ini juga menelan penumpang berjarak pendek.Misal,Kasiyan-Kencong atau sekedar Gumukmas.
Tak berapa lama menunggu,muncul dari timur sebuah bis bercat putih tulang.Tampilan luarnya lumayan.Pada tubuhnya tertera nama Sumber Agung.Oh,sungguh nama baru bagi telinga saya.Karena biasaya trayek ini dikuasai Akas,Kenongo,Yuangga, atau Mila.
“Wonorejo,”jawab saya ketika sang kondektur bertanya.Ini sebagai antisipasi.
“Ini langsung Surabaya,pak.”
Itu dia kata-kata yang tak saya percaya.”Saya bawa anak kecil.Gampang,nanti kalau anak saya tak mabuk saya akan nambah ongkos saja,”ujar saya.
Ternyata si Sumber Agung ini banter juga.Tidak ngremet seperti bis lain pada umumnya.Sempat berhenti ngetem di Kencong memang.Tapi hanya sebentar.Selanjutnya wuzzz langsung.Kecurigaan saya tak terbukti.Maka,sesuai rencana,saya nambah ongkos untuk turun di Bayuangga-Probolinggo.
Transit di Probolinggo.Seuai makan siang di depot Bayuangga,istri saya akan membuatkan susu untuk si kecil.Disinilah timbul masalah.”Susunya mana?”tanya istri saya.
“Lho,tadi bukan sampeyan to yang ngringkesi?”saya balik nanya.
Ini dia.Setelah saya membuat dua botol susu untuk bekal perjalanan tadi pagi,saya ingat;saya sudah tutup termosnya.Tetapi susu bubuknya?Itu yang saya lupa.Kebawa apa nggak?
Setengah panik,karena si kecil sudah minta mimik,saya cari bungkusan di tas tak ketemu.Maka,mau tak mau saya harus beli.Tetapi kios seterminal tak ada yang jual.Beginilah repotnya kalau bayi di kasih susu formula.Tentu si susu tak akan tertinggal kalau ia minum ASI. (Iya,ASI.Karena kalau si anak memanggil Umi untuk ibunya,bila disingkat bukan lagi ASI,tetapi ASU. Maaf,hanya meminjam istilahnya Sudjiwo Tedjo)
Saya harus keluar terminal.Tengah hari,panas-panas begini,dari toko ke toko saya mencari.Belum juga ketemu.”Itu disana,pak.Di dekat Puskesmas ada Indomaret,”kata perempuan penjaga sebuah toko.
Saya kira ia dekat saja.Makanya saya jalan kaki.Eh,ternyata lumayan jauh.Tetapi alhamdulillah. Akhirnya sebungkus susu kemasan terkecil saya dapatkan disitu.Walau untuk balik ke terminal saya tak mau lagi jalan kaki.Harus naik angkot.
Dari terminal Bayuangga, ke Surabaya saya naik Restu seperti berangkatnya tempo hari.Dan lancar.Bayangan terjebak kepadatan di depan rumah makan Rawon Nguling tak terjadi.Raya Porong juga sedang bersahabat.Lancar jaya.
Pendek kata,jam empat sore saya tiba di Surabaya.
Dan ketika istri saya membongkar barang bawaan dan juga baju-baju kotor,”Dasar pelupa.Ini susunya ternyata kebawa,”katanya sambil menunjukkan bungkusan yang diambil dari salah satu tas bawaan.
Duh,tiwas....