Rabu, 29 April 2020

Pageblug

"DI RUMAH SAJA?!", tanya itu lalu disusul derai tawa. Seperti biasa kalau Kang Kardi tertawa. Lepas. Tak peduli giginya bogang. "Kita ini orang kecil, nDang. Kalau di rumah saja, lalu anak-istri dikasih makan apa?".

Begitulah, tiga hari lalu. Saat ketemu Kang Kardi. Di dekat pertigaan, di depan sebuah minimarket, tempat mangkal Kang Kardi jualan, sekira jam sembilan malam. Saat Rindang keluar, nyari makan anget-anget. Istrinya kangen bakso Bogang, begitu 'merk dagang' yang ditulis Kang Kardi pada rombong baksonya. Biasanya, sebagai sesama pedagang, Rindang dan Kang Kardi tak pernah saling beli. Bertukar saja. Antara nasi goreng dan bakso.

Tiga hari sudah Rindang tidak berjualan. Di rumah saja. Seperti anjuran pemerintah. Seperti yang dilakoni orang-orang. Agar tidak dimakan pageblug. Makanya, ia menurut saja saat istrinya memintanya untuk sementara tidak berjualan dulu.

"Aku takut sampeyan nanti kenapa-kenapa", begitu alasan istrinya.

"Iya juga sih", Rindang menimpali. "Tapi, tanggal satu nanti, waktunya kita membayar kontrakan. Lalu bagaimana?"

Minggu, 19 April 2020

Lockdown Medsos

SEBAGAI yang gemar menikmati informasi sedari dulu, saat-saat ini saya sudah menginjak pedal rem untuk aktifitas tersebut. Ini berlaku untuk semua informasi yang disiarkan oleh media-media arus utama dari beragam platform. Misalnya, saya lebih sering nonton acara semacam Bikin Laper (TransTV) atau Tik-Tokan (NET.) daripada aneka program berita dari berbagai saluran di jam yang sama. Mungkin sementara saja. Sampai saya merasa situasi sudah kondusif. Sudah normal.

Apakah saat ini suguhan informasi disajikan secara tidak normal? Entahlah. Masing-masing kita terbuka peluang untuk tidak sependapat. Itu sah-sah saja. Bukan masalah. Kalaulah ada masalah, tentu lebih ke sikap individu. Selain sudut pandang, juga --menurut saya-- sudut ketahanan psikologis terhadap paparan informasi.

Wabil khusus, kalau saat ini adalah paparan berita pandemi Covid-19. Jumlah pasien baru, PDP, ODP dan korban meninggal selalu berisi angka-angka yang secara grafik saban hari senantiasa merangkak naik. Bagi sebagian orang, saya misalnya, hal tersebut bukan tidak mungkin, menaikkan pula rasa was-was, khawatir dan semacamnya. Ujungnya panik. Ujungnya lagi, konon katanya, malah kurang baik. Karena imun tubuh jadi ikutan turun. Padahal kalau imun tubuh turun, bla, bla, bla....


Kamis, 16 April 2020

Holobis Kuntul Baris

TIDAK seperti hari-hari sebelumnya, hari ini Mas Bendo pakai masker.

"Tumben, nDo," songsong Kang Karib.

"Diwanti-wanti sama istriku, harus pakai ini. Kalau tidak pakai, aku tak boleh masuk atau tidur rumah. Daripada aku tidur di Pos Kamling, ya mending aku pakai masker, sering cuci tangan pakai sabun", Mas Bendo beralasan.

"Kamu itu, takut sama istri apa takut sama Corona?".

Mas Bendo nyengir. Lalu bersiap melakukan 'serangan balasan'. "Piye, Kang? Sudah bisa tidur kalau malam".

Mas Bendo bertanya begitu karena, awal-awal ada kabar tentang pasien pertama di Indonesia, Kang Karib sempat curhat. Bahwa ia jadi gelisah. Kepikiran apa yang akan terjadi di sini. Di negara ini. Dimana kesadaran masyarakat masih relatif belum tinggi. Cenderung kurang peduli. Suka meremehkan.

Bukankah saat awal-awal itu aneka meme berseliweran. Dan Corona seakan sebagai bahan unggulan untuk materi banyolan. Pelaku banyolan konyol itu lengkap, dari rakyat jelata sampai para petinggi negeri. Dibegitukan, bisa jadi si Corona jadi gemes. Dan akhirnya ngamuk sungguhan.

"Aku sudah bisa 'lepas' sekarang, nDo", ujar Kang Karib. "Kalau dulu aku bisa marah besar karena kamu menyikapi pandemi ini dengan sembrono, aku sekarang bisa menerima. Intinya aku belajar ikhlas. Setelah kuupayakan ikhtiar sekuatku, kupasrahkan kejadian selanjutkan kepada yang maha menjadikan".

"Piye to, sampeyan iki, Kang?", protes Mas Bendo. "Di saat aku mulai sadar, kok sampeyan malah nglokro, malah menyerah".

"Melawan Covid-19 ini kita perlu bersama, nDo. Tak bisa sendiri. Harus guyup, harus holobis kuntul baris. Kita harus manut, harus menuruti anjuran pihak berwenang. Jangan gembelo sak karepe dhewe, jangan semaunya sendiri".


"Setuju, Kang. Aku miris, setiap hari sekian banyak korban meninggal diberitakan. Dan entah sampai kapan ini terjadi. Kematian memang sebuah keniscayaan, tapi kehidupan harus diperjuangkan. Walau hidup itu tak berguna sekalipun", sahut Mas Bendo meniru bunyi spanduk yang sedang viral.****


Rabu, 15 April 2020

Belajar Lewat Televisi

SALAH satu grup wasap yang 'terpaksa' saya ikut di dalamnya adalah grup walmur alias wali murid. Awalnya, sebelum pandemi Covid-19, grup itu sebagai jembatan informasi antara kami –para orang tua-- dengan guru di sekolah. Tentang tugas-tugas yang mesti dikerjakan anak-anak dan sejenisnya. Pendek kata, ia menjadi bentuk lain dari 'buku penghubung' yang sebelumnya digunakan.

Lalu datanglah pandemi ini. Yang membuat para murid sekolah 'dirumahkan', bukan diliburkan. Iya, bukan libur. Karena saban hari tugas sekolah selalu ada. Pelajaran dan soal dibagikan lewat; ya grup wasap walmur itu. Jadilah kini, kami –para orang tua-- menjadi sejatinya guru. Dan, disadari atau tidak, kadang menjadi 'guru' bagi anak sendiri saja agak makan hati. Bagaimana dengan guru yang asli, yang mendidik bukan anaknya sendiri, yang kadang anak-anak itu nakalnya yaaa gitu deh. Baiklah, saya mesti makin angkat topi dan memberi hormat lebih tinggi lagi kepada para pahlawan tanda tanda jasa itu.

Laporan ke Wali Kelas
via foto di grup wasap.
Setelah beberapa minggu berjalan menggunakan wasap (padahal tentu tidak semua orang tua punya hape android), sejak Senin kemarin pola itu diubah. Kali ini pelajaran sekolah disiarkan lewat televisi. Menggunakan saluran televisi publik; TVRI. Yang masih hangat kabar tentang pemberhentian Helmy Yahya dari kursi dirutnya. Lalu disusul tiga direksi lainnya belum lama ini. Padahal, kata orang, siaran TVRI di era Helmy ini makin menarik. Makin banyak orang menontonnya (lagi) setelah sekian lama melirikpun tidak. Ohya, itu soal lain. Kita bahas kapan-kapan saja. Kali ini kita fokus tentang siaran pelajaran sekolah lewat saluran tivi saja topiknya.

Tentu kita ingat dulu juga ada pelajaran sekolah yang disiarkan lewat televisi. Nama stasiun tivinya; TPI, Televisi Pendidikan Indonesia.

Senin, 13 April 2020

Kaos Terbalik dan Rezeki Baik

DUA hari ini saya batuk-pilek. Awalnya hanya begitu. Lalu mendapat bonus tambahan; demam. Saat saya cek pakai thermometer, suhu tubuh saya sempat nangkring di angka 38.3°C. Itu kemarin. Padahal hari-hari ini, batuk-pilek-demam sedang jadi pusat perhatian. Gara-gara Corona. Gara-gara Covid-19. Yang katanya gejalanya begitu itu.

Saya berbaik sangka saja. Saya hanya batuk-pilek-demam biasa. Bukan karena 'itu'. Sejauh ini saya berusaha patuh anjuran. Sering cuci tangan pakai sabun. Jaga jarak dengan orang lain. Selalu pakai masker. Sudah tak pernah lagi ikut Yasinan-Tahlilan berjamaah. Yang anggota jamaah Yasinta kami ratusan orang. Yang biasanya duduk berhimpitan, bila rumah yang sedang dapat giliran tak seberapa besar. Lalu saling salaman. Lalu, ah sudahlah.

Covid-19 telah menjadi buah bibir semua warga dunia. Negara sekaya, seperkasa dan seadidaya Amerika saja kelimpungan diterjang Corona. Apalagi negara kita? Oh, janganlah begitu. Mari berdoa; semoga si wabah ini segera sirna. Dari muka bumi.

Saya sedang batuk-pilek. Dan harus berobat ke dokter. Tidak seperti biasa, di klinik tempat saya akan periksa ini, ruang tunggu sekarang ada di luar. Di dekat parkiran. Padahal biasanya ada di dalam. Ber-AC. Walau tak ber-Wifi, biasanya kita disediakan bacaan. Majalah, juga koran.

Sejak ada Corona, banyak hal diubah. Termasuk ruang tunggu klinik ini. Pasien yang menunggu di luar, dipanggil satu-satu. Sesuai nomor antrean. Masuk, langsung ditodong thermal detector. Alhamdulillah; suhu saya sudah normal. Tertera angka 36.1°C. Beruntung saya tidak datang ke dokter kemarin. Saat suhu tubuh saya 38.3°C. Bisa-bisa saya ditelponkan 112. Untuk diproses lebih lanjut.

Selain selalu pakai masker, sering cuci tangan, dari mana-mana nyampai rumah disemprot disinfektan dari ujung rambut sampai sepatu, nglakoni physical distancing  dan lain-lain, yang juga sedang saya lakukan adalah berusaha menjaga jarak aman dengan medsos. Entahlah, semakin saya berenang di genangan medsos, semakin saya mudah terpapar aneka kabar yang beredar. Padahal kita tahu, entah benar entah tidak sebuah informasi, jari kita enteng saja membagikannya. Kadang langsung sharing  tanpa lebih dulu disaring. Ke grup wasap keluarga atau teman alumni.  Ini tak baik, menurut saya. Mengonsumsi dan/ atau berbagi informasi dosis tinggi tanpa terlebih dulu melakukan verifikasi, berpeluang punya implikasi merusak 'hati'.  Maka, satu per satu akun medsos milik saya sementara akan saya lockdown. Twitter sudah. Mungkin selanjutkan akun Facebook saya, lalu yang lainnya lagi. (Kalau Tik Tok , dari sejak saya unduh, malah cuma bertahan sekian hari saja di ponsel. Saya merasa terlalu tua untuk aplikasi tersebut. Selebihnya, saya merasa tak mampu membuat konten selucu beragam tayangan konyol ala Tik Tok itu).

WA dari Ibu Negara
Saat saya antre dokter tadi, tiba-tiba 'Ibu Negara' mengirim WA. Mengabarkan kaos yang saya kenakan terbalik, dia tahu karena dibilangi oleh tetangga yang berpasasan dengan saya di jalan saat saya berangkat tadi. Oh.

Saya yang tadinya santuy, menjadi agak gimanaa gitu. Kanan-kiri-belakang saya banyak orang. Sama-sama antre akan periksa dokter. Tapi, saya harus cepat menguasai keadaan. Toh tak ada yang mengenal saya. Lebih-lebih saya sedang pakai masker dengan brukut.

Saat sesuatu terjadi diluar dugaan, dibutuhkan tindakan cepat untuk 'seakan-akan sedang tidak terjadi apa-apa dan semua sedang lazim adanya'. Secepat itu pula saya harus segera menyemai sugesti bahwa; bilamana ada orang sedang bepergian untuk suatu urusan dan tanpa sadar mengenakan pakaian secara terbalik, niscaya ia akan mendapat rezeki yang datangnya tiada terduga. Dan, salah satu rezeki terbesar di hari-hari ini adalah: kita, orang-orang tercinta di sekitar kita, saudara-saudara sebangsa-setanah air, dan semua manusia penduduk dunia segera terbebas dari paparan pandemi wabah ini. Semoga. ****