Rabu, 09 Oktober 2019

Lagi-lagi Kaki Kiri

SORE yang sendu saat itu. Tanggal 10 Desember, dua tahun yang lalu. Di Banjar Soko, Senganan, Bali. Saya sholat asyar di menjelang injury time. Sendiri. Di satu-satunya masjid di situ. Al Hamzah nama masjidnya. Selesai sholat dengan kecepatan seperti Marc Marcuez (lebay ya😀), saya hendak langsung pulang ke Tabanan. Kota. Berjarak sekitar 25 km dari situ.

Tapi hujan tetap turun dengan santuy. Tampaknya ogah berhenti. Tidak deras sih. Tapi, cukuplah bikin tubuh kedinginan bila menerjang hujan sepanjang perjalanan. Saya menunggu. Di serambi masjid. Sambil tutal-tutul ponsel. Pun, malah bikin sebel. Sinyal internet lelet.

Ada sih warung langganan di dekat masjid. Menunya lumayanlah. Milik Bu Rahma. Muslim. Bisalah, kalau mau pesan 'kehangatan'. Teh, atau susu. Saya tidak ngopi, juga tidak merokok.  Tapi, di warung Bu Rahma juga gak ada wifi-nya. Gak seru kan?

Baiklah, rintik hujan masih berjatuhan dengan ritmis. Saya nekat, hendak pulang.

Motor sewaan terparkir di utara masjid. Di lahan yang agak lebih tinggi. Bukan paving, hanya hamparan tanah. Yang juga sebagai halaman rumah penduduk. Keluarga besar Bu Rahmah. Semuanya muslim.

Berlari kecil saya menuju motor. Di jarak satu meter sebelum motor matic putih itu, mak-cekluk, kaki berbunyi. Pergelangan telapak kaki kiri. Jangan tanya sakitnya.

Selasa, 08 Oktober 2019

Makna Nama

SUNGGUH, di blog ini sebisa mungkin saya menghindari menulis hal-hal berat. Apapun itu. Terlebih yang nyerempet soal akidah. Soal keyakinan, tentang agama. Yang saya sadar, sesadarnya, saya sangat tak tahu banyak tentangnya.

Bahwa, seperti Anda tahu, ada seorang penceramah yang bilang ada nama-nama yang 'tak sesuai' dan mesti diganti, karena nama itu berasal dari bahasa Sansekerta, misalnya, dan atau sebagai nama dewa dalam agama tertentu. Sebagai orang yang mempunyai nama yang tak 'berbau' bahasa Arab blas (yang banyak orang masih memiliki pemahaman bahwa apapun yang berbau Arab relatif identik dengan agama tertentu), tentu saya ikut merasa tersentil dengan ceramah sang ustad.

Sebenarnya sih, ini karena saya kurang kerjaan saja. Ngapain mesti ikutan baper, coba?

Dulu, pernah seorang tenant baru di tempat kerja saya juga salah sangka di saat pertama kita berkenalan.

"Edi", begitu saya mengenalkan diri kepada perempuan Tionghoa warga Malaysia yang bersuamikan orang India itu.

"Kristen?"

"Islam".

"Nama Edi kok muslim...", celetuknya.

Nah. Saya nyengir. Dan tak mungkin saya menyebut silsilah nama keluarga saya di hadapannya; Kakek buyut saya namanya Abdul Salam, sampai kakak kandung saya yang namanya Khoirul Anam.

Dan... nama ibu saya Sri. Yang, kata pak ustad itu, Sri adalah nama Dewi alias Dewa tapi perempuan. Dan Dewa adalah bla, bla, bla....

Namun begini, tentang nama, saya punya pemikiran, bahwa nama Jawa, sebagai misal, ada masanya. Maaf, saya tak menyebut contoh nama secara gamblang. Ada nama yang terbilang bagus, baik secara penyebutan dan secara makna, namun bila dipakai di masa kini, disematkan pada jabang bayi yang lahir di era milenial ini, ia akan terdengar kuno dan cenderung hanya pantas dipakai oleh orang yang sudah sepuh. Berbeda, misalnya, bila nama itu memakai bahasa Arab. Ia lebih tahan lama dan relatif lebih bisa 'sesuai' kapan saja. Tentu terbuka peluang bagi Anda untuk tidak sependapat dengan ini. Tidak apa-apa.

Intinya, lazimlah adanya orang tua memberi nama sebagus-bagusnya untuk para buah hatinya. Sebagai doa, sebagai pengharapan agar ia menjadi sesuatu sebagaimana makna dari namanya. Tentang memakai bahasa apa, bisa terserah saja.*****