Selasa, 24 September 2013

Cita-Cita



SAAT SD, lupa saya apakah itu kelas tiga atau empat, satu per satu anak diminta maju ke depan untuk mengatakan cita-citanya kelak. Sesuai absen, Bu Guru memanggil kami. Semakin mendekati giliran, semakin saya deg-degan. Bukan apa-apa, tetapi saya memikirkan cita-cita macam apa yang tidak terlalu banyak diinginkan dan telah diucapkan teman yang sudah maju duluan. Ini sekadar berdasar gengsi saja sepertinya. Sebagaimana saya akan merasa tidak pede kalau pas pelajaran menyanyi di depan, dan lagu Indonesia Pusaka (lagu faforit yang selalu saya nyanyikan setiap pelajaran menyanyi) sudah keduluan dinyanyikan teman, sementara selain lagu itu saya hanya bisa Gundul-gundul Pacul. Akan menjadi derita yang luar biasa bila Gundul-gundul Pacul sudah pula diserobot teman.

“Nama saya Budi, kalau sudah besar saya bercita-cita menjadi insinyur,” dengan kulit cokelat tua karena sering main layang-layang di panasan, saya yakin si Budi itu asal saja bilang ingin menjadi insinyur. Sungguh, saat itu kami tidak tahu kalau insinyur pun ada beberapa. Pertanian, Teknik dan entah apa lagi. bagi Budi yang penting insinyur.

Kalau yang teman perempuan, kalau nggak jadi guru paling banter ingin jadi bidan. Sementara para lelaki terdengar lebih gagah; polisi, tentara (ABRI kala itu), hakim. Tetapi, yang lebih umum (dan terdengar juga asal saja) adalah ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Coba, apa itu tidak asal mengucap saja.

Karena cita-cita itu hanya sekadar diucap saja, selama ini, apesnya, kok saya tidak mendengar si Budi berhasil menjadi insinyur sungguhan, dalam bidang apa pun itu. Begitu juga dengan teman yang lain dengan cita-cita lain. Sebagai orang desa yang lahir procot sudah sebagai anak petani, sebagian besar malah berhasil membuktikan bahwa 'buah jatuh tidak jauh dari pohonnya', dalam artian ikutan menjadi petani. Kalau begitu, itu tak berbeda dengan teman lain yang bercita-cita menjadi 'orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama'. Ya, siapa pun akan setuju petani sungguh berguna bagi nusa dan bangsa. Walau, kalau mendengar berita, nasib mereka kadang nelangsa.; menanam padi dengan pupuk berharga mahal, pas panen harga jual gabah rendah.

Sungguh, saya lupa kala itu bercita-cita ingin menjadi apa. Tetapi saya lebih curiga, saya termasuk kaum yang 'ingin menjadi yang orang berguna bagi nusa, bangsa dan agama'. Apakah sekarang ini cita-cita itu sudah saya capai? Entahlah.

Tetapi kepada si sulung Edwin saya bilang; memiliki cita-cita itu perlu, tetapi berusaha keras mewujudkan cita-cita itu tak kalah perlu. Dasar dan contoh dari saya mengatakan itu adalah teman-teman SD saya yang sejauh ini tak ada yang berhasil menjadi yang diucapkan. Karena hanya dikatakan, tetapi tanpa diusahakan. Dengan berusaha keras, bisa jadi sebuah kedudukan yang tadinya tidak dicita-citakan pun akan menjadi kenyataan. Saya berpikir, bukan tidak mungkin Pak SBY itu menjadi presiden bukanlah cita-citanya sejak kecil.

Memasuki usia remaja, bukannya fokus, saya malah tak tahu arah. Dan dengan sok bijak berkata dalam hati; saya menjalani hidup mengalir saja, seperti air. Syukurlah, sepertinya hidup saya tentram dengan slogan itu. Sampai kemudian saya sadar, aliran air yang tanpa dipompa, dan mengalir alami begitu, arahnya selalu ke bawah, ke tempat yang lebih rendah.

Apakah ada yang rela grafik hidup menuju ke arah yang begitu? Tentu tidak. *****

Jumat, 20 September 2013

Jokowi dan Kontroversi Hati



"LIHATLAH, Kang," kata Mas Bendo, "sebagian besar yang sudah ancang-ancang nyapres nanti salah satu senjatanya karena punya media."

"Iya, ya, nDo," sahut Kang Karib, "itu, si ARB, tak terhitung saban hari iklannya di TV-nya sendiri."

"Wiranto-Hary Tanoe sepertinya juga memanfaatkan betul jaringan MNC."

"Ada lagi, Kang," setelah nyruput kopi buru-buru Mas Bendo menimpali, "menurut pengamat, salah satu kandidat kuat Demokrat pada konvensi yang sedang digelar adalah Dahlan Iskan. Dia itu juga juragan media, Kang. TV lokalnya banyak, media cetaknya apalagi. Dan, kalau nanti Nasdem pada pemilu legislatif memperoleh suara yang signifikan, dan karenanya juga punya hak mengajukan capres sendiri, bukan tidak mungkin Surya Paloh akan memanfaatkan MetroTV sebagai 'kendaraan politiknya'."

"Namun harus dicatat," Kang Karib bicara sok pengamat, "sebagai tolok ukur elektabilitas mereka semua saat ini adalah Jokowi. Sekalipun PDIP belum secara terang benderang mendeklarasikannya sebagai capres, di kandang banteng moncong putih sekarang ini belum ada tokoh yang bisa menandingi Jokowi. Megawati sekalipun."

"Lalu adakah hubungannya Jokowi dengan para juragan media yang ngebet nyapres, Kang?"

"Jelas ada, nDo," mantap Kang karib menjawab. "Bagi para juragan media itu, sosok Jokowi sungguh bisa menimbulkan kontroversi hati. Setiap gebrakannya dalam membenahi Jakarta; tidak diberitakan itu adalah berita bagus, tetapi bila diberitakan pada media para capres itu, elektabilitas Jokowi makin melambung yang bisa membuat para juragan media itu makin ketinggalan kereta mengejar kepopuleran Jokowi." *****

Jumat, 13 September 2013

Hangat Sesaat



DARI sekian banyak peristiwa sepekan ini, salah satu yang menjadi perhatian banyak orang adalah kecelakaan di tol Jagorawi seminggu yang lalu yang melibatkan AQJ, anak umur 13 tahun putra musisi kondang Achmad Dani. Tentang kecelakaan di jalan yang mengakibatkan sejumlah orang tewas, bukan pertama kali itu terjadi. Tetapi ketika sang pengemudi adalah anak di bawah umur yang mengendarai mobil pada tengah malam di saat anak lain seusianya terlelap dibuai mimpi, inilah  daya tariknya. Yang juga menjadikan peristiwa ini menarik diberitakan adalah karena ia anak selebrita.

Ada memang yang berpendapat dan meramalkan kasus ini akan pelan-pelan menguap seperti peristiwa kecelakaan yang melibatkan anak seorang petinggi negeri yang juga merupakan besan orang penting negeri ini. Bagi yang memercayai dugaan ini, sepertinya yakin bahwa kebebasan di negeri ini memang sudah sedemikian dahsyatnya. Seperti halnya orang bebas bicara, uang pun bisa bicara!

Saya tak terlalu tertarik menelisik –apalagi menarik-narik Sampeyan—untuk mengamini pendapat itu. Langkah ringan untuk membuktikan dugaan itu benar atau tidak hanyalah dengan menunggu ke mana buntut kasus itu nanti akan menuju. Jadi bersabarlah sedikit.

Sambil menunggu itu, mari kita membuktikan teori yang mengatakan bahwa di balik setiap peristiwa pasti akan ada hikmahnya. Dan tengoklah ke sekitar, hikmah yang mulai menampakkan diri yang dilatarbelakangi peristiwa maut itu adalah; di jalanan polisi melakukan razia kepada para pengemudi kendaraan bermotor yang masih usia sekolah. Sepertinya polisi harus lebih banyak lagi menyediakan surat tilang bila hal ini benar-benar terus dilakukan. Karena, sudah menjadi pemandangan lumrah, banyak sekali anak sekolah yang menggunakan motor (atau mungkin mobil) sebagai kendaraan ‘dinas’-nya, padahal secara usia mereka belum waktunya memiliki SIM.

Secara ekonomis perhitungannya jelas; daripada naik angkot, biaya naik motor untuk berangkat dan pulang sekolah tentu lebih hemat. Tetapi efek samping dari anak-anak sudah dipegangi kendaraan sendiri juga tak kalah jelasnya. Seringkali saya mendapati anak masih berseragam sekolah sehabis maghrib masih santai-santai di pinggir jalan tak langsung pulang ke rumah. Tetapi kongkow-kongkow bareng teman-teman laki-perempuan dengan tujuan yang bagi saya kurang jelas.

Saya agak pesimistis tentang gebrakan polisi dalam merazia pelajar berkendara motor/mobil ini. Bukannya apa-apa, sudah seringkali dalam menyikapi sesuatu kita ini hanya hangat sesaat. Lalu lambat laun kembali ke ‘selera asal’. Ingatlah, ketika baru terjadi pengeboman oleh teroris di sebuah hotel, uh  di tempat-tempat sejenis langsung petugas security-nya luar biasa teliti dalam memeriksa mobil yang keluar-masuk. Polisi pun terlihat makin ketat di mana-mana. Sebulan dua bulan, setahun dua tahun, ketika hal yang dikhawatirkan tak jua terjadi, kita-kita ini menjadi lengah lagi. Longgar lagi. Lalu, bumm... bom meledak lagi!

Begitulah, sepertinya dalam menegakkan yang seharusnya ditegakkan kita-kita ini membutuhkan semacam obat kuat agar kewaspadaan dan ketaatan dalam menjalankan peraturan menjadi tahan lama dan tak gampang loyo. Bukan sekadar suam-suam tahi ayam. *****