Minggu, 19 April 2020

Lockdown Medsos

SEBAGAI yang gemar menikmati informasi sedari dulu, saat-saat ini saya sudah menginjak pedal rem untuk aktifitas tersebut. Ini berlaku untuk semua informasi yang disiarkan oleh media-media arus utama dari beragam platform. Misalnya, saya lebih sering nonton acara semacam Bikin Laper (TransTV) atau Tik-Tokan (NET.) daripada aneka program berita dari berbagai saluran di jam yang sama. Mungkin sementara saja. Sampai saya merasa situasi sudah kondusif. Sudah normal.

Apakah saat ini suguhan informasi disajikan secara tidak normal? Entahlah. Masing-masing kita terbuka peluang untuk tidak sependapat. Itu sah-sah saja. Bukan masalah. Kalaulah ada masalah, tentu lebih ke sikap individu. Selain sudut pandang, juga --menurut saya-- sudut ketahanan psikologis terhadap paparan informasi.

Wabil khusus, kalau saat ini adalah paparan berita pandemi Covid-19. Jumlah pasien baru, PDP, ODP dan korban meninggal selalu berisi angka-angka yang secara grafik saban hari senantiasa merangkak naik. Bagi sebagian orang, saya misalnya, hal tersebut bukan tidak mungkin, menaikkan pula rasa was-was, khawatir dan semacamnya. Ujungnya panik. Ujungnya lagi, konon katanya, malah kurang baik. Karena imun tubuh jadi ikutan turun. Padahal kalau imun tubuh turun, bla, bla, bla....


Sedari muda dulu, saya sudah tercatat sebagai pendengar setia siaran berita luar negeri, yang mengudara via gelombang pendek alias short wave. Macam BBC, VOA, ABC dan/ atau Ranesi. Iya, tercatat. Karena secara berkala, saya dikirimi buletin media-media itu. Dikirimkan via pos langsung ke alamat saya. Itu terjadi jauh sebelum era internet berkembang seperti sekarang. Sebelum medsos menjadi lawan serius media-media mainstream. Media sosial melawan media arus utama?

Benar memang, media-media arus utama itu (cetak, elektronik juga daring) seluruhnya juga memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasinya. Semacam saling memanfaatkan. Tetapi, media sosial, juga dimanfaatkan oleh individu-individu dengan aneka latar belakang disiplin ilmu untuk menyebarkan pendapat, gagasan dan/ atau informasi 'terbaru' perihal sesuatu.

Celahnya (atau celakanya?), media sosial tak menutup kemungkinan juga dijejali opini, gagasan, informasi, tertentu dari individu yang tenar namun dengan latar belakang keilmuan yang entahlah. Okelah, informasi tersebut bukan genuine dari si pengunggah status medsos, misalnya. Namun dengan balutan bahasa yang aduhai (dan ketrampilan aduhai ini bisa dilakukan dengan terus melatih diri), ditambah bumbu bahwa pendapat itu dinukil dari ahli ini atau itu dari lembaga anu, membuat kita (atau tepatnya: saya) sering dibuat langsung klepek-klepek menerima apa adanya.

Kalau kita (atau tepatnya: saya) berhenti untuk 'dipakai sendiri' mungkin tak seberapa. Namun, bukankah jari tangan kita (saya ding!) sering dengan enteng membagikan postingan itu tanpa lebih dulu melakukan semacam 'tahan napas' barang sebentar seraya mencari info pembanding, misalnya; dengan melakukan pencarian berita serupa di media arus utama. Sering saya melakukan sharing dengan tanpa melakukan saring dulu bahkan dengan cuma membaca judulnya semata. Dan, medsos membuat perilaku begitu menjadi sangat mudahnya. Sekali klik!, tersebarlah sudah.

Arus lalulintas informasi macam itu selalu ramai. Tak mengenal PSBB, tak mengenal lockdown. Makanya, saya tak menunggu Bu Risma atau Bu Khofifah atau Pak Menkominfo memberi anjuran. Saya melakukannya sendiri. Semacam 'cerai sementara'. Pertama saya me-lockdown akun Twitter, lalu Facebook sekarang Instagram. Seraya terus menjaga jarak dari membaca berita tentang angka-angka korban Corona. Saya berusaha hanya mengonsumsi berita-berita baik saja. Membaca tentang harapan, tentang bentangan masa depan. Yang masih panjang.

Dengan begitu, dan dengan kepatuhan yang semoga bisa saya jaga konsistensinya, mudah-mudahan ada manfaatnya. Paling tidak, di masa-masa sulit begini, saya menjadi tak berboros-boros ria paket data internet.*****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar