Rabu, 14 September 2011

K a d o

ADA bulan yang dianggap baik untuk menggelar suatu hajatan. Pada bulan-bulan itu (tentu bulan Jawa maksud,sering harus saya waspadai. Kewaspadaan ini lebih kepada sektor keuangan sebenarnya. Karena, bulan yang dianggap baik untuk mengkhitankan, kawinan dan sejenisnya itu, seringkali berdampak tidak baik bagi kondisi dan stabilitas keuangan saya. Lebih mengganggu pula bila hari H undangan itu waktunya berbarengan. Bukan hanya berbarengan secara jumlah yang harus didatangi, tetapi lebih repotnya lagi bila itu berbarengan dengan kosongnya penghuni dompet.

Tapi itulah tradisi.

Sekalipun dalam selembar undangan yang saya terima selalu tertera kata ‘mohon doa restu’, tetapi tentu adalah hal janggal bila saya datang hanya membawa doa dan restu semata. Harus ada embel-embelnya. Dan kadang, embel-embel itu ditentukan oleh pemberi undangan. Misalnya tertera pada kalimat (yang begitu tega dicantumkan); 'tidak menerima kado'. Lebih tega lagi, pada undangan digambari gentong kecil berlubang; tempat 'nyemplungkan' amplop.

Ini lebih kepada kecerdasan, saya kira. Shohibul hajat tentu tak mau repot menguangkan kado selepas hajatan. Bisa repot kan, kalau harus menjual lagi kado-kado berbungkus bagus yang --bisa jadi-- hanya berisi mangkok atau piring dari hadiah detergent. Dan didalamnya hanya tertera ‘dari sahabatmu’ sebagai penyamar nama pemberi kado. Karena betapa malunya hadir sekalian (suami istri, plus anak dua) dan semua makan, minum berbaju batik mlipis tapi hanya modal dua keping piring.

Beberapa hari setelah lebaran ini, sudah ada undangan masuk. Syawal memang dianggap bulan bagus. Sebulan lagi, prei.Bulan Sela (bulan kesebelas dalam penanggalan Jawa) dianggap kurang bagus untuk menggelar hajatan.

Saya ingat, sekian belas tahun lalu, bulan Syawal pula saya menikah. Dan, tentu saya tidak termasuk yang tega menggambar gentong pada undangan. Intinya, saya terima hadiah model apapun; kado oke, amplopan juga oke. Bahkan yang tanpa isi sekalipun.

Amplop tanpa isi? Ya.

Mula-mula, saya maknai itu sebagai guyonan teman-teman saja. Toh tanpa nama. Tetapi, malam pertama ketika saya sibuk membuka amplop dan kado-kado, ada yang mengetuk pintu. Sungguh tamu tak tahu waktu, pikir saya.

”Maaf mengganggu,” kata seorang teman begitu saya membuka pintu. ”Tadi aku keliru ngasih amplop kosong. Ini yang benar,” katanya sambil memberikan sepucuk amplop berisi sejumlah uang.

Saya tentu berterima kasih atas kebaikannya. Ya hanya berterima kasih saja. Karena sungguh tidak elok saya menyilakan masuk ‘pinarak’ dulu dihampir jam sebelas malam begitu. Bisa mengganggu acara buka 'kado' dong.

Buka kado saya lanjutkan. Macam-macam isinya. Ada kain, baju, piring, mangkok, atau sekadar replika sepasang sendok dan garpu dalam pigura plastik warna merah. Entahlah apa maknanya. Ataukan itu sebagai pesan agar saya dan istri selalu setia seiya sekata laksana sendok dan garpu?

Tetapi selain itu,ada kado yang menyita perhatian saya. Ia lebih gemuk ukurannya dibanding yang lain. Ia saya kira sebagai gong dari sekian banyak kado yang bungkusnya membuat kamar dipenuhi kertas-kertas.

Sebagai gong, kado besar itu saya buka terakhir kali. Dari tampilan luarnya, ia pastilah sesuatu yang istimewa. Dan benarlah adanya. Kado itu dibungkus sedemikian telatennya. Rangkap-rangkap. Bungkus pertama dibuka masih ada berikutnya. Berulang-ulang entah sampai berapa kali. Sambil terus penasaran, saya dan istri juga dengan telaten mengulitinya satu persatu, sampai kemudian; istri saya menutup hidung pada saat bungkusan terakhir terbuka. Isinya; sarung peninggalan jaman saya kost dulu. Yang sekian lama teronggok tak pernah dicuci selepas untuk membendung pintu saat banjir pada musim penghujan lalu. Tetapi pengirim kado masih baik hati. Ia (atau mereka) menyertakan setengah bungkus kecil detergent. Juga secarik kertas berisi tulisan, ”Tolong dicuci ya...”

Masih tentang kado.

Suatu kali kami mendapat undangan pernikahan dari sahabat istri saya. TKP resepsinya di Pucuk. Sekalipun bernama Pucuk, ia tak terletak diatas gunung. Tetapi disekian kilometer kearah barat dari pertigaan Sukodadi Lamongan.

Malam sebelum buwuh ke situ,istri saya sudah belanja untuk kado. Tentu bukan berbentuk gombal mukiyo seperti yang saya terima ketika pernikahan saya dulu. Ia adalah kado yang pantas untuk seorang sahabat. Malam itu pula, kado yang sudah terbungkus rapi itu diletakkan di dekat pintu. Agar besok tak lupa.

Dari Surabaya kami berangkat sekitar jam tujuh pagi. Waktu yang cukup untuk jarak tempuh sejauh itu menurut hitungan saya. Karena pada undangan tertera resepsi dimulai jam sepuluh. Dan ternyata jam sembilan seperempat kami sudah tiba di TKP. Janur melengkung sudah tampak didepan rumah shohibul hajjat.

“Sini kadonya aku yang bawa,” kata istri saya beberapa meter sebelum pintu gerbang.

“Kado?”

“Iya, mosok sampeyan yang menyerahkan. Pengantinnya kan sahabatku.”

“Bukannya kadonya sampeyan yang bawa?”tanya saya.

“Ha?!  Jadi tidak sampeyan cangking?”

Saya menggeleng.

Tentu tak ada waktu untuk saling menyalahkan sekaligus tiada pula waktu untuk balik kanan grak mengambil kado ke Surabaya. Maka, sambil cipika-cipiki dengan mempelai putri, istri saya berbisik, ”Kadonya menyusul ya...”*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar