Jumat, 09 September 2011

Atas Nama Paradigma

SEBAGAI salah satu partai peninggalan orde baru,yang dianggap paling bertanggung jawab atas segala yang terjadi selama 32 tahun,Golkar mengalami serangan dahsyat pada awal masa reformasi.Dengan jumlah partai baru yang begitu banyak,saat kampanye nyaris semuanya menunjuk Golkar dengan telunjuk kaku;itu dia sang biang keroknya.

Apa yang dilakukan Golkar?
Dibawah kendali politikus senior Akbar Tandjung,Golkar menerapkan strategi bertahan ketimbang melakukan counter attack.Dan sambil bertahan itu,muncullah slogan baru; paradigma baru.Kata itu diucapkan tidak dengan mengacungkan dua jari layaknya Harmoko.Lagian,sejak itu nomor partai menjadi tidak abadi.Tahun ini nomor urut 33 lima tahun lagi belum tentu.
Saya bukan pemain politik.Dan maaf kalau analisa saya diatas kurang ‘kena’.Tetapi saya sedang ingin bicara (semampu saya) tentang itu.Tentang paradigma.
Okelah,ketika menulis catatan ini tentu saya punya paradigma.Dan sampeyan membacanya pun tentu pula demikian.Jujur saja,tulisan ini ingin saya tuangkan disini karena beberapa saat yang lalu,sambil ‘ke belakang’ saya mendengarkan guru ethos Jhonson Sinamo membahas tentang ‘paradigma’ di acara Morning Ethos di sebuah radio.

Pagi ini ia bercerita,mula-mula,tentang jam tangan:
Dulu,jam tangan asal Jepang merk Seiko begitu mendominasi sebagai alat penunjuk waktu yang populer didunia.Jauh mengalahkan benda serupa buatan Swiss.Dalam konfrontasi bisnis macam itu,tentu Swiss tidak tinggal diam.Harus ada usaha mengalahkan sang kompetitor.Caranya? Nyaris sama dengan yang dilakukan Golkar;menerapkan paradigma baru!
Disaat Seiko melaju sebagai alat penunjuk waktu yang sangat tepat,Swiss (lewat Rollex,misalnya) melawannya tidak hanya bersaing dalam ketepatan waktu sebagai jam tangan paradigma lama.Ia muncul sebagai paradigma baru.Bahwa jam tangan bukan hanya sebagai penunjuk waktu.Lebih dari itu ia sebagai symbol status.Sebagai perhiasan.Dan kita tahu,Rollex mampu memukul KO si Seiko!

Kemudiam saya ingat kalimat seorang teman yang diucapkan pada meeting rutin di tempat kerja.Ia menanggapi ucapan teman lain yang ,mengingatkan bahwa,”Kompetitor terus bermunculan.Disekeliling kita saja ada beberapa yang baru.”
“Biar saja,”sahut teman saya.”Biar saja empat,lima atau tujuh kompetitor muncul.Kita tak mungkin hindari itu.Tetapi kita harus bisa mempertahankan sekaligus meningkatkan paradigma kita sebagai yang terbaik.Dengan defferensiasi yang jelas.”
Sambil menyimak,benak saya usil mengira teman saya itu sedang ‘kerasukan roh’ salah seorang motivator ulung negeri ini.Tetapi yang diucapkannya memang ada benarnya.Dan kalau kita tarik kepada lingkaran yang lebih kecil lagi,paradigma baru itu tentu bukan melulu bisa untuk diterapkan di sebuah institusi besar.Karena ia juga bisa diterapkan ke dalam diri pribadi-pribadi.
Sambil tetap (maaf) buang hajat,pagi ini saya mendapat pencerahan dari sebuah siaran radio.Dan,catatan kecil ini,bisa jadi,juga sedang sampeyan baca lewat ponsel sambil melakukan aktifitas itu.
Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar