Sabtu, 03 September 2011

Ketika Kanker Payudara Mendera

KALAU sampeyan sudah pernah membaca tulisan (fiksi) saya berjudul Pulang disini, tentu sampeyan menemukan sebuah tugu gemuk, pasar Senin dan rumah mungil di timurnya. Dalam pulang (baca: mudik) saya yang sesungguhnya tempo hari, tugu itu tetap ada, pasar Senin juga (walau sekarang menyempit, karena sebagian telah beralih fungsi sebagai permukiman) dan rumah di timur pasar itupun tetap ada. Nyata. Dan dari situlah tulisan ini saya mulai.

Kalau dalam fiksi si penghuni rumah mungil itu seorang ibu yang 'gila' memikirkan anaknya yang teroris, dalam alam nyata rumah itu dihuni perempuan 54 tahun. Tak gila. Waras. Walau salah satu anaknya kurang dari itu. Pernah beberapa kali masuk-keluar RSJ. Anak satunya lagi, waras tetapi nakal. Baru tamat SMP dan tak mau melanjutkan. Kerjaannya hanya ubyak-ubyuk kesana-kemari. “Tiap hari hanya minta uang saja. Nggerus ati pokok'e. Jangankan mau bantu-bantu”, suara perempuan itu pelan. Nyaris disertai desis. Menahan sakit.

 ”Iya, di bawah ketiak kiri ini sesekali masih terasa ketarik”. Ia menyangka rasa sakit itu akibat operasi setahun yang lalu. Operasi? Iya, perempuan itu sekitar setahun yang lalu menjalani operasi pengangkatan kanker payudara. 

 “Hanya sebesar butiran ketumbar", ia menceritakan ikhwal penyakitnya. "Itu pertama aku rasa sekitar lima tahun lalu. Letaknya di payudara kiri sisi atas. Terasa kecil kenyal bila diraba. Tetapi tak sakit sama sekali. Tetapi aku mulai bertanya dalam hati, apa gerangan 'methil' kecil ini. 

“Lama-lama ia menimbulkan rasa”, ia melanjutkan ceritanya. ”Terasa nyut-nyut-nyut. Tetapi tak sering. Sekitar dua-tiga kali sehari. Juga diujung jari-jari tangan kiri ini sering terasa kesemutan”.

Mulai dari situlah ia melakukan pengobatan. Ke dokter? Bukan. Ke seorang 'ahli' pengobatan alternatif. Dari situlah ia mengetahui kalau yang butiran kenyal itu, yang nyut-nyut tiga kali sehari itu, adalah kanker! 

Intens sekali ia melakukan pengobatan alternatif itu. Tak terhitung pula biaya untuk ramuan obatnya. Ada yang sebutir kapsulnya seharga ratusan ribu. Belum lagi yang dalam bentuk jamu hasil racikan 'sang ahli' yang konon perpaduan aneka daun dan akar-akaran. Dari daun sirsak sampai benalu kelor. Hasilnya?

Setelah sekian tahun menangani, 'si ahli' akhirnya merujuk ke yang lebih ahli. Dokter. Hasilnya? Harus operasi, kata dokter. Karena, ”Kanker yang menyerang telah membesar dan menyebar", katanya menirukan dokter.

Ini dia. Padahal lebih tiga tahun ia melakukan terapi tradisional. Padahal sudah banyak biaya yang ia keluarkan. Padahal ia hanyalah ibu rumah tangga yang hanya membuka warung kecil-kecilan di timur pasar Senin yang sekarang tak seramai dulu. Padahal..., ya padahal harus operasi. Biaya dari mana? 

Tuhan maha adil. Dengan sekian 'padahal' di atas, ada satu padahal lagi yang belum tercantum. Suaminya. Ya suaminya adalah buruh pabrik gula. Titik terang ketemu; sebagai istri dari karyawan, biaya ditanggung PG (Pabrik Gula). Rencana semula, kanker itu akan diangkat di sebuah RS di Jatiroto. Tetapi, ”Kankernya sudah sedemikian rupa, maka harus diangkat di Malang. Karena di RS Jatiroto ini peralatannya belum selengkap yang di Malang”, ceritanya menirukan alasan pihak RS Jatiroto. 

"Iya, kalau diraba memang ia sudah sebesar seratus rupiah uang koin", terangnya.

Nah, perempuan malang ini harus pergi ke Malang. Dengan ditunggui salah satu adiknya (karena si anak yang satu kurang waras, satunya lagi nakal) dan suami masih harus kerja di PG.

Alhamdulillah, operasi berlangsung lancar. Tiga hari setelahnya sudah boleh pulang. (Ataukah memang harus begitu kalau biaya ditanggung pihak lain? Karena, menurut penuturannya, ia masih lemah ketika harus pulang ke Jember).

Seminggu setelahnya harus ke Malang lagi; kemotherapy. Pulang lagi, sepuluh hari lagi kemo lagi. Begitu berulang sampai enam kali.

”Sakitnya di-kemo itu tak terkatakan. Luar biasa pokoknya. Semua rambutku sampai rontok. Ini baru mulai tumbuh", katanya sambil melepas jilbab, menunjukkan kepalanya kepada saya.

Yang tak kalah menelangsakan, di tengah-tengah menjalani semua perawatan itu, si suami terlibat kecelakaan motor. Dan kakinya cedera. Harus rawat inap di sebuah RS di Jatiroto. Kakinya di gips. 

 “Makanya, nduk, kalau menemui butiran kecil di payudara, jangan tunggu lama. Harus segera operasi. Jangan sampai seperti aku ini", nasihatnya kepada istri saya. 

 Ya, perempuan itu bulik saya. Saya menemuinya, pertama untuk meminta maaf karena lebaran. Juga,meminta maaf tak sempat menengoknya ketika di Malang. Karena pada saat bersamaan, saya juga sedang menunggui Emak mertua yang sedang sakit keras di sebuah rumah sakit di Lamongan.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar