Rabu, 21 September 2011

Lagu tak Lagi Lugu

SECARA garis besar saya menyukai semua jenis musik dan lagu. Bahkan sampai lagu yang saya tak mengerti arti syairnya sekalipun. Dulu ketika wabah break dance sempat menyusup ke kampung saya, saya ikutan asyik saja menikmati musiknya yang gededak-gedebuk itu. Ketika New Kids On The Block lagi moncer, salah satunya lewat tembang Step by Step, saya ikutan pula menyenanginya.

Dangdut bagaimana?
Oh, apalagi itu. Karena, ibaratnya, sejak lahir procot musik jenis ini telah menempel ke gendang telinga semua orang di kampung kami. Setiap orang hajatan, atau siaran sepak bola di lapangan desa, si TOA selalu saja menyuarakan dangdut itu.

Ingat betul saya ketika para pemain turun minum dalam pertandingan bola, juga ketika si penyiar ikutan turun minum, si TOA mengudarakan si Rita Sugiarto; idaman hati kemanakah kemana engkau pergi...

Lagu, apapun jenisnya, ternyata mengikuti pula perkembangan teknologi informasi. Dulu, dulu sekali, ketika teknologi tak semaju saat ini, dan salah satu komunikasi andalan adalah lewat surat, ia mengilhami beberapa lagu. Sebutlah misalnya, Surat Cinta-nya si Erni Djohan. Tradisi surat-menyurat (cinta) ini rupanya bertahan lama. Buktinya, sampai era 80-an ia masih disuarakan. Dengan suara khas nan centil mari kita nyanyikan ini; surat cintaku yang pertama, membuat hatiku berlomba, seperti melodi yang indaahhh... kata-kata cintanya.
(Ah, suara sampeyan tak kalah bagus dengan Vinna Panduwinata rupanya!)

Sebelum Trio Macan mengaum lewat (teknologi seluler) berupa ponsel dalam tembang bertajuk SMS, ada yang ber- tit,tit,tit pagerku berbunyi, tit,tit,tit, begitu bunyinya.... (dengan irama rap lagu ini populer lewat kelompok Sweet Martabak)

Ya, Pager memang pernah menjadi populer walau tak berumur lama. Ia kalah KO lewat pukulan telak saat ditantang pendatang baru; ponsel. Setiap lewat di jalan Diponegoro sebelum kantor bank PTPN di ujung Ciliwung, ada gedung tak terawat dengan antena menjulang. Menara antena itu, gedung lumayan besar yang tak terawat itu, bukti pager pernah mengenyam masa jaya. Ya, gedung suwung itu adalah bekas markas operator pager besar; Starco.

Dulu, ditempat kerja, saya sempat difasilitasi alat yang hanya dapat menerima pesan tetapi tak mampu membalasnya itu. Di dalam angkot, ketika tiba-tiba si pager berbunyi, mengeluarkannya dari saku adalah sudah sebuah gaya. Seperti ketika orang menggenggam telepon pintar jaman sekarang!

Kembali ke soal lagu. Masa keemasan 'surat' telah lama berlalu, pager juga sudah lama kukut, SMS masih, lalu Facebook. Sampeyan pasti tahu, GIGI yang duluan unjuk gigi menyanyikannya; berawal dari facebook baruku... dst.

Sudah?
Belum. Karena saya masih ingin bicara tentang dangdut. Ada apa dengan dangdut?

Betul memang, sekarang tidak ada yang menyebutkan sebagai yang kampungan. Saya nilai, dangdut adalah musik yang gembira. Tengoklah, lagu sedih pun, dalam pentas-pentas dangdut, selalu diikuti goyang-riang sang penyanyi juga tentu para penonton. Lebih-lebih yang bertema riang betulan. Dan keriangan itu makin menjadi-jadi ketika dangdut di-koplo-kan. Era Ida Laila lewat lagu dengan syair mendayu-dayu nan lugu, berubah sudah. Berganti syair nakal nan binal. Yang kata-katanya terdengar lebih terasa 'bule' ketimbang masa Jefry Bule yang kondang dimasa Merry Andani, Mila Rossa, atau Yeny Eria.

Setelah itu, masa keemasan aneka goyang. Mulai ngebornya Inul, gergajinya Dewi Persik, patah-patahnya Anissa Bahar, dsb, dst.

Sekarang, disadari atau tidak, dangdut (entah untuk keberapa kalinya)dengan tega meng-kampung-kan dirinya sendiri. Selain lewat tampilan para penyanyinya yang seronok, belakangan saya dapati beberapa lagu yang syairnya jorok;. Misalnya, setelah Keong Racun, ada lagi yang lebih baru yang tak kalah 'saru'; kuhamil duluan sudah tiga bulan gara-gara pacaran tidurnya berduaan....

Duh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar